Sebuah anekdot tentang pegawai negeri/birokrat yang entah
diciptakan oleh siapa: tersebutlah kehebohan di bawah sebuah gedung bertingkat
yang cukup tinggi. Orang-orang berkerumun dan mendongakkan kepala dengan cemas,
karena ternyata di atas sana ada seorang galau yang tengah berusaha bunuh diri.
Massa berteriak-teriak panik berusaha mencegah orang nekad tersebut, sebagian
berusaha menelpon polisi, ambulan, pemadam kebakaran atau apalah. Lalu ada
seorang dari antara kerumunan penonton yang sedari tadi memicingkan mata
berusaha melihat dengan jelas siapa pelaku usaha bunuh diri tersebut,
berteriak: “Tenang, saudara-saudara! Tak perlu panik! Saya kenal orang yang
berusaha melompat itu. Dia tetangga saya, seorang pegawai negeri kawakan. Yang
namanya pegawai negeri di mana-mana lelet, lebih lamban daripada kura-kura.
Jadi nggak perlu panggil polisi atau siapapun. Kalau dia lompatnya sekarang
paling jatuhnya minggu depan.” Demi mendengar teriakan tersebut, massapun
membubarkan diri dengan tenang dan damai.
Hehehe… Jahat, ya? Iya, sih. Tapi lucu :). Para pegawai negeri yang membaca
anekdot ini, piiiissss :), semoga anda bukan termasuk dari jutaan pegawai negeri yang
terkenal lebih lamban dari kura-kura itu (sebagai catatan, dalam kehidupan
sehari-hari saya melihat ada banyak pegawai negeri yang tangkas dan
kredibilitasnya boleh dipuji). Jika ya, semoga anda tertampar dan langsung
trengginas bak cheetah dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh dan
dibayar dari pajak rakyat (halah). Baiklah, mari kita mulai.
Apakah benar jika saya berkata bahwa birokrat adalah bagian
dari pemerintahan? Semoga iya, karena kalau tidak berarti tulisan di bawah ini
bakal salah semua dan menyesatkan pembaca, hehehe… Lagi-lagi saya merasa perlu
bicara soal pemerintah. Dalam beberapa tulisan saya, termasuk posting saya
sebelumnya, saya dengan jelas menuliskan rasa sebal saya pada orang-orang yang
bisanya cuma mengritik pemerintah. Sampah numpuk, pemerintah. Padahal yang
buang sampah bukan cuma pemerintah. Orang miskin sakit, salah pemerintah.
Padahal si miskin hidup dikelilingi oleh banyak orang (yang sayangnya pada
nggak peduli padahal giat beribadah). Busung lapar, pemerintah kena salah,
padahal makanan bergizi di Indonesia berlimpah ruah dengan harga murah dan
penderita busung lapar tersebut nggak hidup sendirian (baca posting saya
berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’, ‘KITA INI BANGSA TEMPE!!!’ dan
‘Anak-anak Sapi yang Cerdas dan Ceria’ sebagai referensi). Aparat makan suap
mulai dari kelas coro sampai kelas kakap, pemerintah lagi yang salah, padahal
lakon suap adalah sesuatu yang sifatnya mutual yang artinya nggak mungkin
dilakukan oleh satu pihak saja dan biasanya pihak penyuap adalah bagian dari
rakyat, entah besar atau kecil. Kemiskinan membelit tak kunjung usai, lagi-lagi
pemerintah yang disalahkan. Selain pemerintah, yang langganan jadi kambing
hitam adalah sistem. ‘Kemiskinan struktural!!’ demikian raung para aktivis baik
LSM, jalanan, maupun Facebook dan twitter dengan garang. Padahal sistem sebusuk
apapun akan kalah oleh mental yang kuat dan semangat saling membantu (baca
posting saya sebelumnya). Dan kemiskinan sejahat setan demit manapun akan patah
jika kita takut akan TUHAN dan tahu bagaimana menyenangkan hati-Nya sehingga
demikian hujan berkat dilimpahkan, sehingga yang miskinpun jadi kaya (baca
posting jadul saya berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam Jadi Kaya’, dan
‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’).
Kalau mau ditulis semua bagaimana kita menghujat pihak lain
atas segala ketimpangan dan kepapaan yang terjadi di negeri ini, saya jamin
sampai tahun depan saya belum akan habis menulis saking banyaknya. Sekali lagi
saya bukan pemuja pemerintah. Bagi saya, pemerintah Indonesia dari jaman Orla,
Orba, dan seterusnya sampai sekarang ada kekurangan dan kelebihannya
masing-masing. Tiap-tiap periode pemerintahan punya keberhasilannya sendiri,
yang sepatutnyalah kita apresiasi, yang mana sayangnya tidak (baca posting saya
‘Salah Empat atau Betul Enam Belas?). Dan tiap-tiap periode juga punya
kegagalannya sendiri, yang mana seharusnya kita kritisi, dan memang sudah kita
lakukan secara konsisten dengan segenap semangat seperti yang diturunkan oleh
para pejuang kemerdekaan. Militansi rakyat Indonesia dalam mengritik memang
layak dipuji dan yang saya sayangkan biasanya berhenti sampai di tahap ini
(baca posting saya ‘Virus dan Antinya’).
Saya tidak tahu berapa total penduduk Indonesia secara tepat
sekarang dan berapa rasio perbandingannya dengan jumlah birokrat dari level RI
1 sampai sekian juta. Tapi ijinkan saya bikin asumsi ngawur (kalau ada yang
tahu mohon koreksi, karena sejak seminggu terakhir saya tak kunjung berhasil
mendapat data yang valid), yakni anggap saja jumlah rakyat Indonesia adalah 240
juta (sekali lagi saya juga nggak tahu berapa usia produktif, berpendidikan,
dan sebagainya) dan pemerintah adalah 20 persen. Berdasarkan rasio perbandingan
ngawur a la Yuanita Maya tersebut, jumlah aparat pemerintah adalah 48 juta. Nah,
asumsikan saja dari 48 juta birokrat tersebut bodoh dan lamban semua, dengan
program yang buruk semua, yang mana jelas tidak mungkin karena nyatanya ada
banyak program pemerintah yang bagus, yang sayangnya luput dari pengamatan kita
yang biasa nyinyir ini. Tapi taruhlah begitu, yakni 192 juta rakyat Indonesia
diatur oleh 48 juta orang bodoh dan lamban, apa yang kira-kira menurut anda
bakal terjadi? Kemiskinan struktural abadi, jurang perbedaan kelas yang kian
tajam, kesemrawutan, dekadensi, keruntuhan di segala bidang, apa lagi? Ataukah
seperti yang sering saya dengar dari siapapun –teman-teman FB, para pengamat
sosial, akademisi, aktivis, dsb: ‘negeri ini benar-benar sudah rusak, dan
rakyat Indonesia sangat menderita’?. Hebat sekali, ya, negeri kita bisa dirusak
hanya oleh pemerintah? Hebat sekali, ya, rakyat yang jumlahnya ratusan juta itu
bisa dibikin menderita oleh hanya pemerintah? Memangnya sedungu dan setidak berdaya
apa ratusan juta rakyat Indonesia sampai bisa dijadikan bulan-bulanan
sedemikian rupa?
Dan memang itulah intinya. Selama ini kita lupa akan betapa
luar biasa potensi yang dianugerahkan oleh TUHAN kepada mahluk ciptaan-Nya yang
disebut manusia. Yang paling sederhana, kabarnya otak manusia secara normal
bisa menampung hingga 6 milyar data. Dan saya perhatikan TUHAN tak pernah lalai
memberikan talenta pada tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya, bahkan pada mereka yang
mengalami keterbatasan fisik dan mental sekalipun. Saya jadi ingat salah satu
film yang tak kunjung bosan saya tonton yakni ‘Mercury Rising’. Salah satu
tokoh utamanya adalah seorang anak autis yang punya kemampuan luar biasa
membaca pola-pola rumit yang tak terbaca oleh manusia ‘normal’ lainnya. Di lain
kesempatan saya membaca anak autis yang bisa membuat puisi dalam 7 bahasa tanpa
pernah mempelajarinya, dan sebagainya. Intinya, manusia yang mengalami
retardasi saja Ia beri kemampuan luar biasa, terlebih yang hidup dalam kondisi
normal menurut ukuran umum. Dengan sekian ratus juta rakyat, hampir semuanya
(saya bilang hampir karena di luar sana ada yang menderita retardasi mental
secara akut sehingga –maaf kata- benar-benar tak bisa melakukan apa-apa selain
gerakan tak terkontrol) diberi kelebihan dan talenta untuk membangun diri
sendiri dan bangsa, serta hampir semua mengaku percaya Tuhan dan rajin beribadah
sehingga pasti sudah fasih akan apa kehendak Tuhan pada dirinya, maka adalah suatu
ironi yang sama sekali tidak lucu jika Indonesia masih juga dibelit kemiskinan
dan berbagai masalah yang bersifat multidimensional.
Bukan jamannya lagi menggantungkan nasib pada pemerintah dan
segala sistem. Sejarah mencatat kritik-kiritik pada pemerintah adalah hal yang
sangat jadul, dan nyatanya kritikan sama sekali tak merubah apa-apa. Ijinkan saya berbagi sedikit tentang salah satu pandangan hidup saya: betapa bodoh dan lemahnya
saya jika kemiskinan, kekayaan, kepandaian, kedunguan, kesehatan, kesakitan,
kekurangan, keberlimpahan saya, dan sebagainya bergantung pada pemerintah dan
sistem-sistem di luar sana. Betapa lemah dan tidak bergunanya saya sebagai
mahluk ciptaan TUHAN yang Ia ciptakan dengan segenap cinta, jika saya tidak
bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi dan segenap talenta yang saya
dapat dari-Nya secara cuma-cuma. Jika saya ingin berhasil menurut ukuran
duniawi dan surgawi, maka pertama-tama yang saya lakukan adalah kembali ke
kitab suci yang saya imani dan mempelajari apa yang Tuhan ingin saya lakukan.
Sebab saya percaya, TUHAN begitu murah hati dan kaya raya, dan sama sekali
tidak pernah terbersit dalam niat-Nya untuk menciptakan umat yang kere, galau,
dan sakit-sakitan. Ia menginginkan kekayaan dan damai sejahtera bagi mahluk
ciptaan-Nya. Jadi sekali lagi, bila saya ingin menjadi seperti yang Ia
inginkan, maka pertama-tama saya harus kembali ke kitab dan menyelidiki serta
menjalankan rahasia kebenaran firman-Nya. Yang kedua, untuk hidup berkelimpahan
dan damai sejahtera, saya harus mengoptimalkan semua asset yang saya miliki,
termasuk manusia-manusia yang ada di sekitar saya.
Pengalaman membuktikan, bahwa ketika saya jatuh, TUHAN
mengulurkan tangan-Nya lewat orang-orang yang mengasihi saya. Digabungkan
dengan semangat serta kemampuan mengucap syukur, maka saya bisa mengatasi semua
masalah dengan mudah. Saya bersyukur pada orang-orang yang banyak memperhatikan
dan menguatkan saya, sehingga saya tak pernah terjatuh berlama-lama. Saya
bayangkan bila semua orang di Indonesia punya kepedulian seperti yang saya
terima dari keluarga dan teman-teman saya. Saya bayangkan bila semua orang di
Indonesia punya sikap mental optimis seperti saya. Saya bayangkan bila semua
orang Indonesia percaya bahwa TUHAN terlalu baik untuk membiarkan saya menjadi
orang susah lebih lama dari yang saya perlukan, seperti yang saya imani ini (boleh dong GR dikit :) ). Dengan rumusan sederhana ini, saya percaya tidak akan ada
lagi kemiskinan dan kericuhan di Indonesia.
Saatnya kita percaya bahwa manusia adalah kekuatan terbesar
yang pernah ada, jauh melebihi semua sistem yang ada di dunia. Saatnya kita
menggali potensi diri, kembali kepada TUHAN, dan berbagi apapun yang kita
miliki pada sesama, terutama orang-orang yang terdekat dengan kita. Jika
demikian halnya, maka nama TUHAN benar-benar akan dipermuliakan di Indonesia. Jika
anda sepakat dengan saya, mari kita bergandengan tangan, bahu membahu
memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama, bagi bangsa dan negara kita.
Bisa dimulai dengan cara yang sangat sederhana, yakni dengan menyebarkan
semangat ini pada siapapun yang anda temui. Sehingga dengan demikian tak akan
ada lagi orang bernyanyi ‘Rakyat adil makmurnya kapaaannn…?’, karena pertanyaan
itu sudah kita jawab dengan kerja dan semangat kita bagi Indonesia.
Tuhan memberkati kita, Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Bagus amat.
BalasHapusKok tau? Hihihi.
BalasHapus