Minggu, 12 Februari 2012

Dan Ibupun Menangis....

Selama hidup saya beberapa kali memelihara binatang. Sepasang kura-kura bodoh dan aneh bernama Angel dan Angelo, kucing-kucing bernama U'un, I'in, A'an, dan Evan, ayam kesayangan bernama Tina, dan burung hantu liar nyasar yang akhirnya berhasil dijinakkan suami saya, yang saya beri nama Jarot. Saat mereka mati, tentu saja saya sedih. Tapi saya tidak larut berlama-lama, dan bisa menerimanya dengan lapang dada. Namun lain halnya saat Inoy pergi. Ya, Inoy, induk Alanis dan Patrice yang jadi tokoh utama dalam posting saya terakhir. Tak hanya menangis meraung-raung, selama berhari-hari -bahkan sampai detik ini- hampir setiap 10 menit air mata saya meleleh tanpa bisa saya kendalikan. Dan ketika saya sudah tidak kuat menahan, saya akan menangis tersedu-sedu di tempat tersembunyi supaya tidak terlihat oleh putri saya, sebab iapun berduka sama banyaknya seperti saya. Saking berdukanya, pada hari ke-2 dan ke-3 saya bahkan sempat mengalami delusi.

Saya bertanya-tanya, mengapa saya bisa berduka begitu dalam, sedangkan bukan hanya kali ini saya ditinggal mati binatang kesayangan? Bahkan beberapa kali saya harus terpisah dengan anjing-anjing saya sebelumnya. Setelah saya telaah, ternyata ini semua bukan semata-mata karena rasa sayang saya pada Inoy, melainkan lebih kepada apa yang telah ia berikan pada kami.

Inoy adalah anjing yang sangat devotif. Ke manapun saya pergi selalu diikuti, termasuk ke kamar mandi. Dan saat saya harus mengeluarkannya karena rumah sedang dipel, ia akan memandang saya dengan tatapan seakan bertanya, "Mengapa...????". Lalu saat saya muncul membawa pel untuk membersihkan teras, ia akan bergegas bangkit, menatap dari jauh, memandang saya dengan ekspresi yang besar kemungkinan berarti, "Sekarang sudah boleh dekat-dekat?". Ia memuja saya. Dambaannya yang terbesar adalah berada di dekat saya. Betapa besar hati saya mendapatkan luapan cinta semacam itu.

Dan bukan cuma itu saja. Ia adalah anjing penjaga yang sangat peka. Rumah saya yang terletak di pojok dengan halaman luas dan banyak pepohonan, nyaris terkucil, adalah sasaran empuk bagi pencuri. Tapi selama ada Inoy, tak ada seorangpun yang berani mendekat, padahal rumah tak pernah saya kunci siang malam. Dan ia adalah pemburu tikus yang sangat fanatik. Satu-satunya masa di mana saya bebas dari kelibatannya adalah ketika ia sedang berkonsentrasi menunggu kemunculan tikus-tikus tersebut. Militansinya terlihat dari ketabahannya berjaga di dekat liang tikus dari malam sampai subuh, tanpa sedikitpun memicingkan mata. Rumah saya yang didisain terbuka adalah mangsa empuk bagi tikus. Tapi Inoy adalah teror yang bagi mereka sangat horor.

Itu hanyalah segelintir dari jasa dan bakti Inoy kepada kami. Maka ketika ia pergi, hati kami rasanya terbelah. Rasanya tak kunjung kering sumber air mata ini, meskipun tiap saat saya hambur-hamburkan tanpa perhitungan. Demikianlah sebagai perempuan yang merawat dan mengasuhnya, saya patah hati karena kepergiannya. Sebab ia telah memberi begitu banyak bakti dan cinta.

Sayapun bertanya-tanya, sebagai anak negeri ini, akankah ibu pertiwi menangisi kepergian saya suatu saat nanti? Akankah ibu pertiwi merasa kehilangan, menderita kerugian besar, dan meratapi kepergian saya? Kemungkinan besar tidak, jika saya masih menjalani hidup seperti saya menjalani tahun-tahun sebelum ini, selama ini. Tahun-tahun di mana saya habiskan untuk memikirkan kepentingan diri sendiri, anak saya, keluarga saya, golongan saya. Jika seorang Yuanita Maya mati dalam kondisi sekarang ini, paling banter yang menangis keras adalah keluarga saya. Yang menangis lebih keras adalah mereka yang kepadanya saya masih berhutang dan belum bayar, entah karena belum mampu atau pura-pura lupa. Tapi Ibu Pertiwi? Saya yakin tidak. Karena saya belum pernah memberikan sumbangsih apapun untuk tanah kelahiran saya. Selama ini saya hanya menikmati apa-apa yang telah tersedia secara cuma-cuma di Indonesia. Yang saya lakukan selama puluhan tahun hanyalah mengambil. Tapi belum pernah sekalipun saya mengembalikan, apalagi memberi.

Lain halnya jika saya telah membaktikan tahun-tahun terbaik saya bagi negeri ini. Ketika saya pergi, negeri ini pasti akan berduka. Seperti yang terjadi ketika Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, Munir, Romo Mangun, dan mereka yang telah memberikan banyak jasa pada negeri ini mangkat. Negeri ini, bumi Indonesia ini, banjir oleh air mata. Itulah yang memang sewajarnya terjadi ketika seseorang yang mengisi hidupnya dengan memberi pergi. Lalu masih dengan berduka, orang bertanya-tanya, "Kapan lagi ada orang seperti mereka?" Pertanyaan sama yang juga saya lontarkan pada diri sendiri, tanpa sedikitpun sadar, bahwa dalam banyak hal saya juga bisa melakukan kebaikan dan bakti bagi ibu pertiwi, meskipun mungkin tidak sehebat apa yang telah mereka lakukan. Tapi jika setiap orang dari kumpulan manusia Indonesia yang berjumlah ratusan juta ini berpikiran sama, memberikan bakti bagi negeri ini, dalam derajat apapun, sepanjang itu adalah yang terbaik, betapa akan kuat, gagah, makmur, dan jayanya negeri ini. Sebab sebatang lidi yang besar masih bisa dipatahkan, namun sekumpulan lidi kecil yang liat akan sulit untuk diretakkan. Sebatang lidi yang besar mungkin hanya bisa digunakan untuk meyabet kecoak, namun sekumpulan lidi kecil bisa menyapu kotoran macam apapun. Sekumpulan besar manusia Indonesia yang memberikan sumbangsih kecil akan memberi sumbangan besar bagi negeri ini. Dan bila ini sudah terjadi, pada saat kita pergi menghadap Sang Khalik, ibu pertiwipun akan menangis, meratapi kepergian anak-anaknya yang telah memberi bakti dan cinta....

3 komentar:

  1. Mbak, turut berduka yah atas kehilangannya. Entah mengapa, postingan Mbak May dua terakhir bernuansa sedih, bahkan nuansa sedihnya tersebut sampai terasa ke dalam postingan yang Mbak May goreskan ini. Yang kuat ya mbak, kalau bener-bener nggak kuat, mencoba ngobrol aja sama yang di Atas sana. Mudah-mudahan cukup mengobati. Saya hanya bisa berdoa semoga Mbak May diberi kekuatan yang cukup untuk melewati semua ini.

    ps: dengan langkah yang Mbak May lakukan, gerakan-gerakan yang kita lakukan, percaya koq mbak, Indonesia akan berubah menjadi lebih baik. Sapulidi nggak akan ada kalau nggaka da sebatang lidi pembentuknya :)

    BalasHapus
  2. Iya, saya memang sedih luar biasa. Sampai-sampai selama hampir 2 minggu ini saya kehilangan selera makan dan kehilangan 4 kilogram berat badan. Yang paling membuat tertekan adalah rasa bersalah yang begitu mencekam. Untungnya selama sebulan sebelum mereka pergi saya sudah mendapat firasat dengan selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, "Bagaimana, ya, kalau aku kehilangan mereka? Kuat nggak, ya?" Rasa takut kehilangan tersebut membuat perhatian saya pada mereka kian berlimpah selama sebulan terakhir. Kalau tidak, mungkin saya akan berakhir dengan mengajak ngobrol tiang listrik atau kerikil dan rerumputan. Terlebih karena mereka pergi karena virus yang sangat ganas. Vaksin si kecil Alanis dan Patrice memang belum sempurna karena masih belum waktunya, sedangkan vaksin ulangan Inoy tahun ini belum diberikan. Saya sekarang benar-benar mengerti maksud Brian May waktu dia bernyanyi 'Too much love will kill you in the end.' Sampai saat ini saya masih merasakan sakit akibat kehilangan, kerinduan, dan rasa bersalah. saya malas melakukan apapaun. Rasa seluruh persendian saya bagaikan dicabut dari tempatnya. Tiap hal mengingatkan saya pada mereka, terlebih Inoy. Tiap perkara mengingkatkan saya pada cinta, bakti, dan devosi mereka pada saya. Semoga saya bisa melewati sisa hidup dengan derajat cinta, bakti, dan devosi yang mereka punya pada Indonesia.
    Terima kasih, Lomar, simpatimu sungguh menghibur dan menguatkan saya. Di tengah linangan air mata, saat ini saya bersyukur karena Tuhan memberi saya teman yang baik dan peka seperti Lomar. Dan semoga kita bisa menjadi lidi-lidi yang menguatkan negeri ini. Tuhan memberkati.

    BalasHapus
  3. Semoga menguatkan ya mbak. Tuhan memberkati juga :)

    BalasHapus