Minggu, 01 Januari 2012

Ngomel Berjamaah


           Jika anda pernah membaca sejarah orang Yahudi melalui Alkitab dalam Perjanjian Lama, maka saya yakin kita akan sepakat bahwa mereka adalah tantangan sempurna dalam uji kesabaran. Dan memang dibutuhkan kesabaran setingkat milik Tuhan sajalah untuk bisa menghadapi kedegilan dan rusuhnya hati mereka. Karena satu alasan, yakni janji pada Abraham dan bapa-bapa leluhurnya, maka Allah mencintai mereka tanpa batas. Membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir hanyalah gebrakan sederhana, sekalipun yang ‘hanya’ tersebut dipenuhi dengan rentetan mujizat sebagai bukti kuasa dan kemurahan hati Allah pada mereka.
         Namun saat sekitar 2 juta umat tersebut dimerdekakan Allah dan digiring oleh Musa menuju tanah perjanjian yang ‘dilimpahi madu dan susu’, mereka bersungut-sungut. Saat Allah menyediakan daging dan manna sebagai sumber protein dan karbohidrat secara cuma-cuma bahkan tanpa mereka perlu mengolahnya, bukannya berterima kasih mereka malah mengungkit-ungkit soal ‘ketimun, bawang prei, dan semangka’ yang mereka nikmati waktu masih jadi budak di Mesir. Jika ada satu anggota jemaah yang mati dalam eksodus tersebut, sontak mereka akan menggerutu dengan ketus, “Memangnya di Mesir kurang kuburan?”. Luar biasa kurang ajarnya.
          Bangsa yang keras kepala ini punya perbendaharaan keluhan yang sangat lengkap, bahkan kalau saya hidup saat itu mungkin bisa saya dokumentasikan dalam bentuk ensiklopedia dengan edisi yang pasti melebihi Britania Raya. Dan mereka menghambur-hamburkan koleksi tersebut kapan dan untuk apa saja, sebab tidak ada suatu berkat atau kemurahan apapun yang cukup baik untuk memuaskan hati mereka, sekeras apapun Allah berusaha. Jika saat itu Yesus Kristus sudah ada dan berfirman pada mereka, “Mengucap syukurlah dalam segala perkara”, saya yakin niscaya bangsa itu akan tertawa terbahak-bahak hingga mencucurkan air mata.
          Sadar atau tidak, mereka telah menginjak-injak kehormatan Allah tiap kali mereka menggerutu. Maka untuk semua sikap tidak hormat tersebut dan ditambah satu perkara yang membuat Allah murka, mereka diganjar dengan cara berputar-putar tak tentu rimba di gurun pasir selama 40 tahun seperti onta. Sungguh ironis, mengingat tanah perjanjian yang sekarang jadi rebutan Israel dan Palestina tersebut sudah berada tepat di depan hidung mereka. Seandainya saja mereka tahu bersyukur, pasti lain ceritanya. Kalau saja mereka sedikit punya rasa terima kasih pada Allah, pasti mereka akan segera menikmati apa yang sudah dijanjikan Allah dengan penuh cinta.
          Saya tidak tahu dengan anda, tapi orang-orang menyebalkan yang tak tahu diuntung ini benar-benar mengingatkan saya pada kita sendiri, bangsa Indonesia. Tepat seperti mereka, bukannya bersyukur atas kemurahan Tuhan pada negeri ini, bangsa ini begitu gemar menginjjak-injak kehormatan Allah dengan menggerutu dan mengumpat akan segala sesuatu. Saya tidak tahu sejak kapan, tapi sejauh saya bisa mengingat, bangsa Indonesia selalu mengumbar keluh untuk segala perkara. Apa saja. Dan siapa saja. Kalau bukan orang biasa, ya mahasiswa. Kalau bukan kaum yang ngakunya cerdik cendekia, ya media massa. Harga cabe  naik, ibu rumah tangga langsung mengomel, “Hidup kok makin susah. Semua mahal!” Kita lupa bahwa lebih banyak masa di mana cabe murah ketimbang mahal. Harga sayur naik langsung mengumpat-ngumpat –dengan media massa sebagai mesin pemanasnya- padahal harga sayur di Indonesia luar biasa murahnya. Beras naik beberapa rupiah kita langsung menjerit serempak sampai suara serak. Padahal kalau dipikir-pikir, dengan uang beberapa ribu rupiah saja perut orang satu rumah bisa kenyang. Coba tengok harga kangkung di Belanda, yang bahkan masih terbilang sangat mahal untuk pendapatan perkapita mereka.
Beginilah sepupu saya yang tinggal di Finlandia selama kurang lebih 5 tahun belakangan ini menanggapi segala keluhan orang Indonesia lewat FB mengenai segala hal: “Belum pernah jadi imigran, sih. Kalau sudah pasti kalian akan bersyukur betapa Indonesia adalah negeri barang murah dan mudah didapat. Kalau sudah merasakan jadi imigran dan masih juga ngomong jelek, berarti memang bad mouth dari sononya.”
Memang mengibakan kalau untuk bersyukur saja kita mesti jadi imigran dulu, mirip katak yang tak bisa melihat apapun selain tempurung tebal yang mengelilinginya. Dan lebih celaka lagi kalau tempurung itu tetap kita anggap buruk semata, tak peduli sebagus apapun Tuhan menghiasnya. Persis seperti bangsa Israel, yang cuma punya satu cara untuk melihat melalui kaca mata mereka: memandang segala sesuatu dari sisi buruknya. Serta satu semangat dalam hidup mereka: merutuki keadaan –yang mana sama halnya dengan merutuki Tuhan, sebab bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa ijinNya?- tak peduli sebaik apapun janji dan berkat yang Tuhan sudah sediakan.
Kacamata dan perilaku jahat itulah yang membuat kaum Israel mendapat hukuman panjang berputar-putar dalam gurun pasir. Dan dalam gurun apakah bangsa Indonesia terus berputar tak tentu arah dan seolah tiada akhir? Gurun kemiskinan? Gurun konflik antar umat beragama? Gurun dekadensi moral?  Yakinkah kita mau terus menerus bertingkah seperti bangsa Israel, yang mengumpati apapun dan menolak untuk melihat kemurahan dan mensyukuri berkat yang sudah dicurahkan Allah secara cuma-cuma dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah sebenarnya saat ini kita, tepat seperti yang bangsa Israel dapat, sedang menerima ganjaran berputar-putar dalam gurun krisis multidimensional ? Sebaiknya tidak, sebab apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai. Dan berkali lipat (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

