Senin, 21 November 2011

Virus dan Antinya


Tersebutlah seorang pengguna komputer dengan pengetahuan terbatas. Dari waktu ke waktu satu-satunya program yang bisa digunakannya hanyalah MS Word, yang ia pakai semata-mata karena tuntutan pekerjaan. Dan malangnya, setelah bertahun-tahun toh program tersebut tidak ia kuasai jua. Jika ada sebuah tool atau ikon yang tidak ia ketahui, ia ngomel. Jika ada masalah, ia berkeluh-kesah. Jika salah satu data tiba-tiba lenyap, ia tuduh komputernya lemot. Padahal setelah ditelusuri, tentu saja oleh orang yang lebih pandai, terkuak bahwa ia menyimpan file tersebut pada tempat yang tidak semestinya. Begitu bodohnya ia sampai mencari file yang tersesat saja tidak mampu. Dan berhubung tak terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk mengembangkan kemampuan, maka satu-satunya hal yang bisa ia lakukan dalam menghadapai masalah apapun adalah menggerutu.

Maka jangan tanya kalau datanya terserang virus. Ia akan meradang habis-habisan. Lalu mengumpat ke kiri dan ke kanan. Korban kemarahannya yang pertama tentu saja adalah komputer itu sendiri.  “Dasar komputer eror! Jadul!”. Dan seterusnya. Sasaran kedua adalah virus tersebut: “Virus tengik! Nyebelin! Setan!” . Dan sebagainya. Yang terakhir, tentu saja adalah pencipta virus itu sendiri. Umpatan-umpatannya antara lain begini: “Sinting! Apa sih pahalanya bikin susah orang?!” atau “Kalau ada neraka khusus para penemu, pasti dia dapat keraknya.” Serta: “Pasti orang tuanya terlalu sibuk mengurus diri sendiri sehingga lupa memberinya nasihat ‘Berusahalah dengan cara halal’.” Dan yang paling tidak nyambung –tapi justru dianggapnya paling bermakna adalah: “Syukur kepada Tuhan bukan aku yang mengandung dan membesarkannya.”

Dan berhubung ia cukup bahagia hidup terselubung oleh tembok kedegilan, maka tentu saja ia tak punya gambaran bahwa di luar sana ada insan-insan yang mencurahkan segala daya upaya yang mereka punya untuk melawan gempuran virus dengan menciptakan antinya. Insan-insan luar biasa tersebut bukan hanya diwakili oleh mereka yang memiliki latar IT, ijazah ber-IP tinggi, dan lain-lain. Yang paling mencengangkan adalah anti virus berjudul ARTAV, yang bisa menggempur berbagai macam virus, bahkan kabarnya yang tak tertangkal oleh anti virus lain. ARTAV, nama anti virus yang kesannya bule. Padahal penciptanya Melayu asli, anak Indonesia, bau kencur pula, yakni kakak adik Arrival dan Taufik yang baru duduk di bangku SMP dan SMA.

Media massa dengan bangga dan menggebu-gebu memberitakan semangat dan usaha pantang menyerah anak-anak dari keluarga sederhana tersebut. Saya dengan sama sekali tidak bangga dan penuh rasa malu menyatakan bahwa pengguna komputer terbelakang sebagaimana tersebut di awal tulisan ini adalah…..saya sendiri.

Saya dan duo Taufik-Arrival adalah gambaran sempurna dari darkage dan aufklarung.
Saya adalah satu dari noktah pekat yang membuat blok gelap bagi bangsa ini, sedangkan mereka, sebaliknya, adalah satu lilin yang membuat bangsa ini tidak kehilangan sinarnya. Tak terhitung virus yang berkeliaran dalam dunia maya. Tak terhitung pula masalah yang mengepung kehidupan kita sebagai bangsa. Sama halnya Arival—Taufik yang memutar otak untuk menangkal virus, sebagian dari kita juga memutar otak dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi berbagai krisis yang dialami bangsa kita, dengan cara luar biasa atau sederhana. Tapi faktanya, lebih banyak orang yang memilih untuk bersikap seperti saya: memaki, menggerutu, dan merutuk ketika menghadapi virus. Dan malangnya, dalam ranah berbangsa, orang-orang yang masih hidup dalam payung kegelapan seperti sayalah yang memegang peran dan dominan.

Tidak usah jauh-jauh. Pernah kumpul-kumpul dengan teman, tetangga, keluarga, atau siapapun, lalu menghujat pemerintah, memaki-maki aparat penegak hukum, dan semua pihak kecuali diri kita sendiri atas kenaikan harga BBM, beras, keadaan yang makin tidak aman, kekeringan, banjir, kemacetan, kerusuhan, bom bunuh diri, listrik byar-pet, dan sebagainya? Setelah puas menghujat, melontarkan kritik pedas dan analisa cerdas, dan pulang ke rumah masing-masing, apa yang biasanya mereka atau kita –para penghujat ini- lakukan? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Umpatan tetaplah umpatan. Hujatan tetaplah hujatan. Ketika kumpul-kumpul lagi, mereka –atau kita- keluarkan lagi seribu satu keluhan dan rutukan. Pulang lagi, tidak berbuat apa-apa lagi, demikian seterusnya. Persis lingkaran setan. Atau tepatnya: lingkaran kebodohan.

Persis seperti apa yang saya lakukan. Ketika saya tidak mampu mengatasi masalah dengan komputer saya, sekecil apapun, maka satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanya mengaktifkan lidah dan mulut secara lebay. Semata-mata pelampiasan dari ketidak mampuan saya untuk melakukan sesuatu demi mengurai kesulitan yang tengah saya hadapi. Persis seperti kebanyakan dari kita dalam ranah berbangsa. Tapi menjadi orang yang besar mulut dan tidak berbuat apa-apa pada saat yang sama ternyata sama sekali tidak membuat bangga. Semoga anda tidak hanya bisa besar mulut seperti yang saya lakukan dalam menghadapi virus dan segala tetek bengeknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar