Jika anda pernah membaca sejarah
orang Yahudi melalui Alkitab dalam Perjanjian Lama, maka saya yakin kita akan
sepakat bahwa mereka adalah tantangan sempurna dalam uji kesabaran. Dan memang dibutuhkan
kesabaran setingkat milik Tuhan sajalah untuk bisa menghadapi kedegilan dan
rusuhnya hati mereka. Karena satu alasan, yakni janji pada Abraham dan
bapa-bapa leluhurnya, maka Allah mencintai mereka tanpa batas. Membebaskan
mereka dari perbudakan di Mesir hanyalah gebrakan sederhana, sekalipun yang
‘hanya’ tersebut dipenuhi dengan rentetan mujizat sebagai bukti kuasa dan kemurahan
hati Allah pada mereka.
Namun saat sekitar 2 juta umat
tersebut dimerdekakan Allah dan digiring oleh Musa menuju tanah perjanjian yang
‘dilimpahi madu dan susu’, mereka bersungut-sungut. Saat Allah menyediakan
daging dan manna sebagai sumber protein dan karbohidrat secara cuma-cuma bahkan
tanpa mereka perlu mengolahnya, bukannya berterima kasih mereka malah
mengungkit-ungkit soal ‘ketimun, bawang prei, dan semangka’ yang mereka nikmati
waktu masih jadi budak di Mesir. Jika ada satu anggota jemaah yang mati dalam
eksodus tersebut, sontak mereka akan menggerutu dengan ketus, “Memangnya di
Mesir kurang kuburan?”. Luar biasa kurang ajarnya.
Bangsa yang keras kepala ini punya
perbendaharaan keluhan yang sangat lengkap, bahkan kalau saya hidup saat itu
mungkin bisa saya dokumentasikan dalam bentuk ensiklopedia dengan edisi yang
pasti melebihi Britania Raya. Dan mereka menghambur-hamburkan koleksi tersebut
kapan dan untuk apa saja, sebab tidak ada suatu berkat atau kemurahan apapun
yang cukup baik untuk memuaskan hati mereka, sekeras apapun Allah berusaha.
Jika saat itu Yesus Kristus sudah ada dan berfirman pada mereka, “Mengucap
syukurlah dalam segala perkara”, saya yakin niscaya bangsa itu akan tertawa
terbahak-bahak hingga mencucurkan air mata.
Sadar atau tidak, mereka telah
menginjak-injak kehormatan Allah tiap kali mereka menggerutu. Maka untuk semua
sikap tidak hormat tersebut dan ditambah satu perkara yang membuat Allah murka,
mereka diganjar dengan cara berputar-putar tak tentu rimba di gurun pasir
selama 40 tahun seperti onta. Sungguh ironis, mengingat tanah perjanjian yang
sekarang jadi rebutan Israel dan Palestina tersebut sudah berada tepat di depan
hidung mereka. Seandainya saja mereka tahu bersyukur, pasti lain ceritanya.
Kalau saja mereka sedikit punya rasa terima kasih pada Allah, pasti mereka akan
segera menikmati apa yang sudah dijanjikan Allah dengan penuh cinta.
Saya tidak tahu dengan anda, tapi
orang-orang menyebalkan yang tak tahu diuntung ini benar-benar mengingatkan
saya pada kita sendiri, bangsa Indonesia. Tepat seperti mereka, bukannya
bersyukur atas kemurahan Tuhan pada negeri ini, bangsa ini begitu gemar menginjjak-injak
kehormatan Allah dengan menggerutu dan mengumpat akan segala sesuatu. Saya tidak
tahu sejak kapan, tapi sejauh saya bisa mengingat, bangsa Indonesia selalu
mengumbar keluh untuk segala perkara. Apa saja. Dan siapa saja. Kalau bukan
orang biasa, ya mahasiswa. Kalau bukan kaum yang ngakunya cerdik cendekia, ya
media massa. Harga cabe naik, ibu rumah
tangga langsung mengomel, “Hidup kok makin susah. Semua mahal!” Kita lupa bahwa
lebih banyak masa di mana cabe murah ketimbang mahal. Harga sayur naik langsung
mengumpat-ngumpat –dengan media massa sebagai mesin pemanasnya- padahal harga sayur
di Indonesia luar biasa murahnya. Beras naik beberapa rupiah kita langsung
menjerit serempak sampai suara serak. Padahal kalau dipikir-pikir, dengan uang
beberapa ribu rupiah saja perut orang satu rumah bisa kenyang. Coba tengok
harga kangkung di Belanda, yang bahkan masih terbilang sangat mahal untuk
pendapatan perkapita mereka.
Beginilah sepupu
saya yang tinggal di Finlandia selama kurang lebih 5 tahun belakangan ini
menanggapi segala keluhan orang Indonesia lewat FB mengenai segala hal: “Belum
pernah jadi imigran, sih. Kalau sudah pasti kalian akan bersyukur betapa
Indonesia adalah negeri barang murah dan mudah didapat. Kalau sudah merasakan
jadi imigran dan masih juga ngomong jelek, berarti memang bad mouth dari
sononya.”
Memang
mengibakan kalau untuk bersyukur saja kita mesti jadi imigran dulu, mirip katak
yang tak bisa melihat apapun selain tempurung tebal yang mengelilinginya. Dan
lebih celaka lagi kalau tempurung itu tetap kita anggap buruk semata, tak
peduli sebagus apapun Tuhan menghiasnya. Persis seperti bangsa Israel, yang cuma
punya satu cara untuk melihat melalui kaca mata mereka: memandang segala
sesuatu dari sisi buruknya. Serta satu semangat dalam hidup mereka: merutuki
keadaan –yang mana sama halnya dengan merutuki Tuhan, sebab bukankah tidak ada
sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa ijinNya?- tak peduli sebaik apapun
janji dan berkat yang Tuhan sudah sediakan.
Kacamata dan
perilaku jahat itulah yang membuat kaum Israel mendapat hukuman panjang
berputar-putar dalam gurun pasir. Dan dalam gurun apakah bangsa Indonesia terus berputar
tak tentu arah dan seolah tiada akhir? Gurun kemiskinan? Gurun konflik antar
umat beragama? Gurun dekadensi moral? Yakinkah
kita mau terus menerus bertingkah seperti bangsa Israel, yang mengumpati apapun
dan menolak untuk melihat kemurahan dan mensyukuri berkat yang sudah dicurahkan
Allah secara cuma-cuma dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah sebenarnya saat ini kita, tepat seperti yang bangsa Israel dapat, sedang menerima ganjaran berputar-putar dalam gurun krisis multidimensional ? Sebaiknya tidak, sebab apa yang kita tabur, itulah yang akan kita
tuai. Dan berkali lipat (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Yah, memang sich yah mbak Yuanita, kita harus bersyukur dalam segala hal. Mengeluh-mengeluhnya dikurangi dech. toh istilahnya, naik beberapa rupiah nggak bakalan bikin sampai gimana-gimana juga tho ya?
BalasHapustapi saya pernah baca sekelompok masyarakat yang menurut hitungan pemerintah berada jauh di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan kurang dari 1 Dollar US sehari. Pendapatannya ga sampai 9000 rupiah. Saya jadi mikir sendiri, di satu sisi, negeri ini bener-bener miskin dan mereka adalah orang-orang yang layak mengeluh sekiranya kenaikan harga terjadi dimana-mana. tapi di lain pihak, antrian Crocs dan Blackberry mengular, kalau perlu belinya pake cara brutal dan rebutan.
apakah media massa yang jadi biang keladi ini semua? lho koq saya jadi mencari kambing hitam a.k.a wedhus ireng? ihihihihi
oya, soal kelakuan bangsa Israel, saya bacanya sampai geleng-geleng kepala. ini bangsa maunya apa sih....dijanjikan yang enak-enak koq menggerutu dan malah nusuk Allahnya terus terusan...jadi cape bacanya gara-gara kelakuan bangsa Yahudi...
BalasHapusPertama, panggil Mbak May aja. Kedua, a.k.a wedhus ireng benar-benar membuat saya terbahak-bahak bahagia. Padahal kayaknya nggak lucu-lucu amat, ya?:p. Ketiga, sepakat bahwa kelakuan orang Israel sungguh membuat emosi jiwa. Saya kalau baca Alkitab pas bagian ini aja selalu minta-minta ampun dulu sama Allah. Habis, baca Alkitab kok malah bawaannya bete, hehe... Tapi satu hal yang patut dicatat adalah, itu adalah kekurang ajaran yang bangsa Israel tunjukkan pada Allah di tahun jebot, sebab kejadian di Perjanjian Lama adalah ribuan tahun lalu (pastinya saya nggak tahu. Sori, kita kan bukan ahli kitab, hehe...). Yang celaka, kelakuan mereka yang bikin Lomar dan saya geleng-geleng kepala itu masih dilakukan oleh BANYAK SEKALI orang Indonesia SAMPAI DETIK INI.
BalasHapusDan mengenai siapa yang berhak dan tidak berhak mengeluh, mungkin posting saya berikutnya akan sedikit bisa menjawab pertanyaan anda. Saya masih punya serangkaian artikel dengan kerangka topik kemiskinan. Mungkin akan selesai dalam 4 atau sekian kali posting-an. Sabar aja, ya.. Terus tebarkan komentarmu, soalnya lucu-lucu....