Selasa, 06 Desember 2011

Antara Polri, Amrozi dkk, dan KTP yang Hilang

Saya nyaris gagal menggunakan hak pilih dalam pemilu presiden yang terakhir. Berhubung sejak pindah ke Manado saya belum sempat mengurus kartu keluarga, maka boleh dibilang status saya tidak jelas.  Kabar baiknya, pemerintah bermurah hati pada orang-orang seperti saya dengan mengijinkan penggunaan KTP saja sebagai syarat memilih. Kabar buruknya, KTP saya hilang. Atau paling tidak nyelip entah di mana. Saya bisa bilang begini karena yakin melihat KTP itu di suatu tempat di rumah saya dan tidak membawanya ke mana-mana. Kemungkinan besar saya selipkan di mana lalu terjangkau oleh putri kecil saya yang ketika itu sedang senang-senangnya membongkar dan memberantaki barang-barang, membawa-bawa dan memindah-mindahkannya ke sana-ke mari, untuk kemudian ia tinggalkan begitu saja. Berhubung adegan membereskan barang yang seabreg-abreg itu bisa saya lakukan 3-5 kali dalam sehari, maka wajar jika saya tidak ngeh sekalipun saya sendiri yang menyimpan KTP tersebut.
Jadilah saya didera panik, lantaran waktu pemilihan sudah kian dekat. Seisi rumah sudah saya bongkar pasang berulang-ulang, KTP belum muncul jua. Emosi dan frustrasi mendera, hingga saya cenderung gampang tersulut. Anak sulung dan suami saya mengambil langkah aman, yakni menjauhi saya dan tidak mau ikut campur dalam upaya pencarian tersebut. Langkah yang salah, karena saya justru makin emosi. Tak disangka, sehelai KTP ternyata bisa memicu problema rumah tangga. Singkat kata, setelah 2 bulan lebih masa kegelapan penuh dengan aura panas tersebut, KTP saya akhirnya ketemu juga. Rasanya begitu legaaaaa…..seakan ada beban berat yang tiba-tiba diangkat dari pundak begitu saja.
Mencari memang adalah suatu perkara yang sangat menjengkelkan, apalagi jika keadaan mendesak. Rasanya kemrungsung, begitu orang Jawa bilang, yang patut disayangkan saya tak tahu terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pokoknya semacam campuran dari rasa emosi, perasaan terburu-buru, kesal, jengkel, dan sebagainya. Mungkin begitu kira-kira. Haru biru tragedi KTP yang hilang dan rasa lega luar biasa setelah menemukannya masih segar dalam ingatan, ketika beberapa waktu kemudian polisi mencatat prestasi menangkap pentolan teroris berselubung agama. Peristiwanya cukup heboh, mengandung unsur pengepungan dan tembak-tembakan di TKP yang diliput dan ditayangkan langsung di layar kaca. Mengingatkan saya pada film Die Hard. Sayangnya saya lupa teroris yang mana yang waktu itu berakhir tewas dengan berondongan peluru. Mungkin karena saking banyaknya, jadi saya lupa. Dari sekian banyak itu yang saya bisa ingat cuma Amrozi dan Azahari. Sudahlah, itu tidak penting. Setidak penting eksistensi mereka yang tidak menganggap penting nyawa orang lain.
Pembekukan dan pelumpuhan pentolan teroris serta para anteknya adalah satu hal. Namun melacak jejak mereka dan menemukannya adalah hal lain. Hal yang paling luar biasa di atas segalanya. Seorang teroris akan membayar harga berapapun untuk menyembunyikan dirinya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, gonta-ganti identitas, menutup diri, menjadi pribadi yang lain; sebutkan apa saja. Bandingkan usaha para teroris tersebut untuk menyamarkan diri dengan KTP saya, si benda mati yang tidak bisa memakai wig atau alat penyamaran lain. Bandingkan dengan mobilitas dan jaringan yang mereka miliki dengan KTP saya yang selama hampir dua bulan pencarian ternyata hanya tergeletak manis, tak melakukan apapun, di salah satu boneka anak saya yang memiliki kantung. Belum lagi fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan keadaan geografis yang seringkali sangat ekstrim. Bentangan ngarai, lembah, jurang, laut, selat, sungai, payau, gunung, perbukitan, hutan, dan sebagainya, bukankah itu menjawab pertanyaan mengapa Indonesia menjadi surga persembunyian para teroris? Bandingkan dengan rumah saya yang hanya sepetak. Butuh waktu dua bulan, peluh bercucuran, omelan, serta anak dan suami yang tertekan, untuk menemukan KTP yang tak bisa bergerak di sepetak rumah yang berukuran tak lebih dari 300 meter persegi.
Jadi, untuk segenap jajaran POLRI, saya hanya bisa mengucap salut.
Sedihnya, banyak yang tidak sepakat dengan saya. Selalu saja ada komentar miring baik dari masyarakat dan, terutama, para ‘pengamat sosial’ dan ‘pakar’ (entah apapun maksudnya). Dari  komentar polisi lamban bergerak, kecolongan, tidak bisa mengantisipasi keadaan, dan sebagainya, yang paling menggelikan bagi saya adalah ketika mereka membuat skenario yang –katanya- lebih baik, seakaan-akan mereka bisa melakukannya. Rasanya saya ingin menyurati mereka dengan huruf-huruf besar “KALAU MEMANG SKENARIOMU BEGITU HEBAT, KENAPA TIDAK DARI DULU KAMU KUMPULKAN TEMAN-TEMAN DAN MELAKUKANNYA SENDIRI SECARA INDEPENDEN?” Well, always easier to say than to do. Namun komentar paling menyebalkan adalah yang saya dengar dari seorang teman ketika beberapa waktu lalu kami hang out di kafe dan menyaksikan di tivi berita keberhasilan polisi menemukan sarang teroris lengkap dengan isinya hidup-hidup, yakni, “Ah, beneran nggak, tuh?”. Betapa ingin saya menggampar mulutnya sambil berseru, “Kemarikan KTP-mu! Biar aku umpetin di RUMAHMU SENDIRI dan kita lihat seberapa cepat kamu bisa menemukannya!!! Lagian apa pentingnya bagi polisi bikin-bikin cerita penggerebekan palsu? Oke, pencitraan, tapi kan nggak se-sinetron itu. Nah, ya, ketahuan banget kamu mendedikasikan banyak waktu untuk menonton sinetron kejar tayang.”
Tapi berhubung saya belum ingin kehilangan teman yang suka mentraktir dan gemar membelikan ini-itu, maka saya hanya menutup mulut persis seorang pengecut. Satu-satunya hal yang berani saya lakukan adalah menulis artikel ini dan berharap ia membacanya, lalu sadar bahwa ia disindir dan segera insyaf, sambil tak lupa terus melanjutkan hobi menraktir dan membelikan ini-itu. Oh ya, ada satu hal lagi yang berani saya lakukan atau tepatnya katakan: kepada segenap anggota Polri, terutama yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam urusan teroris, segala yang pantas anda sekalian dapatkan adalah ucapan terimakasih dan rasa hormat. Serta segenap empati karena setelah semua susah-payah tersebut ternyata yang dituai hanyalah cercaan dan cemoohan. Dan kalaupun dua ratus sekian puluh juta rakyat Indonesia tidak tahu bagaimana cara menghargai kerja keras anda semua, jumlah tersebut masih bisa dikurangi satu, yakni saya.
Polisi, anda layak dapat bintang!
(Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar