Kamis, 19 September 2013

Sarintan dan Engkong-Engkong Selanjutnya

Biarpun sering menang lomba nulis dan debat serta jagoan lagipula pintar dalam bikin analisa, tapi saya ini dungu luar biasa dalam urusan matematika. Entah berapa kali saya gonta-ganti guru les, dan tidak ada satupun yang tak mengundurkan diri karena frustrasi. Saya tidak menyalahkan mereka, karena siapa sih yang tahan menghadapi keledai berlama-lama? J. Sejak SMP, nilai saya di raport semester ganjil selalu lima, itupun KATROLAN, karena ulangan-ulangan harian saya tak pernah mendapat nilai lebih dari empat. Kalau di raport kenaikan kelas saya dapat nilai enam, itu berarti katrolannya lebih dahsyat lagi. Hingga pada suatu hari waktu kelas III SMP, guru matematika saya cuti melahirkan, dan digantikan oleh guru sepuh (lanjut usia) yang mengajar di kelas lain. Dan kehadiran Pak Sarno –yang lebih sering dipanggil Engkong- membuat sejarah hidup saya berubah total, yakni untuk pertama kalinya raport bayangan saya dapat nilai TUJUH HASIL USAHA SENDIRI DAN SAMA SEKALI BUKAN KATROLAN!!! Ini kemungkinan besar karena beliau sangat lucu, sabar, luar biasa baik hati, dan ekspresi serta gerak-geriknya mengingatkan saya pada Bocah Tua Nakal di Dragon Ball. Engkong punya kebiasaan bawa-bawa gembor penyiram bunga tiap jam istirahat. Hobi ini membuat Engkong dihindari murid-murid cewek, karena kalau ada yang berani mendekat pasti dipaksanya untuk membantu menyiram bunga-bunga di halaman dan teras sekolah. Engkong juga suka menraktir murid-murid cewek (biasanya yang manja, ribut, dan banyak mulut, termasuk saya) dan kami biasa bergantian menraktirnya juga. Kalau saya lemot, Engkong biasanya bilang gini,”Lhoooo….ayu-ayu kok koplong (cantik-cantik kok kosong). Sini Engkong ajari lagi. Kalau belum bisa juga, kamu harus bantu Engkong menyiram bunga satu minggu.” Saya kemudian biasanya merengek-rengek manja lalu mengatai Engkong jahat, suka menyiksa, dan sebagainya, sambil menghentak-hentakkan kaki.

Satu hal mengenai Engkong, waktu saya mengeluh,”Aku kalau matematika kok goblok sekali ya, Kong?”, Engkong berkata,”Ah, masa? Buktinya diajarin Engkong bisa. Lagipula kalau goblok matematika terus kenapa? Yang lain-lainnya kan kamu tidak goblok. Tahu tidak, kamu ini murid yang paling pintar menyiram bunga, lho.” Saya tahu pasti kalimat terakhir itu bisa-bisanya Engkong ngegombal saja, tapi nyatanya saya kejebak, ikhlas pula. Maka selama seminggu setelah itu tiap istirahat saya ngintilin Engkong ke mana-mana sambil bawa-bawa gembor penyiram bunga model kuno dari kaleng yang beratnya minta ampun. Ketika guru yang asli mengajar lagi dan Engkong kembali ke ‘alamnya’, nilai sayapun kembali ke ‘fitrah’ dan bertahan sampai lulus SMA. Engkong, walaupun hanya ‘menjamah’ saya kurang dari tiga bulan, telah membuat penilaian saya tentang diri sendiri berubah, yakni pada dasarnya saya tidak dungu total dalam hal angka. Selama ini saya hanya tidak pernah mendapatkan guru yang mengerti kelemahan saya, itu saja. Engkong memberikan hati pada saya selama beberapa bulan saja, dan saya mengenangnya dengan penuh cinta sepanjang masa.

Sayangnya kita tak akan pernah mengerti terang bila tak pernah melihat gelap. Paradoks ini dengan sempurna dipersembahkan oleh guru Bahasa Inggris saya waktu kelas III SMA. Ini kasus luar biasa, mengingat walaupun sama sekali tak pernah sedikitpun mengeluarkan usaha, saya selalu mendapat nilai sembilan untuk semua pelajaran bahasa termasuk Inggris. Mustinya guru yang satu ini dengan mudah membuat saya jatuh sayang, bukan? Nyatanya tidak. Bahkan menurut saya Ibu ini kabotan jeneng alias keberatan nama. Ia punya nama Jawa yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia kira-kira ‘memberikan perlindungan dan rasa tenang’. Tapi bukannya mengayomi, selama menjadi muridnya saya melihat ia hanya melakukan dua hal: mengajari kosa kata dan tata bahasa serta menebar teror psikologis. Granat teror tersebut secara rutin dan adil ia ledakkan di tiap kelas di mana ia mengajar, dan kata-katanya sungguh menusuk lubuk hati yang paling dalam. Saya sendiri pernah disuruh pindah ke London. Gara-garanya waktu pelajaran saya ketahuan melamun dengan wajah bosan atau usrek sendiri, entahlah, lupa (saya tidak tahu terjemahan usrek dalam Bahasa Indonesia. Maksudnya kira-kira gerak-gerak terus, bikin ini-itu yang nggak penting tanpa suara). Lalu intinya Madam Teror bilang bahwa kalau saya sudah merasa paling Inggris sendiri lebih baik pindah ke London sekalian saja  dan sebagainya. Saya pribadi sih sama sekali tidak tersakiti oleh kata-katanya ini, apalagi waktu istirahat teman-teman saya bersorak-sorai soalnya Si May mau bikin selametan bakal pindah ke London J. Namun di kelas sebelah, Si Maror, Madam Teror, mengatai seorang murid,”Sudah hitam, pesek, bodoh pula.” Di kelas lain, seorang murid perempuan yang bodinya model Pretty Asmara ditusuk dengan kata-kata,”Makanya jangan makan terus. Sekali-kali belajar. Sudah gembrot, tidak ada cantik-cantiknya, bodoh pula.”  

Korban lain di kelas saya adalah satu-satunya murid dari etnis Cina yang kami panggil Sinyo (saya lupa nama aslinya). Waktu SMA saya sekolah di SMA I, salah satu SMA Negeri favorit di Semarang. Tapi entah kenapa, sekolah negeri biar bagusnya seperti apa jarang sekali dimasukin anak-anak Cina, dan si Sinyo ini nyasar ke SMA I dengan alasan yang hinggi kini masih jadi misteri. Nah, salah satu SMA swasta favorit yang muridnya seratus persen Cina (dan pastinya sangat mahal) waktu itu adalah SMA Karangturi. Sebelumnya perlu saya terangkan bahwa ada stereotipi disini, yakni anak-anak Cina lebih cerdas daripada anak-anak Jawa. Entah benar atau tidak, yang jelas Sinyo ini biarpun Cina nyatanya sama sekali tidak cerdas (sori, Nyo, wek!J). Tapi itu sama sekali bukan masalah buat kami teman-temannya. Peduli apa Sinyo Cina, Jawa, Buton, Madura, Siau, atau apapun, ataukah IQ-nya jongkok bahkan tiarap sekalipun, sepanjang dia teman yang baik dan enak diajak becanda? Tapi Maror punya pendapat berbeda. Suatu hari saat Sinyo sekali lagi mendemonstrasikan ketidakcerdasannya (sambil cengar-cengir khas anak remaja), Maror naik pitam. Dengan suara tajam berikut bahasa Indonesia sangat rapih namun wajah berkilat-kilat jahat bak Medusa hanya saja tanpa ular-ular di kepala, Maror berkata,”Saya heran kenapa orang tuamu menyekolahkanmu di sini. Kenapa kamu tidak pindah saja ke Karangturi? Apa karena orang tuamu tidak mampu begitu pula otakmu?” Namanya anak SMA, apalagi cowok, disayat hatinya begitu tetap saja dia cengengesan. Tapi siapa yang bisa mengukur luka hati Sinyo? Kalaupun Sinyo tak sakit hati, apalah hak Maror –terutama sebagai guru- mengata-ngatai muridnya seperti itu, bawa-bawa etnis, dan menghina kondisi finansial orang tuanya pula? Itu baru beberapa kasus dan di angkatan kami saja. Bagaimana dengan angkatan-angkatan sebelumnya? Bagaimana dengan angkatan-angkatan berikutnya? Berapa anak yang dia hina fisiknya, otaknya, ininya, itunya, dan sebagainya? Kalau sulit memahami bahwa ia berhadapan dengan anak remaja yang setia cengengesan setiap saat, kenapa tidak jadi pengacara atau  tentara saja? Kalau tak tahan menghadapi anak yang otaknya agak kendor, lalu kenapa pula ia jadi guru? Lebih baik jadi tukang pukul saja. Ketemu anak blo’on langsung dijotosi, dapat bayaran, selesai urusan.

Si Maror juga punya tatapan mata yang begitu tajam seakan menelanjangi kebodohan tiap murid, dan saya bahkan sama sekali tidak berdusta. Mungkin tiap pagi sebelum berangkat kerja Maror menatap cermin, membulatkan tekad sambil mengepalkan tinju ke angkasa, dan berkata,”Aku ditakdirkan untuk membuat setiap murid yang bodoh merasa menyesal dilahirkan ke dunia.” Dan secara umum bola mata hitam Maror bergerak sistematis mencari-cari celah kesalahan pada tiap anak, tak peduli anak itu bodoh atau pintar tapi bengal macam saya. Status guru benar-benar menutupi rentetan kejahatan Maror dengan sempurna. Ya, ya, silakan anda menyebut saya lebay. Tapi sampai dua puluh tahun sesudahnya (terakhir sekitar 8 bulan lalu), saya kadang-kadang mimpi kembali lagi ke SMA, dan SIALNYA, dalam mimpi-mimpi itu Maror SENANTIASA hadir dengan kekejaman yang tak jauh beda dari kehidupan nyata. Mimpi-mimpi tentang Maror selalu berhasil membuat saya terbangun dalam keadaan dada berdegup kencang, dan sayapun tercekam sampai beberapa hari berikutnya (itu saya yang selalu dapat nilai minimal sembilan. Bagaimana dengan mereka yang kualitas otaknya sama dengan saya dalam hal matematika? Mungkin mereka memimpikan Maror seminggu sekali, lalu depresi berat hingga akhirnya kecanduan obat-obatan telarang). Kenapa saya tak pernah memimpikan Engkong atau hura-hura masa SMA misalnya waktu kelas III bolos dengan separuh teman cewek sekelas lalu nonton film semi blue (cuma keliatan dada doang, itupun sudah pada kebelet pipis. Hihihi), sampai sekarang masih jadi teka-teki. Apakah karena derajat kejahatan psikologis Maror jauh melebihi dampak kebaikan Engkong dan sukacita masa remaja, hingga kini saya tak pernah tahu jawabnya. Yang jelas saya tahu pasti, bahwa kalau jadi anak Maror maka hanya ada dua kemungkinan yang bakal menimpa saya: berakhir di Rumah Sakit Jiwa atau minimal cari ibu baru lalu pindah kota dan ganti nama. Silakan anda mengatai saya murid durhaka, namun jujur, dalam lubuk hati saya sama sekali tak ada rasa hormat pada Maror, bahkan seujung titik hitam mata jahatnya sekalipun. Kadang pula saya berkhayal, kalau saja pencipta lagu Hymne Guru pernah jadi murid Maror (dan bodoh pula), mungkin ia akan memilih karir sebagai tukang jagal. Lalu tiap tahun ia mendapat penghargaan ‘the best employee’, karena senantiasa bekerja penuh kobar semangat lantaran membayangkan daging-daging yang sedang ia garap itu sebagai Maror. Lalu kita selamanya tak akan pernah mendengar lagu yang begitu indah dan menyentuh itu. Syukur kepada Tuhan yang melindungi seni dengan cara menjauhkan si pencipta hymne di atas dari guru macam Maror.

Saya berdoa sepenuh jiwa, kiranya cukuplah seorang Maror di bumi Indonesia. Janganlah kiranya ada lagi Maror-Maror berikutnya. Kalau perlu perbanyak Engkong, supaya setiap anak tahu bahwa kedunguan macam apapun bisa dilawan asal ada tekad dan terutama pembimbing yang tepat. Dan tahukah anda, bahwa saya baru-baru ini bergirang hati karena gelagatnya bakal ada The Next Engkong tapi versi female? Namanya Sarintan Pasaribu Salomo, teman FB sekaligus admin di Grup diskusi Islam-Kristen dimana saya jadi admin pemalas tak tahu ayat tapi sabar, humoris, dan bijaksana (adakah kecap nomer dua? J). Di Grup ini Mak Intan –begitu saya biasa memanggilnya- terkenal ketus dan lekas naik darah (maaf ya, Mak J). Pada anggota grup yang ngeyelan terus kena damprat Mak Intan, saya biasanya bilang gini,”Maklumlah, hai bocah, Mak Intan ini orang Batak (maaf ya, saudara-saudaraku orang Batak J)”. Tapi JANGAN SALAH! Biar galak ternyata Mak Intan ini seorang pemilik sekaligus Kepala Taman Kanak-kanak plus punya day care a.k.a tempat penitipan anak. Jangan buru-buru membayangkan anak-anak malang itu setiap hari pulang dengan kepala benjol karena dijitakin Mak Intan yang tak sabaran. Jangaaan…. Karena jangankan benjol- benjol, mereka malah mendapat perlakuan istimewa. Pernah dalam satu hari saya mendapati Mak Intan meng-up load foto-foto anak-anak day carenya sebanyak dua kali (belum hari-hari lainnya yang saya tidak tahu). Yang pertama adalah dua anak cowok dengan badan penuh dan kelihatan terawat, dengan judul photo: sama-sama suka makan tapi sama-sama sulit tidur (atau begitulah kira-kira). Yang kedua adalah up load dua foto anak cewek imut-imut, dengan keterangan “Dua-duanya sama-sama cerdas dan kritis”. Saya memberi komentar: “Cantik-cantik pula. Emak bapaknya pasti pada bangga.” Lalu Mak Intan membalas,”Jangankan Emak Bapaknya, aku yang hanya gurunya saja bangga bukan kepalang.”

Ada dua perkara besar yang saya catat di sini:
1.    Mak Intan mengenal benar karakter tiap muridnya.  
Berbeda sekali dengan Maror yang datang ke sekolah membawa antena pendeteksi kebodohan murid dan kamus kata-kata keji, Mak Intan menyambut murid-muridnya dengan kepala terbuka dan hati peka, hingga tahu pasti keunikan dari masing-masing mereka. Saya yakin kalau jadi guru SMP atau SMA dan menghadapi murid yang bebal dalam satu mata pelajaran tertentu seperti saya, Mak Intan akan dengan tekun menyisir titik-titik lemah si murid bagaikan anggota satuan gegana dengan alat deteksi metalnya, lalu berusaha keras untuk mencari jalan keluar bagi kebuntuan otak itu. Tepat seperti yang dilakukan oleh Engkong, hanya mungkin bedanya Engkong mem-bully saya dengan gembor penyiram bunga dan Mak Intan bisa jadi mengerjai muridnya dengan sekop untuk menggemburkan tanah. Hihihi.

2.    Mak Intan meresapi murid-muridnya bukan sebagai bakal duit semata.
Punya sekolah apalagi dengan murid anak-anak orang berkecukupan (yang mana terlihat jelas dari tampang mereka di photo) sudah pasti UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Tidak perlu malu, sedangkan pepatah Jawa saja mengatakan ‘Jer Basuki Mawa Bea’, atau ‘Hidup mulia hanya bisa dicapai dengan mengeluarkan biaya (bisa keringat, otak, waktu, dan sebagainya, termasuk materi)’. Jadi kalau day care dan sekolahannya punya fasilitas bagus sudah pasti juga butuh biaya ‘bagus’. Tapi kalau Mak Intan dasarnya mata duitan, manalah ia mau pusing dengan murid ini sulit tidur atau tidak? Tinggal biarkan saja mereka bermain sampai terhuyung-huyung dan pada benjut kejedot tembok, habis perkara. Frasa ‘sulit tidur’, di mata saya, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Mak Intan menganggap serius hal ini. Kalau sudah begitu pastilah Mak Intan juga menghabiskan banyak enerji dan pikiran untuk mencari cara, agar mereka mau menyerah dan menutup mata ketika waktu istirahat tiba. Persis seperti seorang ibu yang pusing menghadapi masalah anak-anak kandungnya sendiri. Persis seperti yang dilakukan Engkong. Ketika guru-guru lain menyerah dengan titik lemah saya dan mengambil jalan pintas dengan mengatrol nilai, Engkong sibuk mencari cara untuk mengalahkannya. Dalam tiap candanya, perintah-perintahnya yang lucu sekaligus menjengkelkan, serta gembor penyiram bunga yang sangat berat itu saya melihat seorang guru yang sesungguhnya. Saya melihat Engkong memandang saya seperti anak kandungnya. Dari balik tiap kerutan di wajah Engkong, saya melihat jiwa mulia yang benar-benar melihat tiap-tiap muridnya, selemah dan sekurang apapun mereka, sebagai anak manusia. Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibimbing entah bagaimana caranya, hingga pada akhirnya anak itu berkata pada diri sendiri,”Ternyata aku pintar juga, ya?”. Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibesarkan jiwanya, dan bukannya justru diiris-iris hatinya seperti yang dilakukan oleh Maror, wanita keji tak punya nurani yang sampai hati menyebut dirinya guru itu. Dan tak seperti Maror yang memandang murid-muridnya sebagai katarsis masalah serta luapan amarahnya pada dunia, Mak Intan meluap hatinya oleh kebanggaan akan murid-muridnya. Tepat seperti Engkong yang tiap kali saya –akhirnya- berhasil memahami satu soal, selalu mengucak ujung rambut saya dan berkata,”Anak Engkong memang hebat!”. Hanya guru yang bermodal kasih tanpa syarat saja yang bisa merasa bangga pada murid-muridnya, seakan mereka adalah anak-anak sendiri.

Engkong dan Mak Intan adalah manusia-manusia yang layak disebut guru. Guru, oleh orang Jawa disebut berasal dari kata digugu (didengar untuk kemudian dilakukan) dan ditiru. Siapapun orangnya yang layak didengar, sudah pasti terlebih dahulu mendengar orang lain. Guru seperti itu adalah mereka yang mendengar muridnya bukan hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati dan rasa. Itulah yang membuat mereka bersabar. Itulah yang membuat mereka tak keberatan dengan separah apapun kekurangan muridnya, dan lebih dari itu, mencari cara agar yang kurang itu menjadi lebih. Suatu hari nanti, entah kapan, saya yakin Mak Intan akan memiliki murid-murid yang mengingatnya dengan cinta setelah berpuluh tahun lewat, seperti yang saya lakukan pada Engkong. Sama halnya dengan cara saya mengenang Engkong, demikian pula Mak Intan dan guru-guru serupa mereka akan dikenang oleh murid-muridnya. Guru seperti mereka itulah yang membuat anak-anak Indonesia tumbuh menjadi baik. Ya, guru serupa itu adalah mereka yang namanya akan selalu hidup dalam sanubari anak-anak didiknya. Pencipta Hymne Guru sama sekali tidak mengada-ada ketika mengatakan, bahwa mereka adalah embun penyejuk dalam kehausan dan pelita dalam kegelapan. Sungguh mereka adalah patriot pahlawan bangsa. Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan guru-guru yang memandang muridnya dengan penuh cinta! Tuhan memberkati guru-guru mulia di Indonesia!

Untuk Engkong yang tengah berjuang melawan kanker dalam suntuk usia. Engkong, engkau mendapat doa dari mana-mana, dari murid-murid yang basah kuyup oleh Gembor Penyiram Cinta-mu (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga). 

Kamis, 12 September 2013

Kasihan Agamanya

Sekar Suket, salah seorang teman FB yang selalu manis tutur katanya, membagi link saya berjudul ‘Alas Sembahyang Itu…’ dengan dilengkapi kalimat begini kira-kira: Pagi-pagi membaca tulisan Mbak Yuanita Maya ini terasa sangat sejuk. Ternyata hidup beragama juga bisa indah.” Sungguh senang hati saya atas apresiasi ini, terutama karena tulisan tersebut berhasil membuat hatinya sejuk pula. Tapi akhir kalimatnya itu kayaknya enggak enak, deh. Kalau ‘hidup beragama JUGA BISA indah’, berarti hidup beragama BIASANYA enggak indah, dong? Duh, celaka! Nurani saya jadi tergelitik, dan setelah saya selidiki dengan seksama dan dalam waktu sesingkat-singkatnya, ternyata terkuak bahwa secara pribadi Sekar selama ini melihat hal-hal buruk semata dari agama. Wajar, sih, soalnya dalam kehidupan sehari-hari memang hal norak yang bisa didapat dalam kotak agama tak terhitung banyaknya. Misalnya, para politikus yang gemar memakai agama sebagai alat kampanye dan giliran sudah kepilih, eh, banyak bohongnya. Atau para pemimpin umat yang khotbahnya suka ngompor-ngomporin dan menjelek-jelekkan agama lain. Atau para umat sendiri yang tampangnya pada alim dengan tutur kata nan diliputi kasih dan sukacita surgawi yang penuh urapan Roh Kudus, tapi begitu menyangkut agama lain mendadak performanya jadi seperti Lucifer yang sedang kampanye. Dan untuk menyempurnakan segala kesan buruk itu, ada para pemimpin umat mata duitan bergaya hidup serba wah, padahal di sekelilingnya masih banyak yang kekurangan. Atau minta sumbangan sambil bawa-bawa nama Tuhan, padahal mobilnya harga milyaran. Segudang, deh, contoh yang bisa membuat siapapun percaya bahwa agama nggak ada baik-baiknya.

Ini bertentangan dengan pendapat saya pribadi, yakni tidak ada agama yang tidak baik di dunia ini. Semua agama, bagi saya, diciptakan dengan muatan-muatan baik, dengan tujuan-tujuan baik pula. Namun berhubung agama dibuat oleh manusia yang sama sekali tak sempurna, maka wajarlah kalau dalam perjalanannya diwarnai dengan hal-hal buruk juga. Memang, saya adalah sejenis orang yang sangat percaya dan hormat pada Tuhan, tapi punya pendapat bahwa agama adalah institusi yang dibuat oleh manusia, entah itu nabi, rasul, atau yang lainnya. Jika ada pihak yang berpendapat bahwa ada tiga agama (termasuk Kristen, agama saya sendiri) diturunkan dari surga dan sisanya tidak, ya silakan saja. Ini bagian dari demokrasi, dan saya punya kewajiban untuk menghormati pendapat orang lain. Jadi buat apa memerdebatkannya? Yang jelas Kitab Suci yang saya percaya tidak pernah menyebut-nyebut hal itu, jadi berdasarkan itu pula saya tetap pada pendapat semula, bahwa semua agama adalah ciptaan manusia yang baik adanya dan seterusnya.
Baiklah, untuk ini saya harus bercerita bahwa saya adalah orang yang tidak pernah mengalami hal-hal buruk dalam kehidupan beragama. Bapak saya Muslim, Emak saya Katholik, dan enam dari tujuh anak mereka yang perempuan semua itu beragama Kristen, sedangkan satu sisanya Muslim. Tidak ada satupun di antara kami yang Katholik, dan Emak saya akur-akur saja. Waktu kecil saya pernah les ngaji dengan guru bernama Pak Toha yang sangat baik hati dan suka mendongeng. Pak Toha juga amat penyabar, walau saya waktu itu kecil-kecil sudah mahir ngibul. Kalau disuruh menghapal ayat Qur’an biasanya saya mendadak terserang rasa ‘pusing yang hanya bisa disembuhkan oleh dongeng-dongeng Islami Pak Toha’. Kalau sholat saya lebih sering ngaku sudah wudhu, padahal hanya cuci tangan dan muka ala kadarnya. Dan seterusnya. Di samping belajar ngaji, saya juga dibawa ke sekolah minggu oleh salah seorang Tante saya dengan diantar-jemput oleh Bapak. Kedua orangtua saya sama sekali tidak pernah memaksakan agama mereka, sejak saya piyik sampai sekarang sudah bangkotan. Dialog lintas agama sesekali kami lakukan, namun kebanyakan mereka memberikan teladan dari sikap hidup sehari-hari. Teladan itu terutama saya dapatkan dari Bapak, mengingat Ibu sudah meninggal sejak hampir 20 tahun lalu.

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua dengan teladan begitu sempurna lepas dari segala kekurangannya. Dan teladan ini –termasuk dalam kehidupan beragama- saya teruskan pada anak menantu saya, Reni, yang seorang Muslimah. Pada Reni sebagai manajer keuangan rumah tangga saya mewanti-wanti, bahwa sekecil atau sebesar apapun uang yang ia terima dari suaminya atau siapa saja, haruslah ia sisihkan 10% kemudian diserahkan pada gereja. Ini wajib dilakukan dalam rangka menghormati Tuhan, dengan cara menegakkan hukum perpuluhan yang diajarkan oleh agama suaminya. Lalu ia harus menyisihkan pula zakat 2,5% demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang Muslim. Harus adil, sebab sebagai Muslimah ia punya menjalankan syariah Islam, biarpun itu duit dicari oleh suaminya atau kiriman keluarga suaminya yang Kristen. Terakhir adalah kewajiban untuk beramal pada janda fakir dan anak yatim, karena baik Islam maupun Kristen sangat menganggap penting keberadaan kaum nan papa ini.
Puji Tuhan, Reni adalah mantu yang penurut, jadi ia melaksanakan semua perintah saya tanpa banyak cingcong (ya iyalah! Gimana nggak nurut, wong tiap kali memberi wejangan selalu saya takut-takuti dengan segala adzab kalau sampai berani tidak melaksanakannya. Hihihi. Begitu seringnya saya bawa-bawa adzab, sampai-sampai dia pernah berkata dengan nada gentar,”Astaghfirullah, Mama! Tidak, saya tidak mungkin seperti itu, Mama! Saya pasti turuti semua perintah Mama, karena saya tidak mau mendapat adzab, apalagi Mama yang mengatakannya.” Sayapun cekikikan dalam hati sambil membatin,”Kasian deh lo.”J Oh ya, kalimat Reni yang diucapkan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu bukan editan, melainkan sungguh seperti itu sebagaimana cara bicara orang Sulawesi TenggaraJ).

Namun di luar ancaman-ancaman itu, saya bersyukur Reni menyerap dengan cepat semangat yang saya contohkan. Kalau Abel, anak laki-laki saya, mulai pasang gelagat malas ke gereja, justru Reni yang mengingatkan. Reni juga mulai membaca Alkitab, karena saya pernah cerita bahwa waktu di Semarang saya juga baca Qur’an (sekarang sih enggak, soalnya waktu balik lagi ke Manado Qur’an-nya enggak saya bawa J). Saat membaca Qur’an, tak pernah sedikitpun terbersit dalam benak saya untuk mencari-cari kesalahan agama Islam. Itu pula yang saya nasihatkan pada Reni, bahwa janganlah membaca Al Kitab untuk mencari-cari kesalahan agama Kristen. Sebab sesungguhnya mencari-cari kesalahan agama lain adalah hal yang sangat bodoh, karena apa yang dianggap benar oleh satu pihak belum tentu benar bagi pihak lain. Jadi buat apa saya baca Qur’an dan Reni baca Al Kitab, dong, kalau begitu? Sederhana saja, yakni untuk memahami apa yang menjadi kepercayaan dan pegangan hidup orang lain. Kalau sudah paham, pasti banyak maklumnya. Kalau sudah banyak maklum, pasti semakin sedikit pula keinginan untuk menuntut apalagi menuding yang lain. Kalau keinginan menuding itu sudah pupus, maka yang ada hanyalah hati yang bersih. Kalau hati bersih, jangankan berselisih dan saling hujat, sedangkan mau berpikir buruk saja malu. Apalagi sampai bilang,”Muhammad Nabi palsu! Islam agama para teroris! Islam tidak kenal toleransi! Yesus Tuhan gadungan! Kristen agama para penjajah! Kristen agama yang melegalkan minuman keras dan baju buka-bukaan!” Blablabla, capek deh.

Selain baca Qur’an, saya juga sangat gemar berdiskusi soal agama dengan teman-teman Muslim. Ada cerita lucu. Belasan tahun lalu, saya berdiskusi soal surga dengan seorang sahabat lama yang kalau tak salah pernah jadi Ketua HMI atau apa gitu, lupa. Sebagai penutup, Si Mamad, panggilan akrab sahabat saya ini, menghimbau saya agar masuk Islam dengan iming-iming ‘surga yang asyik banget karena banyak bidadarinya’. Saya berkelit dan ganti menghimbaunya untuk masuk Kristen dengan iming-iming ‘surga yang pas banget buat wadukmu, karena banyak makanan enak yang boleh dimakan sepuasnya di sana, gratisan pula. Plus nggak perlu repot-repot cari pahala, karena kan tinggal percaya saja’. Setelah berbuih-buih, sayapun mengajukan dua pertanyaan. Pertama: “Yakin, nih, Mad, kamu kalau mati bakal masuk surga?” Yang kedua: “Yakin, nih, kalau masuk surga bakal dilayani dan dipuaskan para bidadari yang cakep luar biasa?” Jawaban Mamad sangat pede: “Yakin, dong, May. Apa yang dikatakan oleh Al Qur’an pasti benar adanya. Dan itu semua akan kudapatkan karena aku yakin masuk surga, sebab aku orang yang selalu berbuat kebaikan demi mendapat pahala.” Sayapun menjawab ketus,”Nggak sudi masuk surga Islam! Di dunia aja yang ada eneg liat tampangmu. Setelah dibelain pindah Islam dan capek-capek berjuang supaya dapat banyak pahala, eh, giliran masuk surga malah disuruh melayani kamu! Batal, deh, pindah Islam! Bataaal!!!” Mamad ngakak sampai keluar air mata. Tapi berhubung sudah biasa eyel-eyelan dengan saya, dia masih sanggup menangkis dengan sigap begitu tawanya berakhir,”Yakin kamu segitu cakepnya, sampai percaya bakal jadi bidadari kalau masuk surga?” Giliran saya yang ngakak sampai kebelet pipis J.

Intinya, di surga sini mau dilayani para bidadari, kek, di surga situ mau dapat servis buffet all you can eat, kek, faktanya adalah saya dan Mamad bertukar pikiran, bahkan berdebat, dengan hati yang jernih. Belasan tahun setelah itu, Mamad adalah satu di antara sahabat-sahabat Muslim yang dengan hati jernih setia membantu, mendampingi, dan menguatkan, ketika saya berada dalam satu titik paling hitam dan berat dalam hidup saya. Dan berhubung ngelotoknya hanya Al Qur’an, maka ketika memberi dukungan mentalpun mereka mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci yang mereka percaya. Saya menerimanya dengan hati terbuka, karena apa yang mereka sampaikan itu kebetulan semuanya bersifat universal dan membesarkan jiwa. Sebaliknya, saat sahabat-sahabat saya sedang didera masalah, sayapun memberi siraman rohani berbasis Al Kitab sesuai dengan pengalaman pribadi. Merekapun menerimanya dengan lapang dada serta menyaring inti kebaikannya, dan bukannya ribut nggak jelas hanya karena itu semua sumbernya dari Kitabnya orang Kristen.

Dan inilah kata kuncinya, bahwa semua memang hanya perlu dilandasi dari dua perkara yang sangat sederhana: hati yang jernih dan jiwa yang bersih. Bila jiwa bersih, maka bahkan perdebatan soal perbedaan imanpun tidak akan berakhir dengan menjatuhkan dan menghina satu sama lain. Ketika hati jernih, maka persahabatan antar insan dengan kepercayaan yang amat berbeda bisa langgeng hingga belasan tahun. Jiwa dan hati yang bersih serta jernih ini tidak dimaksudkan untuk menghapus perbedaan, namun membangun jembatan pengertian di antaranya. Tuhan tidak pernah berniat menciptakan dunia dengan isi yang seragam. Bumi diciptakan dari banyak unsur, bukan satu saja. Maka sangat naïf bila kita berencana meniadakan keragaman. Namun sebaliknya sangat picik bila kita menjadikan keragaman sebagai tameng untuk menganggap diri yang paling baik. Satu-satunya jembatan untuk menciptakan harmoni di antara segala perbedaan itu adalah kebeningan hati dan jiwa. Itu saja.
Sekali lagi, semua agama adalah baik di mata saya. Agama menjadi buruk hanya ketika manusia menjadikannya buruk. Islam menjadi buruk di mata sebagian umat lain karena segelintir pemeluknya membuat namanya menjadi buruk. Demikian pula sebaliknya. Tapi di luar yang segelintir itu, masih ada banyak sekali yang baik. Itu pula yang membuat saya tetap dan akan selalu percaya bahwa semua agama baik adanya, meskipun di dalamnya ada pemimpin mata duitan, politisi norak, khotbah-khotbah yang penuh amarah, umat munafik, dan sebagainya. Agama tidak pernah salah apa-apa, manusianyalah yang katrok. Justru saya kasihan pada si agama, yang namanya jadi cemar gara-gara kelakuan busuk umatnya. Namun sekali lagi, saya tetap yakin bahwa yang busuk itu hanya sepenggal kecil. Di luar itu, ada bagian jauh lebih besar, yakni mereka yang baik, yang bisa saya lihat. Misalnya sahabat-sahabat Muslim saya serta suri tauladan kedua orang tua saya. Saya juga melihat Pak Camat waktu saya tinggal di Semarang, yang tiap Paskah dan Natal selalu memberikan sambutan berisi indahnya saling menghargai, dan itu semua ia sampaikan DI DALAM GEREJA DI ATAS MIMBAR. Saya melihat para tetangga Muslim yang selalu mengirimkan makanan tiap perayaan hari besar mereka. Mereka juga tenang-tenang saja padahal rumah saya disesaki oleh anjing-anjing biang ribut yang jelas-jelas haram bagi mereka. Saya memilih melihat ribuan gereja yang berdiri tegak dan tak terhitung umat yang beribadah dengan tenang, di tiap-tiap daerah yang sudah saya datangi di Indonesia. Dengan demikian kalau ada satu gereja dipersulit pendiriannya, saya tidak serta merta jadi goblok dan berteriak,”TIDAK ADA TOLERANSI DI INDONESIA!!! INDONESIA ADALAH NEGARA UNTUK SATU AGAMA MAYORITAS SAJA!!!” Yang dipersulit cuma beberapa sampai teriak-teriak kayak begitu, terus yang ratusan ribu lainnya dipandang apa? Belekan sampai nggak bisa lihat, kali, ya?

Itulah yang saya pilih untuk lihat, karena hidup ini semata-mata hanya pilihan. Saya punya pilihan untuk melihat yang buruk-buruk, dan itu tegas saya tolak karena pikiran buruk hanya akan membuat saya tidak bahagia. Saya pun punya pilihan untuk melakukan yang buruk-buruk, dan itu tegas pula saya tolak. Karena perilaku buruk adalah syiar buruk bagi kepercayaan saya. Syiar buruk adalah batu sandungan bagi orang lain, dan celakalah jika saya membuat orang lain jatuh dalam dosa! Anda sendiri, mau yang bagaimana? Tuhan memberkati pilihan baik anda dan saya! Tuhan memberkati jiwa-jiwa yang bersih di Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).





Sabtu, 07 September 2013

Daaaan…. Penerima Anugerah Miss World Adalaaaaah…..TUHAN!!!


“Secara pribadi, saya tidak pernah menyukai kontes-kontes kecantikan semacam Miss World itu. Saya tidak suka melihat perempuan-perempuan dipajang dan bersaing untuk mendapatkan mahkota atas dasar kecantikan fisik. Bukankah kecantikan fisik itu hanya semata seleksi alam yang acak? Bukan merupakan suatu prestasi. Walaupun dikatakan bahwa para kontestan juga dinilai kecerdasannya, tapi ya namanya kontes kecantikan, percaya deh, yang bopeng, juling, pengkor, sumbing walaupun sangat cerdas tak akan pernah diikutkan. Dulu saya bahkan sempat secara akftif terlibat dalam organisasi pendidikan yang mencoba meniadakan kontes kecantikan untuk anak-anak di bawah umur (pageant), karena kami menilai kontes semacam ini memberi teladan citra diri yang salah kepada anak-anak perempuan pra-remaja.

Bagus tidak pendapat di atas? Menurut saya sangat bagus, dan pastinya hanya bisa keluar dari kepala seseorang yang punya otak pintar. Well, kalau anda menduga saya hendak bernarsis ria di sini dan bilang bahwa itu adalah buah pikir saya nan pintar, maka anda salah besar. Karena itu hanya saya kutip dari teman FB saya, Sekar Suket, perempuan muda cerdas nan berwajah manis dan kulit gelapnya bikin saya iri setengah mati. Saya tidak mau bicara macam-macam di sini. Saya juga tidak mau mengomentari FPI dkk yang katanya siap mati demi menggagalkan Miss Word di Indonesia, yang mana sangat saya dukung ASALKAN mereka MATI BENERAN :). Saya hanya ingin bicara soal kecantikan saja. Kecantikan menurut saya, yang bisa jadi berbeda dengan kecantikan menurut anda.

Baiklah, saya akan memulainya dari kecantikan saya dan saudara-saudara kandung saya. Saya adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara perempuan semua. Kakak saya yang pertama, Mbak Na, sama sekali tidak cantik secara fisik (yah, namanya anak pertama, jadi wajar kalau emak dan bapak belum begitu mahir ketika itu :)). Herannya dulu yang naksir Mbak Na banyak sekali. Setelah saya pikir-pikir, bisa jadi itu karena ia punya sex appeal yang tersembunyi namun sebaliknya terpancar kuat secara senyap. Kakak kedua saya, Mbak Anta, adalah yang paling cantik (setidaknya waktu masih muda). Dengan tinggi 170 cm lebih, pipi putih kemerahan bagai apel, rambut bergelombang coklat dan bola mata kecokelatan, hidung mancung, dan kaki putih panjang indah, dia pasti bisa jadi Miss World kalau saja dia mau repot dandan. Kakak ketiga, Mbak Didit, yang juga bertinggi 170 cm, punya wajah yang nJawani dan sangaaaat…..manis. Di dekatnya saya sering merasa bagai gembel belaka. Adik saya persis, Deasy, wajahnya adalah wajah Mbak Didit dan si gembel dioplos jadi satu, sehingga jelas ia lebih cakep daripada saya. Anak nomer 6, Dik Pita, tidak begitu cantik tapi sangat imut bagai kelinci. Tubuhnya ramping dan baju apapun yang dipakainya selalu tampak keren, dan saya –bahkan setelah 30 tahun lebih jadi kakaknya- masih sering mencuri pandang karena wajah kelincinya tak pernah membosankan untuk dilihat. Adik paling kecil, Dadek, walaupun bodinya mirip body guardwati dan paling sering diledekin karena item, tapi matanya belok dan manis luar biasa. Menurut Abel anak sulung saya, si bungsu inilah yang paling cantik diantara kami bertujuh.  Saya? Yaaah, kalau anda cermat membaca deskripsi di atas, maka anda akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa Yuanita Maya adalah produk yang tercetak dari gen resesif, belum terhitung badan saya yang kecil dengan dada dan pantat rata. Pokoknya dari segala arah nggak ada seksi-seksinya. Hihihi. Posisi underdog itu dilengkapi oleh fakta bahwa saudara-saudara sepupu saya juga cantik-cantik. Tapi Abel sebagai anak berbakti suka menghibur,”Tenang saja, Ma. Kan masih ada Budhe Mbak Na.” :).

Dengan latar belakang seperti itu, akan sangat wajar bila saya tumbuh menjadi cewek minderan yang bersembunyi penuh rasa tertekan di balik bayang-bayang kecantikan perempuan-perempuan di keluarga besar Soeparnen Kartokoesoemo-Poppy Trouerbach, Jawa bangsawan yang tampan tinggi besar dan istrinya, cikal bakal segala keindahan fisik emak saya dan saudara-saudaranya serta segala anak keturunan mereka. Nyatanya tidak. Saya tetap berseri-seri penuh percaya diri, dan tumbuh besar menghabiskan waktu menggebet cowok di sana-sini. Jangan salahkan saya, dan jangan tuduh pula saya tak bermoral. Kalau anda hidup dikerubuti dan diperebutkan lawan jenis sepanjang waktu sejak remaja, maka anda akan mudah memahami prinsip saya yang sederhana: “Bego aja kalau dianggurin.”:)

Pertanyaannya: kenapa cowok-cowok itu sudi amat buang-buang waktu baku rampas demi Yuanita Maya si gen resesif? Apakah cowok-cowok itu pada buta? Jawabannya bisa begini: karena walaupun gen resesif, tapi untuk ukuran umum si gembel ini masih bisa dibilang di atas rata-rata. Baiklah kalau demikian, ini bantahannya: logikanya cowok-cowok itu langsung berubah pikiran begitu datang ke rumah dan melihat saudara-saudaranya yang jauh lebih cantik. Ternyata tidak. Ternyata cowok-cowok yang tidak buta itu tetap baku rampas memerebutkan si gen resesif dengan penuh semangat. Kalau demikian, berarti ada rahasia yang tersembunyi di balik segala kegembelan Yuanita Maya. Ya, memang demikian adanya. Dan rahasia itu ternyata tidak canggih-canggih amat. Ini dia:
1.       Divi, adik sepupu saya yang tinggi, cantik, putih, lucu banget dan kalau melawak sangat kartun, seksi, berkaki panjang dan berjari-jemari lentik pernah berkata,”Kalau aku jadi cowok, aku lebih pilih Mbak May ketimbang Mbak Anta. Soalnya mata Mbak May sangat cerdas.” Bukan berarti Mbak Anta bodoh, tapi di sini saya dapat kesimpulan: kecantikan tidak selalu berkaitan dengan segala kaki, wajah, dada, bokong, dan sebagainya. Mata saya sipit dan bentuknya aneh, en toch dari mata yang enggak banget itu diam-diam terpancar sejenis kecantikan lain, yakni binar kecerdasan.
2.       Saya adalah pribadi apa adanya. Pernah suatu hari saya nongkrong dengan teman-teman cowok di pub habis main bowling. Di situ datanglah cowok lain, teman seorang teman, dan ikut nimbrung. Terus dia bikin-bikin lelucon, yang sayangnya tidak ada satupun yang lucu. Sementara yang lain tertawa garing atas nama sopan santun, saya tetap hambar dengan tatapan bosan yang nanar. Si pelawak gagal bukannya nyadar, malah bilang begini,”May dari tadi nggak ketawa pasti nggak paham, deh.” Idih! Saya balas,”Iya, aku nggak paham kenapa yang lain pada ketawa padahal leluconmu nggak ada yang lucu sama sekali.” Teman-teman dekat saya terpingkal-pingkal saat itu juga seakan ingin melepaskan tekanan mental J. Dan tebaklah, ternyata pelawak nan malang itu kena panah si Cupid, dan mepetin saya dengan giat selama tiga bulan berikutnya. Dia bilang, intinya, baru sekali itu dia ketemu perempuan yang outspoken, yang membuat saya jadi sangat cantik di matanya. Namun usahanya gagal total, dan ketika ia mendesak kenapa saya menolaknya, saya bilang,”Gila aja pacaran sama cowok nggak lucu!” :).
3.       Saya anti menjadi mahluk generik.
Pernah anda amati tidak, bahwa secara umum perempuan Indonesia itu tampak sama? Kalau sedang model alis dicukur melengkung tinggi yang bakal membuat si empunya alis senantiasa tampak terkejut, maka dalam sekejap anda akan menemukan perempuan-perempuan berwajah terkejut di mana-mana. Ketika lagi trend sepatu berhak tebal bagai Tembok Cina, mendadak di tiap sudut kota bermunculanlah perempuan yang berjalan sambil menyeret salah satu keajaiban dunia. Saya pernah melihat teman FB saya meng-up load fotonya saat sedang nongkrong bersama teman-teman ceweknya di kafe atau manalah. Dan percayalah, Saudara, semua tampak sama! Baik model rambutnya, alisnya, bentuk sapuan eyeshadownya, warna wajahnya (kemungkinan besar ditemplokin krim dengan merek yang sama), termasuk model baju, tas, dan sepatu yang pada mirip. Sulit untuk percaya bahwa mereka bukan anak kembar. Saya? Alis saya tetap gondrong dan bentuknya turun seperti 35 tahun lalu, bebas dari alat cukur, alat tato, sulam, obras, dan sebagainya. Baju saya tetap yang itu-itu saja (ada baju jaman kuliah yang masih saya pakai sampai saat ini). Butik favorit saya tetap RB (los yang jual baju-baju bekas), sebab barang bekas selain nyaman dipakai juga tidak ada yang menyamai. Menurut perhitungan saya, itulah yang membuat cowok-cowok itu pada suka karena mereka melihat sesuatu yang lain pada diri saya. Well, sebenarnya saya masih punya banyak hal untuk dipaparkan di sini sebagai bukti bahwa saya ini cantik walaupun tampang saya sangat standart. Tapi berhubung saya tak mau dibilang narsis, maka yang tiga di atas cukuplah sudah.

Bukannya saya ini Hakim Nan Agung dengan hak istimewa menghakimi, namun bukankah Tuhan menciptakan tiap mahluk berbeda? Bukankah tidak ada satu manusiapun yang punya sidik jari sama? Bukankah Tuhan sudah penuh semangat menganugerahi tiap ciptaan-Nya dengan keunikan masing-masing yang tiada dua? Lalu mengapa mahluk-mahluk ciptaan ini justru membongkar hukum alam dan menihilkan kreatifitas Tuhan, dengan cara menyama-nyamakan diri satu dengan lainnya? Itulah yang membuat saya tidak habis pikir. Sampai berkerut saya bertanya-tanya mengapa ada tak terhitung keturunan Hawa yang rela menghamburkan jutaan rupiah hanya untuk menjadi seragam, saya tak pernah menemukan jawabannya. Perempuan-perempuan seperti itu bagi saya tidak ubahnya rumah BTN, yang dari satu blok ke blok lainnya sama model dan kualitas, dengan nomor rumah sebagai satu-satunya pembeda. Tidak pernah saya berhenti heran, mengapa ada perempuan yang mau-maunya jadi ‘rumah BTN’, padahal dari awal Tuhan sudah menjadikannya ‘rumah mewah’ yang istimewa. Dan dari awal Tuhan sudah menciptakan Indonesia dengan tak terhitung ragam, demikian pula kaum perempuan Indonesia. Lalu mengapa keragaman ini justru dihapus secara sadar justru oleh perempuan-perempuan Indonesia sendiri?

Benar kata Sekar di atas, bahwa kecantikan wajah dan tubuh adalah seleksi alam secara acak (kecuali kalau pola acak itu kemudian diacak-acak di atas meja operasi plastik). Sama sekali tak ada yang perlu dibanggakan di sini. Sebaliknya yang perlu dilakukan adalah mensyukuri kecantikan di atas standart yang secara acak telah Ia berikan. Lalu apanya yang perlu dikonteskan? Itulah yang kiranya luput diperhatikan para penggelar kontes itu. Semestinya penerima gelar Miss World dari tahun ke tahun adalah Tuhan, karena Ia begitu hebat bisa mengukir berbagai wajah yang membuat kita terperangah saking indahnya. Tapi apa serunya bikin kontes dengan pemenang yang sama dari waktu ke waktu? Lagipula Tuhan bukanlah Pribadi kurang kerjaan yang mau turun ke dunia menerima piala dan sejumlah uang, lalu tersenyum manis dibawah ratusan cahaya blitz, untuk kemudian menerima berjibun tawaran jadi model iklan dan sebagainya. Tuhan masih punya banyak kerjaan yang jauh lebih penting. Kalau demikian, lebih baik anugerah Miss World itu diberikan pada para perancang dan penjahit busana para peserta kontes, serta para juru make up mereka. Bukankah para peserta yang sudah cantik dari sononya itu jadi makin cantik karena jasa mereka? Dan kalau kontes semacam ini dianggap kurang seksi, ya sudah tak usah bikin kontes kecantikan. Toh keragaman perempuan Indonesia adalah kontes sehari-hari yang jauh lebih unik dan orisinil. Tentu saja itu baru bisa terjadi kalau perempuan Indonesia sadar bahwa dirinya bukan rumah BTN (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Jumat, 06 September 2013

Duh, Amerika…..



Begini ceritanya: anda adalah seorang pria dengan istri dan sekian anak. Selain itu anda juga pengusaha yangmemiliki banyak karyawan. Belakangan anda banyak masalah, dan anda terjerat hutang ratusan juta. Anda bingung bagaimana memertahankan usaha plus bayar hutang, sekaligus bisa terus menghidupi anak istri dan menyekolahkan mereka dan sebagainya. Berhubung anda tidak begitu cerdas, maka dalam kondisi terdesak andapun nyolong. Nyolongnya di mana tidak penting, yang jelas nyolong. Hasilnya lumayan, walaupun hanya bisa menutup separuh hutang.
Demikianlah kira-kira yang dilakukan AS terhadap Libya dan negara-negara kaya minyak lainnya. Berhubung mereka negara besar yang punya banyak pemikir dan anggota senat dan lain-lainnya, walhasil mereka banyak akses dan modal untuk pakai cara cantik  (tidak seperti anda si pengusaha panik yang berakhir jadi maling soliter). Berbeda dengan anda yang berjibaku seorang diri sehingga hanya bisa pakai cara murahan, AS dengan posisinya sebagai negara super power bisa merancang skenario menggetarkan: rasa kemanusiaan terhadap rakyat malang nan ditindas oleh pemimpin dan rezim ndolim (biasanya ditambahi isu senjata pemusnah massal). Dan berhubung koneksi dan akses media mereka sungguh cetar membahana, maka publik Internasionalpun berhasil dikibulin dengan sukses. Dengan kepercayaan publik Internasional dan dukungan teman-teman, walhasil AS berhasil mengeruki minyak dari berbagai negara tersebut. Minyak didapat, nama harum sebagai negara penuh kasih penegak demokrasipun berhasil diraih. Terpujilah Amerika Serikat!
Tapi tunggu dulu! Konsensi minyak dan sebagainya sudah di tangan, kenapa hutang masih segede dosa, ya? Terus kenapa angka pengangguran nasional masih demikian tinggi, ya? Para pemikir hebat di AS pun teringat cara-cara basi yang belum lama berlalu tersebut, lalu memutuskan untuk menerapkannya di Suriah. Tapi, duh, bukankah Suriah bukan negara gudang minyak pula gemah-ripah loh jinawi? Jangan sediiiih….Kan sudah ada contoh jaman akhir ’20-an dulu. Terpuruknya ekonomi AS gara-gara urusan Wall Street terjungkal di era tersebut juga terselesaikan dengan industri alat perang. Perekonomian AS yang kandas diiringi gejolak sosial dan rentetan kasus bunuh diri, pulih secara menakjubkan gara-gara penjualan alat-alat perang. Ada minyak atau tidak, industri perang tetap jalan asal ada skenario drama kemanusiaan yang menunjang. Dengan langgengnya industri perang, maka saluran uang kembali berbinar dan masalah pengangguran nasional bisa terselesaikan. Ah, indahnya perang…. 
Itu sebabnya Barack Obama yang begitu dipuja segenap rakyat Indonesia karena doyan bakso dan sate itu begitu bersemangat meneruskan keberhasilan para pendahulunya. Skenarionya masih tetap sama dengan dulu-dulu tak jadi masalah, karena kreatifitas tak begitu penting di sini. Yang penting adalah kampanye ‘perikemanusiaan’ yang mengharukan. Bukankah dua unsur paling penting yakni penguasaan media dan publik Internasional yang gampang dibodohi sudah dikantongi? Indahnya lagi, biarpun ngakunya pada sekolah tinggi toh masih banyak umat yang belum paham mekanisme distorsi media. Lalu apa masalahnya? Tidak ada sebenarnya, kalau saja negara-negara sekutu tidak membelot dengan cara menolak rencana serangan ke Suriah. Emang enak bertempur sendiri? Lagian bikin senjata sendiri, terus beli sendiri buat perang sendirian, emang nggak rugi? Jadilah Amerika yang semula menggebu-gebu penuh gelora membara dalam urusan serangan ke Suriah ini mendadak malas-malasan.
Duh, duh, Amerika….. Dapur memang tetap harus ngebul, negara memang tetap harus jalan, dan rakyat tetap harus dikasih makan. Jadi walaupun segala jargon ‘perikemanusiaan dan demokrasi’ untuk legalisasi perang-perangmu selama ini sangat menggelikan dan ironik, tapi dalam konteks kepentingan rakyat dan negaramu masih bisa dipahami, lah. Tapi mbok ya konsisten sedikit. Sebagian manusia di bumi ini sudah tahu bahwa kau munafik dan rakus bukan kepalang, masak sekarang mau kau lempari mukamu sendiri dengan lebih banyak kotoran? Kalau demikian maka sebagian orang yang tadinya masih senang-senang saja kau bodohi bakalan tahu kalau selama ini kau pembohong besar. Serang saja Suriah biarpun kau rugi sendiri, karena kalau kau batal menyerang, pasti di masa mendatang masyarakat dunia tak bakal bisa kau bohongin lagi. Dan kaupun bakal kelimpungan mencari orang yang benar-benar pintar untuk mengurus negara dan rakyatmu lewat rejeki yang halal. Emang gampang?

Kamis, 29 Agustus 2013


Para Sahabat (II)

Mengingat saya dulu imut banget (hihihi….), maka sudah barang tentu pacar saya sekandang (prinsipnya kan tidak mau rugi :)). Begitu banyaknya pacar saya, sampai saya tidak pernah bisa mengingat dengan rinci sesungguhnya mereka itu siapa-siapa saja. Kalau sekarang ingat yang ini ini ini, yang itu itu itu pasti lupa. Besoknya ingat yang itu itu itu, giliran yang ini ini ini lupa. Hal terbaik yang bisa saya lakukan hanyalah mengingat kisaran angkanya, itupun tidak tepat :). Paling enggak enak itu kalau bertemu cowok yang saya pikir teman lama, ternyata kemudian mengaku bahwa kami pernah pacaran. Apalagi kalau dia pasang tampang terkenang-kenang so swit gitu. Malu sekali, jeung. Hal itu membuat saya merasa bagaikan cewek tak tau diri, terlebih saya kan termasuk cewek konservatif yang ogah keluar duit sepeserpun buat cowok, apalagi berperan serta dalam membiayai acara kencan kami:). Tapi meskipun sibuk pacaran, mereka tetap bukanlah prioritas saya. Kalau berada dalam situasi pilih pacar atau teman, tentu saja pacar serta-merta saya tinggalkan. Kebanyakan saya pacaran memang buat lucu-lucuan mengingat saya seorang pembosan, dan hanya beberapa gelintir saja dari mereka yang benar-benar masuk ke hati.  Kalau sebagian besar sisanya berakhir tergila-gila pada saya terus patah hati ya maaf.

Well, you may say I’m such a b*tch, but I really can’t help it! Dan, hey, itu bukan sepenuhnya salah saya! Hubungan pertemanan itu lebih mengasyikkan ketimbang pacaran, sedangkan persahabatan lebih menggetarkan. Pacaran kan prinsipnya take and give, jadi kalau si dia memberi kita akan menganggapnya sebagai hal yang wajar. Maka secara umum, kitapun take for granted pada segala kebaikan pacar. Beda dengan persahabatan. Dalam bersahabat kita nothing to loose; kita memberi tanpa berharap kembali. Kalau ternyata kembali, kita cenderung akan menganggapnya sebagai suatu hal yang luar biasa, yang kemudian akan mendorong kita untuk memberi lebih banyak lagi. Persahabatan mendorong kita untuk bersemangat dalam melakukan kebaikan dengan hati yang tulus. Itulah sebabnya mengapa saya menganggap sahabat-sahabat saya luar biasa berarti, jauh lebih berarti ketimbang segala pacar itu. Suami saya memahami hal ini, sehingga dia sama sekali tidak pernah interfensi apalagi menyampaikan keluhan mengenai sahabat-sahabat saya.

Kemarin saya sudah bercerita tentang enam orang teman sejati yang sangat berarti dalam hidup ini. Last but not least adalah Ehmida Abdl Azs, si cowok Libya lugu dengan hati selembut domba yang pernah saya masukkan ke postingan 'Dia Baik Karena Agamanya' dan 'Hati dan Pikiran yang Terbuka (1 dan 2) '.Tanpa mengurangi rasa terima kasih dan cinta saya pada enam nama yang saya sebut sebelumnya, Ehmida ini adalah ‘semua sahabatku dikumpulkan jadi satu’. Salah satu faktor utama yang membuatnya mendapat predikat itu adalah karena kami tinggal bersebelahan dan jadwal pertemuan kami benar-benar spartan. Jangankan bila salah satu dari kami sedang ke luar kota, enggak kemana-mana saja kami sms-an bisa lebih dari 30 kali dan telpon-telponan lebih dari 5 kali dalam satu hari. Padahal di luar itu kami sehari bertemu minimal tiga kali, mengingat waktu itu jadwal kuliahnya tinggal sedikit dan status saya adalah pengangguran terselubung. Setelah semua itu, malamnya kami masih juga telepon-teleponan sebagai epilog. Adegannya sangat genuine: saya menyeret kursi lalu duduk di halaman belakang sambil nepokin nyamuk atau garuk-garuk, sedangkan dia duduk mencangkung dengan badan segede The Incredible Hulk di tembok penghalang teras kamarnya di atas. Lalu kami menguras isi hati sampai bibir pada ungu, sambil saling memandang di bawah siraman cahaya keemasan sang rembulan. Kami hanya dibatasi tembok dan daun-daun rambutan, dan seringkali suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih keras daripada suaranya di telepon. Abel, anak lelaki saya, dan adik-adik saya suka komentar,”Dasar dumb and dumber! Daripada buang-buang pulsa kan lebih baik ketemu aja? Tinggal jalan semenit terus buka pagar.” Ah, mereka hanya tidak mengerti seni berkomunikasi sambil yang satu menunduk dan yang lainnya mendongak hingga leher salah urat…..

Ehmida dan saya saling mendukung, melayani, memberi, merawat, mengasuh, dan melindungi dalam segala hal. Kami sangat saling memahami dan mengerti, bahkan bisa membaca isi hati satu sama lain yang hampir selalu sama untuk banyak sekali perkara. Setiap perselisihan justru membuat kami kian dekat. Peleburan jiwa kami luar biasa, padahal antara kami terbentang jarak usia yang sangat lebar (kata Tante saya, Bu Tutuk, yang juga dekat dengannya, kami lebih Bung Karno dan Bu Inggit daripada Bung Karno dan Bu Inggit:)). Yang paling saya kagumi dari hubungan kami adalah, walaupun berbeda jauh dalam hal usia, agama, bahasa, dan terlebih budaya, tapi apa yang membuat saya tertawa membuatnya tertawa, demikian sebaliknya. Ia adalah orang kedua setelah Meme yang pernah membuat saya BENAR-BENAR TERJUNGKAL DARI KURSI, gara-gara lawakannya yang sangat orisinil dan lucunya luar biasa (dan sampai kini belum ada orang ketiga yang bisa melakukannya).

Sama halnya dengan Meme, dengan Ehmida ini saya juga cekikikan sepanjang waktu. Apa saja kami jadikan bahan lelucon. Kami juga punya selera humor yang seringkali bersifat ‘untuk kalangan terbatas’. Ini membuat kami sering cekikikan sendiri kalau sedang kumpul dengan teman-teman, sementara yang lain bertanya-tanya di mana letak kelucuannya:). Dia sangat tergila-gila pada saya karena selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat ia sedang sedih atau marah sekalipun. Dan berhubung dalam hal ini ia juga sangat licik, maka ia selalu berhasil menggagalkan acara marah-marah saya dengan cara ngebodor. Kalau saya menahan tawa dalam upaya memertahankan wibawa, ia malah semakin menggila. Paling sebel kalau saya sedang marah-marah, eh, dia nyaut, pakai Bahasa Indonesia pula. Bahasa Indonesianya membuat telinga cedera, dan saya selalu menyuruhnya tutup mulut dengan kesal tiap kali ia berlatih Bahasa Indonesia di depan saya. Sebaliknya, ia paling sebel kalau lagi marah-marah saya menanggapi dengan tenang,”Kamu kok marah-marah terus sama aku dari kemarin kenapa? Lagi mens, ya?”. Lalu sambil menahan tawa jengkel ia berkata dalam Bahasa Indonesia,”Kamu kurang ajar, ya!”. Kelakuan ini membuat kami masing-masing, semurka apapun, selalu berakhir sebagai pecundang dengan cara yang menyenangkan.

Namun betapapun manis dan lucu, sesungguhnya ia seringkali menjengkelkan. Ia selalu jam karet dan kelihatannya justru sengaja berlama-lama kalau saya mulai mengomel karena kelamaan menunggunya. Hal lain yang bikin sebel adalah kalau kami hang out dimana saya pakai baju casual, ia malah sengaja pakai kostum jling-jling lengkap dengan sepatu cetok dan kemeja berkerah kaku yang mengingatkan saya pada pesulap jalanan. Kalau saya sudah berseru,”Seriously, sugar? What are you? Gay of the year?!”, barulah ia mau ganti baju. Selain itu ia juga suka uring-uringan tanpa sebab (biasanya kalau sedang homesick). Kalau sudah rewel begitu ia bisa marah-marah terus tanpa alasan jelas, dan apa saja yang saya lakukan pasti salah di matanya. Masih mending kalau ia ngomel-ngomel panjang lebar. Kalau sudah mendiamkan, nah, itu yang bikin capek. Soalnya saya musti sibuk menerka-nerka kesalahan apa yang saya lakukan, lalu membujuk dan merayunya seakan ia adek kecil yang merajuk karena ditinggal pergi Ayah dan Bunda. Namun betapapun rewelnya dia, saya senantiasa tegar dan bersabar. Tapi saya paling tidak tahan kalau ia marah-marah karena menurutnya saya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat di negaranya. Sungguh tidak adil! Kalau sudah begini saya menghardik sewot,”How am I supposed to know that it’s not proper according to your culture? Your country and its blablabla is far away from here, Mas Bro! Tiketnya mahal! Jadi mumpung di sini, sesuaikan saja dengan adat kami. Ngirit, nggak perlu beli tiket segala. Faham?!” Mengendus gelagat keadaan bakal berbalik, ia cepat-cepat berkata dalam Bahasa Indonesia,”Ah, sutralah, aku capek deh,” sambil melambaikan tangan dan memutar tubuhnya yang tinggi besar gelap super kekar itu dengan gaya bencong tulen. Entah dari mana atau siapa ia memelajarinya.

Kadang-kadang ia juga bisa sangat menyakitkan. Berhubung wangi, ganteng, gagah perkasa, sopan, charming, banyak duit, dan sebagainya, maka wajar kalau kemanapun ia selalu dikerubutin cewek-cewek. Dan ia senantiasa pamer-pamer pada saya tentang segala gadis yang mengejar-ngejarnya dan silih-berganti mendatangi tempat kosnya itu. Ia melibatkan saya dengan semua cewek itu, lalu membangga-banggakan diri dengan sikap pongah. Untunglah, banyak dari cewek-cewek itu yang enggak cakep (menurut standart saya), yang mana tentu saja saya jadikan bahan olok-olokan. “Kalau ada yang cakep bangunkan aku, ya,” kata saya sambil menguap untuk kesekian kali di tengah cerita setinggi langitnya, lalu pura-pura tidur. Saya menzoliminya dengan seribu satu cara dan biasanya ia hanya mampu  mengeluarkan pembelaan yang lemah. Namun suatu hari saat saya melecehkan satu demi satu para cewek itu secara detil, mendadak ia mengguntur,”LOOK AT YOUR SELF!!! YOU’RE ALMOST EXPIRED!!!”. Hakjleb stadium sepuluh, apalagi TKP-nya di restoran yang fancy!

Namun segala kelakuan busuknya itu tertutupi oleh jutaan hal baik yang ia miliki. Ia menyayangi anak-anak saya terutama si piyik Kinasih. Tiap kali Kinasih sakit ia bukan hanya keluar biaya tapi juga ikut merawat hingga Kinasih ceria kembali. Ia juga gusar manakala saya memarahi si kecil (“Don’t do that to her, she’s just a little baby,” demikian katanya selalu, padahal saya hanya sedikit menyentil telinga si kecil. Kinasih yang tahu kalau dibela langsung lebay dan menangis menyayat hati dalam gendongan dan belaian Si Oom. Mereka benar-benar membuat saya tampak seakan-akan ibu yang ndolim). Ia melewatkan tak terhitung waktu bersama kami entah dengan cara memasak, makan bersama, bermain, nonton film, nonton acara-acara nggak penting di tivi-tivi Indonesia, jalan-jalan, dan sebagainya. Ia menganut prinsip ‘man deals with the bills’ dan paling geli kalau saya berkata dengan nada merayu jijay,”What would I do without you, my darling walking wallet?”. Ada cerita lucu. Kalau lagi makan di luar, belanja, atau kegiatan lain di mana ia harus keluar duit, para kasir selalu memberikan kembalian pada saya (ia selalu menyebut sikap kasir itu sebagai ‘ketidakadilan gender’, soalnya si laki-laki yang keluar duit kok kembaliannya diberikan ke si perempuan). Dan berbagai uang kembalian itu otomatis selalu saya kantongin tanpa prasangka. Suatu hari di luar kebiasaan, saya memberikan uang kembalian padanya dan iapun bertanya heran,“Why don’t you keep it?” Saya ganti membalas dengan wajah heran,” What do you think I am, a cheap sh*t? It’s only nine thousand rupiahs!” Dia ngakak tak henti-henti.

Ada lagi. Kalau belanja ia selalu ngintil sambil membawa keranjang dan sigap membayar semua belanjaan saya tanpa diminta. Suatu malam kami pulang dari acara apa gitu lupa, terus di mobil dia ngajak berantem. Kalau dia lagi sewot model begini biasanya saya mengalah, daripada ribut macam orang pacaran yang lagi cemburu-cemburuan. Tapi berhubung sejak di acara kelakuannya memang sudah bikin bete, walhasil saya ladenilah ajakannya. Kamipun bertengkar dengan suara keras di mobil. Lewat di sebuah mart, saya bilang dengan ketus,”Heh, berantemnya break dulu! Mampir ke mart situ, persediaan di rumah habis.” Akhirnya ia juga turun dan membeli berbagai keperluannya. Dan ia membiarkan saya memilih barang serta menenteng keranjang belanjaan sendiri, yang mana tak saya pedulikan karena sedang betul-betul kesal padanya. Ternyata ia duluan selesai dengan belanjaan sudah di dalam plastik. Sementara belanjaan saya dihitung, dia tetap berdiri di kasir tapi sambil melengos dengan mulut monyong. Namun begitu saya merogoh uang dari tas, ia memandang saya dengan gahar dan berkata,”Kamu pikir kalau aku marah terus tidak bertanggung jawab?” Saya melongo, dan lebih melongo lagi ketika di dalam mobil ia KEMBALI MENGAJAK BERANTEM :).

Masih ada lagi. Suatu hari saya minta antar belanja keperluan seminggu di sebuah mart dekat rumah. Saat mendarat di tempat parkir, di luar kebiasaan dia bilang,”Aku tunggu di sini saja.” Saya mengangkat bahu,”Fine by me. But where’s the money?” lalu menadahkan tangan. Melihatnya ungu menahan tawa sebab saya tega minta duit, saya berkata cepat,”I’m a woman, what do you expect?”. Dia tambah ungu. Waktu saya keluar, ia masih duduk di motor dengan wajah ungu yang sama. Iapun menjalankan motor pelan karena stang kiri kanan dan sela-sela kakinya penuh belanjaan. Di perjalanan dia bilang,”Padahal aku tadi cuma nge-tes, pengin lihat apakah kamu berani minta duit atau enggak.” Saya menepuk bahunya pelan,”My love, aku lebih tua 12 tahun dari kamu. Tentu saja aku tahu semua trikmu dari awal.” Dia ngakak tak terkendali, sampai motor oleng ke kanan dan ke kiri.

Oh ya, saya pernah melakukan kejahatan finansial terhadapnya, walaupun semua ini sejatinya didalangi oleh Septi. Suatu hari kami dapat undangan kawinan adik teman dekatnya yang akhirnya juga jadi teman dekat saya. Berhubung saya tidak punya kostum pesta dengan segala tetek-bengeknya, maka ia memberi sejumlah uang yang kiranya cukup untuk membeli baju, sepatu, tas centil, dan asesori, karena demikian besar hasratnya untuk melihat saya tampil laksana mbak-mbak di sinetron-sinetron Indonesia. Tapi kemudian ia  berpesan,”Kamu beli sendiri, ya, soalnya aku masih repot jadi nggak bisa nganterin.” Akhirnya saya berencana mengajak Septi yang selalu well groomed dan paling fashionable di antara kami. Saya ke rumah Septi bersama Ambon, tapi sampai di sana Septi malah bilang,”Halah, ngapain sih buang-buang duit? Paling  barang-barang itu cuma kamu pakai sekali. Udah pakai punyaku aja. Baju dan segala perlengkapanku kan banyak banget.” Saya protes, karena kan sudah diberi uang untuk beli perlengkapan mbak-mbak. Septi menghardik,”Goblok! Pakai punyaku, terus uangnya kamu simpan!” Sayapun mematuhi komando Septi, dan sebagai akibatnya dikejar perasaan malu serta bersalah hingga kini. Dosa itu masih saya simpan sampai sekarang karena untuk mengakuinya saya belum punya cukup nyali:). Yang lebih tragis lagi –atau sebaliknya: untunglah- pas hari H malah ia tidak bisa pergi, jadi sama sekali tidak melihat penampilan mbak-mbak saya dengan barang-barang haram itu secara live show:).

Sungguh mengherankan betapa ia demikian betah memberikan perhatian dan pertolongan dalam ribuan bentuk kepada kami tanpa kenal jemu. Menakjubkan pula betapa pria semuda ini begitu tabah mendampingi perempuan menjelang paruh baya yang sedang tertimpa sejuta masalah. “My duty is to make sure that you’re allright. I will be happy only when I see you happy, Kekey,” demikian jawabnya setiap kali saya menyatakan keheranan atas semua kesabarannya dalam menyertai kami. Oh ya, Kekey adalah panggilannya untuk saya, yang dalam Bahasa Indonesia artinya kira-kira ‘wanita kesayangan/saudara perempuan yang paling dikasihi’. Saya sendiri memanggilnya Pepey yang merupakan bentuk maskulin dari Kekey. Di luar itu saya memanggilnya ‘Jo’ (singkatan dari ‘Paijo’) dan belakangan ‘Ndhut’, karena kian lama dengan saya dia kian gendut.

Ia menghabiskan banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk memastikan kami tetap riang gembira, sekalipun sedang dalam kurungan sakit hati dan duka. Ia juga selalu baik pada semua orang, ramah-tamah, periang, tulus dan ikhlas dalam memberi, tidak pernah berprasangka buruk, dan cenderung selalu ingin membantu orang lain. Mengenai dirinya secara keseluruhan, selama hidup saya selalu percaya bahwa saya tidak ada satupun laki-laki sebaik Bapak saya, hingga ia datang untuk membuktikan bahwa saya salah. Saya curiga, saat menciptakan hatinya dan hati Bapak saya, Tuhan pasti menggunakan cetakan yang sama. Ia adalah orang pertama yang mendorong saya untuk kembali menulis serta mewujudkan support itu dalam berbagai cara, dan bukannya support verbal atau moral saja. Dengan penuh dedikasi ia membangun kembali rasa percaya diri saya yang kala itu hancur entah dalam berapa ribu keping. Ia mengumpulkan semuanya dengan sabar, satu demi satu, bahkan pada saat saya menyerah dan berkata,”This is it! Call me zombie!”. Ia adalah orang yang terus-menerus dengan cara lembut memaksa saya, untuk tidak berhenti mengampuni dan mendoakan beberapa orang yang ketika itu ‘membunuh’ saya. “Though your voice sounds like thunder but you have a really tender heart, Kekey. And good heart doesn’t surrender to the devils.” Demikian ia terus-menerus mengingatkan saya tanpa membuat saya merasa sebagai terdakwa.

Suatu hari saya merasa tidak kuat lagi dan tiba-tiba muncul di hadapannya dengan berurai air mata, sambil menjerit histeris secepat rentetan peluru tentara,”I’m done! To hell with them! Dan kalau kau berani menyuruhku untuk mendoakan mereka lagi, aku akan menendang bokongmu sampai kau terbang pulang ke negaramu tanpa perlu beli tiket!!!” Sambil berusaha menyembunyikan tawa atas nama deraian air mata saya, pelan-pelan ia hapus lelehan sakit hati itu dengan jarinya yang segede-gede pisang gablog, lalu berkata sangat lembut,”Kenapa baru menyerah sekarang? Kenapa tidak dari kemarin atau kemarin dulu? You’ve been this far, so hangin’ there. What are you scared of actually? You’ve got me, and as far as I remember, you always said that I must be sent from up above to help you through this. And in case you don’t know, I knew right from the start that God created you as a winner. Kamu adalah pemenang, Kekey! Apakah pemenang akan menyerah terhadap orang-orang jahat itu? Jangan biarkan kejahatan mereka menang atasmu. Jangan biarkan mereka tertawa bersama setan-setan itu. Tidak perlu menendang bokongku karena tiketku ke sini pergi-pulang, jadi tendang saja bokong setan-setan itu dengan doa-doa dan puasamu!” Saya tertawa di antara isak yang masih tersisa. Demikianlah ia mengingatkan saya, untuk terus-menerus mendoakan dan mengampuni orang-orang yang menghancurkan dan merenggut semua yang berarti dari hidup saya ketika itu. Ia tidak pernah menyerah menghadapi saya yang begitu keras kepala bahkan saat putus asa sekalipun. Waktu saya mengeluh dalam isak tangis bahwa Tuhan salah besar karena mengira saya begitu kuat dengan memberi ujian begini berat, sambil mencibir ia berkata,”Mana yang benar, kamu yang menciptakan Tuhan atau sebaliknya? Kalau sebaliknya, berarti Ia tidak salah, karena tidak ada yang lebih mengerti kamu daripada Pencipta-mu. Dan mustinya kamu bangga karena ujian seberat ini sama artinya dengan klaim bahwa kamu cukup kuat, baik, dan cerdas. Got that, my beloved stupid Kekey?”

