Kamis, 23 Februari 2012

‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaan….?’? Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman (bagian 2).


Sebuah anekdot tentang pegawai negeri/birokrat yang entah diciptakan oleh siapa: tersebutlah kehebohan di bawah sebuah gedung bertingkat yang cukup tinggi. Orang-orang berkerumun dan mendongakkan kepala dengan cemas, karena ternyata di atas sana ada seorang galau yang tengah berusaha bunuh diri. Massa berteriak-teriak panik berusaha mencegah orang nekad tersebut, sebagian berusaha menelpon polisi, ambulan, pemadam kebakaran atau apalah. Lalu ada seorang dari antara kerumunan penonton yang sedari tadi memicingkan mata berusaha melihat dengan jelas siapa pelaku usaha bunuh diri tersebut, berteriak: “Tenang, saudara-saudara! Tak perlu panik! Saya kenal orang yang berusaha melompat itu. Dia tetangga saya, seorang pegawai negeri kawakan. Yang namanya pegawai negeri di mana-mana lelet, lebih lamban daripada kura-kura. Jadi nggak perlu panggil polisi atau siapapun. Kalau dia lompatnya sekarang paling jatuhnya minggu depan.” Demi mendengar teriakan tersebut, massapun membubarkan diri dengan tenang dan damai.

Hehehe… Jahat, ya? Iya, sih. Tapi lucu :). Para pegawai negeri yang membaca anekdot ini, piiiissss :), semoga anda bukan termasuk dari jutaan pegawai negeri yang terkenal lebih lamban dari kura-kura itu (sebagai catatan, dalam kehidupan sehari-hari saya melihat ada banyak pegawai negeri yang tangkas dan kredibilitasnya boleh dipuji). Jika ya, semoga anda tertampar dan langsung trengginas bak cheetah dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh dan dibayar dari pajak rakyat (halah). Baiklah, mari kita mulai.

Apakah benar jika saya berkata bahwa birokrat adalah bagian dari pemerintahan? Semoga iya, karena kalau tidak berarti tulisan di bawah ini bakal salah semua dan menyesatkan pembaca, hehehe… Lagi-lagi saya merasa perlu bicara soal pemerintah. Dalam beberapa tulisan saya, termasuk posting saya sebelumnya, saya dengan jelas menuliskan rasa sebal saya pada orang-orang yang bisanya cuma mengritik pemerintah. Sampah numpuk, pemerintah. Padahal yang buang sampah bukan cuma pemerintah. Orang miskin sakit, salah pemerintah. Padahal si miskin hidup dikelilingi oleh banyak orang (yang sayangnya pada nggak peduli padahal giat beribadah). Busung lapar, pemerintah kena salah, padahal makanan bergizi di Indonesia berlimpah ruah dengan harga murah dan penderita busung lapar tersebut nggak hidup sendirian (baca posting saya berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’, ‘KITA INI BANGSA TEMPE!!!’ dan ‘Anak-anak Sapi yang Cerdas dan Ceria’ sebagai referensi). Aparat makan suap mulai dari kelas coro sampai kelas kakap, pemerintah lagi yang salah, padahal lakon suap adalah sesuatu yang sifatnya mutual yang artinya nggak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja dan biasanya pihak penyuap adalah bagian dari rakyat, entah besar atau kecil. Kemiskinan membelit tak kunjung usai, lagi-lagi pemerintah yang disalahkan. Selain pemerintah, yang langganan jadi kambing hitam adalah sistem. ‘Kemiskinan struktural!!’ demikian raung para aktivis baik LSM, jalanan, maupun Facebook dan twitter dengan garang. Padahal sistem sebusuk apapun akan kalah oleh mental yang kuat dan semangat saling membantu (baca posting saya sebelumnya). Dan kemiskinan sejahat setan demit manapun akan patah jika kita takut akan TUHAN dan tahu bagaimana menyenangkan hati-Nya sehingga demikian hujan berkat dilimpahkan, sehingga yang miskinpun jadi kaya (baca posting jadul saya berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam Jadi Kaya’, dan ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’).

Kalau mau ditulis semua bagaimana kita menghujat pihak lain atas segala ketimpangan dan kepapaan yang terjadi di negeri ini, saya jamin sampai tahun depan saya belum akan habis menulis saking banyaknya. Sekali lagi saya bukan pemuja pemerintah. Bagi saya, pemerintah Indonesia dari jaman Orla, Orba, dan seterusnya sampai sekarang ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tiap-tiap periode pemerintahan punya keberhasilannya sendiri, yang sepatutnyalah kita apresiasi, yang mana sayangnya tidak (baca posting saya ‘Salah Empat atau Betul Enam Belas?). Dan tiap-tiap periode juga punya kegagalannya sendiri, yang mana seharusnya kita kritisi, dan memang sudah kita lakukan secara konsisten dengan segenap semangat seperti yang diturunkan oleh para pejuang kemerdekaan. Militansi rakyat Indonesia dalam mengritik memang layak dipuji dan yang saya sayangkan biasanya berhenti sampai di tahap ini (baca posting saya ‘Virus dan Antinya’).

Saya tidak tahu berapa total penduduk Indonesia secara tepat sekarang dan berapa rasio perbandingannya dengan jumlah birokrat dari level RI 1 sampai sekian juta. Tapi ijinkan saya bikin asumsi ngawur (kalau ada yang tahu mohon koreksi, karena sejak seminggu terakhir saya tak kunjung berhasil mendapat data yang valid), yakni anggap saja jumlah rakyat Indonesia adalah 240 juta (sekali lagi saya juga nggak tahu berapa usia produktif, berpendidikan, dan sebagainya) dan pemerintah adalah 20 persen. Berdasarkan rasio perbandingan ngawur a la Yuanita Maya tersebut, jumlah aparat pemerintah adalah 48 juta. Nah, asumsikan saja dari 48 juta birokrat tersebut bodoh dan lamban semua, dengan program yang buruk semua, yang mana jelas tidak mungkin karena nyatanya ada banyak program pemerintah yang bagus, yang sayangnya luput dari pengamatan kita yang biasa nyinyir ini. Tapi taruhlah begitu, yakni 192 juta rakyat Indonesia diatur oleh 48 juta orang bodoh dan lamban, apa yang kira-kira menurut anda bakal terjadi? Kemiskinan struktural abadi, jurang perbedaan kelas yang kian tajam, kesemrawutan, dekadensi, keruntuhan di segala bidang, apa lagi? Ataukah seperti yang sering saya dengar dari siapapun –teman-teman FB, para pengamat sosial, akademisi, aktivis, dsb: ‘negeri ini benar-benar sudah rusak, dan rakyat Indonesia sangat menderita’?. Hebat sekali, ya, negeri kita bisa dirusak hanya oleh pemerintah? Hebat sekali, ya, rakyat yang jumlahnya ratusan juta itu bisa dibikin menderita oleh hanya pemerintah? Memangnya sedungu dan setidak berdaya apa ratusan juta rakyat Indonesia sampai bisa dijadikan bulan-bulanan sedemikian rupa?

Dan memang itulah intinya. Selama ini kita lupa akan betapa luar biasa potensi yang dianugerahkan oleh TUHAN kepada mahluk ciptaan-Nya yang disebut manusia. Yang paling sederhana, kabarnya otak manusia secara normal bisa menampung hingga 6 milyar data. Dan saya perhatikan TUHAN tak pernah lalai memberikan talenta pada tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya, bahkan pada mereka yang mengalami keterbatasan fisik dan mental sekalipun. Saya jadi ingat salah satu film yang tak kunjung bosan saya tonton yakni ‘Mercury Rising’. Salah satu tokoh utamanya adalah seorang anak autis yang punya kemampuan luar biasa membaca pola-pola rumit yang tak terbaca oleh manusia ‘normal’ lainnya. Di lain kesempatan saya membaca anak autis yang bisa membuat puisi dalam 7 bahasa tanpa pernah mempelajarinya, dan sebagainya. Intinya, manusia yang mengalami retardasi saja Ia beri kemampuan luar biasa, terlebih yang hidup dalam kondisi normal menurut ukuran umum. Dengan sekian ratus juta rakyat, hampir semuanya (saya bilang hampir karena di luar sana ada yang menderita retardasi mental secara akut sehingga –maaf kata- benar-benar tak bisa melakukan apa-apa selain gerakan tak terkontrol) diberi kelebihan dan talenta untuk membangun diri sendiri dan bangsa, serta hampir semua mengaku percaya Tuhan dan rajin beribadah sehingga pasti sudah fasih akan apa kehendak Tuhan pada dirinya, maka adalah suatu ironi yang sama sekali tidak lucu jika Indonesia masih juga dibelit kemiskinan dan berbagai masalah yang bersifat multidimensional.

Bukan jamannya lagi menggantungkan nasib pada pemerintah dan segala sistem. Sejarah mencatat kritik-kiritik pada pemerintah adalah hal yang sangat jadul, dan nyatanya kritikan sama sekali tak merubah apa-apa. Ijinkan saya berbagi sedikit tentang salah satu pandangan hidup saya: betapa bodoh dan lemahnya saya jika kemiskinan, kekayaan, kepandaian, kedunguan, kesehatan, kesakitan, kekurangan, keberlimpahan saya, dan sebagainya bergantung pada pemerintah dan sistem-sistem di luar sana. Betapa lemah dan tidak bergunanya saya sebagai mahluk ciptaan TUHAN yang Ia ciptakan dengan segenap cinta, jika saya tidak bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi dan segenap talenta yang saya dapat dari-Nya secara cuma-cuma. Jika saya ingin berhasil menurut ukuran duniawi dan surgawi, maka pertama-tama yang saya lakukan adalah kembali ke kitab suci yang saya imani dan mempelajari apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Sebab saya percaya, TUHAN begitu murah hati dan kaya raya, dan sama sekali tidak pernah terbersit dalam niat-Nya untuk menciptakan umat yang kere, galau, dan sakit-sakitan. Ia menginginkan kekayaan dan damai sejahtera bagi mahluk ciptaan-Nya. Jadi sekali lagi, bila saya ingin menjadi seperti yang Ia inginkan, maka pertama-tama saya harus kembali ke kitab dan menyelidiki serta menjalankan rahasia kebenaran firman-Nya. Yang kedua, untuk hidup berkelimpahan dan damai sejahtera, saya harus mengoptimalkan semua asset yang saya miliki, termasuk manusia-manusia yang ada di sekitar saya.

Pengalaman membuktikan, bahwa ketika saya jatuh, TUHAN mengulurkan tangan-Nya lewat orang-orang yang mengasihi saya. Digabungkan dengan semangat serta kemampuan mengucap syukur, maka saya bisa mengatasi semua masalah dengan mudah. Saya bersyukur pada orang-orang yang banyak memperhatikan dan menguatkan saya, sehingga saya tak pernah terjatuh berlama-lama. Saya bayangkan bila semua orang di Indonesia punya kepedulian seperti yang saya terima dari keluarga dan teman-teman saya. Saya bayangkan bila semua orang di Indonesia punya sikap mental optimis seperti saya. Saya bayangkan bila semua orang Indonesia percaya bahwa TUHAN terlalu baik untuk membiarkan saya menjadi orang susah lebih lama dari yang saya perlukan, seperti yang saya imani ini (boleh dong GR dikit :) ). Dengan rumusan sederhana ini, saya percaya tidak akan ada lagi kemiskinan dan kericuhan di Indonesia.

Saatnya kita percaya bahwa manusia adalah kekuatan terbesar yang pernah ada, jauh melebihi semua sistem yang ada di dunia. Saatnya kita menggali potensi diri, kembali kepada TUHAN, dan berbagi apapun yang kita miliki pada sesama, terutama orang-orang yang terdekat dengan kita. Jika demikian halnya, maka nama TUHAN benar-benar akan dipermuliakan di Indonesia. Jika anda sepakat dengan saya, mari kita bergandengan tangan, bahu membahu memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama, bagi bangsa dan negara kita. Bisa dimulai dengan cara yang sangat sederhana, yakni dengan menyebarkan semangat ini pada siapapun yang anda temui. Sehingga dengan demikian tak akan ada lagi orang bernyanyi ‘Rakyat adil makmurnya kapaaannn…?’, karena pertanyaan itu sudah kita jawab dengan kerja dan semangat kita bagi Indonesia.

Tuhan memberkati kita, Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


2 komentar: