Menyelesaikan kisah-kasih Bapak
saya dan Pancasila, sebaiknya saya langsung saja. Urusan melaksanakan sila ke
lima, Bapak saya biangnya. Beliau adalah pekerja keras dan jujur. Mengenai ini saya dengar
dari beberapa teman Bapak yang sering bertandang ke rumah kami, begini,
”Meskipun posisinya lumayan, tapi sampai sekarang Pak-mu itu masih jadi
orang paling miskin se-kantor Pertamina.” Waktu saya konfrontir, beliau senyum-senyum
dan berkata, “Kalau mau korupsi ya Bapak sudah kaya. Tapi buat apa?” Sambil
cengengesan saya bilang, “Ya buat anak-anaknya, dong, Bapak.” Bapak mendengus,
“Kaya tapi masuk neraka.” Saya tambah kurang ajar, berkata, “Kan yang korupsi
Bapak, jadi yang masuk neraka ya cuma Bapak. Tak masalah.” Lalu beliau menjulek
kepala saya sambil berkata, “Putra gemblung! (anak sinting).” Hehehe….
Untuk urusan sila ke lima ini, beliau
juga menghabiskan tahun-tahun dengan membantu banyak orang untuk berdikari. Di sini saya akan mulai memasukkan sosok emak saya. Meskipun sejak
kecil saya lebih dekat dengan Bapak ketimbang Ibu (plus beliau sudah meninggal
18 tahun lalu), bukan berarti beliau tak mewariskan nilai hidup apa-apa pada
saya. Dalam urusan membantu orang lain untuk berdiri sendiri secara ekonomi,
Ibu adalah partner Bapak yang sempurna. Bahu-membahu mereka memberikan bantuan
modal uang, barang, nasehat, dorongan semangat, dan blablabla pada orang-orang
yang membutuhkan di sekeliling kami. Tukang becak-tukang becak langganan
pembantu kami di pasar, para tetangga di desa Bapak, teman sepermainan Ibu yang hidupnya kurang beruntung, tetangga di perkampungan belakang kompleks yang
hidupnya serba kekurangan, adalah beberapa dari sekian banyak orang yang
merasakan bagaimana orang tua saya menerapkan butir ke-5 sila V Pancasila (suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri), walaupun
besar kemungkinan mereka tak hapal.
Sebagai perempuan, Ibu juga tak
pernah melibatkan dirinya dengan fashion dan segala tetek-bengeknya. Bukannya
naik sedan halus dengan jambul tertata
serta alis melengkung yang bakal membuat wajahnya nampak senantiasa terkejut,
Ibu lebih suka menyetir Hardtop dengan ban radial-nya sendiri, serta berkostum kebangsaan
celana pendek dan kaos oblong yang biasanya belel. Dengan gayanya yang koboi,
Ibu sangat populer di kampung Bapak. Itu karena Ibu selalu bersikap baik, rendah
hati, dan ramah pada semua orang, tak peduli itu penjual daun jati di pasar
yang stratanya paling rendah di sana sekalipun. Saya ingat sebuah peristiwa, di
mana suatu hari menjelang ulang tahun saya meminta ibu untuk merayakannya, yang
mana wajar untuk anak SD, apalagi belum pernah merasakannya. Tanpa banyak
bicara, Ibu mengajak saya pergi berdua saja tanpa saudara yang lain. Ia
kemudian membawa saya ke sebuah tempat, yang ternyata adalah panti asuhan. Kami
tinggal di sana selama beberapa jam, menemui pengurus dan bermain-main serta
bergaul dengan anak-anak penghuni panti. Di mobil waktu pulang, Ibu –tanpa
nasehat panjang lebar- bertanya, “Masih ingin dibuatkan pesta ulang tahun?”.
Saya menjawab, “Minta uang saja, mau Maya belikan keperluan sekolah dan mainan
buat mereka.” Ibu tersenyum, mengucak rambut saya sambil berkata, “Anak Ibu
pintar,” dan tanpa banyak cing-cong memenuhi permintaan saya. Sampai sekarang
saya tak pernah tahu bagaimana rasanya ulang tahun dipestakan, karena saya tak
pernah lagi ingin tahu sejak peristiwa itu. Dan di sini kiranya masuk sila ke-5
butir tujuh, yakni tak suka hidup mewah dan boros-borosan.
Untuk urusan altruisme, Ibu saya
malah lebih ‘parah’ ketimbang Bapak. Ibu mungkin lebih memilih untuk dipotong
lidahnya, ketimbang mengucapkan kalimat ‘Lainnya saja’ sebagai senjata ampuh
untuk menolak peminta-minta. Untuk para pengemis, Ibu merasa memberi uang saja
tak cukup. Ia juga memberikan makanan yang ditata dengan baik di kardus, dengan
nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, lalu dibekali berbagai baju dan barang lain.
Saya ingat betul waktu itu saya masih SMP, di mana pada suatu siang nan terik
datang seorang pengemis tua yang matanya sebelah buta ke rumah kami. Tak hanya
memberi uang, makanan, dan barang seperti biasa, Ibu meminta nenek tua itu
untuk masuk. Kemudian Ibu menyilakan simbah pengemis untuk mandi, menyiapkan baju bekas
yang pantas, dan sesudahnya membuatkan teh untuk simbah tersebut dengan
tangannya sendiri (tidak suruhan pembantu). Setelah menemani simbah tersebut
makan dan mengobrol, Ibu menyilakan simbah untuk tidur di kamar belakang. Dan
ketika simbah pengemis bangun hendak ngider lagi, Ibu membekalinya dengan makanan yang
disiapkannya sendiri, pakaian-pakaian bekas pantas, dan sejumlah uang yang kata
Ibu, “Cukuplah kalau Simbah mau pulang kampung dan jualan pecel atau bubur
sumsum.” Saya ingat ketika Ibu tersenyum pada saya saat melepas nenek
peminta-minta tersebut seraya berkata, “Mbah Kakungmu kalau bisa melihat pasti
bangga sekali pada Ibu.” Demikianlah saya tahu bahwa sifat Ibu yang menjunjung
harkat manusia lain dan gemar memberi pertolongan yang terbaik yang bisa ia
lakukan, adalah sesuatu yang ia dapatkan dari orangtuanya. Ah, mengapa
tiba-tiba saya sangat merindukan ibu saya?
Ibu saya juga seorang premanwati nan
tak sungkan melabrak orang yang dianggapnya merugikan orang lain. Ingat satu
posting yang menceritakan adegan saya berantem fisik dengan teman, gara-gara ia
menghina pekerjaan orang tua teman yang lain? Saya terancam diskors dan Ibu mencak-mencak di sekolah, memberi khotbah sekeras guntur pada para guru
serta kepala sekolah sambil bawa-bawa ‘menegakkan keadilan, membela mereka yang
lemah, kemanusiaan’, dan jargon-jargon heroik lainnya. Lalu Ibu mengakhiri
kehebohan itu dengan berseru, “Sekolah Kristen macam apa ini, yang hendak
menskors murid yang berusaha membela yang lemah???!!!” sambil menggebrak meja.
Hihihi… Walaupun sempat malu dengan kegemparan tersebut, saya akhirnya belajar
bahwa selama saya membela kebenaran,
maka tak ada yang perlu saya takutkan. Dan satu lagi pelajaran, ketika di rumah
Ibu berkata, ”Jadi, Ndhuk, kalau kamu membela kebenaran, jangan takut pada
apapun, karena PASTI TUHAN SEDIAKAN PASUKAN UNTUK MEMBELAMU!!!!!!”. Dan memang
sampai di sini suara Ibu menggelegar, jadi tulisannya pakai huruf besar dan
saya tambahi tanda pentung banyak sekali :).
Si premanwati yang sekarang sudah
tenang di ‘sana’ itu bagi saya adalah Pancasila yang hidup. Ia yang cantik
jelita (saya tampak agak-agak kayak anak gelandangan kalau mengambil posisi di
dekatnya :) ),
dari keluarga ningrat dan kaya raya, ibunya berdarah Belanda kelas atas pula (bagi
sebagian orang ini merupakan hal yang sangat hebat), menikah dengan Bapak yang berasal dari desa terpencil dan secara sosial bisa dibilang sama sekali
tidak sederajat. Tapi bibit bagi Ibu saya di sini bukanlah kelas sosial
orangtua Bapak saya, melainkan kejujuran dan kerja keras yang telah mereka
contohkan pada Bapak saya. Bebet bukanlah banyaknya harta yang berhasil
ditumpuk Bapak, melainkan kebaikan dan tindak-tindak kemanusiaan yang Bapak
saya lakukan selama itu. Bobot bukanlah tubuh yang gagah perkasa, melainkan
karakter Bapak saya yang teguh sekaligus teduh, dan berbagai sifat baik lainnya.
Jadi, dalam urusan cintapun Ibu melaksanakan berbagai butir dari sila ke dua.
Dan pernahkah anda menemukan
seorang perempuan yang dalam hal keyakinan begitu kesepian seperti Ibu saya?
Suaminya Muslim, dan tak seorangpun dari tujuh anaknya memilih agama Katholik
seperti yang diimaninya. Tetapi karena Ibu tahu benar sila pertama berikut
segala butirnya, maka ia sama sekali tak pernah meributkan hal itu. Dengan hati
selembut kapas dan kemampuan toleransi begitu besar ini, tak heran saat beliau
terbaring karena kanker, para pemimpin dari berbagai agama datang secara khusus
mendoakannya dengan keyakinan mereka masing-masing. Saya tak tahu dari mana
saja datangnya orang-orang ini dan saya tidak merasa perlu tahu. Catatan hidup Ibu
sudah menjawab semuanya. Dan saat beliau wafat, para pelayat terpaksa harus
parkir mobil jauh dari wilayah parkir rumah sakit saking banyaknya. Begitu
melimpah ruah, sampai-sampai orang-orang mengira bahwa yang meninggal adalah
pejabat atau orang terkenal lainnya. Padahal beberapa tahun menjelang akhir
hidupnya beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan di antara tak terhitung mobil
tersebut, terselip juga truk-truk yang mengangkut orang-orang desa entah siapa,
yang jelas bukan kerabat atau tetangga Bapak di kampung sana. Mereka rela
berdiri berjejal-jejal di bak belakang truk terbuka, tak tahu dari mana
datangnya, tak tahu dari mana dengar kabar kematian Ibu saya, mengingat tahun
1994 belum ada program telepon genggam masuk desa. Dan kiranya saya tidak perlu
terheran-heran. Kebaikan serta nilai-nilai kemanusiaan Ibu saya selama hidup
telah menjawab semua pertanyaan dengan sendirinya.
Ah, sekali lagi mata saya
membasah merindukan Ibu, padahal beliau telah pergi begitu lama. Ibu saya pergi
tanpa meninggalkan warisan yang berarti. Andai beliau mewariskan
banyak harta benda sekalipun, bisa jadi sekarang sudah habis saya hambur-hamburkan. Tapi Ibu,
dengan segala kekurangannya sebagai manusia, telah meninggalkan warisan
nilai-nilai hidup dan kemanusiaan yang tak akan bisa ditukar oleh gunung emas
tertinggi di manapun. Ibu meninggalkan warisan yang begitu besar bagi saya
sebagai orang Indonesia, bahwa Pancasila
sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dan bahwa mengamalkan
hal-hal baik dalam Pancasila akan membuat kita berguna bagi banyak orang, serta
membuat nama kita dikenang selamanya. Sebab harimau mati meninggalkan belang, sedangkan
manusia mati meninggalkan nama. Ibu saya mati meninggalkan nama, dan di balik
nama itu ada jejak-jejak kebaikan untuk dikenang dan ditiru oleh semua yang
pernah menerima atau setidaknya melihatnya. Di sini, di sana, dan di mana-mana.
Saya pula yakin, ketika Bapak saya meninggalkan dunia suatu saat kelak, beliau
akan mewariskan hal-hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Ibu. Semoga
besok ketika mati, itu pula yang akan saya wariskan pada anak-anak saya:
warisan kebaikan Indonesia yang digali dari landasan hidup kita sebagai manusia
Indonesia, Pancasila. Entah mereka tetap tinggal di sini atau merantau di tanah
seberang nun jauh di sana. Apakah anda, sebagai orang tua atau calon orang tua
anak Indonesia, menginginkannya juga? Tuhan memberkati bibit Pancasila yang
kita semaikan pada anak-anak Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia!