Sabtu, 22 Desember 2012

Ibu, Tuhan Memberkatimu…..



Ibu, adalah tempat sampah. Tiap kali suami dan anak-anaknya menyisakan makanan di piring, ia yang menghabiskan, sekalipun makanan itu tidak dibeli dengan uangnya sendiri. Dan jika tubuhnya jadi melembung hingga suaminya berpaling ke perempuan yang lebih langsing, iapun sekali lagi menjadi tempat bagi sampah kata-kata, “Suamimu selingkuh karena kamu gembrot.”

Ibu, adalah satu-satunya jenis manusia yang sanggup meletakkan piring makanan yang tengah dinikmatinya, menceboki anaknya, dan setelah selesai kembali menyantap makanannya seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Ibu, adalah ia yang belum makan dari pagi dan bisa berkata dengan nada sangat wajar, “Makan saja, Ibu sudah kenyang,” pada anak-anaknya di waktu-waktu makanan terbatas.

Ibu, adalah ia yang paling terluput dari perhatian orang-orang di sekelilingnya saat anak-anaknya tumbuh manis, sehat, sopan, dan berprestrasi. Ia, sebaliknya, adalah orang yang pertama kali dihakimi untuk setiap luka, kekurangan atau kenakalan anak-anaknya.

Ibu, adalah ia yang terjaga semalam suntuk sampai selama yang diperlukan saat anaknya tergeletak di rumah sakit, dan obat penawar lelah yang ia dapat adalah ucapan, “Ini semua karena kamu tidak becus jadi ibu.”

Ibu, adalah ia yang tetap berdiri tegak di samping suami penjudi, pemabuk, tidak menafkahi, dan tukang main perempuan. “Ceraikan saja suamimu,” demikian kata mereka yang mengaku peduli padanya. Ia menjawab, “Kasihan anak-anakku,” sambil sedaya upaya menyembunyikan air mata. Lalu mereka yang tak mampu melihat air mata ini menghardik, ”Kamu memang perempuan tolol!”

Makhluk yang disebut ibu pula, adalah ia yang tetap mau mendoakan suami yang meninggalkannya dan anak-anaknya. Biasanya ia punya alasan sederhana, “Doa seorang istri besar kuasanya. Dan kalau suamiku bertobat, pasti anak-anakku bahagia.” Ia menelan semua kepahitan demi anak-anaknya.

Ibu, adalah ia yang menelan semua rasa pahit demi anak-anaknya dan ketika mereka bertanya, “Mama kok sedih? Kenapa?”, dengan wajah mendadak gembira ia berkata, “Mama tidak apa-apa. Kamu tenang-tenang saja.”

Ibu, adalah sejenis mahluk yang isi hati dan jalan pikirannya tak bisa diselami. Biasanya itu karena ia  bersedia membuat dusta apa saja untuk menenangkan hati anak-anaknya. Atau bertahan dalam situasi sesulit apapun demi mereka. Atau menanggung semua derita atas pengkhianatan atas nama ‘kebahagiaan anak-anak’. Itu adalah hal-hal yang membuat seorang ibu tidak jelas alur logikanya.

Ibu, adalah ia yang selalu berdoa untuk anak-anaknya, betapapun mereka mengecewakan hatinya. Ia adalah mahluk yang memberikan separuh nyawa untuk anaknya, menanggung lelah dalam merawat mereka, menerima semua penghakiman untuk setiap kekurangan anaknya, dan ketika anak lelakinya menjadi milik perempuan lain, ia berada dalam posisi rawan untuk dibentak, “Jangan campuri urusan rumah tanggaku, Ma!”.

Ibu, adalah ia yang meletakkan sebelah kakinya ke liang kubur saat mengeluarkan anak-anaknya dari rahimnya. Dan ketika si jabang bayi keluar dengan selamat, semua orang sibuk memuji-muji dan mengagumi si bayi. Terlalu sibuk, sehingga tak seorangpun, termasuk suaminya, terpikir untuk berkata, “Terima kasih sudah menyabung nyawa untuk anakku.” Pula mertuanya, berterima kasih karena telah mempertaruhkan nyawa untuk kelahiran cucu mereka.

Namun ibu, tak peduli bagaimana mereka mengabaikan` bahkan menghakimimu, ada satu Sosok yang terus-menerus mencatat apa yang kau lakukan bagi anak-anakmu. Ia-lah yang duduk di singgasana-Nya, yang menghitung dengan cermat setiap pengorbananmu.