3 komentar:

  1. Yah, memang sich yah mbak Yuanita, kita harus bersyukur dalam segala hal. Mengeluh-mengeluhnya dikurangi dech. toh istilahnya, naik beberapa rupiah nggak bakalan bikin sampai gimana-gimana juga tho ya?

    tapi saya pernah baca sekelompok masyarakat yang menurut hitungan pemerintah berada jauh di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari 1 Dollar US sehari. Pendapatannya ga sampai 9000 rupiah. Saya jadi mikir sendiri, di satu sisi, negeri ini bener-bener miskin dan mereka adalah orang-orang yang layak mengeluh sekiranya kenaikan harga terjadi dimana-mana. tapi di lain pihak, antrian Crocs dan Blackberry mengular, kalau perlu belinya pake cara brutal dan rebutan.

    apakah media massa yang jadi biang keladi ini semua? lho koq saya jadi mencari kambing hitam a.k.a wedhus ireng? ihihihihi

    BalasHapus
  2. oya, soal kelakuan bangsa Israel, saya bacanya sampai geleng-geleng kepala. ini bangsa maunya apa sih....dijanjikan yang enak-enak koq menggerutu dan malah nusuk Allahnya terus terusan...jadi cape bacanya gara-gara kelakuan bangsa Yahudi...

    BalasHapus
  3. Pertama, panggil Mbak May aja. Kedua, a.k.a wedhus ireng benar-benar membuat saya terbahak-bahak bahagia. Padahal kayaknya nggak lucu-lucu amat, ya?:p. Ketiga, sepakat bahwa kelakuan orang Israel sungguh membuat emosi jiwa. Saya kalau baca Alkitab pas bagian ini aja selalu minta-minta ampun dulu sama Allah. Habis, baca Alkitab kok malah bawaannya bete, hehe... Tapi satu hal yang patut dicatat adalah, itu adalah kekurang ajaran yang bangsa Israel tunjukkan pada Allah di tahun jebot, sebab kejadian di Perjanjian Lama adalah ribuan tahun lalu (pastinya saya nggak tahu. Sori, kita kan bukan ahli kitab, hehe...). Yang celaka, kelakuan mereka yang bikin Lomar dan saya geleng-geleng kepala itu masih dilakukan oleh BANYAK SEKALI orang Indonesia SAMPAI DETIK INI.
    Dan mengenai siapa yang berhak dan tidak berhak mengeluh, mungkin posting saya berikutnya akan sedikit bisa menjawab pertanyaan anda. Saya masih punya serangkaian artikel dengan kerangka topik kemiskinan. Mungkin akan selesai dalam 4 atau sekian kali posting-an. Sabar aja, ya.. Terus tebarkan komentarmu, soalnya lucu-lucu....

    BalasHapus