Para Sahabat (II)
Mengingat saya
dulu imut banget (hihihi….), maka sudah barang tentu pacar saya sekandang (prinsipnya
kan tidak mau rugi :)). Begitu banyaknya pacar saya, sampai saya tidak pernah bisa
mengingat dengan rinci sesungguhnya mereka itu siapa-siapa saja. Kalau sekarang
ingat yang ini ini ini, yang itu itu itu pasti lupa. Besoknya ingat yang itu
itu itu, giliran yang ini ini ini lupa. Hal terbaik yang bisa saya lakukan
hanyalah mengingat kisaran angkanya, itupun tidak tepat :). Paling enggak enak itu
kalau bertemu cowok yang saya pikir teman lama, ternyata kemudian mengaku bahwa
kami pernah pacaran. Apalagi kalau dia pasang tampang terkenang-kenang so swit
gitu. Malu sekali, jeung. Hal itu membuat saya merasa bagaikan cewek tak tau
diri, terlebih saya kan termasuk cewek konservatif yang ogah keluar duit sepeserpun
buat cowok, apalagi berperan serta dalam membiayai acara kencan kami:). Tapi
meskipun sibuk pacaran, mereka tetap bukanlah prioritas saya. Kalau berada
dalam situasi pilih pacar atau teman, tentu saja pacar serta-merta saya
tinggalkan. Kebanyakan saya pacaran memang buat lucu-lucuan mengingat saya
seorang pembosan, dan hanya beberapa gelintir saja dari mereka yang benar-benar
masuk ke hati. Kalau sebagian besar
sisanya berakhir tergila-gila pada saya terus patah hati ya maaf.
Well, you may
say I’m such a b*tch, but I really can’t help it! Dan, hey, itu bukan
sepenuhnya salah saya! Hubungan pertemanan itu lebih mengasyikkan ketimbang
pacaran, sedangkan persahabatan lebih menggetarkan. Pacaran kan prinsipnya take
and give, jadi kalau si dia memberi kita akan menganggapnya sebagai hal yang
wajar. Maka secara umum, kitapun take for granted pada segala kebaikan pacar.
Beda dengan persahabatan. Dalam bersahabat kita nothing to loose; kita memberi
tanpa berharap kembali. Kalau ternyata kembali, kita cenderung akan
menganggapnya sebagai suatu hal yang luar biasa, yang kemudian akan mendorong
kita untuk memberi lebih banyak lagi. Persahabatan mendorong kita untuk
bersemangat dalam melakukan kebaikan dengan hati yang tulus. Itulah sebabnya
mengapa saya menganggap sahabat-sahabat saya luar biasa berarti, jauh lebih
berarti ketimbang segala pacar itu. Suami saya memahami hal ini, sehingga dia
sama sekali tidak pernah interfensi apalagi menyampaikan keluhan mengenai
sahabat-sahabat saya.
Kemarin saya
sudah bercerita tentang enam orang teman sejati yang sangat berarti dalam hidup
ini. Last but not least adalah Ehmida Abdl Azs, si cowok Libya lugu dengan hati
selembut domba yang pernah saya masukkan ke postingan 'Dia Baik Karena Agamanya' dan 'Hati dan Pikiran yang Terbuka (1 dan 2) '.Tanpa
mengurangi rasa terima kasih dan cinta saya pada enam nama yang saya sebut sebelumnya,
Ehmida ini adalah ‘semua sahabatku dikumpulkan jadi satu’. Salah satu faktor
utama yang membuatnya mendapat predikat itu adalah karena kami tinggal
bersebelahan dan jadwal pertemuan kami benar-benar spartan. Jangankan bila
salah satu dari kami sedang ke luar kota, enggak kemana-mana saja kami sms-an
bisa lebih dari 30 kali dan telpon-telponan lebih dari 5 kali dalam satu hari. Padahal
di luar itu kami sehari bertemu minimal tiga kali, mengingat waktu itu jadwal
kuliahnya tinggal sedikit dan status saya adalah pengangguran terselubung. Setelah
semua itu, malamnya kami masih juga telepon-teleponan sebagai epilog. Adegannya
sangat genuine: saya menyeret kursi lalu duduk di halaman belakang sambil
nepokin nyamuk atau garuk-garuk, sedangkan dia duduk mencangkung dengan badan
segede The Incredible Hulk di tembok penghalang teras kamarnya di atas. Lalu
kami menguras isi hati sampai bibir pada ungu, sambil saling memandang di bawah
siraman cahaya keemasan sang rembulan. Kami hanya dibatasi tembok dan daun-daun
rambutan, dan seringkali suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih keras
daripada suaranya di telepon. Abel, anak lelaki saya, dan adik-adik saya suka
komentar,”Dasar dumb and dumber! Daripada buang-buang pulsa kan lebih baik
ketemu aja? Tinggal jalan semenit terus buka pagar.” Ah, mereka hanya tidak
mengerti seni berkomunikasi sambil yang satu menunduk dan yang lainnya
mendongak hingga leher salah urat…..
Ehmida dan saya
saling mendukung, melayani, memberi, merawat, mengasuh, dan melindungi dalam
segala hal. Kami sangat saling memahami dan mengerti, bahkan bisa membaca isi
hati satu sama lain yang hampir selalu sama untuk banyak sekali perkara. Setiap
perselisihan justru membuat kami kian dekat. Peleburan jiwa kami luar biasa,
padahal antara kami terbentang jarak usia yang sangat lebar (kata Tante saya, Bu
Tutuk, yang juga dekat dengannya, kami lebih Bung Karno dan Bu Inggit daripada
Bung Karno dan Bu Inggit:)). Yang paling saya kagumi dari hubungan kami adalah,
walaupun berbeda jauh dalam hal usia, agama, bahasa, dan terlebih budaya, tapi
apa yang membuat saya tertawa membuatnya tertawa, demikian sebaliknya. Ia adalah
orang kedua setelah Meme yang pernah membuat saya BENAR-BENAR TERJUNGKAL DARI
KURSI, gara-gara lawakannya yang sangat orisinil dan lucunya luar biasa (dan
sampai kini belum ada orang ketiga yang bisa melakukannya).
Sama halnya
dengan Meme, dengan Ehmida ini saya juga cekikikan sepanjang waktu. Apa saja
kami jadikan bahan lelucon. Kami juga punya selera humor yang seringkali bersifat
‘untuk kalangan terbatas’. Ini membuat kami sering cekikikan sendiri kalau
sedang kumpul dengan teman-teman, sementara yang lain bertanya-tanya di mana
letak kelucuannya:). Dia sangat tergila-gila pada saya karena selalu bisa
membuatnya tertawa, bahkan saat ia sedang sedih atau marah sekalipun. Dan
berhubung dalam hal ini ia juga sangat licik, maka ia selalu berhasil
menggagalkan acara marah-marah saya dengan cara ngebodor. Kalau saya menahan
tawa dalam upaya memertahankan wibawa, ia malah semakin menggila. Paling sebel
kalau saya sedang marah-marah, eh, dia nyaut, pakai Bahasa Indonesia pula. Bahasa
Indonesianya membuat telinga cedera, dan saya selalu menyuruhnya tutup mulut dengan
kesal tiap kali ia berlatih Bahasa Indonesia di depan saya. Sebaliknya, ia
paling sebel kalau lagi marah-marah saya menanggapi dengan tenang,”Kamu kok marah-marah
terus sama aku dari kemarin kenapa? Lagi mens, ya?”. Lalu sambil menahan tawa
jengkel ia berkata dalam Bahasa Indonesia,”Kamu kurang ajar, ya!”. Kelakuan ini
membuat kami masing-masing, semurka apapun, selalu berakhir sebagai pecundang
dengan cara yang menyenangkan.
Namun betapapun manis
dan lucu, sesungguhnya ia seringkali menjengkelkan. Ia selalu jam karet dan
kelihatannya justru sengaja berlama-lama kalau saya mulai mengomel karena
kelamaan menunggunya. Hal lain yang bikin sebel adalah kalau kami hang out
dimana saya pakai baju casual, ia malah
sengaja pakai kostum jling-jling lengkap dengan sepatu cetok dan kemeja berkerah
kaku yang mengingatkan saya pada pesulap jalanan. Kalau saya sudah berseru,”Seriously,
sugar? What are you? Gay of the year?!”, barulah ia mau ganti baju. Selain itu
ia juga suka uring-uringan tanpa sebab (biasanya kalau sedang homesick). Kalau
sudah rewel begitu ia bisa marah-marah terus tanpa alasan jelas, dan apa saja
yang saya lakukan pasti salah di matanya. Masih mending kalau ia ngomel-ngomel
panjang lebar. Kalau sudah mendiamkan, nah, itu yang bikin capek. Soalnya saya
musti sibuk menerka-nerka kesalahan apa yang saya lakukan, lalu membujuk dan
merayunya seakan ia adek kecil yang merajuk karena ditinggal pergi Ayah dan
Bunda. Namun betapapun rewelnya dia, saya senantiasa tegar dan bersabar. Tapi
saya paling tidak tahan kalau ia marah-marah karena menurutnya saya melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan adat di
negaranya. Sungguh tidak adil! Kalau sudah begini saya menghardik sewot,”How
am I supposed to know that it’s not proper according to your culture? Your
country and its blablabla is far away from here, Mas Bro! Tiketnya mahal! Jadi
mumpung di sini, sesuaikan saja dengan adat kami. Ngirit, nggak perlu beli
tiket segala. Faham?!” Mengendus gelagat keadaan bakal berbalik, ia cepat-cepat
berkata dalam Bahasa Indonesia,”Ah, sutralah, aku capek deh,” sambil
melambaikan tangan dan memutar tubuhnya yang tinggi besar gelap super kekar itu
dengan gaya bencong tulen. Entah dari mana atau siapa ia memelajarinya.
Kadang-kadang ia
juga bisa sangat menyakitkan.
Berhubung wangi, ganteng, gagah perkasa, sopan, charming, banyak duit, dan
sebagainya, maka wajar kalau kemanapun ia selalu dikerubutin cewek-cewek. Dan
ia senantiasa pamer-pamer pada saya tentang segala gadis yang
mengejar-ngejarnya dan silih-berganti mendatangi tempat kosnya itu. Ia
melibatkan saya dengan semua cewek itu, lalu membangga-banggakan diri dengan sikap
pongah. Untunglah, banyak dari cewek-cewek itu yang enggak cakep (menurut
standart saya), yang mana tentu saja saya jadikan bahan olok-olokan. “Kalau ada
yang cakep bangunkan aku, ya,” kata saya sambil menguap untuk kesekian kali di
tengah cerita setinggi langitnya, lalu pura-pura tidur. Saya menzoliminya
dengan seribu satu cara dan biasanya ia hanya mampu mengeluarkan pembelaan yang lemah. Namun
suatu hari saat saya melecehkan satu demi satu para cewek itu secara detil,
mendadak ia mengguntur,”LOOK AT YOUR SELF!!! YOU’RE ALMOST EXPIRED!!!”. Hakjleb
stadium sepuluh, apalagi TKP-nya di restoran yang fancy!
Namun segala
kelakuan busuknya itu tertutupi oleh jutaan hal baik yang ia miliki. Ia
menyayangi anak-anak saya terutama si piyik Kinasih. Tiap kali Kinasih sakit ia
bukan hanya keluar biaya tapi juga ikut merawat hingga Kinasih ceria kembali. Ia
juga gusar manakala saya memarahi si kecil (“Don’t do that to her, she’s just a
little baby,” demikian katanya selalu, padahal saya hanya sedikit menyentil
telinga si kecil. Kinasih yang tahu kalau dibela langsung lebay dan menangis
menyayat hati dalam gendongan dan belaian Si Oom. Mereka benar-benar membuat
saya tampak seakan-akan ibu yang ndolim). Ia melewatkan tak terhitung waktu
bersama kami entah dengan cara memasak, makan bersama, bermain, nonton film, nonton
acara-acara nggak penting di tivi-tivi Indonesia, jalan-jalan, dan sebagainya.
Ia menganut prinsip ‘man deals with the bills’ dan paling geli kalau saya berkata
dengan nada merayu jijay,”What would I do without you, my darling walking
wallet?”. Ada cerita lucu. Kalau lagi makan di luar, belanja, atau kegiatan
lain di mana ia harus keluar duit, para kasir selalu memberikan kembalian pada
saya (ia selalu menyebut sikap kasir itu sebagai ‘ketidakadilan gender’,
soalnya si laki-laki yang keluar duit kok kembaliannya diberikan ke si
perempuan). Dan berbagai uang kembalian itu otomatis selalu saya kantongin
tanpa prasangka. Suatu hari di luar kebiasaan, saya memberikan uang kembalian
padanya dan iapun bertanya heran,“Why don’t you keep it?” Saya ganti membalas
dengan wajah heran,” What do you think I am, a cheap sh*t? It’s only nine
thousand rupiahs!” Dia ngakak tak henti-henti.
Ada lagi. Kalau
belanja ia selalu ngintil sambil membawa keranjang dan sigap membayar semua
belanjaan saya tanpa diminta. Suatu malam kami pulang dari acara apa gitu lupa,
terus di mobil dia ngajak berantem. Kalau dia lagi sewot model begini biasanya
saya mengalah, daripada ribut macam orang pacaran yang lagi cemburu-cemburuan.
Tapi berhubung sejak di acara kelakuannya memang sudah bikin bete, walhasil
saya ladenilah ajakannya. Kamipun bertengkar dengan suara keras di mobil. Lewat
di sebuah mart, saya bilang dengan ketus,”Heh, berantemnya break dulu! Mampir
ke mart situ, persediaan di rumah habis.” Akhirnya ia juga turun dan membeli
berbagai keperluannya. Dan ia membiarkan saya memilih barang serta menenteng
keranjang belanjaan sendiri, yang mana tak saya pedulikan karena sedang betul-betul
kesal padanya. Ternyata ia duluan selesai dengan belanjaan sudah di dalam plastik.
Sementara belanjaan saya dihitung, dia tetap berdiri di kasir tapi sambil
melengos dengan mulut monyong. Namun begitu saya merogoh uang dari tas, ia
memandang saya dengan gahar dan berkata,”Kamu pikir kalau aku marah terus tidak
bertanggung jawab?” Saya melongo, dan lebih melongo lagi ketika di dalam mobil
ia KEMBALI MENGAJAK BERANTEM :).
Masih ada lagi. Suatu
hari saya minta antar belanja keperluan seminggu di sebuah mart dekat rumah.
Saat mendarat di tempat parkir, di luar kebiasaan dia bilang,”Aku tunggu di
sini saja.” Saya mengangkat bahu,”Fine by me. But where’s the money?” lalu
menadahkan tangan. Melihatnya ungu menahan tawa sebab saya tega minta duit,
saya berkata cepat,”I’m a woman, what do you expect?”. Dia tambah ungu. Waktu
saya keluar, ia masih duduk di motor dengan wajah ungu yang sama. Iapun
menjalankan motor pelan karena stang kiri kanan dan sela-sela kakinya penuh
belanjaan. Di perjalanan dia bilang,”Padahal aku tadi cuma nge-tes, pengin
lihat apakah kamu berani minta duit atau enggak.” Saya menepuk bahunya pelan,”My
love, aku lebih tua 12 tahun dari kamu. Tentu saja aku tahu semua trikmu dari
awal.” Dia ngakak tak terkendali, sampai motor oleng ke kanan dan ke kiri.
Oh ya, saya
pernah melakukan kejahatan finansial terhadapnya, walaupun semua ini sejatinya didalangi
oleh Septi. Suatu hari kami dapat undangan kawinan adik teman dekatnya yang
akhirnya juga jadi teman dekat saya. Berhubung saya tidak punya kostum pesta dengan
segala tetek-bengeknya, maka ia memberi sejumlah uang yang kiranya cukup untuk
membeli baju, sepatu, tas centil, dan asesori, karena demikian besar hasratnya untuk
melihat saya tampil laksana mbak-mbak di sinetron-sinetron Indonesia. Tapi kemudian
ia berpesan,”Kamu beli sendiri, ya,
soalnya aku masih repot jadi nggak bisa nganterin.” Akhirnya saya berencana
mengajak Septi yang selalu well groomed dan paling fashionable di antara kami.
Saya ke rumah Septi bersama Ambon, tapi sampai di sana Septi malah
bilang,”Halah, ngapain sih buang-buang duit? Paling barang-barang itu cuma kamu pakai sekali.
Udah pakai punyaku aja. Baju dan segala perlengkapanku kan banyak banget.” Saya
protes, karena kan sudah diberi uang untuk beli perlengkapan mbak-mbak. Septi
menghardik,”Goblok! Pakai punyaku, terus uangnya kamu simpan!” Sayapun mematuhi
komando Septi, dan sebagai akibatnya dikejar perasaan malu serta bersalah
hingga kini. Dosa itu masih saya simpan sampai sekarang karena untuk
mengakuinya saya belum punya cukup nyali:). Yang lebih tragis lagi –atau
sebaliknya: untunglah- pas hari H malah ia tidak bisa pergi, jadi sama sekali
tidak melihat penampilan mbak-mbak saya dengan barang-barang haram itu secara live
show:).
Sungguh
mengherankan betapa ia demikian betah memberikan perhatian dan pertolongan dalam
ribuan bentuk kepada kami tanpa kenal jemu. Menakjubkan pula betapa pria semuda
ini begitu tabah mendampingi perempuan menjelang paruh baya yang sedang
tertimpa sejuta masalah. “My duty is to make sure that you’re allright. I will
be happy only when I see you happy, Kekey,” demikian jawabnya setiap kali saya
menyatakan keheranan atas semua kesabarannya dalam menyertai kami. Oh ya, Kekey
adalah panggilannya untuk saya, yang dalam Bahasa Indonesia artinya kira-kira
‘wanita kesayangan/saudara perempuan yang paling dikasihi’. Saya sendiri
memanggilnya Pepey yang merupakan bentuk maskulin dari Kekey. Di luar itu saya
memanggilnya ‘Jo’ (singkatan dari ‘Paijo’) dan belakangan ‘Ndhut’, karena kian
lama dengan saya dia kian gendut.
Ia menghabiskan
banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk memastikan kami tetap riang gembira, sekalipun
sedang dalam kurungan sakit hati dan duka. Ia juga selalu baik pada semua
orang, ramah-tamah, periang, tulus dan ikhlas dalam memberi, tidak pernah
berprasangka buruk, dan cenderung selalu ingin membantu orang lain. Mengenai
dirinya secara keseluruhan, selama hidup saya selalu percaya bahwa saya tidak
ada satupun laki-laki sebaik Bapak saya, hingga ia datang untuk membuktikan
bahwa saya salah. Saya curiga, saat menciptakan hatinya dan hati Bapak saya,
Tuhan pasti menggunakan cetakan yang
sama. Ia adalah orang pertama yang mendorong saya untuk kembali menulis serta
mewujudkan support itu dalam berbagai cara, dan bukannya support verbal atau
moral saja. Dengan penuh dedikasi ia membangun kembali rasa percaya diri saya
yang kala itu hancur entah dalam berapa ribu keping. Ia mengumpulkan semuanya
dengan sabar, satu demi satu, bahkan pada saat saya menyerah dan berkata,”This
is it! Call me zombie!”. Ia adalah orang yang terus-menerus dengan cara lembut memaksa
saya, untuk tidak berhenti mengampuni dan mendoakan beberapa orang yang ketika
itu ‘membunuh’ saya. “Though your voice sounds like thunder but you have a
really tender heart, Kekey. And good heart doesn’t surrender to the devils.” Demikian ia terus-menerus mengingatkan saya
tanpa membuat saya merasa sebagai terdakwa.
Suatu hari saya
merasa tidak kuat lagi dan tiba-tiba muncul di hadapannya dengan berurai air
mata, sambil menjerit histeris secepat rentetan peluru tentara,”I’m done! To
hell with them! Dan kalau kau berani menyuruhku untuk mendoakan mereka lagi,
aku akan menendang bokongmu sampai kau terbang pulang ke negaramu tanpa perlu
beli tiket!!!” Sambil berusaha menyembunyikan tawa atas nama deraian air mata
saya, pelan-pelan ia hapus lelehan sakit hati itu dengan jarinya yang
segede-gede pisang gablog, lalu berkata sangat lembut,”Kenapa baru menyerah
sekarang? Kenapa tidak dari kemarin atau kemarin dulu? You’ve been this far, so
hangin’ there. What are you scared of actually? You’ve got me, and as far as I
remember, you always said that I must be sent from up above to help you through
this. And in case you don’t know, I knew right from the start that God created
you as a winner. Kamu adalah pemenang, Kekey! Apakah pemenang akan menyerah
terhadap orang-orang jahat itu? Jangan biarkan kejahatan mereka menang atasmu.
Jangan biarkan mereka tertawa bersama setan-setan itu. Tidak perlu menendang
bokongku karena tiketku ke sini pergi-pulang, jadi tendang saja bokong
setan-setan itu dengan doa-doa dan puasamu!” Saya tertawa di antara isak yang
masih tersisa. Demikianlah ia mengingatkan saya, untuk terus-menerus mendoakan
dan mengampuni orang-orang yang menghancurkan dan merenggut semua yang berarti
dari hidup saya ketika itu. Ia tidak pernah menyerah menghadapi saya yang
begitu keras kepala bahkan saat putus asa sekalipun. Waktu saya mengeluh dalam
isak tangis bahwa Tuhan salah besar karena mengira saya begitu kuat dengan
memberi ujian begini berat, sambil mencibir ia berkata,”Mana yang benar, kamu
yang menciptakan Tuhan atau sebaliknya? Kalau sebaliknya, berarti Ia tidak
salah, karena tidak ada yang lebih mengerti kamu daripada Pencipta-mu. Dan
mustinya kamu bangga karena ujian seberat ini sama artinya dengan klaim bahwa
kamu cukup kuat, baik, dan cerdas. Got that, my beloved stupid Kekey?”
Di luar itu semua,
ia tahu benar membuat saya merasa sangat berarti dengan cara menghargai sekecil
apapun hal yang saya lakukan untuknya. Ia selalu mengatakan bahwa tidak ada
orang yang pernah memerhatikan dan merawatnya sampai sedetil dan setulus yang
saya lakukan. Dan ia selalu mengucap terima kasih untuk semua itu, padahal sejujurnya, sesungguhnya, apa yang saya
lakukan padanya sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya dengan semua yang
telah ia berikan. Ia punya segudang teman dekat dari berbagai bangsa karena segala
sifat baiknya. Namun ia membuat saya merasa amat berharga, dengan menjadikan
saya tempat mencurahkan semua hal yang ia alami dan rasakan. Untuk setiap
masalah, besar atau kecil, ia datang pada saya. Ketika saya tidak bisa
memberikan solusi sekalipun, ia tetap berkata,”Kenapa kamu selalu membuatku
merasa nyaman dan lega? Tanpamu aku tidak bisa apa-apa.” Bahkan saat saya hanya
duduk diam mendengarkanpun masih juga dia berkata,”No one understands me the
way you do. God really bless you, habibati.” Sungguh indah caranya membesarkan
jiwa, dan saya tahu Tuhan memberkatinya!
Masa kecil,
kepedihan, luka-luka di masa lalu, kejadian sehari-hari, cita-cita, harapan,
kerinduan, ketakutan, dan kekhawatiran, adalah semua hal yang ia bagikan hanya
pada saya. Jika ada temannya yang ingin mengetahui suatu hal mengenainya atau
mengatakan sesuatu tapi karena suatu hal sungkan menyampaikan padanya secara langsung,
mereka pasti datang pada saya. Dianggap berarti oleh seorang pecundang yang
kesepian tentu sama sekali bukan hal yang membanggakan. Namun dijadikan
pelabuhan oleh sosok yang disukai semua orang pastilah hal yang sangat istimewa.
Dan itu membuat saya merasa sangat terhormat. Seakan itu semua belum cukup, ia
masih juga mengklaim saya sebagai ‘ibu, ayah, kakak lelaki, kakak perempuan,
kekasih hati, belahan jiwa, teacher, dan path leader’. Hingga detik ini saya
masih sering tak mengerti mengapa ia menganggap saya demikian berarti, sekeras
apapun usahanya meyakinkan saya. Hatinya memang manis luar biasa.
Ketika saya
kembali ke Manado, ia kehilangan arah karena ditinggal pergi orang yang paling
ia percaya sepanjang hidup. Teman-teman dekatnya bahkan meminta saya kembali ke
Semarang karena ia benar-benar bagaikan anak ayam kehilangan induknya. “Kasihan
momonganmu, Mbak May. Kelakuannya sekarang aneh, bahkan dia mulai bergaul
dengan orang-orang nggak jelas, Mbak,”demikian kata mereka. Namun tangan saya
terikat. Hati sayapun patah, dan satu-satunya alasan saya tetap bisa berjalan
lurus hanyalah karena saya punya bekal pengalaman hidup 12 tahun lebih lama
darinya. Semua hal mengingatkan kami akan satu sama lain, dan kami jatuh bangun
dalam waktu yang lama untuk kembali menegarkan diri. Hati kami kembali patah
ketika ia pulang ke negaranya. Saya mungkin sedikit berlebihan membandingkan
hubungan kami seperti Kahlil Gibran dan May Ziadah yang selalu merasakan
keberadaan satu dengan lainnya, meskipun mereka sama sekali tak pernah bertemu selama
30 tahun menjalin hubungan platonic. Namun demikianlah kami laksana Kahlil dan
May ketika sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri atas perpisahan ini. Ia
selalu ada dalam setiap hal yang saya pikirkan. Ia selalu membayangi,
mengawasi, dan melindungi dalam setiap perkara yang saya lakukan. Beberapa kali
saat sedang memikirkan sebuah tulisan, entah bagaimana dengan jelas saya bisa
mendengarnya mengungkapkan pendapat, seperti dulu ketika kami berdiskusi
mengenai tulisan-tulisan saya. Pernah 4 kali saya menguji apakah itu hanya
halusinasi semata. Saya memancingnya dengan topik dimana saya merasa
mendengarnya berpendapat, dan ternyata SEMUA PENDAPATNYA TERNYATA TEPAT SEPERTI
APA YANG SEAKAN SAYA DENGAR. Saya tidak tahu misteri pekerjaan Tuhan dengan
segala malaikat-Nya, namun saat itu juga saya tahu satu hal: ia adalah malaikat
tanpa sayap yang dikirim dari atas untuk membantu saya melewati apapun, tak
peduli sejauh apa jarak memisahkan kami.
Yang paling
menyentuh, ia bersikeras hanya mau melihat
yang terbaik dari saya dan dengan sengaja
memilih memandang sepi semua
kekurangan saya. Suatu hari saat ia sudah pulang ke haribaan ibu pertiwinya, dengan
sedih saya curhat bahwa saya kehilangan damai sejahtera karena sedang sangat
tidak menyukai seseorang. Begitu tidak sukanya saya pada orang itu bahkan
sampai pada taraf nyaris membencinya. Ia terperanjat dan berkata,”No way! You
must be talking about someone else, because that person is not my Kekey!” Tak
punya pilihan lain, saya bersikukuh,”Well, this is your Kekey now. She’s changed
a lot.” Dan sayapun segera menyiapkan diri untuk dimarahin, karena memang saya
paham bahwa sesungguhnya kelakukan saya busuk dan saya membenci diri sendiri
karena ini. Tak dinyana ia malah kembali ngeyel, bahwa saya selalu baik pada
siapa saja termasuk orang yang menyakiti, dan sebagainya. Kalaupun marah sampai
ngamuk hanya sebentar, dan betapa saya punya hati yang ‘clear and pure as a child’.
Saya menolak keras, karena ini sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang
sedang saya jalani. Kamipun eyel-eyelan, dan karena bosan akhirnya dengan tegas
dia berkata,”You listen to me! This is only the temporary Kekey! Kekey yang
busuk ini hanyalah Kekey asli yang sedang salah jalan dan pasti tidak akan
lama, karena Kekey yang asli sangat baik.”
Bahkan di saat
saya salah jalanpun ia menuntun saya kembali tanpa sedikitpun menudingkan jari!
Ia sungguh manis, teramat manis, dan tahu bagaimana caranya membesarkan hati.
Ia benar-benar kakak lelaki, kekasih hati, belahan jiwa, ibu, ayah, dan pohon
peneduh pada saat yang bersamaan. Itulah salah satu hal yang membuat hubungan
batin kami sangat kuat. Seringkali saya tak bisa tidur karena merindukan
hari-hari bersamanya, lalu setelah berdoa meminta Tuhan melindunginya sayapun
bisa tidur dengan tenang. Ternyata esoknya ia menceritakan hal sama seperti
yang saya rasakan, sebelum saya sempat bercerita akan apa yang saya alami.
Beberapa kali tanpa saling bercerita dan sepakat, kami mendapati bahwa ternyata
kami berdoa bahkan berpuasa untuk satu sama lain. Tak terhitung berapa kali kami
memikirkan, melakukan, dan merasakan hal serupa pada waktu yang sama, padahal
kami dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu lebar dan panjang. Bahkan
Kinasihpun merasakan hal yang sama. Suatu hari ia tiba-tiba menangis
meraung-raung merindukan Om Mayda (demikian Kinasih memanggilnya), dan
menghabiskan waktu seharian membicarakan semua kenangan manis mereka. Besoknya,
saya mendapati inboxnya yang masuk waktu subuh yang berarti sekitar jam
sembilan malam di sana, berkisah,”Sepanjang hari ini aku gelisah. Ternyata aku
merindukan Kinasih, dan hampir tidak berhasil menahan air mata waktu
mengenangnya.” Betapa melegakannya ketika seseorang menerima kita secara
keseluruhan sebagai paket yang utuh! Sekarang, setiap kali mengingat masa-masa pencobaan
yang kelam itu, saya selalu bersyukur bahwa sekalipun luar biasa pahit ujian
yang Tuhan berikan, namun Ia begitu murah hati memberikan silih berupa sesosok malaikat
penghibur dan pelindung tanpa sayap, yang senantiasa berjaga-jaga bagi saya.
Semua nama yang
saya sebut di dalam dua tulisan ini adalah mereka yang mendampingi saya dalam
suka, dan terlebih duka. Dalam masa-masa paling pekat yang saya pikir tidak
akan sanggup saya lalui, mereka membantu saya mengeringkan air mata lebih cepat
daripada seharusnya. Mereka membuat saya tetap tertawa. Mereka memberi semua
yang bisa mereka beri, namun tidak
pernah mencela apapun pilihan hidup saya. Dan bila saya salah, mereka menegur
tanpa membuat saya berkecil hati. SATU
KALIPUN MEREKA TIDAK PERNAH MENGHAKIMI. Apapun yang mereka katakan, mereka
membuat saya satu inci lebih tegak lagi. Mereka adalah bukti bahwa Tuhan
mewujudkan diri dalam berbagai wujud kelamin, warna kulit, bahasa, dan agama. Saya
sangat yakin bahwa ada tali tak terlihat yang menghubungkan tangan mereka
dengan tangan Tuhan. Berkat merekalah anak-anak saya sampai sekarang masih
punya ibu. Saya tak akan pernah merasakan puncak kebahagiaan sebagai perempuan
ketika cucu saya lahir kalau saja Tuhan tidak mengirimkan mereka dalam hidup
saya, karena waktu itu memang saya sudah berada dalam tahap sangat putus asa
hingga sempat ingin mencabut nyawa sendiri. Air mata saya bercucuran saat
menuliskan ini, dan dalam setiap tetesnya mengalir rasa terima kasih saya pada
mereka.
Saya berani
memertaruhkan apapun yang saya miliki, bahwa kalau saja di negeri ini ada lebih
banyak orang seperti mereka, maka tidak akan ada perempuan yang membunuh
anak-anaknya karena tekanan mental dan ekonomi untuk kemudian mengakhiri dirinya
sendiri. Tidak akan ada orang dengan hati hancur lalu melarikan kehancuran itu
pada hal-hal yang jahat; menjadi pelacur, pembunuh, pemukul anak istri, pengguna
narkoba, dan lain-lainnya. Jika semua orang menjahit hati temannya yang sedang
terkoyak-moyak seperti yang dilakukan sahabat-sahabat saya, maka negeri ini
akan dipenuhi oleh orang-orang yang kuat dan bahagia. Dan negeri dengan
orang-orang seperti itu tentulah negeri yang damai dan sejahtera. Orang-orang
seperti para sahabat saya itulah yang sangat dibutuhkan oleh negeri kita, Indonesia,
yang saat ini penuh dengan hati yang terkoyak. Saya berdoa tulisan ini akan
menginspirasi siapapun yang membacanya untuk menjadi seperti, dan bahkan lebih
baik, daripada sahabat-sahabat saya. Tuhan memberkati mereka. Tuhan memberkati
saya dengan memberikan mereka. Tuhan memberkati anda. Tuhan memberkati
Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).