Kamis, 26 April 2012

Tak Mau Jadi Bebal Gara-gara Israel-Palestina


Komentator link www.indonesiasaja.com di FB pada posting ‘Pecahlah Indonesia Gara-gara Israel-Palestina: “Di dunia maya ini ternyata ada orang Kristen seperti Mbak. Hebat!!!”.
Mbak Kristen yang hebat: “Di dunia maya dan dunia nyata banyak orang Kristen yang seperti saya. Hanya saja kebanyakan pendiam dan pemalu. Saya saja yang cerewet dan banyak mulut, dan nggak peduli dimusuhi siapapun sepanjang saya tahu saya benar. Dan kebenaran yang saya maksud di sini adalah menentang segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh siapapun, dalam hal ini Israel terhadap Palestina”.

Lalu jempol bertebaran untuk komen Mbak Kristen yang hebat di atas, yang tak lain tak bukan  adalah saya sendiri:). Namun di balik pujian itu ada sebuah ironi: saking lebar dan dalamnya jurang kebencian dan kecurigaan, sampai-sampai saya dibilang ‘Kristen yang hebat’ hanya karena menentang pembunuhan. Dan ‘dituduh’ bahwa Kristen model begini hanya saya seorang diri.  Namun nyatanya memang bukan perkara mudah untuk menentang arus, apalagi di luar sana memang harus diakui banyak orang Kristen yang termakan propaganda Zionist yang lihai sekali memutar-balikkan firman Tuhan tersebut. Apalagi saya tinggal di negeri yang kaum kristennya adalah minoritas. Sudah temennya dikit, menentang arus lagi. Tambah kesepian, dong:). Itu sebabnya sekali lagi saya hendak menandaskan, bahwa posisi saya di sini sama sekali bukan untuk cari pujian dan atau musuh, melainkan menyuarakan kebenaran (setidaknya menurut perspektif saya). Karena sehubungan dengan artikel tersebut selain pujian baik dari Muslim dan Kristen, saya juga menuai banyak kecaman (hehehe….). Ini di antaranya, berikut tangkisan a la Yuanita Maya:):
1.     Saya dituduh terlalu banyak menonton tivi Indonesia, yang mana dalam reportase konflik 2 bangsa di atas tentu saja banyak menggunakan perspektif Islam (jelas, media itu kan pedagang, tentu mereka tau betul pasar mana yang terbesar di Indonesia). Namun faktanya saya nyaris tak pernah nonton televisi, kecuali Sponge Bob dan Shawn the Ship, itupun kalau sempat. Jadi tuduhan di atas gugur dengan sendirinya (kecuali si penuduh tak percaya saya tak doyan nonton tivi:)).

2.     Kedua, muncul tangkisan bahwa tindak pembunuhan dan kekerasan bukan hanya dilakukan oleh pihak Israel terhadap Palestina, melainkan juga sebaliknya. Ya mesthiiiii…!!! Namanya juga perang, gitu loh, capeeeeek.… Sama halnya bukan hanya pihak Belanda yang membunuh pejuang RI, demikian sebaliknya. Pertanyaannya: akankah kita membunuh pihak Belanda jika mereka tidak memulainya? Sudah, itu saja balasan saya:).

3.     Kemudian ada upaya untuk membelokkan pendirian saya dengan pendekatan penderitaan bangsa Yahudi, sejak jaman pembuangan hingga holocaust jaman Hitler. Please, hanya orang tidak waras saja yang tidak merasa pilu melihat penderitaan bangsa Israel, terlebih pada era si megalomaniak sinting berkumis sepenggal yang tampangnya lebih pantas jadi pelawak itu. Tapi segala penderitaan bangsa Israel tersebut tidak serta-merta mengesahkan Zionis melakukan kejahatan serupa terhadap bangsa lain (sebagai catatan perlu saya tambahkan betapa pendudukan Israel ke tanah status quo tersebut dilakukan dengan pendekatan yang sangat licik sekaligus keji. Dan perlu saya garis bawahi pada awal-awal penderitaan bangsa Palestina tak ada satupun negara Arab yang peduli pada mereka. Bahkan para pengungsipun mereka usir secara terang-terangan).

4.     Beberapa dengan tegas menggaris bawahi bahwa dengan segala macam penderitaan toh bangsa Israel tetap surfive, yang mana semakin memperjelas fakta bahwa inilah bangsa pilihan Tuhan dan ada rencana Tuhan di balik semua ini. Baiklah, silakan anda kembali ke posting saya sebelumnya di mana saya mengatakan bahwa memang bangsa ini telah dipilih oleh-Nya dengan alasan-Nya sendiri. Dan sekali Ia mengucapkan janji setia serta berkat, maka Ia akan menepatinya sampai kiamat. Jadi segala kelebihan, kehebatan, dan keini-ituan bangsa Israel jelas sama sekali tak ada hubungannya dengan kehebatan bangsa itu sendiri. Tuhanlah yang hebat! Dan sampai di sini SAYA TIDAK MAU BERDEBAT.

5.     Sekali lagi banyak yang membawa-bawa Tuhan dalam hal ini dan melibatkan janji-Nya pada bangsa Israel. Tapi saya tegaskan, bahwa mereka sendiri telah menolak Mesias yang dijanjikan bahkan menyalib-Nya (camkan bahwa saya hanya mengatakan fakta, bukan mengobarkan semangat antisemitisme). Mereka lebih percaya MESIAS BUATAN MEREKA SENDIRI, yakni ZIONIS. Dan meskipun saya akan menjadi orang yang sangat sombong sekaligus bodoh jika berani memosisikan diri sebagai pembela Tuhan seakan-akan Dia lemah dan lunglai tanpa pembelaan saya, namun saya punya kewajiban untuk menyatakan kebenaran bahwa SANGAT TIDAK PANTAS BILA JANJI KESELAMATAN TUHAN YANG KUDUS DISAMAKAN DENGAN PENYELAMATAN PENUH KESOMBONGAN DAN BERGELIMANG DARAH A LA ZIONIST! Tentu saja saya tidak hendak mengingkari fakta bahwa tak ada satupun perkara yang terjadi di dunia ini tanpa ijin-Nya bahkan luput dari pengawasan-Nya sekalipun. Namun antara kehendak serta rencana Tuhan dengan ijin-Nya seringkali terbentang jarak yang dalam dan lebar, demikian juga dalam hal ini.
6.     Sesudahnya adalah penjabaran panjang lebar tentang sejarah permusuhan yang panjang antara kedua bangsa ini dan rencana Tuhan di balik konflik mereka. Dan di sini saya mendapat kesan bahwa sejarah permusuhan tersebut justru digunakan sebagai legalitas bagi dua bangsa ini untuk terus berseteru hingga sekarang, bahkan melibatkan bangsa-bangsa lain, termasuk (yang mana saya sama sekali tak bisa terima) Indonesia! Dan bicara soal rencana Tuhan, bagi saya pribadi, rencana-Nya yang paling dalam perkara ini adalah bergandengnya semua tangan untuk menghentikan konflik menjemukan antara dua bangsa keras kepala ini, sebab permusuhan mereka yang tak terbilang abad ini jelas telah melibatkan banyak pihak di  luar mereka, yang mana sama sekali tidak adil. Dan betapa butanya kita semua, anda dan saya, yang menolak rencana Tuhan yang sangat indah ini. Cara paling sederhana untuk menolak terlibat dalam rencana besar yang kudus ini adalah dengan terus membenarkan tindak kejahatan Zionis sambil membawa-bawa nama Tuhan di satu sisi, dan percaya serta membenci umat Kristen sebagai kaki tangan Zionist. Untuk yang kedua ini perlu saya tambahkan, bahwa saya mau tak mau harus mengakui bahwa di luar sana memang banyak orang Kristen yang TERMAKAN PROPAGANDA LICIK ZIONIST, semata-mata karena keluguan mereka. Mereka terlalu polos dan lugu. Dan dalam bentuk berbeda dengan sebagian umat Muslim yang menganggap kejahatan Zionis adalah bagian dari agama Kristen, dalam derajat yang sama orang-orang Kristen lugu ini juga menganggap bahwa segala tindakan Israel modern adalah merupakan bagian dari rencana indah Tuhan, dus satu paket dengan agama. Dan di sini saya hendak menyatakan sikap: jika memang terbukti Tuhan punya urusan, menghendaki, bahkan merencanakan pekerjaan jahat terhadap bangsa Palestina lewat tangan Zionist, maka saya akan segera meninggalkan iman saya pada-Nya sebelum saya selesai mengucapkan, “Maaf Tuhan, aku murtad.”  Tetapi Tuhan tidak serendah itu! Dari awal pekerjaan-Nya menciptakan jagad raya dan seisinya hingga kini, telah terbukti bahwa Ia adalah inti sari dari cinta dan kasih yang terbesar dan terindah yang bahkan lebih besar dan dalam daripada yang bisa kita bayangkan! Dan itu akan terus terbukti hingga masa yang tak berkesudahan. Jadi memang saya sama sekali tak punya alasan untuk mencampakkan iman saya kepada-Nya, apapun dusta orang tentang kehebatan dan kebenaran Israel di luaran sana.

7.     Kemudian ada sangkaan bahwa segala omong besar saya mengenai Zionisme keji ini adalah bentuk kutukan terhadap bangsa Israel. Sekali-kali tidak! Sekalipun hingga detik ini saya belum juga khatam Al-Kitab, namun saya telah membaca ayat yang menyatakan bahwa siapapun yang mengutuki Israel juga akan kena kutuk. Dan saya belum setolol itu untuk menantang Tuhan. Seandainya saya tak takut pada Tuhan sekalipun, saya tetap memikirkan pepatah ‘what goes around comes arround’. Bahasa Kristennya: siapa menabur dia menuai. Menabur kutuk ya menuai kutuk. Nyatanya hidup saya sangat diberkati. Segala kata-kata saya mengenai Israel, sekeras apapun, saya letakkan dalam konteks:

a.     Otokritik, sebab agama saya menggunakan taurat yang juga digunakan oleh bangsa Yahudi. Sekalipun mereka menolak Yesus Kristus, itu toh bukan urusan saya. Di sini saya jadi ingat kata seorang pendeta yang sering muncul di tipi waktu beliau berkunjung ke Israel: “Mengapa tidak pernah ada kedamaian di Israel? Karena dari awal mereka telah menolak Sang Raja Damai.” Sekali lagi, penolakan mereka terhadap Mesias Illahi sama sekali bukan urusan saya. Namun sebagai bagian dari kaum yang percaya Taurat, saya minimal punya kewajiban moral untuk mengingatkan saudara-saudara saya seiman. Bahwa cukup kiranya sampai di sini keluguan kita. Cukup kiranya sampai di sini kita dijadikan bulan-bulanan kaum Zionis. Sebab mengait-ngaitkan Tuhan dengan kejahatan kemanusiaan terorganisir dalam skala tiada terperi yang telah dilakukan oleh kaum Zionis selama tak terbilang waktu, adalah suatu penghinaan tiada tara terhadap-Nya! Dan kiranya cukuplah sampai di sini kita menghujat kasih dan kekudusan-Nya. Namun otokritik seringkali memang jauh lebih memedihkan ketimbang kritik yang kita terima dari orang luar. Maka di sini, dengan segenap kerendahan hati saya meminta kepada anda semua yang masih percaya pada bualan busuk kaum Zionis untuk sesegera mungkin menempatkan Tuhan pada posisi terhormat-Nya yang semula.

b.     Kesatuan umat, terutama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebab seperti yang telah saya tulis pada bagian penutup posting sebelumnya, suhu antara umat Muslim dan Kristen di Indonesia panas dari waktu ke waktu salah satunya akibat konflik dua bangsa ini. Padahal belum tentu juga mereka tahu kalau kita saling bergesekan, wong mereka saja sibuk saling bunuh, kok sempat-sempatnya mikirin orang-orang Kristen dan Islam di Indonesia. Dan meskipun di luar sana banyak orang –maaf- bebal yang mengatakan pemerintah RI tidak menjamin kebebasan beragama, nyatanya kita tak bisa memungkiri fakta bahwa dengan jumlah yang sangat segelintir toh umat Kristen tetap sangat eksis di Indonesia. Dan eksistensi yang tak berkaitan dengan jumlah tersebut akan menjadi potensi negatif jika tidak dikelola dengan baik, terutama saat bergesekan dengan seteru utama mereka yakni kaum muslim. Tentu saja mereka yang saya sebut adalah Kristen lebay dan Islam narsis seperti yang saya sebut dalam posting lama berjudul ‘Kaum Narsis dan Kaum Lebay’. Kristen ‘hebat’ seperti saya:), dan Muslim ‘manis’ di luar sana tak akan terpengaruh oleh segala pancingan buruk dari manapun juga. Namun siapa yang biasa menjamin kaum narsis dan lebay tidak akan bertambah kualitas dan kuantitasnya jika tidak sejak sekarang kita tekan keberadaannya? Dan salah satu cara mempersempit ruang gerak mereka adalah dengan kampanye dialog lintas agama, terutama dengan pendekatan pemahaman agama post dogmatic.

Itulah kebenarannya. Dan inilah kebenaran tujuan tulisan-tulisan saya mengenai konflik Israel-Palestina yang melibatkan kaum Muslim dan Kristen Indonesia: propaganda perdamaian demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena Indonesia bukan hanya tanahnya, airnya maupun udaranya. Namun di atas segalanya: manusianya. Pada manusia-manusia Indonesialah negeri ini menggantungkan kelestarian atau kehancurannya. Pilihannya ada pada anda dan saya: apakah kita ingin melestarikan atau menghancurkan Indonesia? Hanya anda dan saya yang bisa menjawabnya. Tuhan memberkati pilihan kita, Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Senin, 23 April 2012

Pecahlah Indonesia Gara-gara Israel-Palestina


Betapa syoknya saya ketika beberapa tahun lalu dalam sebuah ibadah di gereja, Bapak Pendeta dalam khotbahnya yang mengangkat tema entah apa saya lupa, berkata begini kira-kira: “Jangan salahkan Israel kalau sekuat tenaga memerangi rakyat Palestina dan berusaha mengusir mereka. Itu kan tanah bangsa Israel, bukannya rakyat Palestina, yang sudah dijanjikan Tuhan sejak jaman Musa.

Pulih dari rasa terkesima, malamnya saya menulis surat protes sebanyak 4 lembar halaman folio spasi rangkap font 12. Setelah rangkaian penjelasan dan protes keras, saya menuntut Bapak Pendeta supaya dengan besar hati bersedia meralat kalimat di atas tersebut pada khotbah minggu berikutnya. Well, oke, saya akui, dalam satu atau dua titik saya boleh dibilang anggota jemaah yang kurang ajar (tapi seingat saya, dalam surat bernada keras tersebut saya hanya menggunakan pilihan kata yang santun dan tidak melanggar kaidah apapun, terlebih mengingat surat itu saya tujukan pada pemimpin saya). Namun saya percaya bahwa hubungan antara pemimpin dan umat mestinya bersifat mutual, itu yang pertama. Yang kedua, saya sangat prihatin dengan sentimen agama yang begitu mudah dijadikan mesin untuk menarik dukungan dan atau simpati anggota masyarakat dunia oleh negara Israel, yang bahkan dipercaya oleh orang sekelas pendeta. Sebab betapa mudahnya umat mempercayai dan mengikuti apapun kata pemimpinnya, dan bagi saya adalah mengerikan bahwa umat di gereja saya percaya bahwa bangsa Israel punya hak atas kejahatan mereka terhadap bangsa Palestina.

Sebab beginilah pendapat saya mengenai perkara di atas (yang sebenarnya cuma copy paste dari komentar saya dalam sebuah posting di grup diskusi Islam-Kristen, di mana saya menjadi admin yang malas dan selalu kabur setiap ditanya soal pasal ini ayat itu:)).  Demikian petikannya: Berdirinya negara Israel notabene adalah hasil invasi kaum Zionis dan SAMA SEKALI TIDAK ADA URUSANNYA DENGAN JANJI TUHAN DALAM ALKITAB. Zionisme selama puluhan tahun tersebut tidak ubahnya kejahatan kemanusiaan yang jauh lebih parah ketimbang yang dilakukan Belanda busuk tengik terhadap rakyat Nusantara, dan secara tragis justru dilegalkan oleh negara-negara Barat yang mengklaim diri sebagai tonggak demokrasi, terutama Amerika Serikat. Saya ada referensi sebuah buku yang bagus sekali berjudul ‘Saudara Sekandung’. Sebuah sejarah pendudukan Zionis di tanah yang kini diklaim sebagai negara Israel yang ditulis oleh pendeta Kristen bangsa Palestina (sayang saya lupa namanya). Sangat jujur dan melelehkan hati, buku ini wajib dibaca oleh semua umat Muslim, terutama yang membenci umat Kristen gara-gara masalah ini. Pula wajib dibaca oleh umat Kristen, terutama mereka yang memuja Israel secara membabi-buta. Saya beragama Kristen namun untunglah sama sekali tak pernah mengait-ngaitkan Negara Israel atau tepatnya Negara Zionis dengan Alkitab dan segala firman Tuhan. Dan saya sungguh bangga dengan pemerintah NKRI yang hingga detik ini tak mau mengakui keberadaan Negara ‘Maksadotcom’ Israel tersebut . Dan seperti yang bisa saya tebak, komen ini kemudian menuai pujian:), terutama dari pihak Muslim (saya bisa membayangkan eskpresi terkejut mereka, ketika menyadari bahwa admin Kristen yang tak becus soal ayat ini kok malah mengata-ngatai Israel yang seringnya dijadikan pujaan umat Kristen kebanyakan:)).

Ini memang isu yang sangat sensitif yang telah berjalan langgeng selama sekian dasawarsa antara umat Islam dan Kristen. Dan dalam banyak hal isu ini telah memberi kontribusi yang besar dalam hubungan tak harmonis di antara sebagian umat dua agama besar, yang herannya sejak dulu gemar banget musuhan ini. Saya bukan ahli politik, apalagi agama (ya iyalah, tiap kali ditanya ayat saja langsung gelagapan, lalu secepat kilat ngacir atau setidaknya melempar tanggung jawab pada admin Kristen lain:)). Dalam kapasitas saya yang enggak jelas ini, sayangnya saya tetap merasa punya hak untuk berbagi gagasan pada anda sekalian. Demikian:
1.     Di luar sana, saya mendapati banyak umat Kristen yang memuja bangsa Israel (baik jaman Alkitab maupun Israel modern) dan memandang Israel adalah bangsa yang hebat dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini banyak sekali anak muda yang sangat mencintai Negara Israel, bahkan merayakan hari lahir negara tersebut (suatu hal yang sangat nggak masuk akal dan nggak nyambung menurut saya, terutama jika dikaitkan dengan posisi mereka sebagai anak sebuah bangsa yang bernama Indonesia). Kepada anda yang memuja bangsa dan atau negara Israel, inilah pendapat saya (yang sekali lagi merupakan copy paste dari komen saya di grup diskusi tersebut di atas): ‘Sebagai orang yang beragama Kristen, saya pribadi sama sekali tidak bersimpati apalagi menghormati Israel, baik Israel jaman dulu terlebih Israel modern. Mengapa saya tidak menghormati Israel jaman dulu? Karena mereka adalah bangsa yang benar-benar tak tahu malu, tak tahu diri, dan selalu menyakiti hati Tuhan meskipun sudah sedemikian rupa dikasihi oleh-Nya. Yang saya hormati dan kagumi di sini jusrtu Tuhan, yang sama sekali tak pernah ingkar janji (kok kesannya malah seperti merpati:)). Sekali Tuhan memilih dengan alasan-Nya sendiri, maka SELAMANYA janji itu Ia tepati, tak peduli sebusuk apapun umat yang Ia kasihi tersebut. Dan bahwasanya banyak tokoh-tokoh besar bahkan Nabi lahir dari bangsa Israel juga SAMA SEKALI TAK ADA URUSANNYA DENGAN KEHEBATAN BANGSA TERSEBUT, namun sekali lagi adalah bukti bahwa Tuhan sungguh merupakan Sosok pemegang janji yang teguh’. Sejauh saya membaca Alkitab (yang belum khatam juga sampai detik ini:)), saya tidak pernah mendapati kesamaan pola penyelamatan dan pemenuhan janji Tuhan terhadap bangsa Israel dengan desain Zionisme Israel modern, sebab inilah yang selalu digunakan oleh Zionis untuk melegalisir kejahatan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, jika ada saudara umat Kristen yang mendapati kesamaan pola tersebut, saya mohon berkenan mengajukannya dalam box komentar di bawah, untuk mengoreksi kesalahan dan atau ketidak tahuan saya). Adalah penting bagi kita umat Kristen untuk tidak menggunakan perspektif agama dalam melihat dan menilai bangsa Israel, terlebih Israel modern. Sebab apa yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina jelas-jelas merupakan kejahatan kemanusiaan yang terstruktur dan terorganisi, dan dibungkus oleh isu keagamaan yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh umat yang tidak berhati-hati dalam menjaga pikiran yang independen. Perkara janji Tuhan terhadap bangsa Israel adalah satu hal, namun invasi Zionis di luar skenario kudus Tuhan jelas merupakan perkara lain. Selama umat Kristen mau begitu saja dikibuli oleh tipuan diplomatik propaganda sepihak Negara Israel, maka selamanya mereka akan merasa aman dan nyaman melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan atas rakyat Palestina (ya iyalah, nggak berada dalam zona nyaman gimana, kalau paling tidak secara moral didukung oleh umat Kristen yang meskipun di Indonesia cuma di bawah 10%, namun di dunia tetap merupakan agama dengan pengikut terbanyak).

2.     Di luar sana, pula saya dapati ada tak terhitung umat Muslim yang membenci umat Kristen karena perkara Israel-Palestina ini. Bagi anda semua yang membenci umat Kristen karena isu ini (atau tidak membenci tapi kenal satu atau beberapa orang pembenci Kristen gara-gara urusan di atas), inilah buah pikiran saya (sekali lagi copy paste komen di grup: ‘Kepada saudara-saudari umat muslim, perlu saya garis bawahi bahwa saya sama sekali melepaskan perspektif terlebih sentimen agama dalam hal ini sejak awal, baik sentimen negatif maupun positif, baik terhadap agama saya maupun agama anda. Perkara Zionisme pada rakyat Palestina (camkan bahwa saya menyebut rakyat, dan bukan tanah Palestina, karena bagi saya pribadi –walaupun pendapat saya jelas nggak ngaruh apa-apa:))- tanah yang jadi rebutan tadi masih bersifat status quo), sama sekali mutlak urusan kejahatan kemanusiaan yang berbasis pada kerakusan dan kesombongan, serta hati yang jauh dari kasih. Politisi tingkat tinggi bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cerdas sekaligus licik, yang dengan mudah bisa melihat bahwa AGAMA ADALAH MESIN YANG PALING MUDAH untuk dijadikan tunggangan dalam meraih sebuah tujuan politis. Sentimen agama Islam-Kristen (terutama dengan sejarah permusuhan yang begitu panjang dan kekal) dengan mudah mereka olah sedemikian rupa sehingga umat menganggap bahwa ini adalah perkara kebencian Kristen dan atau Yahudi terhadap Islam. Padahal ini tak lebih dari l’explotation de l’home par l’home! Ini tak bukan adalah homo homini lupus! Manusia menjadi serigala, manusia menghisap manusia lainnya! Inilah penjajahan dengan trik mutakhir! Dan di sini agama sesungguhnya adalah mutlak drive! Sedangkan umat adalah bahan bakar yang begitu mudah dinyalakan! Terbukti betapa membahananya kemurkaan kaum Muslim ketika sampai pada urusan ini. Demikian pula dengan mudahnya kaum Kristen membela Israel untuk kejahatan apapun yang mereka lakukan, karena ZIONIS DENGAN TAK TAHU MALU MEMBAWA-BAWA ALKITAB LENGKAP DENGAN JANJI-JANJI TUHAN terhadap bangsa Israel. Padahal Tuhan sama sekali tidak ada urusan dengan kaum Zionis! Sebagai orang Kristen, saya merasa sangat malu terhadap saudara-saudara Kristen yang begitu mudah dibodohi oleh propaganda Zionis Yahudi. Dan sebesar rasa malu pada umat Kristen, sebesar itulah saya merasa sedih pada umat Muslim yang sama mudahnya dibodohi oleh para pembenci perdamaian, sehingga dari waktu ke waktu permusuhan Islam-Kristen selalu membara dan tak pernah kekurangan bahan bakar lewat peristiwa Israel –Palestina ini. Akhirul kata, dalam komen yang ngudubilah panjangnya ini saya berujar: Dalam hal ini saya hendak berkampanye: MARI KITA BERHENTI MELIHAT PERKARA INI DARI PERSPEKTIF AGAMA! Mari kita lihat hal ini sebagai murni kejahatan kemanusiaan, dengan demikian kita bisa melakukan propaganda untuk menghentikan kejahatan Zionis terhadap rakyat Palestina. Dan terutama melakukan berbagai tindak nyata dalam upaya mencapai persaudaraan dan perdamaian antara umat dua agama terbesar di dunia: Kristen dan Islam.

Bagus sekali, ya? Tak heran saya langsung dipuji-puja:). Namun sesungguhnya bukan pujian atau permusuhan yang menjadi tujuan utama saya. Tulisan ini saya buat berdasarkan keprihatinan, karena tahun berlalu, dasawarsa bahkan milennium berganti, dan itu semua tak membawa perubahan apapun terhadap kebencian Islam-Kristen di Indonesia gara-gara dua bangsa yang berseteru dan saling bunuh, yang terletak nun jauh di sana. Sungguh sebuah ironi yang sama sekali tidak masuk akal, kita BANGSA INDONESIA SALING MEMBENCI gara-gara dua bangsa asing yang mana pertikaian mereka sejatinya tak ada urusan sama sekali dengan kita. Adalah sebuah tragedi bila persatuan dan kesatuan kita bangsa Indonesia menjadi koyak hanya gara-gara masalah politik dua bangsa asing. Saya tidak memungkiri fakta bahwa dalam konteks hubungan Internasional, sebagai bagian dari masyarakat dunia kita bangsa Indonesia harus berperan aktif, terutama mengingat haluan politik kita yang bebas aktif. Namun patut dicamkan, bahwa tidak ada ironi yang lebih besar ketimbang kita berlagak aktif dalam menjaga perdamaian dunia dan pada SAAT YANG SAMA justru kita, bangsa Indonesia, terpecah-belah sebagai akibatnya.

Dan perpecahan itu semata-mata karena hasrat untuk membenci, yang berlandaskan agama yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan konflik politik Israel-Palestina. Marilah kita aktif menentang segala bentuk kejahatan kemanusiaan, dan menolak untuk dijadikan pion-pion bodoh dengan akibat kita membenci saudara-saudara kita satu bangsa dan tanah air, hanya karena kita terlalu naïf untuk memisahkan agama dengan urusan ini. Bangsa kita musti bersatu, dan Indonesia sama sekali tidak layak dipecah-belah oleh urusan politik orang lain. Jika kita bisa dengan mudah dibuat bermusuhan dengan sesama bangsa Indonesia oleh bangsa lain, maka betapa bodohnya kita sebagai bangsa. Betapa malangnya Indonesia, memiliki rakyat yang lemah seperti kita!

Tuhan melindungi kita dari perpecahan gara-gara agama, Tuhan memberkati Indonesia!

*Artikel ini akan disambung dengan tulisan berjudul 'Tak Mau Jadi Bebal Gara-gara Israel-Palestina' dalam posting berikutnya.



Kamis, 19 April 2012


Berhenti Mendongak Dengan Dada Sesak.

Rasa cinta dan pesimis telah sama besar dalam negeri ini. Cinta negara mulai terkikis oleh sikap pesimis akan masa depan yang terus jadi pertanyaan dalam diri rakyat. Seperti apakah negara ini 30 tahun lagi? Akankah kita kuat bersatu dan mengangkat Merah Putih kembali disegani dunia Internasional?

Itu tadi adalah komen dari seorang pembaca blog Indonesia Saja! Sampai Akhir Menutup Mata…. Hanya saja ia menuliskannya dalam sebuah postingan di sebuah grup yang saya ikuti. Dalam berbagai posting sebelumnya saya telah berkoar-koar betapa pentingnya kita untuk kembali kepada Pancasila, di mana butir favorit saya yakni butir kedua sila pertama menganjurkan kita untuk kembali ke kitab. Dan sebagai orang yang tengah berjuang supaya ketika mati kelak disebut ‘Seorang Pancasilais sejati’, maka sayapun kembali ke Al-kitab. Ya iyalah, masa Al-Qur’an, wong saya Kristen. Nanti malah saya jadi ‘umat yang aneh’, bersaing dengan umat yang narsis dan umat yang lebay:) (anda yang punya kitab berbeda dengan saya silakan datang pada masing-masing kitab anda). Ada salah satu ayat favorit saya (saya memang punya banyak ayat favorit sebagai pemompa semangat), yang bunyinya: “Siapa yang senantiasa memperhatikan awan tidak akan menabur. Siapa yang senantiasa melihat langit tidak akan menuai.” Ya iyalah, gimana mau menuai kalau menabur aja enggak? Di sini patut saya jelaskan, bahwa sebagai orang Kristen saya terbiasa dengan bahasa Alkitab yang seringkali sangat metaforis (tidak tahu antara anda dan kitab tuntunan anda). Awan di sini bagi saya secara pribadi adalah metafora bagi masalah-masalah hidup, baik dalam kapasitas sebagai pribadi atau anggota masyarakat, dan lebih luas lagi dalam skup kebangsaan sebagai manusia Indonesia. Entah dalam kapasitas sebagai apapun, ada banyak masalah yang dalam derajat tertentu berpotensi membuat kita menjadi galau. Nah, waktu membaca dan merenungkan ayat ini saya membayangkan dua orang petani yang berangkat dari rumah dengan bekal benih.

Beginilah kisah imajiner saya secara lengkap: Sesampai di sawah, baru menabur beberapa benih, tiba-tiba gelap memayungi dua petani yang nampak enerjik tersebut. Mendung ternyata datang begitu saja di luar dugaan, dan tiba-tiba terdengarlah guntur yang menggelegar bertalu-talu. Dua petani tersebut langsung galau. Mereka berpandangan, lalu petani yang pertama berkata sambil mengangkat bahu, ”Halah, sutralah. Cuma mendung ini.” Petani kedua ngeyel, “Tapi ini gelap banget, bro, mana guntur bersahutan lagi.” “So what gitu loh?” kata si petani pertama cuek, sambil tetap menabur benihnya. “Hih, bro, kalau hujan deras terus sawah kita tergenang gimana? Apa kabar bibit-bibit kita?”, petani kedua menangkis dengan semangat pesimis. “Bro, jangan berisik, kalau ngoceh terus kapan kelarnya? SEMANGKA'! SEMANGAT KAKA',” seru petani pertama bergelora. “Bro, jangan kamseupay, deh!” ketus petani kedua, “Masak nggak tau kalau hujan yang datang bukan pada masanya bisa bikin rusak urusan kita?”. Sekarang petani pertama benar-benar kesal, lalu menghardik, “Terserah elo, deh, bro, kalau lebih suka mendongak dengan dada sesak lalu berhenti bergerak. Kalau memang begitu lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Pokoknya, lo, gue, end!”. Dua petani yang ternyata alay tersebut kemudian terpisah jarak, karena petani yang pertama terus menabur dan tak mau buang waktu untuk mendongak-dongakkan kepala ke arah langit lebih dari dua kali, sedangkan petani kedua terus menerus memandang awan pekat dengan galau, sehingga ia hanya bergerak sedikit dari posisinya semula. Dan tanpa saya perlu susah-payah mengarang lebih panjang, kita semua tahu siapa yang akhirnya menuai happy ending story *maksa*.

Demikian juglah langkah yang saya lakukan, yang mana terilhami dari petani pertama. Saya mendengar guntur menggelegar bersahutan dan awan pekat yang memekatkan, kemudian saya putuskan untuk menabur dengan bijih-bijih yang saya miliki, sesedikit apapun itu. Ketika seorang petani menanam bijih anggur, tak mungkinlah ia menuai duri. Tak mungkin pula ia menuai hanya satu butir buah anggur. Tuaiannya pasti anggur juga, yang jika dirawat dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan buah yang jauh lebih lezat. Dan berlipat-lipat. Itulah yang sedang saya lakukan, dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Saya tidak sudi mendongak ke atas terus menerus dengan dada berdebar cemas, hingga hilang waktu dan kesempatan untuk menabur, lalu kehilangan kesempatan untuk menuai.

Tentu saja ada waktu di mana saya serasa tercekik dengan masalah-masalah yang membelit, dan akhirnya jadi galau luar biasa. Tapi saya sama sekali tak sudi distir oleh rasa galau. Bukan masalah yang mengendalikan saya, melainkan sayalah yang mengendalikannya. Galau lebay cukuplah dinikmati sesaat, setelah itu, hey, life goes on! Setelah air mata tumpah ruah dan serasa kering, kembalilah ke dunia nyata sambil kumpulkan segala mitraliur yang ada. Omong kosong jika Tuhan menempatkan kita di dunia tanpa ‘mesiu’ apa-apa. Kita semua pasti punya teman, sanak-saudara, tetangga, dan sebagainya. Itu salah satu mesiu kita. Kita punya tubuh dan tenaga, talenta, kesempatan, pekerjaan, keluarga atau anak-anak  yang harus diurus, dan sebagainya. Saya punya buku favorit berjudul ‘Dog Stories’ karangan James Herriot. Dengan pengalamannya sebagai dokter hewan di pedesaan Yorksire selama puluhan tahun, ia belajar mengerti bahwa seringkali hewan-hewan jadi hancur semangatnya ketika kehilangan teman bermain atau tuannya, dan dalam derajat yang terburuk bisa menggiring mereka kepada kematian yang lebih cepat dari yang seharusnya. Sebaliknya ada banyak pula kasus yang menarik, misalnya seekor induk domba yang kepayahan karena pendarahan setelah melahirkan ternyata pulih dengan ajaib, hanya karena secara natural ia tahu bahwa ada domba-domba kecil yang harus disusui serta dirawatnya.

Itulah insting alami yang Tuhan anugerahkan pada hewan yang tak memiliki akal budi. Apalagi kita, manusia yang diciptakan-Nya sebagai mahluk paling sempurna. Paling tidak, jika anda sudah sampai pada titik merasa tak ada gunanya lagi hidup, atau sudah tak peduli lagi pada apapun, anda bisa memalingkan perhatian, tenaga, pikiran, dan konsentrasi anda pada hal-hal yang harus anda urus, sesederhana apapun itu. Untuk tiap-tiap hal yang mana anda punya andil atau tanggung jawab kepadanya, saya yakin Tuhan sudah memberikan setidaknya satu bijih talenta. Mungkin anda ibu rumah tangga yang sedang hancur karena ditinggal kabur suami begitu saja? Di sini anda punya bijih talenta kecil untuk tetap berada di samping anak-anak anda dan merawat mereka dengan segenap cinta yang anda miliki. Anda juga punya bilih talenta doa. Atau apapun. Mungkin anda adalah orang tua yang tak dipedulikan lagi oleh anak-anak anda yang telah anda besarkan dengan susah-payah? Di sini bisa jadi anda diberi talenta untuk membuat kelompok penguatan dengan mereka yang bernasib sama seperti anda. Atau setidaknya talenta untuk mendoakan pertobatan anak-anak anda.

Bagaimanapun bentuk awan gelapnya dan seberapapun pekatnya, dengan sangat saya memohon agar anda tidak terus-menerus memerhatikannya dengan gundah dan gelisah. Karena itu semua adalah bibit-bibit pesimisme, yang jika dikembangkan akan menjadi pohon apatisme. Palingkan perhatian anda pada bijih-bijih talenta yang anda miliki di telapak tangan anda, lalu taburkan, dan anda akan terkejut dengan tuaian yang anda dapat di kemudian hari! Akan tiba saatnya. di mana Sang Saka Merah Putih nan agung itu berkibar-kibar di jagad dunia dengan semua kepala memandang hormat kepadanya. Melalui tulisan-tulisan saya dalam blog ini, saya menabur bijih kecil yang saya punya untuk Indonesia. Kalau saya saja bisa, apalagi anda! Marilah sekarang juga kita berhenti melihat awan dan mulai menaburkan bijih-bijih talenta kita di tanah dan air Indonesia, supaya negeri dan anak cucu kita menuai hasilnya.

Tuhan memberkati benih-benih yang ditabur oleh tangan anda dan saya! Tuhan memberkati tuaian kita bagi Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Senin, 16 April 2012

Betapa Indahnya Galau Ini

Tak disangka tak dinyana, posting terakhir membuat message ke inbox saya membludag. Benar dugaan saya, bahwa banyak sekali anggota gerakan laten The Indonesian Galauers:). Yang membuat saya senang, ternyata rata-rata The Indonesian Galauers memetik hikmah dari tulisan saya terakhir tersebut *kepala membesar*. Sebelumnya saya sudah menyiapkan posting ini, namun dengan perkembangan terakhir, saya merasa perlu menambahkan satu dua hal berkaitan dengan reaksi The Indonesian Galauers. Inilah artikel yang sudah saya siapkan sebelumnya:

Jika anda setia dengan blog saya (semoga), maka anda akan mengerti bahwa saya bukan orang yang romantis, meskipun dulu saya hobi gonta-ganti pacar (yang sesungguhnya merupakan dampak dari inner dan outter beauty:)). Sekian belas atau puluh kali jatuh cinta (yang biasanya membara dan hanya seumur jagung), yang paling saya suka dari perasaan ini adalah saya merasa romantis. Namun sayangnya, ternyata itu hanya perasaan saya saja. Karena tak terhitung berapa kali saya mencoba melakukan hal-hal unyu yang biasanya dilakukan cewek-cewek yang sedang jatuh cinta, ternyata semua usaha tersebut kandas di rerumputan. Sekian kali pula saya mencoba bikin puisi, ternyata hasilnya picisan sekali. Saya sendiri ketika membaca ulang sampai bergidik dibuatnya. Walhasil semuanya berakhir menjadi serpihan abu, karena saya tak ingin meninggalkan jejak sehingga orang tahu bahwa ada titik di mana saya pernah menjadi orang yang sangat norak. Namun sebaliknya (saya juga tak tahu kenapa), saya kemudian menyadari bahwa dalam keadaan galau ternyata saya menjadi produktif sekali dalam urusan imajinasi. Saya selalu kesulitan membuat cerita fiksi, misalnya cerita pendek. Jauh lebih mudah bagi saya membuat tulisan atau artikel ilmiah, karena yang perlu saya lakukan hanyalah mengolah data kemudian menambahkan sedikit bumbu penyedap di sana-sini. Nah, di saat galau itulah (biasanya karena putus cinta, entah didepak atau mendepak) fantasi saya jadi berkembang liar ke mana-mana. Hasilnya, kebanyakan cerita fiksi yang saya buat selalu berakhir tragis atau setidaknya tidak bahagia:). Tapi sudahlah, meskipun ini berisiko membuat saya mendapat predikat 'Miss Pait', setidaknya saya mampu membuat cerita fiksi, yang dalam keadaan normal kemungkinan keberhasilannya nyaris nol persen. 

Tanpa mau berpanjang-panjang, galau jika dikelola dan diresapi dengan baik ternyata bisa menjadi sesuatu yang indah. Kegalauan yang memuncak -setidaknya bagi saya pribadi- bisa membuka tabir yang selama ini menjadi sekat tebal antara logika dan perasaan saya. Dan ketika saya menggunakan perasaan secara maksimal, hasil yang saya dapat adalah keindahan semata. Di bawah ini lagi-lagi puisi yang saya buat dalam masa galau yang sama dengan puisi yang lalu (tidak terpaut lama, hanya sehari. Dan jeda sehari tersebut membuat perbedaan yang terbentang jauh bagai bumi dan langit. Baru kemarin saya berkeluh-kesah segala macam, bahkan separuh 'mengancam' Tuhan, esoknya saya sudah memuja-muji-Nya sedemikian rupa. Jadi nyata bukan, betapa saya tidak punya pendirian?:). Maka sidang pembaca, silakan menikmati galau nan indah a la Yuanita Maya.


Pujian dan Kebahagiaan Saat Derita Membuatku Runtuh

Tanpa seutas benak maka kutak kan mampu menggantung sehelaipun kapas yang rapuh.
Namun pada perintah-Mu jagad raya begitu patuh.
Hanya dengan seruan Kau gantungkan matahari tanpa pernah sekalipun jatuh.
Sekuat apapun kutiup napas kubahkan tak sanggup membuat setitik abu.
Namun hanya dengan hembusan napas Kau hidupkan manusia dari sebutir debu.
Yang terbaik yang dapat kulakukan hanyalah menguntai manik-manik menjadi sebuah gelang,
namun betapa semaraknya angkasa Kau hias dengan rangkaian bintang.

Maka siapakah aku ini, ya, Tuhan,
hingga sengsara ini kepadaku Kau timpakan?
Sebab Kau murnikan manusia yang kepadanya Kau berkenan dalam dapur kesengsaraan.

Siapakah aku, ya, Allah, 
hingga kepada wajahku Kau ijinkan seteruku meludah?
Sebab dalam kancah penghinaanlah Kau buat anak-Mu menjadi indah.

Dan siapakah aku yang Kau buat layak, 
hingga Kau berkenan memanggilku anak,
sedangkan tak terhitung berapa kali kumemberontak?

Begitu rindu-Mu kubertobat hingga Kau dera dalam sesah,
dan tak kan Kau berhenti hingga kumenyerah.

Maka kini kuberlutut,
memohon ampun agar penghukuman terluput,
sebab Englaulah penguasa hidup dan maut.

Dan apakah yang bisa kulantunkan selain pujian terima kasih?
Sebab begitu besar cinta-Mu hingga kepadaku Kau berkenan memilih.
Cinta-Mulah satu-satunya alasan hingga kutak tersisih.

Terpujilah namamu, ya, Allah,
yang berkenan mendidikku tanpa kenal lelah.
Pada-Mulah pujian tertinggi, wahai Yang Maha Ilahi,
karena berkenan menyesahku tiada henti.

Kaulah Guru terbaik,
karena menghajarku dengan keras sekaligus lembut detik demi detik.



Dan setelah mendapat reaksi publik (seakan-akan blog saya sudah dikunjungi jutaan orang saja:)) yang hampir seratus persen positif, inilah yang hendak tambahkan: galau jika dikelola dengan sehat tak hanya akan menghasilkan sesuatu yang indah, namun lebih dari itu, ternyata sanggup menjadi berkat bagi orang lain. Bagi mereka yang juga tengah dilanda kegalauan, yang merasa tak sanggup lagi berpikir apalagi merasa, yang merasa tak sanggup lagi melakukan apa-apa. Keindahan yang terbit dari puncak kegalauan saya lahir sebagai puisi yang mengharumkan nama-Nya, yang kemudian menyukakan-Nya, sehingga dengan demikian kepadanya Ia mencurahkan berkat, dan mampu menjadi berkat bagi banyak orang. Terpujilah Tuhan, yang membuat kegalauan saya berguna bagi banyak orang. Pembaca yang saya kasihi, saya tidak tahu apa yang membuat anda galau saat ini. Mungkin hutang ratusan atau milyaran rupiah yang benar-benar mencekik leher anda, mungkin anak-anak yang telah anda besarkan dengan susah-payah dan segenap cinta justru membuat anda kecewa dengan kenakalan dan pemberontakan mereka, mungkin fitnah dari rekan kerja atau bahkan keluarga, mungkin juga suami atau istri meninggalkan anda seakan-akan anda sampah semata, atau apa saja. Tidak ada yang tahu seberapa berat beban yang anda pikul, kecuali anda sendiri. Tapi  di sini ijinkan saya mengatakan sesuatu, bahwa ternyata ada satu Sosok yang mengerti betapa beratnya beban yang saat ini musti anda tanggung, yakni Ia yang menciptakan anda. Yang bahkan bisa mengetahui berapa helai rambut anda yang jatuh hari ini, atau hari-hari yang telah lalu. Tangan-Nya terbuka lebar untuk anda. Jika anda membawa kegalauan anda pada-Nya, maka Ia bukan hanya akan membuat anda lega, namun lebih dari itu, mencurahkan berkat-Nya hingga rasa galau anda dapat menjadi berkat bagi orang lain. Galau yang pekat bisa Ia ubah menjadi sesuatu yang indah, yang membuat hari anda dan orang lain cerah. Jika semua orang galau bersedia membawa segala bebannya pada Sang Pencipta, maka betapa damai sejahteranya negeri kita, Indonesia. Dan saya percaya inilah yang Tuhan harapkan dari kita.

Tuhan menjadikan indah kegalauan anda dan saya, Tuhan menjadikan indah kegalauan Indonesia!

Kamis, 12 April 2012

Galau yang Sehat

Kata galau sudah ada sejak lama, entah kenapa jadi happening secara tiba-tiba. Bahkan saya ikut-ikut memakainya dalam beberapa posting yang sudah ada. Kalau mau jujur, bangsa kita juga tengah galau. Masalah tak kunjung putus, bencana silih berganti, amuk massa di mana-mana, terorisme, gagal panen, rencana kenaikan BBM, aduuuuuhhhhh.....banyak sekali yang lain-lainnya! Belum terhitung masalah pribadi masing-masing. Itu menjawab pertanyaan kenapa rumah sakit jiwa kebanjiran pasien. Narkoba semakin laris. Pusat-pusat dugem makin sesak. Minuman keras dan rumah pelacuran tak pernah kehilangan konsumen, malah tambah membludak. Angka bunuh diri kian meningkat, demikian pula kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi perselingkuhan (kalau yang satu ini kayaknya nggak butuh galau terlebih dulu, deh, karena syahwat memang seringkali lebih suka jalan sendiri:)). Sebutkan hal-hal buruk apa saja sebagai katarsis kegalauan, maka saya jamin bibir anda bakal jontor dibuatnya. 

Tapi sekarang muncul trend baru: galau yang sehat. Ada yang bilang galau yang sehat adalah galau sambil menyapu halaman dan menimbun sampah dedaunan. Atau lari keliling lapangan lima putaran. Atau ngepel rumah dan menguras kamar mandi. Apapun, terserah the galauers. Saya sendiri (ternyata) juga punya acara galau yang sehat. Kenapa saya bilang ternyata? Karena saya menemukannya secara tak sengaja, ketika beberapa hari lalu membersihkan kamar yang tidak saya pakai sekian lama. Di sana, di antara tumpukan buku dan kertas-kertas entah apa, saya menemukan beberapa puisi. Hasil karya saya sendiri:). Waktu saya baca ulang saya merasa terharu sekaligus malu sendiri dibuatnya, karena tak menyangka bahwa saya ternyata bisa puitis juga:). Ketika saya lihat tanggal pembuatannya (yang sayang sekali karena beberapa alasan pribadi tak bisa saya cantumkan di sini), ternyata itu adalah masa-masa di mana saya berada dalam puncak kegalauan. Nah, sidang pembaca yang terhormat dan lemah-lembut, silakan menikmati galau yang sehat a la Yuanita Maya:).


Dalam Teriakan Kalut dan Gelisah

Kepada siapakah kubisa menyerahkan jiwaku yang lelah,
jika bukan kepadamu saja, ya, Allah?
Sebab Kau bisa melebur dalam hatiku yang pedih,
bahkan sekalipun ku tak mengeluh dalam rintih.
Kepadamu sajalah, wahai Allah nan mahsyur,
kubisa memercayakan batinku yang hancur.

Tengoklah bagaimana kumeratap,
hapuslah air mataku supaya kepedihanku tak tinggal tetap.
Perhatikanlah bagaimana kuberseru dalam tangis;
tidakkah air mataku ini lebih deras ketimbang aliran sungai Tigris?

Kiranya jiwaku terhibur oleh janji-janji-Mu yang manis,
dan biarlah deraan-Mu ini membuatku liat dan khalis.
Sebab curahan air mataku serupa hujan nan lebat.
Tak kenal lelah kuberseru pada-Mu dalam ratap yang kuat.
Berbelas kasihlah, ya Allah, pada rintihanku yang menyayat.

Siang malam kuberseru tanpa jemu,
dan tak kan berhenti sebelum Kau ulurkan tangan-Mu.
Tak kan putus kumenangis dalam lolong,
hingga Kau bergegas-gegas datang menolong.

Ya Allah,
kasihanilah!
Sebab jiwaku gelisah,
dan aku bagai buluh yang telah patah.

Hatiku tercerai-berai entah di mana,
bagaikan sebuah kota yang terserak oleh gempa.
Derita membuatku hangus dan kering.
Batinku luruh dalam keping,
karena lelah berseru dalam tangis yang nyaring.

Wahai Kau yang membentangkan langit seorang diri,
bukankah hanya Engkau yang mampu membuatku bangkit berdiri?
Maka ulurkan, Tuhan, ulurkan,
tangan-Mu yang kuat dan penuh belas kasihan.
Sebab sekiranya kukumpulkan semua umat manusia,
adakah jalan keluar yang bisa kudapat dari mereka?
Tetapi pertolonganku ialah dari Engkau,
maka berbuatlah sesuatu agar kutak lagi risau.

Ya Allah yang berkenan memanggilku anak,
kumenunggu-nunggu Engkau bertindak.
Janganlah kiranya pertolongan itu Kau tunda-tunda,
karena jika demikian lebih baik kumati merana.

Biarlah saat ini kumelihat-Mu bangkit,
tuk memberi pertolongan bagi hidup dan jiwaku yang sakit.
Sebab hanya Engkau, ya Tuhan,
dengan kuat kuasa-Mu yang tak terkalahkan,
yang bisa memberiku pertolongan,
hingga kubisa bernapas dalam kelegaan.


Breath taking, ya?:). Beberapa bagian dalam draft puisi yang saya temukan tersebut kabur tintanya, menandakan bahwa saya membuatnya sambil bercucuran air mata. Ketika saya temukan dan baca ulang, saya kembali menangis. Saya teringat masa-masa itu, masa-masa yang begitu pahit dan mencekam. Masa-masa yang membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apalah arti hidup ini? Masa-masa yang terbersit dalam benakpun tidak akan saya alami. Kalau ini berarti buat anda, saya hendak mengatakan bahwa pencobaan saya sama sekali belum usai jua. Saya masih berada dalam ujian yang sama, dan secara manusiawi belum ada tanda-tanda jalan keluarnya. Tapi ada beberapa hal yang membedakan: ketika itu saya merasa lumpuh secara rohani, kini saya tegar menghadapi apapun yang terjadi. Ketika itu saya melihat semuanya gelap, kini saya menjalani kehidupan dengan langkah tegap. Ketika itu saya merasa di ambang hidup dan mati, kini saya merasakan sukacita di hati. 

Saya curiga, mengapa sikap saya bisa berbanding terbalik antara masa itu dan sekarang dengan deraan  dan cobaan yang masih tetap sama, salah satunya adalah karena puisi yang saya tulis tadi. Sebab sekalipun secara kualitatif tidak bisa dibilang 'sesuatu banget', namun saya menuliskannya benar-benar dengan hati yang hancur. Dan saya membawa hati yang tinggal serpih-serpih tersebut kepada Tuhan, bukan kepada siapa-siapa. Bukan kepada orang tua, saudara atau teman-teman saya. Bukan kepada apa-apa, bukan kepada minuman keras, narkoba, obat tidur melebihi dosis supaya saya lelap dan tak bangun lagi, atau apapun. Saya lantak secara jasmani. Dan hampir mati secara rohani. Kemudian diri saya yang nyaris tak bersisa ini saya serahkan seutuhnya kepada Sang Penguasa langit dan bumi. Saya percaya Ia tersentuh dengan tiap patah kata yang saya tuliskan, yang kabur dan nyaris tak bisa terbaca karena air mata yang tumpah tak tertahankan. Namun Ia Maha Melihat. Ia tak hanya mampu melihat tulisan yang lenyap oleh tumpahan air mata atau bahkan minyak sekalipun. Ia tak hanya mampu melihat lubuk hati saya yang telah busuk oleh kepedihan, duka cita, dan rasa terhina yang jauh melampaui akal pikiran manusia. Lebih dari itu, Ia menghargai setiap tetes air mata saya. Ia menghargai setiap keluh-kesah dan jerit putus asa saya. Ia menghargai betapa saya memilih datang untuk menangis dan meratap pada-Nya, dan bukan yang lain-lainnya. Itu sebabnya Ia kemudian memberi saya kekuatan yang baru. Dan sukacita yang tidak akan pernah saya dapat dari siapapun atau apapun juga. 

Kalau saya boleh jujur, saya menulis posting ini dengan air mata yang berlelehan di pipi. Sebab saya mengingat tiap detil bagaimana Tuhan menunjukkan cinta, kasih, penyertaan, kemurahan, dan pertolongan-Nya yang tak putus-putus. Saya menangis untuk tiap-tiap kekuatan yang Ia berkenan bagi pada saya. Saya menangis untuk cara-Nya menghargai cara saya menghormati-Nya. Saya sebetulnya malu, sangat malu membicarakan masalah yang demikian pribadi pada anda semua. Namun saya tahu bahwa saya punya kewajiban untuk membagi berkat apapun yang telah saya terima. Bahwa saya melarikan kegalauan dengan cara yang sehat adalah sebuah berkat. Bahwa dengan cara itu saya semakin merasakan kemurahan Tuhan adalah berkat yang lainnya. Dan semua itu tak boleh berhenti hanya pada catatan hidup saya pribadi. Sebab saya tahu anda semua pasti juga punya masalah dalam menjalani kehidupan ini, dan anda layak untuk menumpahkan kegelisahan serta kegalauan anda dengan cara yang sehat. Cara yang menyenangkan hati Tuhan, yang membuat kasih dan pertolongan-Nya semakin nyata bagi anda.

Biarlah masing-masing kita, tiap-tiap pribadi yang hidup di tanah Indonesia menemukan cara masing-masing untuk mengatasi kegalauan dengan cara yang berkenan di hadapan Tuhan. Supaya oleh kita berkat-Nya makin tercurah, bagi anda dan saya, bagi Indonesia. Tuhan mengobati semua luka anda dan saya, Tuhan mengobati Indonesia!

Senin, 09 April 2012

Merekalah yang Pantas Disebut Mahasiswa

Belajarlah, kembali ke bangku kuliah kalian. Jadilah juara. Jadilah orang hebat yang kelak memimpin negara ini. Yang kelak jadi direktur. Manajer. Pengusaha hebat. Bukalah lapanngan pekerjaan buat kami. Majukanlah kehidupan kami rakyat miskin dengan cara yang lebih baik. Majukanlah bangsa ini dengan prestasi kalian.

Itulah harapan entah siapa yang saya jadikan preambule dalam posting berjudul 'Mahasiswa? Mahasia-sia? Mahasial? Mahaksiat?' seminggu yang lalu. Harapan yang sederhana, jauh dari muluk-muluk. Namanya juga sederhana, pastilah tidak jauh-jauh dari hal yang bersifat normatif. Seperti halnya tanggung jawab normatif orang tua di manapun adalah memelihara anak-anak mereka. Dan kalau mereka puas dan bangga dengan hal itu, maka itu namanya orang tua yang aneh. Karena sesungguhnya menjadi orangtua itu adalah masalah kesempatan dan atau pilihan. Jadi kalau yang itu saja tidak mampu, lalu buat apa mereka jadi orang tua? 

Saya bukan hendak menentang siapapun yang menaruh harapan di atas terhadap para mahasiswa. Sebab, harapan tersebut adalah harapan yang baik. Sangat baik, malah. Tapi bukankah semua siswa juga diharapkan menjadi seperti itu? Belajar dengan tekun, mengerjakan tugas sebaik-baiknya, menghormati ibu serta bapak guru, mencetak prestasi sebanyak-banyaknya, lalu menjadi generasi cemerlang penerus harapan bangsa. Dan kalau hanya itu saja yang dibebankan pada mahasiswa, lalu apa bedanya mereka dengan anak-anak SD yang buang ingus dengan bersih saja belum tentu bisa? Kalau memang itu standartnya, kiranya tak perlulah mereka jadi mahasiswa. Cukup jadi murid atau siswa, yang resminya dimulai dari tingkat playgroup atau minimal TK.

Orang bilang, semakin tinggi dan terhormat posisi kita, semakin besar pulalah tanggung jawab yang kita emban. Demikian pula mahasiswa. Sekedar kembali ke bangku kuliah dan menjadi juara sangatlah normatif. Kalau jadi maha kemudian outputnya hanya normatif belaka, bukankah jauh panggang dari api namanya? Saya jadi ingat sebuah acara talkshow yang saya tonton di sebuah stasiun televisi swasta, dengan bintang tamu biasanya orang-orang yang berprestasi. Saya sangat gemar talkshow ini, walaupun jarang sekali nonton karena tidak pernah ingat jadwalnya (terus gemar darimana, coba?:)). Tidak etis jika saya sebutkan nama acaranya, tapi cluenya adalah kita diminta  untuk menendang si pembawa acara:). Nah, suatu hari saya beruntung menontonnya (biasanya karena tidak sengaja memencet channel, yang mana jarang saya lakukan karena saya juga jarang menonton televisi secara teratur). Bintang tamunya malam itu adalah seorang anak muda luar biasa, kalau tidak salah namanya Goris Albukhari atau siapalah, saya agak-agak lupa. Anak muda ini diundang oleh Presiden Obama karena prestasinya dalam hal apa saya juga lupa:). Yang jelas, dia punya sebuah komunitas atau sesuatu atau entah apa saya masih tetap lupa (di titik ini pembaca pasti ingin menggampar saya:)). 

Ceritanya, waktu lulus dia berada dalam persimpangan jalan, hendak bekerja di perusahaan luar negeri dengan gaji tinggi atau berbuat sesuatu untuk kampung halamannya. Dan dengan mudah kita bisa menebak bahwa kemudian ia menjatuhkan pilihan pada yang kedua (kalau nggak pasti dia nggak bakal jadi bintang tamu di acara 'Tendang si Kribo', dong:)). Kemudian ia mengajak teman-temannya yang dulu juga pernah buka usaha dengannya jaman kuliah untuk bergabung. Akhirnya, yayasan yang ia bangun tersebut berkembang luar biasa, dan mencakup banyak hal. Tak hanya dalam kegiatan ekonomi namun juga pendidikan, termasuk mengolah sebuah tanaman yang katanya cuma ada di kampung halamannya di Garut. Tak terhitung jumlah anggota masyarakat yang tersentuh dan terangkat taraf hidupnya dari apa yang Goris dan teman-temannya lakukan, baik secara ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Semua itu hebat, namun yang membuat saya terkesan adalah pesan yang ia sampaikan pada mahasiswa di akhir acara, kira-kira begini: "Jangan jadi generasi muda yang cemen, yang lulus kuliah cuma berani ngelamar kerja di perusahaan elit dengan gaji tinggi. Jadilah berani, ambillah resiko dan lakukan sesuatu untuk bangsa dan negara." Begitulah kurang lebihnya.

Luar biasa sekali si Goris ini. Yang biasa terjadi kan begini: sekolah, kuliah, cari kerja atau buka usaha, merintis dari bawah, konsentrasi dan bekerja keras serta prihatin dalam membina stabilitas ekonomi demi diri sendiri dan keluarga, lalu kalau ekonomi sudah mapan mulai bersenang-senang. Demikian polanya, yang kemudian diteruskan pada anak cucu. Pertanyaannya: kapan berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara? Tapi pemuda Goris ini sama sekali tidak tergiur dengan jabatan mentereng di perusahaan asing. Dia justru pulang ke kampung halamannya, dan membangun dari titik yang kecil di sana. Goris benar-benar pemuda pemberani yang jauh dari cemen. Saya yakin dia tidak pernah jadi anak alay:).

Dan saya juga yakin, Goris tidak mendadak jadi pejantan tangguh macam ini. Sebab tidak ada seorangpun bisa melewati proses panjang jadi pejantan unggulan. Kalau prosesnya dilompati paling banter ya jadi pejantan karbitan, yang lebih lekas busuk ketimbang yang matang secara natural. Dulu pasti dia benar-benar mahasiswa, dan bukan sekedar anak kuliahan dengan hasil tak beda dari siswa-siswa di bawah levelnya. Apalagi mahasial atau mahaksiat. Saya sendiri meskipun tidak pernah jadi mahaksiat, dengan jujur dan malu mengakui bahwa dulu tak pantas disebut mahasiswa. Saya dulu tak lebih dari sekedar anak kuliahan biasa, yang serba standart, dan segala pencapaian saya tak melebihi level normatif. Sayangnya saya tidak begitu pandai, dan dulu tidak ada yang memberi saya nasihat tentang bagaimana semestinya menjadi mahasiswa. Andai dulu saya paham benar bagaimana menjadi mahasiswa yang sebenar-benarnya, pasti saya akan melakukan salah satu atau lebih dari hal-hal berikut ini:

1. Membangun kelompok dengan teman-teman dan dengan rendah hati serta penuh semangat masuk ke sebuah kampung kumuh di kota saya. Di sana saya dan teman-teman akan mengajak penduduk kampung kumuh tersebut untuk menata kampung sekaligus menghijaukannya, mengolah sampah dan menjual hasil olahan barang buangan tersebut sehingga dengan demikian meningkatkan derajat perekonomian warga, membuat jadwal buang sampah dan kerja bakti serta kesepakatan award and punishment bagi siapapun yang berpartisipasi atau merusak kebersihan dan keindahan kampung. Itu kalau saya prihatin pada kesehatan rakyat miskin yang seringkali tak paham bagaimana hidup sehat itu. 

2. Bekerja keras dengan teman-teman menciptakan bahan bakar dari bahan terbarukan. Kalau bisa malah dari sampah atau bahan bekas apapun, lalu mengembangkannya sehingga bisa dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat. Itu kalau saya  sudah eneg terhadap masalah lingkungan sekaligus isu harga BBM.

3. Terjun ke komunitas anak-anak jalanan, mengajar mereka membaca, berhitung, bahasa Inggris, menulis, membuat puisi dan apapun untuk mencerdaskan mereka. Lalu saya dan teman-teman akan mengajari mereka manajemen keuangan, karena fakta mengatakan bahwa mereka punya kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan uang, hanya tak tahu cara mengaturnya, sehingga keadaan mereka dari dulu ya begitu-begitu saja. Lebih lagi, saya dan teman-teman akan mengajarkan mereka pola hidup yang sehat, termasuk mengatur jadwal tidur dan pola makan. Kalau perlu saya dan teman-teman akan mengajari mereka pengetahuan gizi dan mengelola dapur bersama, sehingga mereka tak perlu setiap kali keluar uang untuk makan di warung. Selain itu, makanan yang dimasak sendiri pastilah lebih sehat dan bersih, karena mereka kan sudah mendapat pendidikan gizi dan kebersihan dari kami. Itu kalau saya gerah pada masalah anak-anak jalanan. 

4. Mengelola jamban umum di kampung-kampung kumuh kota, dan mengolahnya menjadi biogas dengan pipa-pipa yang tersambung ke tiap-tiap rumah. Biaya perawatan dan produksi bisa diperoleh dengan meletakkan kotak di tiap-tiap jamban atau kamar mandi umum. Atau bisa menarik iuran goceng sampai ceban untuk tiap keluarga per bulannya. Dan jika proyek ini berhasil maka saya akan galang kekuatan dengan mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas lain, tepat seperti mahaksiat berkonsolidasi antar kampus dan atau universitas. Program ini akan membesar dan berkuranglah ketergantungan rakyat pada LPG subsidi pemerintah. Itu kalau saya peduli soal lingkungan sekaligus geram perkara tabung gas 3 kilo yang gemar sekali meledak-ledak seperti cara bicara saya.

5. Menyisihkan uang jajan dan jalan, lalu  bersama teman-teman membuat brosur soal superioritas tempe. Di brosur itu juga akan saya cantumkan resep-resep variatif, kemudian saya sebarkan di puskesmas, rumah sakit umum, posyandu, kampung-kampung, dan di manapun. Kemudian bekerja sama dengan ketua PKK, Kepala Puskesmas, Posyandu atau apapun, saya dan teman-teman akan memberikan penyuluhan sekaligus demo mengolah tempe. Kalau perlu secara berkala saya dan teman-teman akan membuat festival tempe, meskipun dalam skala sederhana. Itu kalau saya peduli soal gizi dan pertumbuhan generasi penerus bangsa.

6. Memenetrasi pengetahuan soal ketahanan pangan. Sekali lagi, bersama teman-teman saya akan bergiat-giat keluar masuk perkampungan terutama kampung-kampung urban, mengajak para penghuni untuk menanam sumber-sumber pangan yang berbeda-beda di tiap-tiap rumah. Lahan perumahan di kota terbatas? Nggak masalah, kan ada yang namanya tabulampot. Lalu memakai lahan terbuka milik warga (atau halaman pribadi) untuk dijadikan kolam lele atau ikan air tawar lainnya. Jadi nggak perlu pusing kalau harga cabe naik. Meskipun tidak semua kebutuhan pangan bisa dipenuhi dengan sistem seperti ini, paling tidak pola seperti ini sangat meringankan. Terlebih mempererat tali kekerabatan dan kerja sama yang kabarnya semakin luntur di tanah air kita.

Ada banyak sekali yang bisa saya lakukan, bukan cuma 6 contoh di atas saja, kalau saya dulu benar-benar mahasiswa. Itu jauh lebih mulia ketimbang memikirkan IPK saja. Jauh lebih mulia ketimbang teriak-teriak soal kemiskinan, gizi buruk, anak jalanan, protes keras soal tabung gas kecil, harga cabe atau sayur-mayur yang naik dan sebagainya, tanpa berbuat apapun untuk menanggulanginya. Tapi tentu saja itu bukan hal yang mudah. Jauh lebih mudah memikirkan bagaimana lulus dengan nilai baik, bekerja di perusahaan besar, meniti karir, memupuk kekayaan, beranak-pinak, menjadi tua sebagai orang kaya, dan mati sebagai manusia yang biasa-biasa saja. Jauh lebih mudah mengorganisir massa dari kampus ke kampus, mengumpulkan ban bekas, membuat huru-hara di jalanan, dan sebagainya. Jauh lebih mudah memaki-maki dengan kata-kata yang paling jahat sekalipun, jauh lebih mudah membuat bom molotov dan menenteng botol air raksa dan menyiramkannya, menggulingkan serta membakar mobil-mobil plat merah, melempari polisi dengan batu, membuat onar di restoran, pompa bensin atau di manapun, jauh lebih mudah melakukan aksi perusakan dengan cara haram apa saja, lalu menghalalkannya dengan kalimat 'memperjuangkan rakyat kecil', ketimbang melakukan setidaknya 6 contoh di atas.

Sebab untuk melakukan hal-hal di atas (dan jauh lebih banyak lagi yang tidak saya cantumkan di sini), jelas membutuhkan kecerdasan dan determinasi tinggi. Hal-hal tersebut membutuhkan kemampuan untuk membuat peta masalah kemudian mencari jalan keluarnya, dengan detil yang jelas di atas kertas maupun di lapangan. Itu semua  membutuhkan kemampuan evaluasi yang akurat. Butuh kemampuan untuk merendahkan diri dan tidak menganggap diri lebih pintar ketika memasuki komunitas kelas bawah yang tidak berpendidikan dan faktanya memang sulit diatur. Butuh dedikasi dan kesabaran. Butuh determinasi yang kuat. Butuh kemampuan di atas rata-rata untuk menyisihkan kepentingan diri sendiri demi kepentingan rakyat kecil dengan cara nyata yang sesungguhnya. Butuh kejujuran yang luar biasa untuk mengakui bahwa kepedulian tidak hanya sebatas makian dan kemampuan melempar bom molotov saja. Butuh seorang mahasiswa yang sesungguhnya untuk menjadi itu semua. Mahasiswa Indonesia, yang benar-benar layak disebut penerus tongkat estafet perjalanan bangsa. Tuhan memberkati anda dan saya, Tuhan memberkati mahasiswa Indonesia!


Jumat, 06 April 2012

Apakah Mereka Sedang Mengejar Ekor Sendiri?

Bergeraklah ke depan! Jalan di tempat hanya cocok untuk tentara. Dan bergerak melingkar ke belakang adalah milik anjing yang mengejar ekornya sendiri.

Seperti awal posting yang lalu, saya berharap kalimat awal posting ini juga merupakan buah pikiran saya sendiri. Sayangnya tidak. Saya hanya meminjam status salah seorang teman saya. Baiklah, saya berjanji untuk meneruskan amarah saya pada posting lalu. Dan sekarang saya tepati. Oke, sebelumnya saya hendak bercerita tentang almarhumah anjing-anjing saya *kembali galau*. Seperti yang sudah saya ungkap dalam posting berjudul 'Mengenang Alanis dan Patrice' dan 'Dan Ibupun Menangis....', saya sangat tergila-gila pada mereka. Salah satu tingkah natural mereka adalah mengejar ekor sendiri. Itu adalah tindakan sangat bodoh, dan sampai saat ini saya tidak tahu atas dasar apa mereka melakukan hal itu. Para ahli bilang sih mereka  sedang menghibur diri sendiri. Tapi sebagai akibatnya saya juga terhibur, sebab memang saya tidak pernah bisa berhenti tertawa bila mereka mulai bertingkah macam itu. Mereka bisa tahan melakukannya sampai sangaaaaaat.....lama, dengan ekspresi sangat dungu, hingga saya bercucuran air mata dan sakit perut dibuatnya. Kadang-kadang saya sampai bergulingan di lantai dan memohon pada mereka, "Sudah, sudah, sakit perut Mamak," dengan suara bergetar. Tapi mereka tak ambil pusing, tetap bertahan dengan kedunguan tersebut sampai akhirnya mereka berhenti begitu saja, tanpa alasan jelas.

Salah satu ciri khas mereka dalam melakukan kegiatan mengejar ekor itu sendiri adalah begitu biyayakan, pecicilan sampai hilang kontrol, dan biasanya berakhir dengan menyambar meja hingga barang-barang di atasnya bergulingan semua atau menabrak orang-orang di sekitarnya. Pokoknya rusuh sekali. Kegiatan menghibur diri sendiri hingga menimbulkan kerusuhan tersebut benar-benar mengingatkan saya pada segerombolan pecundang yang dalam posting tersebut saya sebut mahasial, mahasia-sia, dan mahaksiat. Hingga beberapa waktu lalu saya berpikir bahwa mereka hanya sekedar jalan di tempat, tidak juga beranjak dari kebesaran masa lalu ketika gerakan mahasiswa berhasil meruntuhkan kekuasaan absolut Suharto. Tapi ternyata 'jalan di tempat' pun masih terlalu bagus bagi mereka. Tidak percaya? Pertama, coba anda perhatikan saat tentara jalan di tempat. Rapi dan gagah, bukan? Kedua, apakah ada yang dirugikan dari kegiatan jalan di tempat tersebut? Sama sekali tidak, justru sebaliknya menguntungkan. Sekalipun tidak ada kemajuan seincipun, setidaknya gerakan para prajurit tersebut sedap dipandang. Jalan di tempat membuat mata terhibur dan hati senang. Lagipula, saya percaya gerakan itu juga membuat sehat si pelaku itu sendiri. Siapa bilang jalan di tempat tidak membakar kalori?

Sepintas, jika tidak hati-hati kita bisa dengan mudah mengatakan mereka jalan di tempat. Coba ingat-ingat, pernah nggak mereka beranjak dari jargon 'membela rakyat kecil' atau kalimat-kalimat cakep bombastis macam itu? Seingat saya tidak. Tapi sejauh ini, pernah nggak mereka 'membela rakyat kecil' dengan cara lain selain demonstrasi? Seingat saya tidak ada. Mereka menjalani hidup dengan cara mereka sendiri, masuk kuliah (atau banyak bolosnya), belajar (atau nyontek bahkan nyewa joki), berorganisasi (atau menghabiskan waktu dengan main game on line, seringkali pakai judi), bekerja sambilan (atau dugem, pacaran, nyimeng, dan sebagainya), apapun yang mereka pilih. 'Kepentingan rakyat kecil' tidak ada dalam benak mereka. Nanti, begitu tersiar kabar BBM hendak naik, barulah mereka ingat akan jargon gagah 'membela rakyat'. Bisa jadi dalam perjalanan ke kampus tiap hari mereka melewati kantung-kantung kemiskinan macam kampung kumuh di bantaran rel atau kali, tapi tentu saja mereka tidak peduli. Silakan saja yang miskin tetap miskin, rakyat kecil tetap kecil. Tunggu dulu sampai ada perngumuman seksi macam kenaikan TDL baru rakyat diangkat-angkat. Lain hari biarlah rakyat sekarat. Siapa juga yang peduli, selama masih ada pemerintah yang dari hari ke hari bisa dijadikan sasaran tudingan jari?

Hari-hari lain mahasial boleh menghabiskan ratusan ribu untuk urusan hiburan, modif motor, pesan barang-barang dari online shop, dan apapun sesuka mereka, sementara rakyat kecil yang tinggal di kolong jembatan harus menunggu dengan sabar sampai ada isu heboh baru mereka bergerak bersama-sama. Setelah ada isu-isu sensitif yang sensi, barulah mereka menggeliat. Mengkoordinir demo hari demi hari sampai subuh, berdiskusi dengan teori-teori yang kedengarannya sangat pintar, berlatih orasi dengan kalimat-kalimat heroik sekaligus makian-makian mengerikan di depan kaca, lalu bagi-bagi tugas: siapa bawa bom molotov, siapa bawa senjata tajam dan benda-benda keras lain, siapa bawa air keras, siapa pesan ban bekas, dan lain-lain barang-barang busuk. Tak lupa pemberitahuan pada media massa supaya meliput dengan seksama, terutama mengamati kesalahan aparat keamanan sekecil apapun. Oh, jangan lupa, ada juga yang kebagian tugas mulia: memprovokasi aparat, lalu memberi kode pada para peliput di saat yang tepat, yakni di saat aparat harus mulai bertindak tegas. Judul headlinenya sangat sederhana, tidak berubah dari tahun ke tahun: aparat bertindak represif. Sungguh sebuah 'kecerdasan' tingkat tinggi.

Dan dari mana saya bisa punya pikiran seperti itu? Karena saya dulu juga mahasiswa yang aktif berorganisasi, saya juga banyak bergaul dengan mahasia-sia, bahkan setelah lulus dan bekerja. Saya menjaga hubungan dengan mereka, dan melewati tahun demi tahun hanya untuk mendapati bahwa dalam satu hal mereka tidak berubah: munafik total. Untuk urusan teori dan jargon mereka juara satu, dan tak pernah berubah dari waktu ke waktu. Orasi-orasi mereka begitu membubung tinggi, dan saat meneriakkannya tentu saja mereka selalu menyeret pihak lain untuk dicaci-maki. Selebihnya? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Istilah apa yang lebih tepat untuk hal ini selain munafik total?

Demikianlah, hal-hal di atas bisa 'menggelincirkan' kita pada pikiran bahwa mereka semata-mata hanya munafik yang jalan di tempat. Tapi tidak, karena mereka jauh lebih buruk daripada itu. Jalan di tempat ibarat gerakan tentara yang sedap dipandang mata dan berdampak baik bagi kesehatan. Tapi apa yang mereka lakukan sama sekali tidak sedap dipandang mata. Dan sama sekali tidak ada dampak baiknya. Yang mereka lakukan hanyalah berbuat rusuh di manapun tempat. Yang mereka lakukan adalah kerugian bagi banyak pihak. Bukan cuma aksi bakar ban dan lempar ini-itu yang bikin kotor dan rusak lingkungan. Bukan hanya jalan-jalan macet dan membuat banyak orang gagal melaksanakan hajat hidup. Bukan sekedar aksi perusakan dan  teror bagi banyak pihak. Bukan semata kerugian negara dan rakyat. Lebih dari itu, mereka adalah contoh yang luar biasa busuk bagi adik-adik mereka, siswa-siswa yang tidak maha. Anak-anak SD, SMP, dan SMA yang menganggap hebat apapun yang dilakukan kakak-kakak mereka. Mana ada anak kecil yang tidak punya impian menjadi seperti kakaknya? Seberapa banyakkah adik yang tidak menyayangi dan mengidolakan kakak mereka? Seberapa banyakkah angkatan muda yang tidak menjadikan kakak mereka sebagai patron yang jago dalam segalanya? Dan itulah yang diberikan para mahasia-sia, mahasial, dan mahaksiat bagi adik-adik mereka. Luar biasa! Betapa mereka sangat 'membanggakan' orang tua!

Betapa luar biasa mengerikan rentetan dampak buruk yang mereka hasilkan dari segala aksi 'bela rakyat' tersebut. Gerakan mereka tepat sama seperti yang dilakukan oleh Inoy dan anak-anaknya: melingkar ke belakang. Yang mereka lakukan hanya untuk menghibur diri. Segala aksi 'bela rakyat' tersebut tidak lebih dari hiburan bagi diri sendiri. Dan jika dalam gerakan melingkar ke belakang tersebut Inoy dan anak-anaknya selalu bikin rusuh dengan merubuhkan barang-barang dan menabrak orang-orang, begitu pula kerusuhan dan kerugian yang ditimbulkan dengan gerakan bela rakyat gadungan tersebut. Namun sesungguhnya, Inoy dan anak-anaknya masih jauh lebih baik daripada mereka. Karena bagaimanapun, tuan manapun akan tertawa bahagia saat melihat peliharaannya berulah seperti itu. Tapi mahaksiat sama sekali tidak lucu. Tak ada satupun dari perbuatan mereka yang cute dan unyu. Tidak ada kebahagiaan dan tawa ceria yang dihasilkan dari kegiatan mereka. Sesungguhnya, bahkan bergerak melingkar ke belakangpun masih terlalu baik untuk mereka. Dengan sedih dan sangat menyesal saya harus berkata, bahwa mereka busuk sampai ke akar-akarnya. Saya berdoa semoga Tuhan memberi hikmat dan marifat pada mereka, supaya suatu hari nanti mereka benar-benar tahu arti cinta rakyat, bangsa, dan negara. Tuhan mengubah mereka, Tuhan mencerahkan dan mencerdaskan mereka demi Indonesia!

Senin, 02 April 2012

Mahasiswa? Mahasia-sia? Mahasial? Mahaksiat?


Buat kalian para mahasiswa yang berdemo mengatasnamakan kepentingan rakyat dan para pendukungnya, yang merasa perbuatan mereka benar, silakan baca ini baik-baik:
Kalian para mahasiswa membawa-bawa nama kami di jalan. Berteriak sana-sani mengatasnamakan kepentingan kami rakyat kecil, pegawai negeri rendahan, buruh, dan yang lain-lain. Alih-alih membela kami, kalian justru menghancurkan fasilitas umum yang dibangun dengan uang dan keringat kami. Tak jarang kalian bentrok dengan warga sekitar. WARGA = MASYARAKAT=RAKYAT. Yang lebih lucu lagi dari protes kalian adalah, kalian merusak kantor-kantor, pompa bensin, membakar mobil berplat merah yang juga dibeli dari uang rakyat, merusak restoran cepat saji, showroom mobil, mobil pengangkut minuman dan gas, dan tak jarang kalian menjarah isinya. Dan kalian lupa, satpam, office boy, CS, pelayan, sopir, dan pegawai kecil lainnya adalah kami RAKYAT yang KATANYA kalian bela. Tahukah wahai kalian yang MENGAKU MAHASISWA, kami sopir taksi tidak berani menarik penumpang karena takut terjebak di tengah keributan dan menjadi korban. Padahal keluarga kami butuh makan. Tahukah kalian kami OB dan pegawai rendahan terpaksa harus mengeluarkan ongkos lebih banyak hanya untuk menghindari daerah kerusuhan yang kalian ciptakan? Apakah kalian pernah berpikir kalian bukannya meringankan namun justru menambah beban kami? Bisakah kalian berdemo dengan cara yang lebih mulia??!! Belajarlah, kembali ke bangku kuliah kalian. Jadilah juara. Jadilah orang hebat yang kelak memimpin negara ini. Yang kelak jadi direktur. Manajer. Pengusaha hebat. Bukalah lapanngan pekerjaan buat kami. Majukanlah kehidupan kami rakyat miskin dengan cara yang lebih baik. Majukanlah bangsa ini dengan prestasi kalian. Jangan biarkan simpati kami berubah menjadi antipati. Jangan samakan arti mahasiswa dengan preman.

Sungguh, saya sangat berharap sayalah yang menuliskan semua kalimat di atas. Sayangnya bukan, dan saya tidak tahu siapa penulisnya. Ini adalah posting di sebuah grup yang saya ikuti, dengan pesan untuk menyebarluaskannya. Tentu saja himbauan tersebut langsung saya lakukan dengan gerakan a la PASGAT alias pasukan gerak cepat, soalnya saya memang sudah muak sama sekali dengan gerombolan anak-anak kasar, bebal namun sok pintar, yang pasti menganggap diri pahlawan itu. Jadi, dalam posting ini saya akan marah-marah. Tapi berhubung saya harus tetap jaim, maka saya usahakan adegan marah-marah ini tetap kelihatan cerdas dan elegan. Semoga. Baiklah, saya mulai marah (oh ya, sebelum mulai saya hendak menjelaskan bahwa posting ini ditujukan khusus bagi para mahasiswa yang bisanya cuma demo dan atau memakai cara-cara anarkis. Lain itu luput dari amarah saya:)). Oke, sekarang marah sungguhan:).

Membuka amarah ini saya hendak membicarakan dulu arti kata MAHA, yakni sangat. Yang paling. Maha kuasa, berarti sangat berkuasa, tak ada apapun yang mampu membatasinya. Maha cantik, berarti amat cantik, hingga ketika melihat orang yang begitu jantung kita jadi seakan berhenti berdetak sesaat (yang kira-kira bakal anda alami saat bertemu muka dengan saya. Cuih!:)). Begitulah MAHA, segala sesuatu yang sangat. Mahasiswa, mahanya siswa. Menempati posisi teratas dalam jenjang hirarki para siswa. Paling cerdas, paling mumpuni, paling elite. Maunya. Kalau sudah begini, paling sederhana harusnya jadi contoh. Kalau pengin yang lebih elegan lagi, mustinya memanfaatkan betul posisi mereka sebagai kaum elite. Sebab siapa bilang mahasiswa bukan kaum elite? Sebutan ‘mahasiswa’ itu sendiri sudah secara otomatis menempatkan mereka dalam kedudukan yang sangat terhormat. Kalau tidak percaya, perhatikan ekspresi ibu-ibu saat ngobrol dengan seseorang dan mengatakan bahwa anaknya yang ini atau itu “Sudah jadi mahasiswa.” Pasti ekspresinya bangga, meskipun biasanya susah payah disembunyikan, apalagi kalau mereka berasal dari kalangan menengah nyaris ke bawah. Belum terhitung bahwa tidak semua orang bisa jadi mahasiswa.

Mahasiswa jadi happening ketika gerakan mereka berhasil menggulingkan Pak Harto. Sontak mereka diangkat jadi pahlawan dan di mana-mana dielu-elukan (ELU! ELU! ELU! Hehehe…basi).  Dalam hal ini saya juga menaruh hormat sebesar-besarnya pada mereka. Mendapat respek dari seluruh jagad Indonesia, tak ayal mahasiswa jadi besar hati. Sayangnya mereka kebablasan, kemudian jadi besar kepala bukan buatan. Tepat seperti ungkapan Jawa ‘Ora kuat nyandhang kamulyan’, alias tidak kuat menyandang kemuliaan. Pujian dan pengormatan memang seringkali bisa jadi batu sandungan. Kesandung kalau segera bangkit tidak masalah. Tapi kalau kesandung, kemudian terjerembab dan malah ketiduran dalam posisi begitu, itu yang celaka. Dan itulah yang tepat sedang dialami mahasiswa-mahasiswa sekarang.

Begini, sukses dalam gerakan penggulingan Suharto, membuat mereka menganggap bahwa itu adalah cara yang paling jitu untuk mencapai dan atau mengungkapkan sesuatu. Jadi, apapun yang mereka hadapi, sejauh ini yang mereka lakukan hanyalah menggalang aksi massa, teriak-teriak, memaki-maki, menebar teror, menendang, merusak fasilitas umum, membakar ini-itu, dan melempar itu-ini termasuk telur busuk! Maka, kalian yang mengaku mahasiswa, dengarkan saya: apa kalian tidak cukup cerdas untuk mengerti bahwa membakar ban adalah kejahatan terhadap lingkungan? Apa kalian tidak cukup mampu untuk berpikir bahwa menutup jalanan adalah bentuk arogansi yang tiada terperi, sebab jalanan itu tidak dibangun hanya dengan uang nenek moyang kalian? Dan saat kalian memaki-maki wakil rakyat, dekan, presiden, menteri, atau siapapun yang berseberangan dengan kalian menggunakan kata-kata kasar, bahkan sampai main fisik, tidakkah kalian cukup bijak untuk berpikir bahwa BAGAIMANAPUN MEREKA ADALAH ORANG TUA???!!! Seburuk apapun (itupun jika benar mereka buruk) mereka TETAPLAH ORANG TUA!!! Tidakkah orang tua kalian sendiri mendidik kalian untuk MENGHORMATI ORANG TUA? Tidakkah orang tua kalian memberi pendidikan dan aturan mengungkapkan perbedaan pendapat pada orang umurnya jauh di atas kalian? (Saya jadi ingat ancaman saya pada si sulung, Nabiel Handaru Wibisana, ketika suatu hari kami berdiskusi soal kelakuan mahasiswa. Saya bilang pada dia, “Pada detik kamu bertingkah seperti binatang liar rupa mereka, kamu boleh menganggap Mamak sebagai masa lalu. Sebab Mamak tidak susah payah membesarkan kamu untuk mempermalukan Mamak dengan cara seperti itu. Mengerti??!!”, kata saya sedikit menggeram sambil melotot untuk menambah kesan garang, tapi tidak begitu berhasil karena mata saya sipit. Itu sebabnya ia hanya menjawab santai, “Siapa coba yang mau jadi gila kaya gitu? Mending nemenin Adek mainan atau mewarnai gambar.”).

Nah, saya lanjutkan marahnya.
Buat kalian mahasiswa yang untuk urusan apapun (kenaikan harga BBM, penolakan calon rektor baru, kenaikan SPP, sebutkan apa saja) BISANYA CUMA DEMO, lalu memaksa-maksa orang lain ikut-ikutan dan ketika mereka menolak kalian jadi marah lantas bertindak brutal, saya katakan: begitu itu yang ngakunya jadi garda depan demokrasi? Serendah apa cara berpikir kalian sehingga tidak mengerti bahwa BERKATA TIDAK ADALAH BAGIAN DARI DEMOKRASI? Dan apa saja yang kalian dapatkan dari bangku kuliah ketika kalian berdemo dengan bekal senjata tajam, bom molotov, dan bahkan air keras, bahkan kemudian menggunakannya untuk melukai orang lain? Apakah kalian semua masuk JURUSAN PEMBENTUKAN KARAKTER PREMAN MURAHAN di UNIVERSITAS PECUNDANG BUKAN KEPALANG? Lalu ketika polisi dan aparat keamanan lain bertindak keras demi mengantisipasi kebrutalan kalian, kalian langsung teriak-teriak seakan-akan kalian adalah korban kezaliman, mengadu pada media massa yang langsung mengerubut dengan rakus karena mereka butuh berita begituan untuk dapat iklan. Kenapa tidak sekalian saja bilang: “Awas, ya, aku bilangin bapakku!” sambil nangis dan ngumpet di balik ketiak ibu??!! Saya bertanya: apa kalian berani begitu jika maju seorang diri? Karena anarkisme yang dilakukan secara gerombolan bagi saya adalah jauh lebih buruk ketimbang banci. Kalian jauh lebih buruk ketimbang banci kaleng, mental kalian betul-betul rombeng! Kemudian dengan bangga kalian bilang bahwa kalian adalah AGENT OF CHANGE. Dengan muak saya bertanya: perubahan dari mana? Perubahan dari tempat pembuangan limbah rumah tangga?

Apa yang kalian anggap salah kalian paksakan sebagai kesalahan mutlak, dan yang lain tak boleh menolak. Dan apa yang kalian benar kalian paksakan sebagai sesuatu yang harus diamini oleh orang banyak. Saya curiga kalian semua tidak jauh beda dengan Hommer Simpson yang cuma punya sarang laba-laba di dalam kepalanya. Karena kalau kepala kalian tidak hanya berisi sarang laba-laba, maka kalian pasti mengerti bahwa INILAH INDONESIA!!! Indonesia adalah negara plural yang punya sejuta keragaman jauh sebelum perang Bubat, dan di antaranya adalah perbedaan pendapat!. Kalian begitu menggelikan, karena sampai sejauh ini kalian tidak tahu arti kata ‘kebebasan’. Hei anak-anak ingusan bau kencur yang menganggap diri cerdas dan hebat, saya katakan sekarang pada kalian: kebebasan bukanlah hak dan kesempatan untuk berbuat semau-maunya! Tidak ada yang namanya kebebasan, jika itu kita lakukan sambil merugikan orang lain di saat bersamaan. Merugikan orang lain adalah kebodohan, dan kebebasan macam apa yang kalian maksudkan saat kalian masih terkungkung dalam kebodohan? Kalian benar-benar bagai katak yang terkurung dalam tempurung kedunguan. Dulu saya, dan banyak orang lainnya, bangga pada kalian. Sekarang banyak dari kami yang berpendapat bahwa kalian benar-benar memuakkan. Kalian sama memualkannya dengan media massa yang ketika jaman reformasi dianggap sebagai corong suara rakyat yang adil, tapi sekarang tak lebih dari alat kapitalisme yang kerdil. Mungkin kalian bukan alat kapitalisme, tapi kalian adalah alat dari ego kalian masing-masing. Siapa yang bisa bilang bahwa aksi kalian benar-benar murni, dan bukannya katarsis dari sifat megalomania pecinta kekerasan? Kalian tahu bahwa kalian akan diolok-olok jika setua ini masih berani tawuran, jadi kalian bersembunyi di balik demo anarkis urakan yang mengatasnamakan rakyat sebagai penyaluran hasrat brutal kalian. Saran saya,  kalian mahasiswa dan media massa yang distorsif mata duitan dan tak tau malu itu berkolaborasi, kemudian membentuk suatu kumpulan pecundang dengan nama ‘WE SUCK’.

Saya curiga bahwa telah putus semua urat malu yang kalian miliki. Karena kalau masih ada, pasti kalian tidak akan akan punya muka menyandang label mahasiswa. Sebab semua arogansi kalian adalah kesia-siaan, sehingga lebih tepat kalian menyebut diri mahasia-sia. Semua kebebalan kalian membawa sial bagi orang banyak, sehingga lebih tepat kalian menyebut diri mahasial. Dan semua makian, kata-kata kotor, dan segala macam bentuk kekerasan yang telah kalian lakukan tak lebih baik daripada kemaksiatan, sehingga lebih baik kalian menyebut diri mahaksiat a.k.a maha maksiat. Atau, kalian boleh ganti nama apapun sesuka kalian, sebab ini kan negara demokrasi. Apapun asal bukan mahasiswa.

Baiklah, kemarahan ini saya hentikan sampai di sini karena keterbatasan tempat. Tapi jangan sedih, hari Kamis nanti saya teruskan lagi marah-marahnya. Dan dengan pilu saya tidak bisa memberi salam berkat seperti yang biasa saya lakukan. Masak murka sambil bawa-bawa Tuhan? Sekian!