Di luar itu semua, ia tahu benar membuat saya merasa sangat berarti dengan cara menghargai sekecil apapun hal yang saya lakukan untuknya. Ia selalu mengatakan bahwa tidak ada orang yang pernah memerhatikan dan merawatnya sampai sedetil dan setulus yang saya lakukan. Dan ia selalu mengucap terima kasih untuk semua itu, padahal sejujurnya, sesungguhnya, apa yang saya lakukan padanya sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya dengan semua yang telah ia berikan. Ia punya segudang teman dekat dari berbagai bangsa karena segala sifat baiknya. Namun ia membuat saya merasa amat berharga, dengan menjadikan saya tempat mencurahkan semua hal yang ia alami dan rasakan. Untuk setiap masalah, besar atau kecil, ia datang pada saya. Ketika saya tidak bisa memberikan solusi sekalipun, ia tetap berkata,”Kenapa kamu selalu membuatku merasa nyaman dan lega? Tanpamu aku tidak bisa apa-apa.” Bahkan saat saya hanya duduk diam mendengarkanpun masih juga dia berkata,”No one understands me the way you do. God really bless you, habibati.” Sungguh indah caranya membesarkan jiwa, dan saya tahu Tuhan memberkatinya!

Masa kecil, kepedihan, luka-luka di masa lalu, kejadian sehari-hari, cita-cita, harapan, kerinduan, ketakutan, dan kekhawatiran, adalah semua hal yang ia bagikan hanya pada saya. Jika ada temannya yang ingin mengetahui suatu hal mengenainya atau mengatakan sesuatu tapi karena suatu hal sungkan menyampaikan padanya secara langsung, mereka pasti datang pada saya. Dianggap berarti oleh seorang pecundang yang kesepian tentu sama sekali bukan hal yang membanggakan. Namun dijadikan pelabuhan oleh sosok yang disukai semua orang pastilah hal yang sangat istimewa. Dan itu membuat saya merasa sangat terhormat. Seakan itu semua belum cukup, ia masih juga mengklaim saya sebagai ‘ibu, ayah, kakak lelaki, kakak perempuan, kekasih hati, belahan jiwa, teacher, dan path leader’. Hingga detik ini saya masih sering tak mengerti mengapa ia menganggap saya demikian berarti, sekeras apapun usahanya meyakinkan saya. Hatinya memang manis luar biasa.

Ketika saya kembali ke Manado, ia kehilangan arah karena ditinggal pergi orang yang paling ia percaya sepanjang hidup. Teman-teman dekatnya bahkan meminta saya kembali ke Semarang karena ia benar-benar bagaikan anak ayam kehilangan induknya. “Kasihan momonganmu, Mbak May. Kelakuannya sekarang aneh, bahkan dia mulai bergaul dengan orang-orang nggak jelas, Mbak,”demikian kata mereka. Namun tangan saya terikat. Hati sayapun patah, dan satu-satunya alasan saya tetap bisa berjalan lurus hanyalah karena saya punya bekal pengalaman hidup 12 tahun lebih lama darinya. Semua hal mengingatkan kami akan satu sama lain, dan kami jatuh bangun dalam waktu yang lama untuk kembali menegarkan diri. Hati kami kembali patah ketika ia pulang ke negaranya. Saya mungkin sedikit berlebihan membandingkan hubungan kami seperti Kahlil Gibran dan May Ziadah yang selalu merasakan keberadaan satu dengan lainnya, meskipun mereka sama sekali tak pernah bertemu selama 30 tahun menjalin hubungan platonic. Namun demikianlah kami laksana Kahlil dan May ketika sudah berhasil berdamai dengan diri sendiri atas perpisahan ini. Ia selalu ada dalam setiap hal yang saya pikirkan. Ia selalu membayangi, mengawasi, dan melindungi dalam setiap perkara yang saya lakukan. Beberapa kali saat sedang memikirkan sebuah tulisan, entah bagaimana dengan jelas saya bisa mendengarnya mengungkapkan pendapat, seperti dulu ketika kami berdiskusi mengenai tulisan-tulisan saya. Pernah 4 kali saya menguji apakah itu hanya halusinasi semata. Saya memancingnya dengan topik dimana saya merasa mendengarnya berpendapat, dan ternyata SEMUA PENDAPATNYA TERNYATA TEPAT SEPERTI APA YANG SEAKAN SAYA DENGAR. Saya tidak tahu misteri pekerjaan Tuhan dengan segala malaikat-Nya, namun saat itu juga saya tahu satu hal: ia adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim dari atas untuk membantu saya melewati apapun, tak peduli sejauh apa jarak memisahkan kami.

Yang paling menyentuh, ia bersikeras hanya mau melihat yang terbaik dari saya dan dengan sengaja memilih memandang sepi semua kekurangan saya. Suatu hari saat ia sudah pulang ke haribaan ibu pertiwinya, dengan sedih saya curhat bahwa saya kehilangan damai sejahtera karena sedang sangat tidak menyukai seseorang. Begitu tidak sukanya saya pada orang itu bahkan sampai pada taraf nyaris membencinya. Ia terperanjat dan berkata,”No way! You must be talking about someone else, because that person is not my Kekey!” Tak punya pilihan lain, saya bersikukuh,”Well, this is your Kekey now. She’s changed a lot.” Dan sayapun segera menyiapkan diri untuk dimarahin, karena memang saya paham bahwa sesungguhnya kelakukan saya busuk dan saya membenci diri sendiri karena ini. Tak dinyana ia malah kembali ngeyel, bahwa saya selalu baik pada siapa saja termasuk orang yang menyakiti, dan sebagainya. Kalaupun marah sampai ngamuk hanya sebentar, dan betapa saya punya hati yang ‘clear and pure as a child’. Saya menolak keras, karena ini sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang sedang saya jalani. Kamipun eyel-eyelan, dan karena bosan akhirnya dengan tegas dia berkata,”You listen to me! This is only the temporary Kekey! Kekey yang busuk ini hanyalah Kekey asli yang sedang salah jalan dan pasti tidak akan lama, karena Kekey yang asli sangat baik.”

Bahkan di saat saya salah jalanpun ia menuntun saya kembali tanpa sedikitpun menudingkan jari! Ia sungguh manis, teramat manis, dan tahu bagaimana caranya membesarkan hati. Ia benar-benar kakak lelaki, kekasih hati, belahan jiwa, ibu, ayah, dan pohon peneduh pada saat yang bersamaan. Itulah salah satu hal yang membuat hubungan batin kami sangat kuat. Seringkali saya tak bisa tidur karena merindukan hari-hari bersamanya, lalu setelah berdoa meminta Tuhan melindunginya sayapun bisa tidur dengan tenang. Ternyata esoknya ia menceritakan hal sama seperti yang saya rasakan, sebelum saya sempat bercerita akan apa yang saya alami. Beberapa kali tanpa saling bercerita dan sepakat, kami mendapati bahwa ternyata kami berdoa bahkan berpuasa untuk satu sama lain. Tak terhitung berapa kali kami memikirkan, melakukan, dan merasakan hal serupa pada waktu yang sama, padahal kami dipisahkan oleh jarak dan waktu yang begitu lebar dan panjang. Bahkan Kinasihpun merasakan hal yang sama. Suatu hari ia tiba-tiba menangis meraung-raung merindukan Om Mayda (demikian Kinasih memanggilnya), dan menghabiskan waktu seharian membicarakan semua kenangan manis mereka. Besoknya, saya mendapati inboxnya yang masuk waktu subuh yang berarti sekitar jam sembilan malam di sana, berkisah,”Sepanjang hari ini aku gelisah. Ternyata aku merindukan Kinasih, dan hampir tidak berhasil menahan air mata waktu mengenangnya.” Betapa melegakannya ketika seseorang menerima kita secara keseluruhan sebagai paket yang utuh! Sekarang, setiap kali mengingat masa-masa pencobaan yang kelam itu, saya selalu bersyukur bahwa sekalipun luar biasa pahit ujian yang Tuhan berikan, namun Ia begitu murah hati memberikan silih berupa sesosok malaikat penghibur dan pelindung tanpa sayap, yang senantiasa berjaga-jaga bagi saya.

Semua nama yang saya sebut di dalam dua tulisan ini adalah mereka yang mendampingi saya dalam suka, dan terlebih duka. Dalam masa-masa paling pekat yang saya pikir tidak akan sanggup saya lalui, mereka membantu saya mengeringkan air mata lebih cepat daripada seharusnya. Mereka membuat saya tetap tertawa. Mereka memberi semua yang bisa mereka beri, namun tidak pernah mencela apapun pilihan hidup saya. Dan bila saya salah, mereka menegur tanpa membuat saya berkecil hati. SATU KALIPUN MEREKA TIDAK PERNAH MENGHAKIMI. Apapun yang mereka katakan, mereka membuat saya satu inci lebih tegak lagi. Mereka adalah bukti bahwa Tuhan mewujudkan diri dalam berbagai wujud kelamin, warna kulit, bahasa, dan agama. Saya sangat yakin bahwa ada tali tak terlihat yang menghubungkan tangan mereka dengan tangan Tuhan. Berkat merekalah anak-anak saya sampai sekarang masih punya ibu. Saya tak akan pernah merasakan puncak kebahagiaan sebagai perempuan ketika cucu saya lahir kalau saja Tuhan tidak mengirimkan mereka dalam hidup saya, karena waktu itu memang saya sudah berada dalam tahap sangat putus asa hingga sempat ingin mencabut nyawa sendiri. Air mata saya bercucuran saat menuliskan ini, dan dalam setiap tetesnya mengalir rasa terima kasih saya pada mereka.

Saya berani memertaruhkan apapun yang saya miliki, bahwa kalau saja di negeri ini ada lebih banyak orang seperti mereka, maka tidak akan ada perempuan yang membunuh anak-anaknya karena tekanan mental dan ekonomi untuk kemudian mengakhiri dirinya sendiri. Tidak akan ada orang dengan hati hancur lalu melarikan kehancuran itu pada hal-hal yang jahat; menjadi pelacur, pembunuh, pemukul anak istri, pengguna narkoba, dan lain-lainnya. Jika semua orang menjahit hati temannya yang sedang terkoyak-moyak seperti yang dilakukan sahabat-sahabat saya, maka negeri ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang kuat dan bahagia. Dan negeri dengan orang-orang seperti itu tentulah negeri yang damai dan sejahtera. Orang-orang seperti para sahabat saya itulah yang sangat dibutuhkan oleh negeri kita, Indonesia, yang saat ini penuh dengan hati yang terkoyak. Saya berdoa tulisan ini akan menginspirasi siapapun yang membacanya untuk menjadi seperti, dan bahkan lebih baik, daripada sahabat-sahabat saya. Tuhan memberkati mereka. Tuhan memberkati saya dengan memberikan mereka. Tuhan memberkati anda. Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).