Senin, 28 November 2011

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi.

Orang bijak berkata: apa yang kita pikirkan itulah yang kita dapatkan. Saya –sebagai orang yang sinis, paling tidak waktu itu- tentu saja tidak bisa menemukan kaitannya. Itu adalah ketidak logisan yang besar. Namun seiring dengan berjalannya masa, baru saya sadar bahwa logika sayalah yang kurang panjang. Karena aksiomanya ternyata tidak begitu. Contohnya, saya kadang-kadang merasa benci atau kesal pada seseorang, dengan atau tanpa alasan. Seringnya kebencian itu terselubung. Tapi namanya bangkai ya pasti tercium juga. Semanis-manisnya saya memasang senyum, lama-kelamaan ketahuan palsu juga. Jadi orang yang tidak saya sukai itu menjauh, dan kadang-kadang malah berbalik menikam saya, baik dari depan maupun belakang.
Singkatnya begini: hanya menyimpan rasa tidak suka dan memasang senyum palsu, tidak lebih tidak kurang, saya menuai balasan sekian kali lipat. Lebih sederhana lagi: kalau pikiran saya jelek, sudah pasti saya akan mendapat yang jelek-jelek juga.
Jadi saya putuskan untuk mencoba teori ‘berpikirlah yang baik maka kau akan mendapat yang baik juga.’ Paling tidak untuk membuktikan mana yang lebih pandai, saya atau orang bijak yang menciptakan teori tersebut.
Kesempatan pertama saya dapat ketika berurusan dengan aparat kepolisian. Waktu itu sekitar tahun 1994, ketika saya masih kuliah di Salatiga. Dari dulu sampai sekarang POLRI adalah institusi yang paling dibenci dan mengantongi rekor terbanyak dalam hal menerima cemoohan massa. Cuma bedanya, waktu itu polisi masih belum mau repot-repot memperbaiki citra sebagai aparat yang dekat dengan masyarakat, cinta anak-anak, dan sebagainya. Jadi wajar kalau saya ketakutan setengah mati tanpa alasan ketika harus mengurus laporan kehilangan buku rekening Bank.
Bayangan saya, berdasarkan info yang beredar, serba gelap: polisi suka membentak, memandang remeh dan mempersulit anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, gemar menjotos tanpa alasan dan kalaupun ya pastilah alasannya dibuat-buat, mata duitan, dan seterusnya. Belum lagi sosok-sosok aparat yang kekar, bermata tajam, urat bibir kencang tertutup kumis, dan sebagainya. Ditambah tekanan mental dari teman-teman, seperti ini: “Sudahlah, ikhlaskan saja buku rekeningmu. Datang ke kantor polisi justru bikin benang jadi makin kusut.”
Saya ngeyel. “Enak aja! Trus duitku mau dikemanain?” Jaman dulu memang belum ada ATM, jadi posisi saya terjepit.
Salah-salah biaya laporannya lebih besar daripada saldomu,” ketus teman yang lain, seakan tahu bahwa saldo saya memang seiprit.
Dan berbagai komentar sinis lain, menurut mereka yang berani bersumpah bahwa itu semua adalah ‘based on true stories.’ Terakhir ada yang bilang begini: “Salah-salah malah kamu digodain. Polisi biasa begitu, lho. Ujung-ujungnya pelecehan seksual. Kamu kan cakep.”
Berhubung kerangkanya adalah berpikir positif, maka tentu saja saya memilih mengabaikan frasa ‘pelecehan seksual’ dan fokus pada ‘kamu kan cakep’. Setidaknya itu membuat saya bahagia dan melangkahkan kaki ke kantor polisi dengan perasaan berbunga-bunga. Tidak lupa afirmasi positif yang saya ucapkan berulang-ulang: Polisi juga manusia. Ada yang manis ada ada yang tengik. Yang akan kutemui ini adalah yang manis. Dan lain-lain, berulang-ulang. Rasa percaya diripun jadi melambung tinggi. Namun ketika melihat petugas berkulit gelap, tampang sangar, dan kumis melintang, tak urung saya menciut.
Susah-payah saya menegarkan diri. “Jangan menilai buku dari sampulnya. Apalah arti segumpal kumis?”, gumam saya berulang-ulang.
Hasilnya? Laporan kehilangan bukan hanya sukses. Namun aparat juga mengakhiri tugasnya dengan dengan serangkaian nasihat: Jangan ceroboh. Keteledoran merugikan diri sendiri. Dan lain-lain.
Biaya? Tidak sepeserpun. Pungli? Fitnah belaka. Pelecehan seksual? Apalagi! Meskipun tak urung saya bertanya dalam hati, jangan-jangan itu karena sesungguhnya saya memang enggak cakep?
Saat saya menceritakan pengalaman manis tersebut, para dholimin mencibir. “Nggak mungkin ada polisi enggak mata duitan,” adalah yang paling banyak terlontar. Juara duanya adalah: “Polisi, dari yang paling keroco, sampai yang paling di atas, hanyalah penjahat yang berseragam.” Juara favoritnya adalah komentar miring ini: “Ah, pengalaman indahmu ini cuma kebetulan saja.”
Oke, mungkin memang kebetulan saja, seperti kadang-kadang ada kambing berkaki tiga. Tapi seberapa seringkah kesempatan kita melihat kambing berkaki tiga, kecuali jika kambing-kambing tersebut sengaja diamputasi? Nyatanya, seiring dengan bertambah panjangnya urusan saya dengan polisi, saya tak pernah membuktikan satupun dari berbagai stigma buruk yang dilontarkan masyarakat terhadap polisi. Mungkin pada titik ini anda bertanya-tanya, “Seberapa seringkah seseorang berurusan dengan polisi, kecuali dia adalah seorang residivis?”
Well, sejauh menyangkut kecerobohan, sayalah juaranya. Kehilangan ATM, KTP, SIM, buku rekening, sebutkan apa saja. Dan SEMUANYA minimal dua kali. Perkara paling ‘bermutu’ hanyalah ketika anak sulung saya harus menginap di hotel prodeo selama sekitar 2 minggu karena masalah tawuran. Dan dari semuanya, tak satupun saya mendapat perlakuan buruk. Kecuali anak saya yang mendapat ‘sambutan hangat’ dari para petugas pada malam pertama dia ‘check in’. Kakak saya yang tertua tidak terima. Ini pelanggaran HAM dan harus dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak!!!” demikian geramnya berapi-api. Saya menjawab enteng, “Ah, malah bagus, aku nggak perlu capek-capek menghajarnya dengan tanganku sendiri. Emang enak ngurus anak tawuran?”
Dan setelah dihajar sampai kapok, anak saya kemudian diperlakukan oleh para petugas seperti anak sendiri. Diajak mengobrol, bercanda, dinasehati, dan sebagainya. Bahkan seringkali dibelikan nasi rendang, cemilan, soft drink, dan sebagainya. Bukannya saya menyuap, justru mereka yang mengingat anak saya saat makan di warung. Saya sampai membatin, jangan-jangan ini bukan ruang tahanan?
Beberapa polisi dengan siapa saya berurusan mengajak ngobrol soal politik dan kehidupan. Beberapa lagi soal musik dan film. Yang paling menarik yang sampai sekarang masih saya ingat adalah soal Bob Marley dan Rhoma Irama. Dan tak satupun dari mereka mau menerima tanda ‘terima kasih’. 2 di antara mereka malah tersinggung. Dan yang patut dicatat, kebanyakan dari mereka menawari saya kopi dan gorengan yang saya jumpai hampir di tiap meja petugas. Saya belum terlalu bodoh untuk menolaknya, sebab itu adalah kombinasi yang tepat untuk Djisamsoe yang selalu saya kantongi sejak 1998-2008. Jadilah transaksi pertukaran Djisamsoe-kopi-gorengan, hampir tiap kali saya berurusan dengan mereka.
Saya tak tahu dengan pengalaman-pengalaman anda. Dan kemungkinan besar tulisan saya ini akan memancing kontroversi. Tapi saya hanya berpegang pada pengalaman-pengalaman positif saya: berangkat dengan pikiran-pikiran positif, berhadapan dengan sikap-sikap positif para petugas, dan pulang ke rumah dengan kepercayaan positif terhadap Kepolisian Republik Indonesia.
Adakah kemungkinan oknum polisi memperlakukan kita dengan buruk karena belum-belum kita sudah percaya dengan cerita-cerita buruk dari mulut orang lain dan berpikir buruk tentang aparat polisi sebagai akibatnya? Saya tidak tahu pasti. Sama tidak pastinya dengan apakah saya yang menjadikan petugas-petugas polisi tersebut insan positif karena pikiran positif saya terhadap mereka.
Tapi karena saya telah berhasil mendapatkan hasil empirik secara konstan, maka saya akan melakukannya sepanjang hayat. Anda mau mencobanya? (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).








Tidak ada komentar:

Posting Komentar