Senin, 28 November 2011

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi.

Orang bijak berkata: apa yang kita pikirkan itulah yang kita dapatkan. Saya –sebagai orang yang sinis, paling tidak waktu itu- tentu saja tidak bisa menemukan kaitannya. Itu adalah ketidak logisan yang besar. Namun seiring dengan berjalannya masa, baru saya sadar bahwa logika sayalah yang kurang panjang. Karena aksiomanya ternyata tidak begitu. Contohnya, saya kadang-kadang merasa benci atau kesal pada seseorang, dengan atau tanpa alasan. Seringnya kebencian itu terselubung. Tapi namanya bangkai ya pasti tercium juga. Semanis-manisnya saya memasang senyum, lama-kelamaan ketahuan palsu juga. Jadi orang yang tidak saya sukai itu menjauh, dan kadang-kadang malah berbalik menikam saya, baik dari depan maupun belakang.
Singkatnya begini: hanya menyimpan rasa tidak suka dan memasang senyum palsu, tidak lebih tidak kurang, saya menuai balasan sekian kali lipat. Lebih sederhana lagi: kalau pikiran saya jelek, sudah pasti saya akan mendapat yang jelek-jelek juga.
Jadi saya putuskan untuk mencoba teori ‘berpikirlah yang baik maka kau akan mendapat yang baik juga.’ Paling tidak untuk membuktikan mana yang lebih pandai, saya atau orang bijak yang menciptakan teori tersebut.
Kesempatan pertama saya dapat ketika berurusan dengan aparat kepolisian. Waktu itu sekitar tahun 1994, ketika saya masih kuliah di Salatiga. Dari dulu sampai sekarang POLRI adalah institusi yang paling dibenci dan mengantongi rekor terbanyak dalam hal menerima cemoohan massa. Cuma bedanya, waktu itu polisi masih belum mau repot-repot memperbaiki citra sebagai aparat yang dekat dengan masyarakat, cinta anak-anak, dan sebagainya. Jadi wajar kalau saya ketakutan setengah mati tanpa alasan ketika harus mengurus laporan kehilangan buku rekening Bank.
Bayangan saya, berdasarkan info yang beredar, serba gelap: polisi suka membentak, memandang remeh dan mempersulit anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, gemar menjotos tanpa alasan dan kalaupun ya pastilah alasannya dibuat-buat, mata duitan, dan seterusnya. Belum lagi sosok-sosok aparat yang kekar, bermata tajam, urat bibir kencang tertutup kumis, dan sebagainya. Ditambah tekanan mental dari teman-teman, seperti ini: “Sudahlah, ikhlaskan saja buku rekeningmu. Datang ke kantor polisi justru bikin benang jadi makin kusut.”
Saya ngeyel. “Enak aja! Trus duitku mau dikemanain?” Jaman dulu memang belum ada ATM, jadi posisi saya terjepit.
Salah-salah biaya laporannya lebih besar daripada saldomu,” ketus teman yang lain, seakan tahu bahwa saldo saya memang seiprit.
Dan berbagai komentar sinis lain, menurut mereka yang berani bersumpah bahwa itu semua adalah ‘based on true stories.’ Terakhir ada yang bilang begini: “Salah-salah malah kamu digodain. Polisi biasa begitu, lho. Ujung-ujungnya pelecehan seksual. Kamu kan cakep.”
Berhubung kerangkanya adalah berpikir positif, maka tentu saja saya memilih mengabaikan frasa ‘pelecehan seksual’ dan fokus pada ‘kamu kan cakep’. Setidaknya itu membuat saya bahagia dan melangkahkan kaki ke kantor polisi dengan perasaan berbunga-bunga. Tidak lupa afirmasi positif yang saya ucapkan berulang-ulang: Polisi juga manusia. Ada yang manis ada ada yang tengik. Yang akan kutemui ini adalah yang manis. Dan lain-lain, berulang-ulang. Rasa percaya diripun jadi melambung tinggi. Namun ketika melihat petugas berkulit gelap, tampang sangar, dan kumis melintang, tak urung saya menciut.
Susah-payah saya menegarkan diri. “Jangan menilai buku dari sampulnya. Apalah arti segumpal kumis?”, gumam saya berulang-ulang.
Hasilnya? Laporan kehilangan bukan hanya sukses. Namun aparat juga mengakhiri tugasnya dengan dengan serangkaian nasihat: Jangan ceroboh. Keteledoran merugikan diri sendiri. Dan lain-lain.
Biaya? Tidak sepeserpun. Pungli? Fitnah belaka. Pelecehan seksual? Apalagi! Meskipun tak urung saya bertanya dalam hati, jangan-jangan itu karena sesungguhnya saya memang enggak cakep?
Saat saya menceritakan pengalaman manis tersebut, para dholimin mencibir. “Nggak mungkin ada polisi enggak mata duitan,” adalah yang paling banyak terlontar. Juara duanya adalah: “Polisi, dari yang paling keroco, sampai yang paling di atas, hanyalah penjahat yang berseragam.” Juara favoritnya adalah komentar miring ini: “Ah, pengalaman indahmu ini cuma kebetulan saja.”
Oke, mungkin memang kebetulan saja, seperti kadang-kadang ada kambing berkaki tiga. Tapi seberapa seringkah kesempatan kita melihat kambing berkaki tiga, kecuali jika kambing-kambing tersebut sengaja diamputasi? Nyatanya, seiring dengan bertambah panjangnya urusan saya dengan polisi, saya tak pernah membuktikan satupun dari berbagai stigma buruk yang dilontarkan masyarakat terhadap polisi. Mungkin pada titik ini anda bertanya-tanya, “Seberapa seringkah seseorang berurusan dengan polisi, kecuali dia adalah seorang residivis?”
Well, sejauh menyangkut kecerobohan, sayalah juaranya. Kehilangan ATM, KTP, SIM, buku rekening, sebutkan apa saja. Dan SEMUANYA minimal dua kali. Perkara paling ‘bermutu’ hanyalah ketika anak sulung saya harus menginap di hotel prodeo selama sekitar 2 minggu karena masalah tawuran. Dan dari semuanya, tak satupun saya mendapat perlakuan buruk. Kecuali anak saya yang mendapat ‘sambutan hangat’ dari para petugas pada malam pertama dia ‘check in’. Kakak saya yang tertua tidak terima. Ini pelanggaran HAM dan harus dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak!!!” demikian geramnya berapi-api. Saya menjawab enteng, “Ah, malah bagus, aku nggak perlu capek-capek menghajarnya dengan tanganku sendiri. Emang enak ngurus anak tawuran?”
Dan setelah dihajar sampai kapok, anak saya kemudian diperlakukan oleh para petugas seperti anak sendiri. Diajak mengobrol, bercanda, dinasehati, dan sebagainya. Bahkan seringkali dibelikan nasi rendang, cemilan, soft drink, dan sebagainya. Bukannya saya menyuap, justru mereka yang mengingat anak saya saat makan di warung. Saya sampai membatin, jangan-jangan ini bukan ruang tahanan?
Beberapa polisi dengan siapa saya berurusan mengajak ngobrol soal politik dan kehidupan. Beberapa lagi soal musik dan film. Yang paling menarik yang sampai sekarang masih saya ingat adalah soal Bob Marley dan Rhoma Irama. Dan tak satupun dari mereka mau menerima tanda ‘terima kasih’. 2 di antara mereka malah tersinggung. Dan yang patut dicatat, kebanyakan dari mereka menawari saya kopi dan gorengan yang saya jumpai hampir di tiap meja petugas. Saya belum terlalu bodoh untuk menolaknya, sebab itu adalah kombinasi yang tepat untuk Djisamsoe yang selalu saya kantongi sejak 1998-2008. Jadilah transaksi pertukaran Djisamsoe-kopi-gorengan, hampir tiap kali saya berurusan dengan mereka.
Saya tak tahu dengan pengalaman-pengalaman anda. Dan kemungkinan besar tulisan saya ini akan memancing kontroversi. Tapi saya hanya berpegang pada pengalaman-pengalaman positif saya: berangkat dengan pikiran-pikiran positif, berhadapan dengan sikap-sikap positif para petugas, dan pulang ke rumah dengan kepercayaan positif terhadap Kepolisian Republik Indonesia.
Adakah kemungkinan oknum polisi memperlakukan kita dengan buruk karena belum-belum kita sudah percaya dengan cerita-cerita buruk dari mulut orang lain dan berpikir buruk tentang aparat polisi sebagai akibatnya? Saya tidak tahu pasti. Sama tidak pastinya dengan apakah saya yang menjadikan petugas-petugas polisi tersebut insan positif karena pikiran positif saya terhadap mereka.
Tapi karena saya telah berhasil mendapatkan hasil empirik secara konstan, maka saya akan melakukannya sepanjang hayat. Anda mau mencobanya? (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).








Kamis, 24 November 2011

Salah Empat atau Betul Enam Belas?


              Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi pelajar manapun adalah, setelah bekerja keras mempelajari setumpuk materi bakal ulangan, ternyata yang keluar cuma 20 soal. Lebih menyakitkan lagi jika ulangan tersebut adalah materi gabungan beberapa bab. Seorang teman SMA –saya ingat namanya Uut- sering menggoda teman-temannya yang serius belajar di depan kelas menjelang ulangan dengan kalimat begini: “Paling-paling nanti yang keluar cuma 20 soal. 10 soal esai dan 10 soal pilihan ganda. Jadi pelajari saja 20 hal, daripada yang lainnya mubazir.”
                Garing. Tapi efisien, asal kita tahu soal-soal yang bakal  keluar.
                Dan puncak dari rasa sakit itu adalah: setelah mempelajari 3 bab dan ternyata yang keluar cuma 20 soal, ternyata salah 4. Atau sekian. Terakhir, sebagai perasan air jeruk untuk lebih menajamkan luka, adalah komentar sengit orang tua:
                “SALAH EMPAT?? KOK BISA???!!!
                Bagi saya, sebagai pelajar yang tidak bisa membanggakan diri dalam hal ketekunan, reaksi semacam itu adalah sembilu yang mengoyak-moyak integritas. Terlebih jika saya telah menggarap ulangan tersebut dengan kejujuran absolut, sesuatu yang tidak begitu sering saya lakukan jika berkaitan dengan ulangan.
Menghadapi reaksi tidak simpatik, “Salah empat?? Kok bisa??!!” tersebut, biasanya saya membalas begini: “Sudah bagus. Masih ada 16 sisanya yang betul.”
                Tangkisan yang salah, karena biasanya ini justru membuat emak saya semakin meletup-letup. Dan ‘salah 4’ sudah pasti jadi head-line dalam acara obrolan emak saya baik dengan tetangga maupun handai taulannya, seringkali sampai berhari-hari. Tinggallah saya mengumpat: “Tau begini mendingan nyontek.” Tentu saja dalam hati.
                Herannya, bertahun-tahun kemudian, ketika anak saya pulang membawa kertas ulangan untuk dibubuhi tanda tangan, perhatian saya terfokus pada berapapun sedikit salahnya. Dengan kata lain, saya benar-benar membutakan mata terhadap berapapun banyak betulnya. Nurani saya yang tumpul betul-betul tidak bisa merasakan kekeruhan wajah, dan tentu saja hati, anak saya.
‘               Mengenang itu, saya sangat menyesal. Dan hanya bisa berharap anak saya tumbuh dewasa dengan melupakan sisi-sisi gelap ibunya.
                Namun kegemaran melihat dengan seksama ‘salah 4’ ketimbang ‘betul 16’ rupanya bukan hanya monopoli orang tua saat melihat kertas ulangan anaknya. Memusatkan segalanya pada sisi buruk, sekecil apapun, ketimbang sisi baik, sebesar dan atau sebanyak apapun, rupa-rupanya telah menjadi gerakan nasional. Dan regenerasi bukan mutlak milik saya yang mengadopsi dengan sempurna kedigdayaan ibu saya dalam melihat kekurangan saya sekecil apapun ketimbang kelebihan saya sebesar apapun. Misalnya: media dan aktivis lebih suka berteriak-teriak soal perempuan sebagai obyek dalam program KB pada era Suharto, ketimbang keberhasilan program itu sendiri dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, kerumitan dan berbagai tantangan dalam aplikasi, kerja keras para penyuluhnya, dan sebagainya. Betapa ironis ketika dunia Internasional memberi penghargaan tinggi pada Indonesia dan Pak Harto, sementara kita justru melihat dan mencari-cari jeleknya. Entah kita ini sombong atau justru rendah diri.
                Karakter Megawati yang pendiam dan tidak cepat mengambil keputusan kita jadikan bahan bulan-bulanan dengan penuh semangat, sehingga kita kehabisan enerji untuk melihat bahwa beliau mendapat apresiasi luar biasa dari dunia luar atas keberhasilannya menggelar pemilu secara langsung. Belum lagi keberhasilan-keberhasilannya yang lain. Kita mengenang dan memaki Habibi sebagai ‘Si Kutil yang hanya bisa membuat lepas propinsi sebesar Tim-tim lepas’. Kita lupa bahwa ‘Si Kutil’ itu adalah embrio dalam pembebasan etnis Cina Indonesia dalam beragama dan berbangsa, yang kelak disempurnakan oleh Gus Dur dan kemudian para penerusnya. Dari otak ‘Si Kutil’ itu pula lahir teori Habibie Cracker yang kabarnya sampai sekarang masih menjadi hukum standart sistem keamanan pembuatan pesawat. Kita pula yang dengan keji membuat anekdot “Kalau pesawat buatan IPTN melintas di wilayah perairan Amerika, mereka nggak akan mau rugi menembak, karena toh lama-lama jatuh sendiri.” Begitu dungunya siapapun yang mencipta, melontarkan, atau tertawa saat mendengar lelucon aneh itu, sampai tidak paham bahwa CN 350 adalah yang terlaris di dunia dan terbaik di kelasnya, paling tidak pada masa kejayaannya.
                Kebiasaan itu lestari sampai kini, bahkan kian menjadi-jadi. Jika ada gedung SD bobrok satu saja, kita hujat pemerintah tidak pernah dan mampu berbuat apa-apa. Padahal sekarang ada program PAUD, sesuatu  yang sekian tahun lalu –setidaknya sampai jaman Pak Harto- disebut Play Group dan hanya bisa diakses oleh anak-anak orang kaya, dan kini bisa diakses oleh anak manapun, asal emak-bapaknya punya KK dan KTP. Kita juga tidak mau ambil pusing dengan program BOS, puskesmas-puskesmas yang kian representatif, keluarga-keluarga tak mampu yang menikmati kartu gakin, program PNPM, dan sebagainya.
                Kita lebih suka berteriak “Korupsi makin menggila, segila pemerintah yang nggak bisa bikin apa-apa!”. Kita menghujat pemerintahan SBY atas kemarakan korupsi dan membandingkan dengan era Suharto, padahal pada era Suharto korupsi tentu saja tidak kentara, karena media manapun yang hendak mengekspos pasti segera dibredel lebih cepat daripada Lucky Luke menembak bayangannya sendiri. Entah kita buta atau membutakan diri, yang jelas negara-negara lainlah yang terkesiap dan mengacungkan jempol ketika SBY mengikhlaskan besannya dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Teman chatting saya dari Utah bilang begini:
“Your president rocks!”
Kalau ada bupati yang korupsi, kita hujat pemerintah secara keseluruhan dengan kata-kata yang sama sekali tidak pantas. Entah kita bodoh atau membodohkan diri, yang jelas kita tidak tahu soal fakta bahwa hanya di era SBY kasus penanganan korupsi meningkat menjadi sekian RATUS kali lipat. Lepas dari keberhasilan atau kontroversinya, di era SBY-lah KPK, suatu lembaga yang paling tidak sampai kini masih punya taji, terbentuk.
Kita hujat Pak Harto sebagai otoriarian megalomania, dan tidak peduli pada fakta bahwa pada eranyalah Kopassus atau Kopasanda disegani oleh pasukan elite dari Negara manapun. Dan pasukan Garuda sekian tahun lalu pimpinan Ryamizard Ryakudulah yang tercatat sebagai satu-satunya pasukan perdamaian dunia yang berhasil menembus pusat Khmer Merah, bahkan main catur dan merayakan kemerdekaan RI di kandang mereka.
Ada ribuan contoh lain tentang melihat salah empat ketimbang betul enam belas, yang saya tidak tahu merupakan gejala apa. Selama ini saya bertanya-tanya dan tidak pernah menemukan jawabannya. Yang jelas bagi saya ini adalah kedangkalan ekstrim. Sama dangkalnya jika saya membuat kesimpulan ‘anda adalah manusia yang mutlak terbuat dari jerawat batu’ hanya karena saya melihat 2-3 buah jerawat batu kecil di sana di hidung anda. Celakalah saya sebagai pribadi jika melihat manusia lain hanya dari keburukan-keburukannya saja, karena dengan kata lain saya sedang memproklamasikan pada dunia bahwa saya adalah seorang pecundang. Siapapun yang tak mau melihat keberhasilan pihak lain memang tak lebih dari pecundang total.
Dan  celakalah kita sebagai bangsa jika hanya bisa melihat kekurangan-kekurangan pemerintah tanpa mau mengapresiasi keberhasilan-keberhasilannya, karena dengan kata lain kita sedang membuat proklamasi bahwa kita hanyalah segerombolan pecundang. Kegemaran sekaligus kelebihan utama seorang pecundang memang adalah mencari-cari kesalahan orang lain untuk menutupi kebodohannya sendiri.
Jadi marilah kita berhati-hati, karena saat kita HANYA bisa menghujat pemerintah Indonesia, berarti secara tak sadar kita sedang menelanjangi diri sendiri, bahwa sebagai rakyat Indonesia kita tidak pernah berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara kita. Sebab semakin kosong sebuah tong maka semakin nyaring pulalah bunyinya. Dan sepertinya Indonesia hanya membutuhkan tong-tong yang berisi. Atau setidaknya tong-tong kosong yang bisa diisi.

Senin, 21 November 2011

Virus dan Antinya


Tersebutlah seorang pengguna komputer dengan pengetahuan terbatas. Dari waktu ke waktu satu-satunya program yang bisa digunakannya hanyalah MS Word, yang ia pakai semata-mata karena tuntutan pekerjaan. Dan malangnya, setelah bertahun-tahun toh program tersebut tidak ia kuasai jua. Jika ada sebuah tool atau ikon yang tidak ia ketahui, ia ngomel. Jika ada masalah, ia berkeluh-kesah. Jika salah satu data tiba-tiba lenyap, ia tuduh komputernya lemot. Padahal setelah ditelusuri, tentu saja oleh orang yang lebih pandai, terkuak bahwa ia menyimpan file tersebut pada tempat yang tidak semestinya. Begitu bodohnya ia sampai mencari file yang tersesat saja tidak mampu. Dan berhubung tak terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk mengembangkan kemampuan, maka satu-satunya hal yang bisa ia lakukan dalam menghadapai masalah apapun adalah menggerutu.

Maka jangan tanya kalau datanya terserang virus. Ia akan meradang habis-habisan. Lalu mengumpat ke kiri dan ke kanan. Korban kemarahannya yang pertama tentu saja adalah komputer itu sendiri.  “Dasar komputer eror! Jadul!”. Dan seterusnya. Sasaran kedua adalah virus tersebut: “Virus tengik! Nyebelin! Setan!” . Dan sebagainya. Yang terakhir, tentu saja adalah pencipta virus itu sendiri. Umpatan-umpatannya antara lain begini: “Sinting! Apa sih pahalanya bikin susah orang?!” atau “Kalau ada neraka khusus para penemu, pasti dia dapat keraknya.” Serta: “Pasti orang tuanya terlalu sibuk mengurus diri sendiri sehingga lupa memberinya nasihat ‘Berusahalah dengan cara halal’.” Dan yang paling tidak nyambung –tapi justru dianggapnya paling bermakna adalah: “Syukur kepada Tuhan bukan aku yang mengandung dan membesarkannya.”

Dan berhubung ia cukup bahagia hidup terselubung oleh tembok kedegilan, maka tentu saja ia tak punya gambaran bahwa di luar sana ada insan-insan yang mencurahkan segala daya upaya yang mereka punya untuk melawan gempuran virus dengan menciptakan antinya. Insan-insan luar biasa tersebut bukan hanya diwakili oleh mereka yang memiliki latar IT, ijazah ber-IP tinggi, dan lain-lain. Yang paling mencengangkan adalah anti virus berjudul ARTAV, yang bisa menggempur berbagai macam virus, bahkan kabarnya yang tak tertangkal oleh anti virus lain. ARTAV, nama anti virus yang kesannya bule. Padahal penciptanya Melayu asli, anak Indonesia, bau kencur pula, yakni kakak adik Arrival dan Taufik yang baru duduk di bangku SMP dan SMA.

Media massa dengan bangga dan menggebu-gebu memberitakan semangat dan usaha pantang menyerah anak-anak dari keluarga sederhana tersebut. Saya dengan sama sekali tidak bangga dan penuh rasa malu menyatakan bahwa pengguna komputer terbelakang sebagaimana tersebut di awal tulisan ini adalah…..saya sendiri.

Saya dan duo Taufik-Arrival adalah gambaran sempurna dari darkage dan aufklarung.
Saya adalah satu dari noktah pekat yang membuat blok gelap bagi bangsa ini, sedangkan mereka, sebaliknya, adalah satu lilin yang membuat bangsa ini tidak kehilangan sinarnya. Tak terhitung virus yang berkeliaran dalam dunia maya. Tak terhitung pula masalah yang mengepung kehidupan kita sebagai bangsa. Sama halnya Arival—Taufik yang memutar otak untuk menangkal virus, sebagian dari kita juga memutar otak dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi berbagai krisis yang dialami bangsa kita, dengan cara luar biasa atau sederhana. Tapi faktanya, lebih banyak orang yang memilih untuk bersikap seperti saya: memaki, menggerutu, dan merutuk ketika menghadapi virus. Dan malangnya, dalam ranah berbangsa, orang-orang yang masih hidup dalam payung kegelapan seperti sayalah yang memegang peran dan dominan.

Tidak usah jauh-jauh. Pernah kumpul-kumpul dengan teman, tetangga, keluarga, atau siapapun, lalu menghujat pemerintah, memaki-maki aparat penegak hukum, dan semua pihak kecuali diri kita sendiri atas kenaikan harga BBM, beras, keadaan yang makin tidak aman, kekeringan, banjir, kemacetan, kerusuhan, bom bunuh diri, listrik byar-pet, dan sebagainya? Setelah puas menghujat, melontarkan kritik pedas dan analisa cerdas, dan pulang ke rumah masing-masing, apa yang biasanya mereka atau kita –para penghujat ini- lakukan? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Umpatan tetaplah umpatan. Hujatan tetaplah hujatan. Ketika kumpul-kumpul lagi, mereka –atau kita- keluarkan lagi seribu satu keluhan dan rutukan. Pulang lagi, tidak berbuat apa-apa lagi, demikian seterusnya. Persis lingkaran setan. Atau tepatnya: lingkaran kebodohan.

Persis seperti apa yang saya lakukan. Ketika saya tidak mampu mengatasi masalah dengan komputer saya, sekecil apapun, maka satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanya mengaktifkan lidah dan mulut secara lebay. Semata-mata pelampiasan dari ketidak mampuan saya untuk melakukan sesuatu demi mengurai kesulitan yang tengah saya hadapi. Persis seperti kebanyakan dari kita dalam ranah berbangsa. Tapi menjadi orang yang besar mulut dan tidak berbuat apa-apa pada saat yang sama ternyata sama sekali tidak membuat bangga. Semoga anda tidak hanya bisa besar mulut seperti yang saya lakukan dalam menghadapi virus dan segala tetek bengeknya.

Selasa, 15 November 2011

Tentang Blog Ini....

Biasanya blog adalah ajang narsisme. Atau secara eufimis ajang aktualisasi diri. Tapi untuk blog yang satu ini, saya, Yuanita Maya, sang admin, berani menjamin bebas unsur narsisme. Karena ini blog tentang Indonesia. Apa saja tentang Indonesia. Spektrumnya akan sangat luas, sebab Indonesia adalah sesuatu yang luas, kaya, unik, cantik, seringkali menyedihkan, menggairahkan, dan mudah memancing emosi serta rasa haru. Sejauh menyangkut Indonesia, tidak ada yang bisa membatasi materi blog saya. Karena Indonesia memang tak terbatas.
Blog ini bukan semacam forum pengaduan kebohongan. Bukan blog tentang seorang oposan. Tidak pula memihak ini atau itu, sana atau situ. Mungkin bisa dibilang blog tentang Indonesia, bagaimana menjadi Indonesia, bagaimana mencintai Indonesia, bagaimana memberi bagi Indonesia atau apa saja. Singkatnya, saya tidak bisa mendefinisikan dengan tepat sesungguhnya ini blog apa. Pokoknya segala hal tentang Indonesia.
Dan berhubung saya admin-nya, maka sesuka saya juga mau menulis tentang apa. Kalau anda suka, silakan terus membacanya. Sukur-sukur sepakat dan atau mengambil langkah seperti saya, supaya saya punya teman. Kalau tidak, anda bisa berkomentar, “Huh! Sampah!” lalu anda tinggalkan begitu saja. Tapi saya jamin anda rugi, karena tulisan saya bagus-bagus. Ya iyalah, siapa lagi yang akan memuja-muji tulisan saya kalau bukan saya sendiri?
Dan kemungkinan besar saya hanya akan menanggapi komentar yang sedap-sedap, karena biarpun blog ini tidak narsis, tapi admin-nya iya. Jadi kalau setelah membaca artikel di blog ini lalu anda punya rencana untuk memberi komentar pahit, saya jamin anda akan saya cuekin seratus persen. Sebab satu-satunya rasa pahit yang saya suka adalah tumis paria dan daun pepaya. Jadi kalau anda menganggap tulisan saya busuk, saya sarankan langsung anda tinggalkan saja. Percuma kasih komentar miring, karena toh bakal saya abaikan.
Dan sedapat mungkin posting akan saya lakukan seminggu dua kali, Senin dan Kamis, supaya mudah diingat karena mirip benar dengan jadwal puasa orang Jawa, yang mana sekaligus bisa menimbulkan kesan bahwa saya orang yang tekun beribadah.
Nah, lebih baik saya tidak membuang waktu anda lebih banyak lagi. Silakan membaca, dan tolong beritahu yang lainnya kalau anda suka.