Kamis, 29 Agustus 2013


Para Sahabat (II)

Mengingat saya dulu imut banget (hihihi….), maka sudah barang tentu pacar saya sekandang (prinsipnya kan tidak mau rugi :)). Begitu banyaknya pacar saya, sampai saya tidak pernah bisa mengingat dengan rinci sesungguhnya mereka itu siapa-siapa saja. Kalau sekarang ingat yang ini ini ini, yang itu itu itu pasti lupa. Besoknya ingat yang itu itu itu, giliran yang ini ini ini lupa. Hal terbaik yang bisa saya lakukan hanyalah mengingat kisaran angkanya, itupun tidak tepat :). Paling enggak enak itu kalau bertemu cowok yang saya pikir teman lama, ternyata kemudian mengaku bahwa kami pernah pacaran. Apalagi kalau dia pasang tampang terkenang-kenang so swit gitu. Malu sekali, jeung. Hal itu membuat saya merasa bagaikan cewek tak tau diri, terlebih saya kan termasuk cewek konservatif yang ogah keluar duit sepeserpun buat cowok, apalagi berperan serta dalam membiayai acara kencan kami:). Tapi meskipun sibuk pacaran, mereka tetap bukanlah prioritas saya. Kalau berada dalam situasi pilih pacar atau teman, tentu saja pacar serta-merta saya tinggalkan. Kebanyakan saya pacaran memang buat lucu-lucuan mengingat saya seorang pembosan, dan hanya beberapa gelintir saja dari mereka yang benar-benar masuk ke hati.  Kalau sebagian besar sisanya berakhir tergila-gila pada saya terus patah hati ya maaf.

Well, you may say I’m such a b*tch, but I really can’t help it! Dan, hey, itu bukan sepenuhnya salah saya! Hubungan pertemanan itu lebih mengasyikkan ketimbang pacaran, sedangkan persahabatan lebih menggetarkan. Pacaran kan prinsipnya take and give, jadi kalau si dia memberi kita akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Maka secara umum, kitapun take for granted pada segala kebaikan pacar. Beda dengan persahabatan. Dalam bersahabat kita nothing to loose; kita memberi tanpa berharap kembali. Kalau ternyata kembali, kita cenderung akan menganggapnya sebagai suatu hal yang luar biasa, yang kemudian akan mendorong kita untuk memberi lebih banyak lagi. Persahabatan mendorong kita untuk bersemangat dalam melakukan kebaikan dengan hati yang tulus. Itulah sebabnya mengapa saya menganggap sahabat-sahabat saya luar biasa berarti, jauh lebih berarti ketimbang segala pacar itu. Suami saya memahami hal ini, sehingga dia sama sekali tidak pernah interfensi apalagi menyampaikan keluhan mengenai sahabat-sahabat saya.

Kemarin saya sudah bercerita tentang enam orang teman sejati yang sangat berarti dalam hidup ini. Last but not least adalah Ehmida Abdl Azs, si cowok Libya lugu dengan hati selembut domba yang pernah saya masukkan ke postingan 'Dia Baik Karena Agamanya' dan 'Hati dan Pikiran yang Terbuka (1 dan 2) '.Tanpa mengurangi rasa terima kasih dan cinta saya pada enam nama yang saya sebut sebelumnya, Ehmida ini adalah ‘semua sahabatku dikumpulkan jadi satu’. Salah satu faktor utama yang membuatnya mendapat predikat itu adalah karena kami tinggal bersebelahan dan jadwal pertemuan kami benar-benar spartan. Jangankan bila salah satu dari kami sedang ke luar kota, enggak kemana-mana saja kami sms-an bisa lebih dari 30 kali dan telpon-telponan lebih dari 5 kali dalam satu hari. Padahal di luar itu kami sehari bertemu minimal tiga kali, mengingat waktu itu jadwal kuliahnya tinggal sedikit dan status saya adalah pengangguran terselubung. Setelah semua itu, malamnya kami masih juga telepon-teleponan sebagai epilog. Adegannya sangat genuine: saya menyeret kursi lalu duduk di halaman belakang sambil nepokin nyamuk atau garuk-garuk, sedangkan dia duduk mencangkung dengan badan segede The Incredible Hulk di tembok penghalang teras kamarnya di atas. Lalu kami menguras isi hati sampai bibir pada ungu, sambil saling memandang di bawah siraman cahaya keemasan sang rembulan. Kami hanya dibatasi tembok dan daun-daun rambutan, dan seringkali suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih keras daripada suaranya di telepon. Abel, anak lelaki saya, dan adik-adik saya suka komentar,”Dasar dumb and dumber! Daripada buang-buang pulsa kan lebih baik ketemu aja? Tinggal jalan semenit terus buka pagar.” Ah, mereka hanya tidak mengerti seni berkomunikasi sambil yang satu menunduk dan yang lainnya mendongak hingga leher salah urat…..

Ehmida dan saya saling mendukung, melayani, memberi, merawat, mengasuh, dan melindungi dalam segala hal. Kami sangat saling memahami dan mengerti, bahkan bisa membaca isi hati satu sama lain yang hampir selalu sama untuk banyak sekali perkara. Setiap perselisihan justru membuat kami kian dekat. Peleburan jiwa kami luar biasa, padahal antara kami terbentang jarak usia yang sangat lebar (kata Tante saya, Bu Tutuk, yang juga dekat dengannya, kami lebih Bung Karno dan Bu Inggit daripada Bung Karno dan Bu Inggit:)). Yang paling saya kagumi dari hubungan kami adalah, walaupun berbeda jauh dalam hal usia, agama, bahasa, dan terlebih budaya, tapi apa yang membuat saya tertawa membuatnya tertawa, demikian sebaliknya. Ia adalah orang kedua setelah Meme yang pernah membuat saya BENAR-BENAR TERJUNGKAL DARI KURSI, gara-gara lawakannya yang sangat orisinil dan lucunya luar biasa (dan sampai kini belum ada orang ketiga yang bisa melakukannya).

Sama halnya dengan Meme, dengan Ehmida ini saya juga cekikikan sepanjang waktu. Apa saja kami jadikan bahan lelucon. Kami juga punya selera humor yang seringkali bersifat ‘untuk kalangan terbatas’. Ini membuat kami sering cekikikan sendiri kalau sedang kumpul dengan teman-teman, sementara yang lain bertanya-tanya di mana letak kelucuannya:). Dia sangat tergila-gila pada saya karena selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat ia sedang sedih atau marah sekalipun. Dan berhubung dalam hal ini ia juga sangat licik, maka ia selalu berhasil menggagalkan acara marah-marah saya dengan cara ngebodor. Kalau saya menahan tawa dalam upaya memertahankan wibawa, ia malah semakin menggila. Paling sebel kalau saya sedang marah-marah, eh, dia nyaut, pakai Bahasa Indonesia pula. Bahasa Indonesianya membuat telinga cedera, dan saya selalu menyuruhnya tutup mulut dengan kesal tiap kali ia berlatih Bahasa Indonesia di depan saya. Sebaliknya, ia paling sebel kalau lagi marah-marah saya menanggapi dengan tenang,”Kamu kok marah-marah terus sama aku dari kemarin kenapa? Lagi mens, ya?”. Lalu sambil menahan tawa jengkel ia berkata dalam Bahasa Indonesia,”Kamu kurang ajar, ya!”. Kelakuan ini membuat kami masing-masing, semurka apapun, selalu berakhir sebagai pecundang dengan cara yang menyenangkan.

Namun betapapun manis dan lucu, sesungguhnya ia seringkali menjengkelkan. Ia selalu jam karet dan kelihatannya justru sengaja berlama-lama kalau saya mulai mengomel karena kelamaan menunggunya. Hal lain yang bikin sebel adalah kalau kami hang out dimana saya pakai baju casual, ia malah sengaja pakai kostum jling-jling lengkap dengan sepatu cetok dan kemeja berkerah kaku yang mengingatkan saya pada pesulap jalanan. Kalau saya sudah berseru,”Seriously, sugar? What are you? Gay of the year?!”, barulah ia mau ganti baju. Selain itu ia juga suka uring-uringan tanpa sebab (biasanya kalau sedang homesick). Kalau sudah rewel begitu ia bisa marah-marah terus tanpa alasan jelas, dan apa saja yang saya lakukan pasti salah di matanya. Masih mending kalau ia ngomel-ngomel panjang lebar. Kalau sudah mendiamkan, nah, itu yang bikin capek. Soalnya saya musti sibuk menerka-nerka kesalahan apa yang saya lakukan, lalu membujuk dan merayunya seakan ia adek kecil yang merajuk karena ditinggal pergi Ayah dan Bunda. Namun betapapun rewelnya dia, saya senantiasa tegar dan bersabar. Tapi saya paling tidak tahan kalau ia marah-marah karena menurutnya saya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat di negaranya. Sungguh tidak adil! Kalau sudah begini saya menghardik sewot,”How am I supposed to know that it’s not proper according to your culture? Your country and its blablabla is far away from here, Mas Bro! Tiketnya mahal! Jadi mumpung di sini, sesuaikan saja dengan adat kami. Ngirit, nggak perlu beli tiket segala. Faham?!” Mengendus gelagat keadaan bakal berbalik, ia cepat-cepat berkata dalam Bahasa Indonesia,”Ah, sutralah, aku capek deh,” sambil melambaikan tangan dan memutar tubuhnya yang tinggi besar gelap super kekar itu dengan gaya bencong tulen. Entah dari mana atau siapa ia memelajarinya.

Kadang-kadang ia juga bisa sangat menyakitkan. Berhubung wangi, ganteng, gagah perkasa, sopan, charming, banyak duit, dan sebagainya, maka wajar kalau kemanapun ia selalu dikerubutin cewek-cewek. Dan ia senantiasa pamer-pamer pada saya tentang segala gadis yang mengejar-ngejarnya dan silih-berganti mendatangi tempat kosnya itu. Ia melibatkan saya dengan semua cewek itu, lalu membangga-banggakan diri dengan sikap pongah. Untunglah, banyak dari cewek-cewek itu yang enggak cakep (menurut standart saya), yang mana tentu saja saya jadikan bahan olok-olokan. “Kalau ada yang cakep bangunkan aku, ya,” kata saya sambil menguap untuk kesekian kali di tengah cerita setinggi langitnya, lalu pura-pura tidur. Saya menzoliminya dengan seribu satu cara dan biasanya ia hanya mampu  mengeluarkan pembelaan yang lemah. Namun suatu hari saat saya melecehkan satu demi satu para cewek itu secara detil, mendadak ia mengguntur,”LOOK AT YOUR SELF!!! YOU’RE ALMOST EXPIRED!!!”. Hakjleb stadium sepuluh, apalagi TKP-nya di restoran yang fancy!

Namun segala kelakuan busuknya itu tertutupi oleh jutaan hal baik yang ia miliki. Ia menyayangi anak-anak saya terutama si piyik Kinasih. Tiap kali Kinasih sakit ia bukan hanya keluar biaya tapi juga ikut merawat hingga Kinasih ceria kembali. Ia juga gusar manakala saya memarahi si kecil (“Don’t do that to her, she’s just a little baby,” demikian katanya selalu, padahal saya hanya sedikit menyentil telinga si kecil. Kinasih yang tahu kalau dibela langsung lebay dan menangis menyayat hati dalam gendongan dan belaian Si Oom. Mereka benar-benar membuat saya tampak seakan-akan ibu yang ndolim). Ia melewatkan tak terhitung waktu bersama kami entah dengan cara memasak, makan bersama, bermain, nonton film, nonton acara-acara nggak penting di tivi-tivi Indonesia, jalan-jalan, dan sebagainya. Ia menganut prinsip ‘man deals with the bills’ dan paling geli kalau saya berkata dengan nada merayu jijay,”What would I do without you, my darling walking wallet?”. Ada cerita lucu. Kalau lagi makan di luar, belanja, atau kegiatan lain di mana ia harus keluar duit, para kasir selalu memberikan kembalian pada saya (ia selalu menyebut sikap kasir itu sebagai ‘ketidakadilan gender’, soalnya si laki-laki yang keluar duit kok kembaliannya diberikan ke si perempuan). Dan berbagai uang kembalian itu otomatis selalu saya kantongin tanpa prasangka. Suatu hari di luar kebiasaan, saya memberikan uang kembalian padanya dan iapun bertanya heran,“Why don’t you keep it?” Saya ganti membalas dengan wajah heran,” What do you think I am, a cheap sh*t? It’s only nine thousand rupiahs!” Dia ngakak tak henti-henti.

Ada lagi. Kalau belanja ia selalu ngintil sambil membawa keranjang dan sigap membayar semua belanjaan saya tanpa diminta. Suatu malam kami pulang dari acara apa gitu lupa, terus di mobil dia ngajak berantem. Kalau dia lagi sewot model begini biasanya saya mengalah, daripada ribut macam orang pacaran yang lagi cemburu-cemburuan. Tapi berhubung sejak di acara kelakuannya memang sudah bikin bete, walhasil saya ladenilah ajakannya. Kamipun bertengkar dengan suara keras di mobil. Lewat di sebuah mart, saya bilang dengan ketus,”Heh, berantemnya break dulu! Mampir ke mart situ, persediaan di rumah habis.” Akhirnya ia juga turun dan membeli berbagai keperluannya. Dan ia membiarkan saya memilih barang serta menenteng keranjang belanjaan sendiri, yang mana tak saya pedulikan karena sedang betul-betul kesal padanya. Ternyata ia duluan selesai dengan belanjaan sudah di dalam plastik. Sementara belanjaan saya dihitung, dia tetap berdiri di kasir tapi sambil melengos dengan mulut monyong. Namun begitu saya merogoh uang dari tas, ia memandang saya dengan gahar dan berkata,”Kamu pikir kalau aku marah terus tidak bertanggung jawab?” Saya melongo, dan lebih melongo lagi ketika di dalam mobil ia KEMBALI MENGAJAK BERANTEM :).

Masih ada lagi. Suatu hari saya minta antar belanja keperluan seminggu di sebuah mart dekat rumah. Saat mendarat di tempat parkir, di luar kebiasaan dia bilang,”Aku tunggu di sini saja.” Saya mengangkat bahu,”Fine by me. But where’s the money?” lalu menadahkan tangan. Melihatnya ungu menahan tawa sebab saya tega minta duit, saya berkata cepat,”I’m a woman, what do you expect?”. Dia tambah ungu. Waktu saya keluar, ia masih duduk di motor dengan wajah ungu yang sama. Iapun menjalankan motor pelan karena stang kiri kanan dan sela-sela kakinya penuh belanjaan. Di perjalanan dia bilang,”Padahal aku tadi cuma nge-tes, pengin lihat apakah kamu berani minta duit atau enggak.” Saya menepuk bahunya pelan,”My love, aku lebih tua 12 tahun dari kamu. Tentu saja aku tahu semua trikmu dari awal.” Dia ngakak tak terkendali, sampai motor oleng ke kanan dan ke kiri.

Oh ya, saya pernah melakukan kejahatan finansial terhadapnya, walaupun semua ini sejatinya didalangi oleh Septi. Suatu hari kami dapat undangan kawinan adik teman dekatnya yang akhirnya juga jadi teman dekat saya. Berhubung saya tidak punya kostum pesta dengan segala tetek-bengeknya, maka ia memberi sejumlah uang yang kiranya cukup untuk membeli baju, sepatu, tas centil, dan asesori, karena demikian besar hasratnya untuk melihat saya tampil laksana mbak-mbak di sinetron-sinetron Indonesia. Tapi kemudian ia  berpesan,”Kamu beli sendiri, ya, soalnya aku masih repot jadi nggak bisa nganterin.” Akhirnya saya berencana mengajak Septi yang selalu well groomed dan paling fashionable di antara kami. Saya ke rumah Septi bersama Ambon, tapi sampai di sana Septi malah bilang,”Halah, ngapain sih buang-buang duit? Paling  barang-barang itu cuma kamu pakai sekali. Udah pakai punyaku aja. Baju dan segala perlengkapanku kan banyak banget.” Saya protes, karena kan sudah diberi uang untuk beli perlengkapan mbak-mbak. Septi menghardik,”Goblok! Pakai punyaku, terus uangnya kamu simpan!” Sayapun mematuhi komando Septi, dan sebagai akibatnya dikejar perasaan malu serta bersalah hingga kini. Dosa itu masih saya simpan sampai sekarang karena untuk mengakuinya saya belum punya cukup nyali:). Yang lebih tragis lagi –atau sebaliknya: untunglah- pas hari H malah ia tidak bisa pergi, jadi sama sekali tidak melihat penampilan mbak-mbak saya dengan barang-barang haram itu secara live show:).

Sungguh mengherankan betapa ia demikian betah memberikan perhatian dan pertolongan dalam ribuan bentuk kepada kami tanpa kenal jemu. Menakjubkan pula betapa pria semuda ini begitu tabah mendampingi perempuan menjelang paruh baya yang sedang tertimpa sejuta masalah. “My duty is to make sure that you’re allright. I will be happy only when I see you happy, Kekey,” demikian jawabnya setiap kali saya menyatakan keheranan atas semua kesabarannya dalam menyertai kami. Oh ya, Kekey adalah panggilannya untuk saya, yang dalam Bahasa Indonesia artinya kira-kira ‘wanita kesayangan/saudara perempuan yang paling dikasihi’. Saya sendiri memanggilnya Pepey yang merupakan bentuk maskulin dari Kekey. Di luar itu saya memanggilnya ‘Jo’ (singkatan dari ‘Paijo’) dan belakangan ‘Ndhut’, karena kian lama dengan saya dia kian gendut.

Ia menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk memastikan kami tetap riang gembira, sekalipun sedang dalam kurungan sakit hati dan duka. Ia juga selalu baik pada semua orang, ramah-tamah, periang, tulus dan ikhlas dalam memberi, tidak pernah berprasangka buruk, dan cenderung selalu ingin membantu orang lain. Mengenai dirinya secara keseluruhan, selama hidup saya selalu percaya bahwa saya tidak ada satupun laki-laki sebaik Bapak saya, hingga ia datang untuk membuktikan bahwa saya salah. Saya curiga, saat menciptakan hatinya dan hati Bapak saya, Tuhan pasti menggunakan cetakan yang sama. Ia adalah orang pertama yang mendorong saya untuk kembali menulis serta mewujudkan support itu dalam berbagai cara, dan bukannya support verbal atau moral saja. Dengan penuh dedikasi ia membangun kembali rasa percaya diri saya yang kala itu hancur entah dalam berapa ribu keping. Ia mengumpulkan semuanya dengan sabar, satu demi satu, bahkan pada saat saya menyerah dan berkata,”This is it! Call me zombie!”. Ia adalah orang yang terus-menerus dengan cara lembut memaksa saya, untuk tidak berhenti mengampuni dan mendoakan beberapa orang yang ketika itu ‘membunuh’ saya. “Though your voice sounds like thunder but you have a really tender heart, Kekey. And good heart doesn’t surrender to the devils.” Demikian ia terus-menerus mengingatkan saya tanpa membuat saya merasa sebagai terdakwa.

Suatu hari saya merasa tidak kuat lagi dan tiba-tiba muncul di hadapannya dengan berurai air mata, sambil menjerit histeris secepat rentetan peluru tentara,”I’m done! To hell with them! Dan kalau kau berani menyuruhku untuk mendoakan mereka lagi, aku akan menendang bokongmu sampai kau terbang pulang ke negaramu tanpa perlu beli tiket!!!” Sambil berusaha menyembunyikan tawa atas nama deraian air mata saya, pelan-pelan ia hapus lelehan sakit hati itu dengan jarinya yang segede-gede pisang gablog, lalu berkata sangat lembut,”Kenapa baru menyerah sekarang? Kenapa tidak dari kemarin atau kemarin dulu? You’ve been this far, so hangin’ there. What are you scared of actually? You’ve got me, and as far as I remember, you always said that I must be sent from up above to help you through this. And in case you don’t know, I knew right from the start that God created you as a winner. Kamu adalah pemenang, Kekey! Apakah pemenang akan menyerah terhadap orang-orang jahat itu? Jangan biarkan kejahatan mereka menang atasmu. Jangan biarkan mereka tertawa bersama setan-setan itu. Tidak perlu menendang bokongku karena tiketku ke sini pergi-pulang, jadi tendang saja bokong setan-setan itu dengan doa-doa dan puasamu!” Saya tertawa di antara isak yang masih tersisa. Demikianlah ia mengingatkan saya, untuk terus-menerus mendoakan dan mengampuni orang-orang yang menghancurkan dan merenggut semua yang berarti dari hidup saya ketika itu. Ia tidak pernah menyerah menghadapi saya yang begitu keras kepala bahkan saat putus asa sekalipun. Waktu saya mengeluh dalam isak tangis bahwa Tuhan salah besar karena mengira saya begitu kuat dengan memberi ujian begini berat, sambil mencibir ia berkata,”Mana yang benar, kamu yang menciptakan Tuhan atau sebaliknya? Kalau sebaliknya, berarti Ia tidak salah, karena tidak ada yang lebih mengerti kamu daripada Pencipta-mu. Dan mustinya kamu bangga karena ujian seberat ini sama artinya dengan klaim bahwa kamu cukup kuat, baik, dan cerdas. Got that, my beloved stupid Kekey?”

Di luar itu semua, ia tahu benar membuat saya merasa sangat berarti dengan cara menghargai sekecil apapun hal yang saya lakukan untuknya. Ia selalu mengatakan bahwa tidak ada orang yang pernah memerhatikan dan merawatnya sampai sedetil dan setulus yang saya lakukan. Dan ia selalu mengucap terima kasih untuk semua itu, padahal sejujurnya, sesungguhnya, apa yang saya lakukan padanya sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya dengan semua yang telah ia berikan. Ia punya segudang teman dekat dari berbagai bangsa karena segala sifat baiknya. Namun ia membuat saya merasa amat berharga, dengan menjadikan saya tempat mencurahkan semua hal yang ia alami dan rasakan. Untuk setiap masalah, besar atau kecil, ia datang pada saya. Ketika saya tidak bisa memberikan solusi sekalipun, ia tetap berkata,”Kenapa kamu selalu membuatku merasa nyaman dan lega? Tanpamu aku tidak bisa apa-apa.” Bahkan saat saya hanya duduk diam mendengarkanpun masih juga dia berkata,”No one understands me the way you do. God really bless you, habibati.” Sungguh indah caranya membesarkan jiwa, dan saya tahu Tuhan memberkatinya!

Masa kecil, kepedihan, luka-luka di masa lalu, kejadian sehari-hari, cita-cita, harapan, kerinduan, ketakutan, dan kekhawatiran, adalah semua hal yang ia bagikan hanya pada saya. Jika ada temannya yang ingin mengetahui suatu hal mengenainya atau mengatakan sesuatu tapi karena suatu hal sungkan menyampaikan padanya secara langsung, mereka pasti datang pada saya. Dianggap berarti oleh seorang pecundang yang kesepian tentu sama sekali bukan hal yang membanggakan. Namun dijadikan pelabuhan oleh sosok yang disukai semua orang pastilah hal yang sangat istimewa. Dan itu membuat saya merasa sangat terhormat. Seakan itu semua belum cukup, ia masih juga mengklaim saya sebagai ‘ibu, ayah, kakak lelaki, kakak perempuan, kekasih hati, belahan jiwa, teacher, dan path leader’. Hingga detik ini saya masih sering tak mengerti mengapa ia menganggap saya demikian berarti, sekeras apapun usahanya meyakinkan saya. Hatinya memang manis luar biasa.

Ketika saya kembali ke Manado, ia kehilangan arah karena ditinggal pergi orang yang paling ia percaya sepanjang hidup. Teman-teman dekatnya bahkan meminta saya kembali ke Semarang karena ia benar-benar bagaikan anak ayam kehilangan induknya. “Kasihan momonganmu, Mbak May. Kelakuannya sekarang aneh, bahkan dia mulai bergaul dengan orang-orang nggak jelas, Mbak,”demikian kata mereka. Namun tangan saya terikat. Hati sayapun patah, dan satu-satunya alasan saya tetap bisa berjalan lurus hanyalah karena saya punya bekal pengalaman hidup 12 tahun lebih lama darinya. Semua hal mengingatkan kami akan satu sama lain, dan kami jatuh bangun dalam waktu yang lama untuk kembali menegarkan diri. Hati kami kembali patah ketika ia pulang ke negaranya. Saya mungkin sedikit berlebihan membandingkan hubungan kami seperti Kahlil Gibran dan May Ziadah yang selalu merasakan keberadaan satu dengan lainnya, meskipun mereka sama sekali tak pernah bertemu selama 30 tahun menjalin hubungan platonic. Namun demikianlah kami laksana Kahlil dan May ketika sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri atas perpisahan ini. Ia selalu ada dalam setiap hal yang saya pikirkan. Ia selalu membayangi, mengawasi, dan melindungi dalam setiap perkara yang saya lakukan. Beberapa kali saat sedang memikirkan sebuah tulisan, entah bagaimana dengan jelas saya bisa mendengarnya mengungkapkan pendapat, seperti dulu ketika kami berdiskusi mengenai tulisan-tulisan saya. Pernah 4 kali saya menguji apakah itu hanya halusinasi semata. Saya memancingnya dengan topik dimana saya merasa mendengarnya berpendapat, dan ternyata SEMUA PENDAPATNYA TERNYATA TEPAT SEPERTI APA YANG SEAKAN SAYA DENGAR. Saya tidak tahu misteri pekerjaan Tuhan dengan segala malaikat-Nya, namun saat itu juga saya tahu satu hal: ia adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim dari atas untuk membantu saya melewati apapun, tak peduli sejauh apa jarak memisahkan kami.

Yang paling menyentuh, ia bersikeras hanya mau melihat yang terbaik dari saya dan dengan sengaja memilih memandang sepi semua kekurangan saya. Suatu hari saat ia sudah pulang ke haribaan ibu pertiwinya, dengan sedih saya curhat bahwa saya kehilangan damai sejahtera karena sedang sangat tidak menyukai seseorang. Begitu tidak sukanya saya pada orang itu bahkan sampai pada taraf nyaris membencinya. Ia terperanjat dan berkata,”No way! You must be talking about someone else, because that person is not my Kekey!” Tak punya pilihan lain, saya bersikukuh,”Well, this is your Kekey now. She’s changed a lot.” Dan sayapun segera menyiapkan diri untuk dimarahin, karena memang saya paham bahwa sesungguhnya kelakukan saya busuk dan saya membenci diri sendiri karena ini. Tak dinyana ia malah kembali ngeyel, bahwa saya selalu baik pada siapa saja termasuk orang yang menyakiti, dan sebagainya. Kalaupun marah sampai ngamuk hanya sebentar, dan betapa saya punya hati yang ‘clear and pure as a child’. Saya menolak keras, karena ini sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang sedang saya jalani. Kamipun eyel-eyelan, dan karena bosan akhirnya dengan tegas dia berkata,”You listen to me! This is only the temporary Kekey! Kekey yang busuk ini hanyalah Kekey asli yang sedang salah jalan dan pasti tidak akan lama, karena Kekey yang asli sangat baik.”

Bahkan di saat saya salah jalanpun ia menuntun saya kembali tanpa sedikitpun menudingkan jari! Ia sungguh manis, teramat manis, dan tahu bagaimana caranya membesarkan hati. Ia benar-benar kakak lelaki, kekasih hati, belahan jiwa, ibu, ayah, dan pohon peneduh pada saat yang bersamaan. Itulah salah satu hal yang membuat hubungan batin kami sangat kuat. Seringkali saya tak bisa tidur karena merindukan hari-hari bersamanya, lalu setelah berdoa meminta Tuhan melindunginya sayapun bisa tidur dengan tenang. Ternyata esoknya ia menceritakan hal sama seperti yang saya rasakan, sebelum saya sempat bercerita akan apa yang saya alami. Beberapa kali tanpa saling bercerita dan sepakat, kami mendapati bahwa ternyata kami berdoa bahkan berpuasa untuk satu sama lain. Tak terhitung berapa kali kami memikirkan, melakukan, dan merasakan hal serupa pada waktu yang sama, padahal kami dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu lebar dan panjang. Bahkan Kinasihpun merasakan hal yang sama. Suatu hari ia tiba-tiba menangis meraung-raung merindukan Om Mayda (demikian Kinasih memanggilnya), dan menghabiskan waktu seharian membicarakan semua kenangan manis mereka. Besoknya, saya mendapati inboxnya yang masuk waktu subuh yang berarti sekitar jam sembilan malam di sana, berkisah,”Sepanjang hari ini aku gelisah. Ternyata aku merindukan Kinasih, dan hampir tidak berhasil menahan air mata waktu mengenangnya.” Betapa melegakannya ketika seseorang menerima kita secara keseluruhan sebagai paket yang utuh! Sekarang, setiap kali mengingat masa-masa pencobaan yang kelam itu, saya selalu bersyukur bahwa sekalipun luar biasa pahit ujian yang Tuhan berikan, namun Ia begitu murah hati memberikan silih berupa sesosok malaikat penghibur dan pelindung tanpa sayap, yang senantiasa berjaga-jaga bagi saya.

