Kamis, 15 Desember 2011

Dia Baik Karena Agamanya

Saya punya sahabat yang sangat dekat, dalam arti secara emosional dan geografis, karena ia tinggal cuma berbatasan tembok saja alias tetangga. Namanya Ehmeda Abdl Aziz, tapi sudah saya ‘baptis’ dan beroleh nama baru yang lebih nJawani, yakni Paijo. Datang dari Libya demi studi lanjutan di Indonesia, seratus persen Arab, seratus persen Islam, bahkan menurut pengakuannya (kalau benar) masuk dalam daftar keturunan nabi. Waktu pengakuan itu keluar dari mulutnya, saya hanya berkomentar skeptis sambil memutar bola mata, “Ye, ye, ye, whatever you say.”
Seiring dengan berjalannya waktu, saya memang lama-lama percaya bahwa ia keturunan nabi. Sebab ia adalah pria yang sangat santun dan sholeh. Sungguh, baru kali ini saya lihat ada anak muda yang tinggal jauh dari orangtuanya namun tekun menjalankan ibadah puasa Senin-Kamis. Sedapat mungkin ia menjalankan ibadah sholat di masjid, termasuk subuh, yang mana bagi sebagian orang pasti dianggap kurang kerjaan. Dan saya merasa perlu menceritakan keadaan di negaranya sehinga sidang pembaca bisa menilai seberapa sholehnya dia.  Di Libya tidak ada diskotik, pub, night club, bahkan karaoke. Mall dengan segala fasilitasnya tidak ada dan pergaulan serta ruang gerak begitu dibatasi, yang mana terbukti dari matanya yang terbelalak saat ketika jalan dengan  saya di mall ia melihat dua orang gadis berjilbab begitu canggih main DDR. Hiburan yang umum bagi masyarakat kebanyakan di sana adalah piknik di taman-taman kota bersama keluarga sambil…..membawa bekal dari rumah. Saya terbahak-bahak mendengar ceritanya, sambil berikrar bahwa Libya adalah negara terakhir yang akan saya kunjungi jika suatu hari nanti saya punya kesempatan keliling dunia.
Namun salutnya, dengan semua kisah garing dari negerinya tersebut ia sama sekali tidak menjadi bagai anak ayam lepas dari kurungnya ketika tiba di Indonesia yang segalanya serba terbuka. Ia tidak mencoba minum alkohol, tetap setia menjadi perokok pasif di tengah teman-teman Indonesianya, dan hanya sekali dugem di diskotik. Itupun menurut pengakuannya, “Cuma sebentar, karena aku pusing gara-gara asap rokok di mana-mana.” Jadilah ia bahan tertawaan teman-teman Indonesianya, yang mana  dihadapinya dengan sabar dan tawakal.
Di samping itu ia sangat baik hati dan tidak sombong, serta jagoan lagipula pintar. Tangannya terbuka lebar bagi siapapun yang membutuhkan pertolongan, baik itu materiil maupun non materiil. Suatu hari kami ada janji bertemu dan ia baru datang hampir satu jam kemudian dengan kondisi terengah-engah dan peluh bercucuran. Setelah habis saya omelin, barulah ia menjelaskan bahwa ia terlambat karena membantu seorang ibu mendorong sepeda motornya yang mogok. TKP-nya adalah di jalan Gombel, sebuah tanjakan di Semarang yang enggak banget terlebih untuk urusan mendorong motor. Jadi ia mendekati ibu tersebut, menawari si ibu untuk mengendarai motornya sendiri ( motor si Paijo, maksudnya) sambil tak lupa ia tunjukkan bengkel terdekat yang letaknya sekitar 1 kilo dari situ, dan janji untuk bertemu di sana.
Saya menyesal sudah ngomel-ngomel, lalu bertanya kenapa musti dia yang bela-belain mendorong motor si ibu. Jawabannya membuat saya malu, “Because nobody helped her. I saw her clothe was all wet of sweat.” Artinya, si ibu sudah mendorong motornya cukup jauh dan tak satupun manusia di situ peduli padanya, sedangkan Gombel adalah jalan yang ramai. Rasa kebangsaan saya tercabik-cabik, meskipun ia tidak berkomentar, “What kind of people are you Indonesians who don’t help an aged woman pushing her motorcycle?”. Dalam membantu ia sama sekali tidak ambil pusing akan kemungkinan si ibu melarikan motornya, apalagi sekedar resiko menerima dampratan yang tak sedap didengar dari mulut saya.
Ada lagi cerita yang lebih menyentuh tentang Paijo. Suatu hari ia ditubruk oleh motor lain, dan terpuruklah baik si Paijo maupun sang pelaku. Paijo baik-baik saja, hanya lecet-lecet sedangkan sang penubruk patah kaki. Paijo-lah yang paling cepat memberikan pertolongan pada pria yang mencelakainya. Saat polisi datang, sang petugas sama sekali tidak percaya bahwa ia adalah korban, kalau saja tak ada saksi-saksi mata yang bersikukuh bahwa ialah yang paling dirugikan dalam tragedi ini.
“Kalau memang anda korban, kenapa tidak langsung pergi dan justru menolong orang yang mencelakai anda?” tanya ibu Polwan yang untunglah bisa berbahasa Inggris dengan cukup baik.
Dengan lugu Paijo menjawab, “Saya tidak boleh lari kalau di depan saya ada orang yang memerlukan pertolongan.”
Ibu Polwan terharu dan langsung mempersilakannya pergi diiringi salam berkat.
Paijo memang orang yang terberkati. Dan sepanjang saya dekat dengannya, saya melihat ia juga menjadi berkat bagi banyak orang. Ia punya kecenderungan untuk melihat hanya yang terbaik dari orang-orang yang ia temui. Ya memang sih, kadang-kadang ia ngomongin orang, tapi seringnya karena saya pancing-pancing. Yah, antara saya dan dia memang sayalah yang lebih sering keluar tanduk dan berkuping lancip.
Dibutuhkan blog narsis tersendiri untuk mengisahkan seribu satu kebaikannya dan hatinya yang selembut anak domba itu. Jadi tak pentinglah segala kebaikannya saya sebutkan di sini. Hal paling penting untuk diketahui adalah kebaikan dan ketulusannya tersebut bukan tanpa alasan. Dari obrolan-obrolan panjang kami selama ini, topik yang paling mempertautkan kami adalah agama dan ke-Tuhanan. Dan lama kelamaan, ia jadi semakin gemar mengutip ayat-ayat dari kitab suci, bahkan kadang ia lantunkan dengan nada agak-agak sumbang. Begitu gemarnya ia mendasarkan berbagai perkara dan perilaku sehari-hari dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi, sampai-sampai saya sering berpikir jangan-jangan saya sedang gaul dengan syekh atau apalah.  Ia juga sulit memahami istilah Islam KTP yang baru dikenalnya di Indonesia, dalam pengertian apa gunanya memeluk Islam jika hanya untuk pantas-pantas?
Ia sangat mencintai agamanya, kitab sucinya, nabinya, dan segalanya. Ia mempercayai dengan sepenuh hati, tanpa pertentangan, semua ayat yang telah ia baca dari Al-Quran dari awal sampai akhir sebanyak sekian kali. Baginya agamanya adalah yang terbaik, yang ketika ia katakan tentu saja saya komentari, “Ya mesthi! Your religion!” (Btw, ia sudah bisa melafazkan ‘Ya Mesthiii…” dengan logat Semarang-an yang sempurna). Ia membalas komentar saya dengan memutar bola mata. Dan inilah inti dari segalanya. Sebab segala hal yang ia terima dari agamanya adalah yang terbaik baginya, maka segala yang ia keluarkan adalah yang terbaik pula. Ia tumbuh dewasa menjadi sosok yang teramat baik bukan karena unsur kebetulan. Sebab ia menggali segala kebaikan tersebut dari apa yang ia anggap terbaik. Jadilah ia baik karena dengan segenap hati ia mengejawantahkan segala yang terbaik dari kitab yang baginya terbaik.
Apakah bagi anda agama andalah yang terbaik? Ya mesthiii…. Dan apakah bagi saya agama saya yang terbaik? Ya mesthiii…. Kalau begitu, marilah menjadi yang terbaik karena kita masing-masing memiliki agama yang terbaik. Terberkatilah Indonesia dengan orang-orang semacam Paijo, anda, dan saya, jika kita semua menjadi yang terbaik karena agama kita (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).






6 komentar:

  1. Buat para pengunjung blog saya, thanks berat yaaaa.... Lebih berat lagi kalau di-share-kan ke teman-teman yang lain *mata berbinar-binar, lidah terjulur, dua tangan terangkat ke atas*

    BalasHapus
  2. hahaha... ya mesthiiiii...blogmu deh mbak :p

    duh, saya baru baca postingan ini, jadi saya tahu nama aslinya Paijo. :p

    BalasHapus
  3. sangat menarik ...dan menginspirasi...krn yg sekolah dari Libya kebanykan di UNDIP ya?

    BalasHapus
  4. Lomar: Sial! Paijo mendadak tenar, melibas si pemilik blog. Hidungnya melebar sebesar caping lho, waktu saya terjemahkan komen-komen ini.
    Nuki: Yang dari Libya tersebar di Bandung, Malang, Yogya,dan entah mana lagi (dan di hatimu, celetuk si Paijo yang saat ini lagi nongkrong di sebelah saya sambil cengengesan dengan cuping hidung mengembang).

    BalasHapus
  5. pengalaman bagus yang meng inspirasi...

    BalasHapus
  6. Dan sangat fenomenal serta luar biasa mencerahkan, ya? Hihihi....

    BalasHapus