Untuk  setiap orang yang tidak menghargai ibu, apakah ibunya sendiri atau tidak, kiranya Tuhan memperhitungkan balasannya. Untuk setiap orang yang menghargai ibu, baik ibunya sendiri atau bukan, kiranya Tuhan menyediakan upahnya. 

Ibu, Tuhan memberkatimu!



*Tulisan ini secara khusus kudedikasikan bagi pahlawan kehidupan yang terbaru, Reni Anggraeni, yang pada hari Rabu Pon 19 Desember 2012 telah melahirkan Shiraj Bhuana Paksi Estuaji yang begitu sehat dan tampan, bagi Nabiel Handaru Wibisana, anak laki-lakiku. Terima kasih telah menyabung nyawa demi jiwa cucuku, penerus keturunanku. Dan semoga suamimu terus mengingat perjuangan dan keberanianmu pada hari itu, saat ia terpikir untuk menyakitimu. Anak mantuku, Tuhan memberkatimu……


Jumat, 14 Desember 2012

Sesungguhnya, Ia Telah Mati Bersama Bayi-bayi yang Dibunuhnya




Sesungguhnya saya tidak sampai hati menulis artikel mengenai kisah tragis yang terjadi baru-baru ini. Bahkan saya lebih suka tidak mendengar berita ini sama sekali sehingga nurani saya tidak perlu terganggu karenanya. Terlebih ini terjadi di Manado, yang selama ini saya bangga-banggakan di banyak tulisan saya sebagai daerah Utopia yang pasti membuat Karl Marx malu atau setidaknya penasaran. Kisah memilukan ini mengenai seorang ibu yang membunuh dua dari tiga bayi kembarnya. Kronologinya secara singkat adalah setelah menidurkan bayi pertama, ia kesulitan menidurkan dua bayi lainnya yang bersikap rewel. Stres dalam usahanya yang sia-sia, perempuan ini membekap dua bayi tersebut. Yang pertama meninggal dalam waktu singkat. Yang kedua masih menangis dan tersengal-sengal. Kemudian kedua bayi (baik yang telah tewas maupun masih tersengal-sengal) tersebut ia letakkan berjejeran dengan satu yang masih selamat dan tidur lelap. Lalu ia ke depan, menemui kedua anaknya yang lebih besar (10 dan 12 tahun), berkata bahwa ia hendak pergi membeli susu. Kemudian ia berbalik lagi, menemukan bahwa bayi yang tersengal-sengal telah tewas pula. Entah dengan motivasi apa, ia kemudian memasukkan dua bayi yang telah tewas tersebut ke dalam ember yang berisi air. Setelah itu ia pergi.

Berita tersebut saya baca di sebuah media online yang saya ikuti, lengkap dengan foto si ibu tengah diinterogasi oleh polisi sambil menggendong satu-satunya bayi yang masih hidup. Membaca tulisan ini, saudara-saudara, apa yang anda akan katakan? Apakah anda akan berkata, “Jangan biarkan ibu itu menggendong bayinya! Nanti dibunuhnya pula!”?. Atau yang semacam itu? Baiklah, saya lanjutkan lagi. Ibu tersebut bukanlah perempuan yang tidak berpendidikan. Ia memiliki gelar S1 Ekonomi dan anak seorang pendeta. Sampai di sini, apa komentar anda? Apakah, “Sekolah tinggi-tinggi tetap saja tidak punya otak! Dan pendeta macam apa itu membesarkan anaknya jadi seorang pembunuh??!!” atau yang serupa itu  kira-kira? Baiklah, lagi-lagi saya lanjutkan. Suami perempuan itu meninggalkannya karena perempuan lain. Singkatnya, ia mengkhianati istrinya dan mengawini perempuan lain, lalu meninggalkan istrinya bersama 5 anak mereka. Sebagai tambahan: tanpa nafkah.