Semua nama yang saya sebut di dalam dua tulisan ini adalah mereka yang mendampingi saya dalam suka, dan terlebih duka. Dalam masa-masa paling pekat yang saya pikir tidak akan sanggup saya lalui, mereka membantu saya mengeringkan air mata lebih cepat daripada seharusnya. Mereka membuat saya tetap tertawa. Mereka memberi semua yang bisa mereka beri, namun tidak pernah mencela apapun pilihan hidup saya. Dan bila saya salah, mereka menegur tanpa membuat saya berkecil hati. SATU KALIPUN MEREKA TIDAK PERNAH MENGHAKIMI. Apapun yang mereka katakan, mereka membuat saya satu inci lebih tegak lagi. Mereka adalah bukti bahwa Tuhan mewujudkan diri dalam berbagai wujud kelamin, warna kulit, bahasa, dan agama. Saya sangat yakin bahwa ada tali tak terlihat yang menghubungkan tangan mereka dengan tangan Tuhan. Berkat merekalah anak-anak saya sampai sekarang masih punya ibu. Saya tak akan pernah merasakan puncak kebahagiaan sebagai perempuan ketika cucu saya lahir kalau saja Tuhan tidak mengirimkan mereka dalam hidup saya, karena waktu itu memang saya sudah berada dalam tahap sangat putus asa hingga sempat ingin mencabut nyawa sendiri. Air mata saya bercucuran saat menuliskan ini, dan dalam setiap tetesnya mengalir rasa terima kasih saya pada mereka.

Saya berani memertaruhkan apapun yang saya miliki, bahwa kalau saja di negeri ini ada lebih banyak orang seperti mereka, maka tidak akan ada perempuan yang membunuh anak-anaknya karena tekanan mental dan ekonomi untuk kemudian mengakhiri dirinya sendiri. Tidak akan ada orang dengan hati hancur lalu melarikan kehancuran itu pada hal-hal yang jahat; menjadi pelacur, pembunuh, pemukul anak istri, pengguna narkoba, dan lain-lainnya. Jika semua orang menjahit hati temannya yang sedang terkoyak-moyak seperti yang dilakukan sahabat-sahabat saya, maka negeri ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang kuat dan bahagia. Dan negeri dengan orang-orang seperti itu tentulah negeri yang damai dan sejahtera. Orang-orang seperti para sahabat saya itulah yang sangat dibutuhkan oleh negeri kita, Indonesia, yang saat ini penuh dengan hati yang terkoyak. Saya berdoa tulisan ini akan menginspirasi siapapun yang membacanya untuk menjadi seperti, dan bahkan lebih baik, daripada sahabat-sahabat saya. Tuhan memberkati mereka. Tuhan memberkati saya dengan memberikan mereka. Tuhan memberkati anda. Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Para Sahabat (I)

Saya adalah orang yang sangat diberkati, sebab dalam keadaan apapun selalu dikelilingi oleh teman dekat dan sahabat-sahabat yang mendampingi saya dalam suka dan duka. Dan terlebih lagi, mereka semua menerima saya apa adanya (ya mesthiii….lha wong kalau mereka menunjukkan gelagat tidak bisa menerima saya apa adanya, pasti saya langsung bereaksi. Kalau perlu menghindar secepat kilat :)). Mereka selalu ada pada saat dibutuhkan, tepat seperti pepatah ‘a friend in need is a friend indeed’. Dan sekarang ini, saya hendak membagi kisah tentang orang-orang istimewa yang mendampingi saya di periode paling kelam dalam hidup, dan oleh merekalah saya kembali bangkit. Beberapa dari mereka adalah:

1.      Mamad (dulu saya pernah tahu nama lengkapnya, sekarang lupa :)).
Kami sudah berteman dekat sejak 1998 dan terpisah selama beberapa tahun sebelum akhirnya bertemu lagi pada medio 2010-an. Ia adalah teman diskusi lintas agama, politik, budaya, dan blablabla yang sangat mengasyikkan, sekaligus bahan olok-olokan yang sangat empuk. Kami biasa ngobrol sampai subuh, dan tiap kali habis berdiskusi dengannya biasanya saya mendapatkan pencerahan. Mungkin karena ia kerap saya bantu jaman masih susah, giliran saya susah ia gantian menjadi ATM berjalan yang tulus dan ikhlas. Kalau sedang kepepet saya tinggal telpon lalu berseru,”Mad, aku BU (Butuh Uang)!”, dan tak lama kemudian sekian juta rupiah masuk ke rekening saya. Dan jangan salah! Itu semua bukan pinjaman, ya, melainkan cuma-cuma. Ia juga yang selalu mengingatkan saya untuk tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah. Tapi belakangan Mamad jadi agak menyebalkan, karena sering mendesak-desak saya masuk Islam, bahkan membayangkan saya pake kerudung dan jalan bareng ibu-ibu PKK menenteng kitab untuk belajar mengaji segala :). Biasanya saya menghardik,”Jaman muda dulu gelagatnya bakal kayak Gus Dur, giliran tua malah simpatisan Amrozi!” Mamad cengengesan. Kalau saya membentak,”Jangan kau kira semua rupiahmu bisa membeli imanku!”, ia tambah cekikikan dan justru kian bersemangat dalam upayanya mengintimidasi saya :).

2.      Gembul (yang ini boro-boro nama lengkapnya, nama panggilan aslinya saja saya tidak tahu :)).
Ia sudah menjadi bagian dari keluarga saya sejak SMA, padahal tidak begitu jelas dari mana asal-usulnya J. Orangnya sangat lembut padahal badannya segede mesin cuci dua tabung kapasitas 20 kilo. Sejak dulu kegemarannya mengajak makan, dan tidak peduli sedang bokek atau tidak, ia sangat royal dalam menghamburkan uang untuk menraktir kami. Kalau diajak pergi ke toko mainan oleh Gembul, motto yang saya tanamkan pada si kecil Kinasih adalah ‘Shop ‘till Oom Gembul Drop’ :). Sejak dulu ia juga menganggap saya super woman, dan lebih sering tanpa alasan jelas. Misalnya saat membicarakan perempuan-perempuan jaman sekarang, dengan segenap keyakinan ia berkata,”Cewek-cewek sekarang nggak kayak kamu yang apa-apa bisa, May, bahkan termasuk urusan rumah tangga.” Haaa??? Maksudnya??!! Lha wong rumah selalu berantakan, baju-baju cuma dilipat begitu saja termasuk baju pergi (saya terakhir menyetrika baju mungkin setahun lalu atau bahkan lebih :)), kalau masak selalu sambil ngomel-ngomel dan merasa terdzolimi tanpa alasan, bahkan bikin teh hangat saja rasanya seringkali lebih mirip kobokan (kalau saya buatkan teh, Gembul biasanya menambahkan ini atau itu supaya rasanya jadi agak mendingan J), lalu atas dasar apa semua puja-puji tersebut ia lontarkan? Tapi semua protes saya tak pernah digubris, dan hingga kini Gembul tetap yakin bahwa saya adalah perempuan terhebat kedua setelah ibunya. Aneh.

Gembul selalu memberikan cerita-cerita motivasi yang menyegarkan dan geli setengah mati untuk setiap lelucon saya, segaring apapun itu. Ini sangat penting, karena saya selalu berkata pada diri sendiri bahwa ‘daya pikatku terutama adalah karena aku karena humoris dan apa adanya’ :). Gembul juga sangat ringan tangan dan bersikap sangat mengayomi. Sabarnya minta ampun, tak peduli saya sedang rewel sampai ke ubun-ubun sekalipun. Ia adalah jenis orang yang membuat saya tenang, dan selalu menyayangi saya dengan tulus tanpa sedikitpun merasa bangga karenanya. Waktu saya kembali ke Manado, ia begitu diguncang kesedihan sampai bicaranya tersendat-sendat. Kalimat perpisahannya yang paling membuat sanubari saya tergetar adalah,”Di mana lagi aku bisa menemukan orang yang bisa kuajak nge-trek makan petai?”


Hal yang menyebalkan darinya adalah dia gendut banget, sampai melihatnya saja saya berasa sesak napas. Terus tampangnya selalu kucel, padahal jaman duluuuuu….banget sepertinya pernah agak cakep. Mbak Na dan Dik Pita, salah satu kakak dan adik saya, malah bersikukuh bahwa di balik semua timbunan lemak itu, sesungguhnya tersembunyi wajah setampan Tommy Soeharto (“Versi lecek,” balas saya tandas). Yang lebih ngeselin, kalau saya paksa diet dan make over dia malah berkelit,”Memangnya kalau aku ramping dan mempesona, kamu mau kawin sama aku, gitu?”.

3.      Herdie ‘Simbah’.
Sebenarnya ia tidak pernah masuk dalam daftar sahabat saya. Herdie ini teman SMP dan baru sering ngobrol justru ketika kami lulus dan masuk SMA berbeda. Ceritanya, lulusan SMP kami dulu kebanyakan melanjutkan ke SMA Katholik favorit juga. Hanya segelintir yang mau masuk SMA negeri, diantaranya saya untuk memenuhi keinginan Bapak. Walhasil teman-teman jaman SMP (cowok semua, karena dulu saya tomboy banget) yang pada masuk Kolese Katholik itu tiap hari menyatroni rumah saya. Mereka sering bolos dan memenuhi sesaki rumah (termasuk kamar saya), sedangkan saya sendiri rajin berangkat sekolah dengan motivasi bertemu teman-teman dan menunggu bel pulang berdentang. Adalah hal biasa bila pulang sekolah saya mendapati cowok-cowok gondrong kumal itu –termasuk Herdie- bergeletakan seantero rumah bagai sampah masyarakat, atau membuat kamar saya jadi baunya minta ampun.

Sutralah. Singkatnya, hampir 20 tahun kemudian saya memasuki fase paling pahit dalam hidup, dan Herdie mendadak muncul. Belakangan ia tahu saya gemar menulis, dan membuatkan blog berbayar ini. Ia juga memberi saya banyak dukungan, motivasi, dan semangat hidup, padahal kondisinya juga lagi susah. Mengenai ini, ia mengatakan hal yang membuat saya terharu. Jaman SMA dan sering bolos di rumah saya, beberapa kali malam Minggu saya dan Ibu mendapati Herdie tetap nongkrong di rumah sementara yang lainnya sudah pada kabur. Siap-siap malam Mingguan, termasuk saya. Kami heran kenapa dia tidak siap-siap, dan dia bilang nggak punya duit sepeserpun, jadi mendingan ngadem di kamar Si May aja. Lalu dia tidur, dan saya pikir cerita berakhir sampai di sini. Ternyata waktu bangun, dia menemukan di dompetnya sudah ada sepuluh ribu perak. (jaman dulu duit segitu gede banget, dan seingat saya cukup buat nonton dua orang lalu pulangnya makan di restoran fastfood). Herdie bilang pelakunya kalau bukan saya ya pasti Ibu, karena hanya kami berdualah yang tahu bahwa dia bokek total. Itulah salah satu hal yang membuatnya sangat menyayangi saya dan Ibu, dan terus mengenangnya hingga detik ini. Padahal suwer, saya benar-benar tetap tidak ingat pernah melakukan hal itu, tak peduli sekeras apapun usaha Herdie untuk mengingatkan saya. Dan ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa membalas kebaikan yang dulu pernah saya lakukan padanya. Saya sampai berkaca-kaca, tidak percaya Herdie begitu baik sampai mengingat hal-hal semacam itu; hal-hal yang saya abaikan begitu saja. Hal yang menyebalkan darinya adalah kalau ngomong nggak jelas. Jadi kalau ngobrol lewat telepon, saya terus-menerus berseru,”Haaa? Apa? Ngomong apa? Ulangin!” Kesannya kan saya budheg banget.
Catatan: Mamad, Gembul, dan Herdie ini adalah cowok-cowok yang sama sekali enggak lucu (yang biasanya langsung saya coret dari daftar teman –apalagi jadi sahabat. Mimpi!- karena saya paling malas berdekatan dengan orang yang tidak humoris. Namun kekurangan yang sangat penting itu dihapus oleh segala kelebihan mereka yang jauh lebih penting.

4.      Septi (saya tidak pernah tahu nama lengkapnya J), teman sekelas jaman SMA yang psikolog atau apalah gitu dan punya sekolah, tapi kalau sedang ada masalah ya curhatnya ke ‘guru spiritual’ gratisan yang selalu berhasil memberi solusi terbaik: Yuanita Maya :). Septi adalah pendengar yang sangat baik (mungkin karena sudah terbiasa memberikan terapi pada orang-orang bermasalah). Ia sangat menyayangi Kinasih serta memenuhi semua keinginannya, sehingga Kinasih memanggilnya Mami. Ia selalu mendorong saya untuk melakukan hal-hal yang berguna bagi orang lain, walaupun kemungkinan ia tidak menyadarinya. Ia adalah orang yang selalu ingin memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, dan untuk ini saya sangat mengaguminya. Hal berikut yang membuat saya mengaguminya adalah karena ia dan suaminya pacaran sejak SMA (jaman dulu saya pernah naksir suaminya yang juga teman sekelas :)), dan mereka sangat kompak sampai hari ini. Plus ia berhasil mendidik anak-anaknya dengan sangat baik meskipun sibuk luar biasa.

Namun ada dua hal yang menyebalkan darinya. Yang pertama, kalau saya sedang under pressure, dia justru memberi saran psikologis yang menyesatkan. Contohnya saat saya stress berat gara-gara ditinggal Inoy si anjing angkat sampai-sampai mengalami delusi (lalu parno sendiri karena saya pikir saya sudah gila), dengan cueknya Septi bilang gini, “Yaaaah, anggap saja dirimu adalah anak indigo.” DHANG! Kelas kambing banget nggak, sih?! Saya ngamuk-ngamuk mendengar solusi yang melecehkan itu dan dia malah cekikikan. Akhirnya kami cekikikan berdua, yang kemudian lumayan meredakan stress saya. Well, paling tidak mission accomplished :). Hal kedua yang menyebalkan darinya adalah: dia tidak bakal menelepon atau sms duluan, kecuali kalau BENAR-BENAR perlu. Sialan. Tapi paling tidak dia menganggap saya soulmate, jadi cukuplah itu menghibur hati yang terluka atas kelakukannya yang sok Y.

5.      Siti ‘Ambon Centeng’ Amanah, yang seperti Septi juga merupakan teman sekelas waktu SMA, terpisah selama bertahun-tahun, dan kembali dekat belakangan tahun ini. Ia benar-benar sosok kekar ber-aura centeng asal Ambon nan berhati keibuan (kesan itu sekarang sudah jauh berkurang, karena belakangan tahun ini ia selalu memakai busana muslimah yang rapat, termasuk memakai jilbab untuk menutupi rambutnya yang MW –Mak Whug a.k.a ngembang banget :)). Preman yang satu ini baiknya luar biasa. Ketulusannya sering membuat saya merasa sebagai seorang pecundang. Yang membuat saya kagum, ia mengingat semua kemurahan hati yang saya lakukan padanya belasan tahun lalu, PADAHAL SAYA SAMA SEKALI TIDAK MERASA MELAKUKANNYA, APALAGI MENGINGATNYA. Ia selalu kelimpungan setiap kali saya mendapat kesulitan, dan hanya bisa tenang kalau sudah berhasil membantu saya. Menghadapi kebiasaannya ini, saya (yang tak tahu terima kasih) dan Septi ngerasanin sambil cekikikan, intinya: Lha wong yang kena saja masalah biasa-biasa aja, kenapa dia yang petakilan, ya? :).

Walaupun anaknya empat berurutan bagai penghuni panti asuhan (saya dan Septi tak pernah berhasil mengingat nama anak-anak itu), tapi dia sangat memerhatikan Kinasih. Perhatian itu membuat si kecil lebih suka memanggilnya Umi A’am ketimbang Tante Ambon seperti yang saya dan Septi ajarkan. Ia juga orang dengan semangat belajar yang tinggi, sampai kami sering meledeknya, “Hobi kok kuliah.” Dengan empat anak laki-laki yang masih pada precil (paling tua kalau tak salah kelas II SD dan yang bungsu balita), ia punya dua gelar sarjana, dan belum lama ini menyelesaikan studi notariat atau apalah. Benar-benar semangat yang membara, terlebih secara finansial ia masih jauh dari ukuran kaya.

Ambon adalah orang yang sangat setia kawan, selalu membantu saya mengurus ini itu, dan rajin menemani saya sana-ke mari di sela-sela pekerjaan, kesibukan kuliah, dan kerepotan mengurus empat cindhil. Dalam masa-masa sulit ketika itu, ia berjuang keras untuk membuat saya merasa terhibur. Ia juga sangat setia mendengar setiap keluh kesah saya, walaupun tanggapannya lebih sering enggak nyambung dan malah bikin emosi :).
Yang menyebalkan darinya adalah ia suka ngerasanin kekurangan teman lain, dan sering saya bentak-bentak karena ulahnya ini. Kalau saya marah-marahi begini biasanya dia hanya mengibaskan tangan sambil berkata,”Engko sik, to! (‘Ntar dulu, dong!)”, lalu lanjut ngerasanin. Hal menyebalkan kedua adalah kelakuannya yang sering memancing emosi dengan cara-cara yang sama sekali tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Tapi setiap kali kami hardik dan damprati, Ambon hanya cekikikan dengan ekspresi yang membuat kami justru tambah emosi. Ia benar-benar personifikasi Dr. Jeckyl and Mrs. Hyde; di satu sisi sangat baik dan di sisi lain memancing orang menjadi ndolimin :). Oh ya, jam karetnya KW1. Kalau saya, Septi, dan anggota genk ‘The Mbecak Sisters’ lainnya bikin janji misalnya jam lima, kami akan bilang bahwa kencan kami adalah jam 3!

6.      Feni Setiawati a.k.a Meme a.k.a Cina 5 watt (karena Cina tapi item banget, sampai kalau kami jalan SELALU saya yang dikira Cina :)).
Kami bertemu di tempat kos jaman kuliah, dan sejak itulah kami bersahabat erat. Dari dulu, entah kenapa, kami sering marahan bagai anak kecil baik kala berdekatan maupun berjauhan. Bedanya saya kalau marah mendiamkan, sedangkan dia membentak-bentak (kalau sedang face to face kadang sambil kakinya dihentak-hentak. Kalau dia sudah histeris begitu, biasanya saya pura-pura terpekur dan memasang mimik terpukul, tapi sambil cekikikan dalam hati dan membatin,”Kok malah kayak nge-rap sambil break dance, ya?” :)). Saya sendiri pernah begitu marah lalu mendiamkannya sampai beberapa tahun. Sebetulnya tidak berniat mendiamkan selama itu, sih, tapi kemudian sibuk sendiri terus kelupaan sampai sekitar 3 tahunan. Serius.

Kami dekat dengan keluarga masing-masing, karena sejak dulu sering menginap di rumah satu sama lain. Saudara-saudara perempuannya (Yuli, Linda, dan Vera) juga sangat welcome pada saya dan Kinasihpun dekat dengan keponakan-keponakannya. Maminya baik hati dan jago masak. Mami juga cuek walaupun tiap kali saya tidur di sana, Meme dan saya selalu cekakakan dan bertingkah bagai orang gila dari pagi sampai malam sejak hari kedatangan saya, sampai saya melambaikan tangan dari dalam bis. Beliau bahkan tidak merasa terganggu saat nonton sinetron kesayangannya, saya dan Meme ngobrol dengan suara menggelegar di ruang yang sama, lalu ngakak-ngakak sampai bergulingan di lantai. Paling-paling Mami hanya menyela,”Dari tadi ketawa terus apa nggak lemes? Makan dulu sana.” Kamipun break makan sesaat, lalu membuat keributan lagi sampai larut. Kadang-kadang kami mengisi waktu melakukan kegiatan tak bermutu seperti mencoba berbagai kostum ajaib lalu joged-joged dan foto-fotoan atau hal-hal memalukan lain, padahal sudah sama-sama tuwir. Mami tetap cuek dan stay tune dengan sinetronnya tanpa sedikitpun usaha untuk menegur kelakuan kami. Pernah kami telpon-telponan sambil cekikikan padahal ada dalam satu kamar, sehingga Abel, anak sulung saya, berkomentar singkat,”Idiotis.” Pokoknya asal bersama Meme bahkan hingga kini, level idiot saya melonjak melewati ambang batas, sehingga kalau kepala saya dipasangin mesin deteksi ketololan, pasti ada suara mbak-mbak otomat berkata,”Over capacity! Warning! Over capacity! Last warning! Please rebooth!”

Melawan pendapat umum tentang karakter pelit etnis Tionghoa, Meme adalah Cina yang sangat murah hati dan itu membuat saya sangat kagum. Kalau melihat kelakuan sesama etnis yang pelit, ia selalu mengumpat dengan emosi,”Cina edan, pelite ora karuan (pelitnya enggak karuan)!” Sayapun menghardik,”Kaya dapurmu apik-apik.a dhewe! Lha memange kowe dudu Cina edan? (kaya mukamu yang paling bagus! Lha emangnya kamu bukan Cina edan?).” Masih dengan kesal ia berkelit,”Pancen aku Cina edan, ning kan ora pelit! (memang aku Cina edan, tapi kan enggak pelit!)” :). Ia bahkan pernah berantem dengan Maminya sambil mengatai,”Mami ki wis Cina, pelit sisan! (Mami tu udah Cina, pelit lagi!)”. Mami menyahut tak kalah sengit,”Cina ora pelit ki ya dudu Cina! (Cina enggak pelit itu ya bukan Cina!)” :).

Meme adalah orang yang sangat sederhana walaupun Maminya boleh dibilang berada. Ia menjahit baju-bajunya sendiri, tidak neka-neka, gemar sekali memberi pertolongan pada siapapun, dan sama sekali tak mengagungkan kecantikan ragawi (padahal saya dulu sangat iri pada kulitnya yang gelap, tubuh pipih tinggi, dan wajah manis dengan mata bagai kucing. Benar-benar cantik dan eksotis). Ia sangat setia kawan sekaligus maha bodoh dalam urusan rumah tangga (sekali-kalinya setrika, ia membuat hati Linda terluka. Waktu itu ceritanya Linda buru-buru sekali ke sekolah padahal seragam masih kusut. Meme menawarkan diri menyetrikakan seragam itu, yang ternyata malah berakhir BOLONG DENGAN CETAKAN SETRIKAAN). Hal-hal itulah yang menyatukan kami dalam jalur yang sama (selain kemampuan menjahit, tentu saja. Boro-boro bikin baju, saya menjahit bet lokasi seragam anak saja hasilnya lengan baju malah nempel jadi satu :)). Karena berbagai kesamaan itulah kami masih langgeng sampai sekarang biarpun sering sekali marahan (oh ya, kalau saya sedang marah dan mendiamkan, Meme sangat tegar dalam usahanya membujuk. Ia tetap setia mengirim sms, bahkan berkata bahwa dirinya berlinang air mata saat melihat foto saya yang sedang pakai wig kribo. Saat membaca sms itu sebetulnya saya juga berlinang air mata karena rindu dan sesal, tapi tetap jual mahal :)).

Ia juga selalu tertawa dan memancing tawa. Di kalangan keluarga dan teman-teman dekat, saya dikenal sebagai joker karena kebiasaan ngebodor tak kenal waktu dan tempat (apalagi kalau pakai Bahasa Jawa yang membuat urat malu saya selalu putus, bahkan hingga beradegan komik slapstick di tempat umum). Tapi sesungguhnya saya sama sekali tidak ada seujung kuku hitam dibandingkan ke-koplak-an Meme. Dia adalah orang paling sinting yang pernah saya temui seumur hidup. Entah berapa kali ia membuat saya terkencing-kencing di celana, baik di ruang privat maupun di tempat umum, gara-gara kelakuannya yang seratus persen sarap. Kami punya kebiasaan sms-an berbentuk pantun atau minimal persamaan bunyi, dan kalau main pantun biasanya temanya mengandung unsur SARA J. Misalnya suatu pagi saya mengirimnya pantun:
Cina kere dodolan tempe, adol awit isuk ora payu-payu (Cina miskin jualan tempe, jualan sejak pagi nggak laku-laku) J.
Selamat pagi, Me. Semoga hari ini kau sudah siap berperang pantun denganku.”
Atau begini:
Cina ora sopan lungguh pekoko’an. Dilokke uwong Cinane malah ngguyu (Cina enggak sopan duduk pekangkangan. Ditegur orang Si Cina malah cekakakan) J.
Aku wis ngantuk arep mapan. Tapi sak durunge turu aku arep ndongakke awakmu (aku sudah ngantuk dan tubuh hendak kubaringkan. Tapi sebelum tidur aku akan mendoakan dirimu).

Dia begitu terharu oleh pantun tersebut, sampai-sampai tidak sanggup membalasnya malam itu juga J. Begitu dekatnya kami sampai hal-hal seperti itu (yang bagi sebagian orang bisa dijadikan alasan untuk bakar-bakaran bahkan bunuh-bunuhan) hanya kami jadikan bahan becandaan. Suatu hari ia pernah sms saya gini,”Aku begitu takut kau tinggal mati! Sebab kalau kau pergi, siapa yang akan jadi partnerku dalam sms-an pakai persamaan bunyi?” J. Butuh buku tersendiri untuk menceritakan kelakuan gilanya dan kelakuan gila kami berdua sejak jaman kuliah sampai sekarang saya sudah punya cucu. Dan kalau saya terbitkan (termasuk kumpulan pantun dan sms kami yang sebagian masih saya simpan), buku itu pasti bakalan membuat Radika Ditya langsung terdepak dari pasaran J.

Meme adalah orang yang secara khusus ditugaskan Tuhan untuk menaburkan bubuk tawa dan kebahagiaan di atas kepala saya, dan saya selalu mensyukuri hari dimana saya memutuskan untuk menempati kos yang sama dengannya. Saya akan selalu mencintainya tanpa batas, walaupun ia punya dua kebiasaan yang LUAR BIASA MENJENGKELKAN:
1.      Kalau melakukan apapun lamanya minta ampun. Saat menunggunya mencuci piring atau apa, saya sering diam-diam berkhayal menendang bokongnya, menggunduli rambutnya, atau melakukan berbagai tindak kriminalitas lainnya. Ia tentu saja tak pernah menyadari ekspresi saya yang penuh kebencian dan haus darah, karena sibuk berceloteh sambil menyabuni piring yang itu-itu saja sejak 6-9 menit terakhir.
2.      Tiap kali diajak ngobrol hal yang serius –misalnya masalah bangsa dan negara- PASTI ketiduran sambil duduk dengan mulut menganga.

Dan setelah saya pikirkan lebih lanjut, ternyata –selain Meme- nama-nama yang saya sebut di atas itu adalah teman-teman baik yang lama menghilang bahkan sampai belasan tahun, kemudian mendadak pada muncul begitu saja saat saya berada pada titik yang paling nadir dalam hidup. Dan mereka masing-masing memenuhi apa yang saya butuhkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kelebihan yang satu menutupi kekurangan yang lain, sehingga semua yang saya perlukan pun tercukupi. Luar biasa Tuhan! Ia benar-benar tahu apa yang saya butuhkan, dan memberikannya pada waktu yang sangat tepat. Sekarang, tiap kali menengok kembali ke masa-masa itu, saya mengerti bahwa ketika hidup seakan tak ada harapan sekalipun, Tuhan ternyata diam-diam tengah bekerja. Dan Ia bekerja dengan seribu satu cara untuk menopang tangan kita, hingga sekalipun kita jatuh tetapi tetap tak akan tergeletak.

Saya menangis hari demi hari ketika itu, mengeluh mengapa Ia tak kunjung mengulurkan tangan dan membantu. Saya meratap dalam doa yang menyayat-nyayat, memohon Ia melakukan keajaiban yang dahsyat. Namun ternyata keajaiban itu muncul dengan cara yang sangat sederhana: teman-teman saya. Maka siapapun anda yang tengah berada dalam himpitan masalah, merataplah. Meratap dan terus berharaplah, karena Ia diam-diam tengah menyiapkan keajaiban untuk anda yang tengah lelah. Saya tahu pasti, karena itu semua pernah saya alami. Tuhan memberkati! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).