Membaca lanjutan kisah tersebut baru saja, apakah anda masih akan memberikan komentar serupa? Saudara, saya tidak berkata bahwa saya menghalalkan pembunuhan jika alasannya masuk akal. Tidak ada satu pembunuhanpun yang bisa masuk di akal siapapun (kecuali akal orang tak waras. Hanya saja setahu saya orang tak waras tidak memiliki akal. Kalaupun ada tentulah tak sehat). Apalagi pembunuhan yang dilakukan oleh orangtua –terlebih ibu- si korban. Bayi baru beberapa bulan pula. Saya juga tidak akan menggalang opini massa untuk mendesak pihak aparat agar membebaskan tersangka dari tuntutan hukum, dengan dasar perikemanusiaan. Tidak, karena apapun alasannya tidak ada satupun pembunuhan yang memiliki dasar kemanusiaan. Dan bagaimanapun saya adalah orang yang percaya pada apa yang disebut sebagai supremasi hukum, apapun kata orang tentang hukum di Indonesia.

Tetapi ijinkan saya mengisahkan apa yang saya rasakan setelah melahirkan Kinasih, putri sekaligus anak bungsu saya, sehingga anda bisa sedikit menyelami apa yang dirasakan perempuan pembunuh anak-anaknya tersebut. Ketika itu saya masih mengalami gegar mental dan budaya. Saya pindah ke kultur yang sama sekali baru, terlebih kehamilan saya yang kedua ini berjarak 14 tahun dari yang pertama dan sama sekali bukan kehamilan mudah. Jauh dari sanak keluarga, orang tua, tak punya teman, terlebih berjauhan dari anak sulung yang ketika itu belum ikut pindah, adalah latar belakang tekanan mental yang masih mengikuti saat bayi saya lahir. Ditambah kondisi ekonomi yang sedang terguncang dan masalah dengan suami, keadaan tersebut masih diperparah dengan tidak adanya pembantu, yang memang sulit dicari di Manado sini. Saya benar-benar kesepian, tak ada hiburan, tidur hanya sekitar 4 jam per hari, dan lelah dalam segala aspek. Terlebih Kinasih adalah bayi yang aneh. Jika bayi kecil biasanya tidur belasan jam sehari, ia hanya tidur maksimal 9 jam. Itupun harus digendong. Saya ingat jelas bahwa ada banyak masa di mana saya benar-benar ingin lari atau mungkin bahkan mati. Saya tidak tahu apakah segala faktor penyebab stres tersebut di atas berdiri sendiri atau mungkin ditambah dengan sindroma baby blues. Sejauh yang saya ketahui, baby blues syndrome seringkali muncul begitu saja dan membuat seorang ibu (yang berkelimpahan secara materiil dan spiritual, bahkan bergelar doktor sekalipun) menjadi tidak sehat secara mental dan sanggup melakukan hal-hal buruk apapun. Terlebih ditambah faktor-faktor lain. Saya ingat kondisi mental saya saat itu benar-benar parah dan tidak pernah saya bayangkan bisa saya alami. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan saat itu, yang jelas yang saya lihat saat ini adalah saya masih hidup, segar bugar, menuliskan hal-hal yang menurut banyak pembaca ‘menginsipirasi dan menjadi berkat’ (saya sangat bahagia dan bersyukur untuk ini), dan masih sering terheran-heran kenapa secara mental saya bisa sestabil ini sekarang.

Namun jika boleh jujur, seberat apapun kondisi saya saat itu, hidup masih sedikit tersenyum pada saya. Sesakit apapun saya secara fisik dan mental pada waktu itu, sesungguhnya tak ada apa-apanya dibanding perempuan tersebut. Sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya. Masih ada ibu mertua sehingga saya tak perlu memasak dan tinggal makan saja, dan sepulang kerja suami masih membatu menggendong Kinasih kecil yang luar biasa menjengkelkan itu, walaupun hanya kurang dari dua jam. Dan bagaimanapun, ia masih menafkahi kami. Pula ia tidak bersenang-senang dengan perempuan lain di atas penderitaan istrinya. Namun ibu pembunuh tersebut –saya berdoa untuk kedamaian hatinya- merawat TIGA BAYI SEKALIGUS SENDIRIAN dan dua anak lain, mengurus semua pekerjaan rumah tangga sendiri, tak punya penghasilan, dan suaminya bersenang-senang di ranjang perempuan lain. Ia tentunya ratusan kali lebih menderita daripada saya. Saya berusaha keras membayangkan apa yang dirasakannya dan berusaha lebih keras untuk menjabarkannya pada saudara, namun saya sama sekali tidak bisa. Karena apa yang ditanggungnya memang terlalu berat untuk dibayangkan apalagi dimengerti oleh orang lain. Terlebih orang-orang yang menghakiminya, yang dengan enteng mengatakan ia tak punya otak. Yang tanpa hati mengatakan janganlah ia menggendong bayinya yang tersisa supaya tak pula dibunuhnya.

Saat menuliskan kata demi kata dalam paragraph di atas, mata saya kabur oleh genangan air dan tenggorokan saya tercekat demikian kuatnya sehingga terasa sangat sakit. Kemudian saya memutuskan untuk mengendalikan emosi dan duduk termangu-mangu. Lama, membayangkan jika seandainya suaminya adalah manusia normal, besar kemungkinan perempuan ini akan sama dengan ibu-ibu lain, yang membesarkan dan merawat anak-anak mereka lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa perlu ditambah predikat pembunuh. Saya juga membayangkan jika para bapak yang tinggal satu lorong dengannya mau menyisihkan uang rokok dua ribu saja perhari, mereka bukan hanya akan membuat tubuh sedikit lebih sehat, namun juga membuat perempuan itu sedikit bernapas lega. Atau jika para tetangga mau meluangkan waktu beberapa jam sehari untuk diisi oleh beberapa perempuan demi membantunya merawat anak secara bergiliran setiap hari, keadaan pasti akan sangat lain. Sayangnya, ibu tersebut baru tinggal di lingkungan tersebut selama 6 bulan, yang membuat para tetangga merasa cukup punya alasan untuk menganggapnya ‘misterius’ (sedangkan 6 bulan sama dengan 180 hari, yang mana lebih dari cukup untuk membuat apapun menjadi sama sekali tidak misterius -dengan catatan kalau ada yang sedikit peduli). Mereka bahkan mengaku kaget bahwa di rumah tersebut ADA TIGA BAYI. Sesuatu yang sangat janggal, kecuali jika tiga bayi tersebut semuanya bisu. Di saat yang bersamaan para tetangga mengaku cukup mengenal orangtua perempuan tersebut, dan lebih jauh dengan sangat enteng mengatakan, “Kejadian yang sangat mengherankan, karena orangtuanya adalah gembala (pendeta) di Gorontalo.” Dengan imajinatif pula mereka berkata bahwa kemungkinan perkawinan perempuan tersebut tak direstui karena orangtuanya tak pernah menengok. Semakin seseorang tak peduli, memang biasanya makin mudah pula ia menghakimi.

Masih sambil termangu-mangu, saya membayangkan kalau saja para pemimpin jemaah dan pelayan di gereja tempatnya beribadah mau sedikit menengokkan kepala mereka dari padatnya acara ibadah dan perayaan pra natal pada beratnya beban yang ditanggung perempuan itu, bisa jadi tidak akan ada dua bayi yang tercabut nyawanya. Seperti yang pernah saya muat dalam tulisan saya sebelumnya, ibadah Natal (yang selalu diikuti dengan perayaan dan makan-makan) di Manado dimulai sejak jauh hari. Mungkin para pemimpin dan pelayan di gereja demikian sibuk membuat acara pohon terang yang penuh sukaria, sehingga mereka terlalu lelah untuk memperhatikan seorang umat yang tersaruk-saruk sendiri, dalam jalan kehidupannya yang penuh onak dan duri. Atau mungkin mereka –bersama para jemaah lain- sudah silau dengan benderang pohon natal yang dipasang di gereja dan tiap rumah, sehingga mereka kesulitan melihat penderitaan seorang perempuan dengan mata fisik, terlebih mata batin. Jika mata-mata tersebut tidak terlalu disilaukan oleh gemerlap pesta dan acara belanja, bisa jadi tidak akan ada satu bayi yang masih hidup dan dua kakaknya yang kehilangan sang ibu sementara ia meringkuk di bui.

Dan setelah semuanya itu, masih berbaris kumpulan orang yang menganggap diri suci sehingga berani merebut peran Sang Hakim Agung. Orang-orang yang membaca atau mendengar berita ini, yang kemudian dengan demikian mudah melontarkan komentar segala rupa pada perempuan pembunuh yang sesungguhnya malang tiada terperi itu. Perempuan ini pasti jelmaan iblis, ia sama sekali tidak pantas jadi ibu, salah apa anak-anaknya sampai punya ibu seperti itu, adalah beberapa di antara penghakiman tersebut. Terakhir, hampir semua berkomentar, “Semoga ia dihukum seberat-beratnya!!!”. Namun sesungguhnya, tanpa hukuman fisik apapun, ia telah terhukum oleh penyesalan yang pasti mengikutinya sejak kini hingga nanti. Dan tanpa dikurung oleh terali besi apapun, sesungguhnya ia telah terpenjara oleh beban dosa yang bisa jadi akan mengungkungnya hingga mati. Dan hidup semacam itu bukanlah kehidupan lagi. Maka sesungguhnya, ia pula telah mati pada saat ia membunuh kedua darah dagingnya sendiri. Dan di balik kedua tangan yang ia gunakan untuk mencabut nyawa anak-anaknya, ada suami yang tak punya hati nurani. Di balik bantal yang ia bekapkan pada bayi-bayinya, yang telah membuatnya ikut mati, ada aparat pemerintah tingkat kampung, orang-orang di sekitarnya, dan kaum agama yang tidak peduli. Sesungguhnya, ia sama sekali tidak membunuh kedua bayinya seorang diri.

Selasa, 20 November 2012

Di Sini dan Di sana




Menyelesaikan kisah-kasih Bapak saya dan Pancasila, sebaiknya saya langsung saja. Urusan melaksanakan sila ke lima, Bapak saya biangnya. Beliau adalah pekerja keras dan jujur. Mengenai ini saya dengar dari beberapa teman Bapak yang sering bertandang ke rumah kami, begini, ”Meskipun posisinya lumayan, tapi sampai sekarang Pak-mu itu masih jadi orang paling miskin se-kantor Pertamina.” Waktu saya konfrontir, beliau senyum-senyum dan berkata, “Kalau mau korupsi ya Bapak sudah kaya. Tapi buat apa?” Sambil cengengesan saya bilang, “Ya buat anak-anaknya, dong, Bapak.” Bapak mendengus, “Kaya tapi masuk neraka.” Saya tambah kurang ajar, berkata, “Kan yang korupsi Bapak, jadi yang masuk neraka ya cuma Bapak. Tak masalah.” Lalu beliau menjulek kepala saya sambil berkata, “Putra gemblung! (anak sinting).” Hehehe….

Untuk urusan sila ke lima ini, beliau juga menghabiskan tahun-tahun dengan membantu banyak orang untuk berdikari. Di sini saya akan mulai memasukkan sosok emak saya. Meskipun sejak kecil saya lebih dekat dengan Bapak ketimbang Ibu (plus beliau sudah meninggal 18 tahun lalu), bukan berarti beliau tak mewariskan nilai hidup apa-apa pada saya. Dalam urusan membantu orang lain untuk berdiri sendiri secara ekonomi, Ibu adalah partner Bapak yang sempurna. Bahu-membahu mereka memberikan bantuan modal uang, barang, nasehat, dorongan semangat, dan blablabla pada orang-orang yang membutuhkan di sekeliling kami. Tukang becak-tukang becak langganan pembantu kami di pasar, para tetangga di desa Bapak, teman sepermainan Ibu yang hidupnya kurang beruntung, tetangga di perkampungan belakang kompleks yang hidupnya serba kekurangan, adalah beberapa dari sekian banyak orang yang merasakan bagaimana orang tua saya menerapkan butir ke-5 sila V Pancasila (suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri), walaupun besar kemungkinan mereka tak hapal.

Sebagai perempuan, Ibu juga tak pernah melibatkan dirinya dengan fashion dan segala tetek-bengeknya. Bukannya naik sedan halus dengan jambul tertata serta alis melengkung yang bakal membuat wajahnya nampak senantiasa terkejut, Ibu lebih suka menyetir Hardtop dengan ban radial-nya sendiri, serta berkostum kebangsaan celana pendek dan kaos oblong yang biasanya belel. Dengan gayanya yang koboi, Ibu sangat populer di kampung Bapak. Itu karena Ibu selalu bersikap baik, rendah hati, dan ramah pada semua orang, tak peduli itu penjual daun jati di pasar yang stratanya paling rendah di sana sekalipun. Saya ingat sebuah peristiwa, di mana suatu hari menjelang ulang tahun saya meminta ibu untuk merayakannya, yang mana wajar untuk anak SD, apalagi belum pernah merasakannya. Tanpa banyak bicara, Ibu mengajak saya pergi berdua saja tanpa saudara yang lain. Ia kemudian membawa saya ke sebuah tempat, yang ternyata adalah panti asuhan. Kami tinggal di sana selama beberapa jam, menemui pengurus dan bermain-main serta bergaul dengan anak-anak penghuni panti. Di mobil waktu pulang, Ibu –tanpa nasehat panjang lebar- bertanya, “Masih ingin dibuatkan pesta ulang tahun?”. Saya menjawab, “Minta uang saja, mau Maya belikan keperluan sekolah dan mainan buat mereka.” Ibu tersenyum, mengucak rambut saya sambil berkata, “Anak Ibu pintar,” dan tanpa banyak cing-cong memenuhi permintaan saya. Sampai sekarang saya tak pernah tahu bagaimana rasanya ulang tahun dipestakan, karena saya tak pernah lagi ingin tahu sejak peristiwa itu. Dan di sini kiranya masuk sila ke-5 butir tujuh, yakni tak suka hidup mewah dan boros-borosan.

Untuk urusan altruisme, Ibu saya malah lebih ‘parah’ ketimbang Bapak. Ibu mungkin lebih memilih untuk dipotong lidahnya, ketimbang mengucapkan kalimat ‘Lainnya saja’ sebagai senjata ampuh untuk menolak peminta-minta. Untuk para pengemis, Ibu merasa memberi uang saja tak cukup. Ia juga memberikan makanan yang ditata dengan baik di kardus, dengan nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, lalu dibekali berbagai baju dan barang lain. Saya ingat betul waktu itu saya masih SMP, di mana pada suatu siang nan terik datang seorang pengemis tua yang matanya sebelah buta ke rumah kami. Tak hanya memberi uang, makanan, dan barang seperti biasa, Ibu meminta nenek tua itu untuk masuk. Kemudian Ibu menyilakan simbah pengemis untuk mandi, menyiapkan baju bekas yang pantas, dan sesudahnya membuatkan teh untuk simbah tersebut dengan tangannya sendiri (tidak suruhan pembantu). Setelah menemani simbah tersebut makan dan mengobrol, Ibu menyilakan simbah untuk tidur di kamar belakang. Dan ketika simbah pengemis bangun hendak ngider lagi, Ibu membekalinya dengan makanan yang disiapkannya sendiri, pakaian-pakaian bekas pantas, dan sejumlah uang yang kata Ibu, “Cukuplah kalau Simbah mau pulang kampung dan jualan pecel atau bubur sumsum.” Saya ingat ketika Ibu tersenyum pada saya saat melepas nenek peminta-minta tersebut seraya berkata, “Mbah Kakungmu kalau bisa melihat pasti bangga sekali pada Ibu.” Demikianlah saya tahu bahwa sifat Ibu yang menjunjung harkat manusia lain dan gemar memberi pertolongan yang terbaik yang bisa ia lakukan, adalah sesuatu yang ia dapatkan dari orangtuanya. Ah, mengapa tiba-tiba saya sangat merindukan ibu saya?

Ibu saya juga seorang premanwati nan tak sungkan melabrak orang yang dianggapnya merugikan orang lain. Ingat satu posting yang menceritakan adegan saya berantem fisik dengan teman, gara-gara ia menghina pekerjaan orang tua teman yang lain? Saya terancam diskors dan Ibu mencak-mencak di sekolah, memberi khotbah sekeras guntur pada para guru serta kepala sekolah sambil bawa-bawa ‘menegakkan keadilan, membela mereka yang lemah, kemanusiaan’, dan jargon-jargon heroik lainnya. Lalu Ibu mengakhiri kehebohan itu dengan berseru, “Sekolah Kristen macam apa ini, yang hendak menskors murid yang berusaha membela yang lemah???!!!” sambil menggebrak meja. Hihihi… Walaupun sempat malu dengan kegemparan tersebut, saya akhirnya belajar bahwa  selama saya membela kebenaran, maka tak ada yang perlu saya takutkan. Dan satu lagi pelajaran, ketika di rumah Ibu berkata, ”Jadi, Ndhuk, kalau kamu membela kebenaran, jangan takut pada apapun, karena PASTI TUHAN SEDIAKAN PASUKAN UNTUK MEMBELAMU!!!!!!”. Dan memang sampai di sini suara Ibu menggelegar, jadi tulisannya pakai huruf besar dan saya tambahi tanda pentung banyak sekali :).

Si premanwati yang sekarang sudah tenang di ‘sana’ itu bagi saya adalah Pancasila yang hidup. Ia yang cantik jelita (saya tampak agak-agak kayak anak gelandangan kalau mengambil posisi di dekatnya :) ), dari keluarga ningrat dan kaya raya, ibunya berdarah Belanda kelas atas pula (bagi sebagian orang ini merupakan hal yang sangat hebat), menikah dengan Bapak yang berasal dari desa terpencil dan secara sosial bisa dibilang sama sekali tidak sederajat. Tapi bibit bagi Ibu saya di sini bukanlah kelas sosial orangtua Bapak saya, melainkan kejujuran dan kerja keras yang telah mereka contohkan pada Bapak saya. Bebet bukanlah banyaknya harta yang berhasil ditumpuk Bapak, melainkan kebaikan dan tindak-tindak kemanusiaan yang Bapak saya lakukan selama itu. Bobot bukanlah tubuh yang gagah perkasa, melainkan karakter Bapak saya yang teguh sekaligus teduh, dan berbagai sifat baik lainnya. Jadi, dalam urusan cintapun Ibu melaksanakan berbagai butir dari sila ke dua.

Dan pernahkah anda menemukan seorang perempuan yang dalam hal keyakinan begitu kesepian seperti Ibu saya? Suaminya Muslim, dan tak seorangpun dari tujuh anaknya memilih agama Katholik seperti yang diimaninya. Tetapi karena Ibu tahu benar sila pertama berikut segala butirnya, maka ia sama sekali tak pernah meributkan hal itu. Dengan hati selembut kapas dan kemampuan toleransi begitu besar ini, tak heran saat beliau terbaring karena kanker, para pemimpin dari berbagai agama datang secara khusus mendoakannya dengan keyakinan mereka masing-masing. Saya tak tahu dari mana saja datangnya orang-orang ini dan saya tidak merasa perlu tahu. Catatan hidup Ibu sudah menjawab semuanya. Dan saat beliau wafat, para pelayat terpaksa harus parkir mobil jauh dari wilayah parkir rumah sakit saking banyaknya. Begitu melimpah ruah, sampai-sampai orang-orang mengira bahwa yang meninggal adalah pejabat atau orang terkenal lainnya. Padahal beberapa tahun menjelang akhir hidupnya beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan di antara tak terhitung mobil tersebut, terselip juga truk-truk yang mengangkut orang-orang desa entah siapa, yang jelas bukan kerabat atau tetangga Bapak di kampung sana. Mereka rela berdiri berjejal-jejal di bak belakang truk terbuka, tak tahu dari mana datangnya, tak tahu dari mana dengar kabar kematian Ibu saya, mengingat tahun 1994 belum ada program telepon genggam masuk desa. Dan kiranya saya tidak perlu terheran-heran. Kebaikan serta nilai-nilai kemanusiaan Ibu saya selama hidup telah menjawab semua pertanyaan dengan sendirinya.

Ah, sekali lagi mata saya membasah merindukan Ibu, padahal beliau telah pergi begitu lama. Ibu saya pergi tanpa meninggalkan warisan yang berarti. Andai beliau mewariskan banyak harta benda sekalipun, bisa jadi sekarang sudah habis saya hambur-hamburkan. Tapi Ibu, dengan segala kekurangannya sebagai manusia, telah meninggalkan warisan nilai-nilai hidup dan kemanusiaan yang tak akan bisa ditukar oleh gunung emas tertinggi di manapun. Ibu meninggalkan warisan yang begitu besar bagi saya sebagai orang Indonesia, bahwa Pancasila sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dan bahwa mengamalkan hal-hal baik dalam Pancasila akan membuat kita berguna bagi banyak orang, serta membuat nama kita dikenang selamanya. Sebab harimau mati meninggalkan belang, sedangkan manusia mati meninggalkan nama. Ibu saya mati meninggalkan nama, dan di balik nama itu ada jejak-jejak kebaikan untuk dikenang dan ditiru oleh semua yang pernah menerima atau setidaknya melihatnya. Di sini, di sana, dan di mana-mana. Saya pula yakin, ketika Bapak saya meninggalkan dunia suatu saat kelak, beliau akan mewariskan hal-hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Ibu. Semoga besok ketika mati, itu pula yang akan saya wariskan pada anak-anak saya: warisan kebaikan Indonesia yang digali dari landasan hidup kita sebagai manusia Indonesia, Pancasila. Entah mereka tetap tinggal di sini atau merantau di tanah seberang nun jauh di sana. Apakah anda, sebagai orang tua atau calon orang tua anak Indonesia, menginginkannya juga? Tuhan memberkati bibit Pancasila yang kita semaikan pada anak-anak Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia!