Kamis, 11 Oktober 2012

WENDESKRENDESKRINDESKRUNINDESUIMINGPULWESRUIMASREIATDEMARKET #biarbingungasalbritis.



Si pemuda bermaksud romantis dengan menggubah sebuah lagu untuk gadisnya, sebagai teman menemani tidur lelap si gadis malam nanti. Harapannya, sang gadis bisa bermimpi tentang mereka sedang mesra-mesraan. Atau tentang bintang, bulan, dan matahari. Si gadis, bukannya memekik unyu, “Oooo….co cwiiiitttt….,” malah ngamuk-ngamuk sebab lagu itu nggak fungky karena liriknya domestik bukannya Amrik. Lalu si pemuda bilang, ya terang aja seleramu berubah, mungkin terlalu banyak gaul sama turis. Jadi hobinya denger yang Inggris Inggris, biar bingung asal Britis. Check it out, yo!Yo!Yo!Yo!Yo! Di akhir lagu tegas sang pemuda berkata:  Sebelum bubar balikin saja kasetnya untukku lagi, biar kusimpan tuk kujadikan  mas kawin kalau ku merit. Gedumbranggedumbrenggedubraggedubrug!!! YEAAH!! YEAAAH!!! YEAAAAAH!!!! Di En.

Demikian lagu ‘Asal Britis’ oleh grup Jamrud, salah satu grup Indonesia favorit saya. Lagu itu adalah sebuah lagu yang sangat funky dan nge-beat sekaligus –menurut istilah saya sendiri- sandal alias santai tapi dalem:). Baiklah, bukannya mau menjelek-jelekkan kampung halaman saya kedua, Manado. Tapi memang banyak sekali bahan untuk dijadikan studi di sini –sekaligus otokritik untuk perbaikan diri- salah satunya ‘asal Britis’ itu tadi. Inilah kisah yang pertama: bagi anda yang belum tahu, saya hendak jelaskan bahwa dalam tubuh saya tercampur baur sekian banyak darah yang membuat saya jadi nggak begitu jelas:). Ada Jawa, Belanda, sekian persen Persia, sejumput Yahudi, dan seiprit Cina. Dari bauran tersebut jadilah saya yang sipit, berkulit terang, rambut sempat agak coklat kemerahan (entah natural entah dulu kebanyakan main layangan :)), dan jauh sekali dari gambaran orang Jawa pada umumnya. Namun karena budaya dan filosofi Jawa adalah yang paling kuat dalam keluarga besar tempat saya bertumbuh dan berakar (plus prosentase darahnya memang paling banyak), maka ketika ditanya orang apakah saya, saya selalu menjawab, “Orang Jawa.” Setiap kali diajak keluarga besar suami ke sana ke mari, saya selalu memperkenalkan diri dengan bangga, “Saya orang Jawa.” 

Namun suatu hari Mami mertua saya berkisah bahwa ia berpapasan dengan tetangga yang berkata, “Anak mantunya cantik sekali (ehemmm..). Orang mana?”. Dengan penuh harga diri dan kharisma Mami menjawab, “Indo Belanda.” Demi mendengar itu keruan saya berseru, “WHATZZZZ???!!!”. Demikian kagetnya sampai keselak-selak karena kebetulan saya sedang menikmati sepacul nasi hangat, dabu-dabu manta, dan segunung kecil rica roa (sambal yang terbuat dari ikan roa asap yang sama sekali terlarang untuk mereka yang sedang diet dan menghemat anggaran beras :)).  Setelah reda saya protes keras, “Kita orang Jawa, Mami!”. Mami mertua ngeyel, “Hih, salah sendiri. Tampang begitu ngaku-ngaku Jawa, mana ada yang percaya?”. Saya tak mau kalah, “Mami jelaskan, dong, kalau gitu. Jangan asal ngaku-ngaku kita Indo Belanda. ” Mami masih membalas, sok gaul pula, “Ih, kok gue, sih?”. Saya nyengir diam-diam dan kali ini membantah tegas dengan penuh wibawa, “Mam, kita ini tidak ada urusan dengan orang Belanda! Kalau boleh pilih kita lebih suka jadi seratus persen inlander keturunan kuli ketimbang keturunan Belanda biar sedikitpun! Blablablabliblibliblublublu!!!”. Demikian pledoi dalam ‘Yuanita Menggugat’ yang saya sampaikan dengan berapi-api, sesuai semangat yang diwariskan oleh Bung Karno. Namun Mami mengeluarkan senjata pamungkas yang dilontarkannya dengan ketus, “Ngana musti bangga jadi keturunan Belanda!” sambil berlalu begitu saja, meninggalkan saya sendiri dalam keadaan bingo yaki (bingung a la monyet sambil celingukan kiri kanan dengan tampang bego).

Urusan nama juga begitu. Sulit sekali bagi anda untuk menemukan orang Minahasa dengan nama Minahasa. Yang ada hanya nama-nama bule. Kalaupun ada yang pakai nama asli hanya segelintir, itupun biasanya yang lahir sebelum NKRI berdiri. Bahkan sebelum NKRI berdiripun nama bule sudah eksis. Saya bisa memahami kalau itu diambil dari Alkitab, karena di sini kan mayoritas Kristen. Tapi seiring dengan perkembangan jaman, Alkitab atau tidak tak penting, yang penting nama bule. Ada kisah lucu ketika saya melahirkan Sing Kinasih Wohing Ati (Yang Terkasih Buah Hati), anak bungsu perempuan saya. Mereka semua mengusulkan Manado, yang saya sambut dengan gembira. Ternyata semua nama yang diusulkan adalah nama bule, sampai saya bengong dan berkata, “Lho, itu kan nama-nama bule. Di mana Menadonya?”. Dengan cuek mereka ngeles, “Iya, tapi itu semua sudah jadi nama Manado.” Ketika saya mendesak usulan nama asli Minahasa, tak ada satupun yang angkat suara. Saya curiga mereka sendiri bahkan sudah lupa atau malah tidak tahu nama-nama asli Minahasa selain Toar-Lumimuut :).

Peristiwa selanjutnya terjadi ketika saya mengajari putri kecil saya (ketika itu dua setengah tahun) makan dengan tangan saja tanpa sendok. Itu karena saya tidak ingin ia hanya fasih menggunakan sendok tapi tidak tahu nikmatnya makan dengan tangan telanjang. Mami mertua protes dan berkata, “Kenapa ngana kasih ajar makan Adek dengan tangan? Rupa orang kampung, jo.” Saya mengoreksi halus, “Rupa orang Indonesia, Mam, bukan rupa orang kampung. Kampung, kota, miskin, kaya, makan sekolahan atau patah pinsil, bukan orang Indonesia kalau tidak bisa makan dengan tangan saja.” Lalu seseorang yang lain, saya lupa siapa, membela Mami dan berkata, “Begitu no cara torang mendidik anak-anak, dengan cara Belanda.” Mendengar kata ‘Belanda’ disebut-sebut saya langsung sensi :). “Sekalian saja rombongan pada pindah ke Belanda, ketimbang makan hidup enak di Indonesia tapi tidak mau jadi Indonesia. Tinggal lihat apa Belanda mau menerima. Kalau kita lebih baik mati ketimbang mendidik anak-anak bukan dengan cara Indonesia,” demikian sanggah saya lumayan ketus. Demikianlah saya yang akan ngeyel dengan cara apapun, sejauh itu menyangkut ke-Indonesiaan saya dan anak keturunan saya. 

Intinya, mereka bahagia dan bangga luar biasa dengan apa-apa yang berbau bule, minimal Belanda. Padahal peribahasa Tondano mengatakan, tradisi harus menjadi batu pijakan bagi masa depan. Oke, mungkin itu skala keluarga dan sedikit ekstrim. Tapi di luar sana ada banyak hal yang mengusik hati saya, di antaranya: sekian tahun saya tinggal di sini dan menghadiri sekian banyak acara orang kawin, belum pernah saya mendapati satupun yang digelar dengan cara adat, biarpun cuma sekedar baju atau menyisipkan lagu daerah. Yang ada semua pengantin dan prosesi digelar dengan cara dan detil yang sangat barat. Dan sejauh saya mengenal anak-anak Manado, tak ada satupun di antara mereka yang pernah mendengar kisah rakyat dan tak ada satupun orang tua yang mendongengkannya bagi mereka. Bahasa daerah juga hanya dipergunakan oleh mereka yang tinggal di kampung, sedangkan anak-anak dan generasi muda di kota Manado sama sekali tak tahu apa-apa soal bahasa leluhur mereka. Kalaupun ada bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya mau menggunakan dialek Manado baik dalam pergaulan maupun lingkup formal seperti sekolah, kantor, dll. Tak ada bahasa daerah, tak ada bahasa Indonesia. Yang lebih menarik, saya perhatikan mereka kesulitan berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Suatu hari saya menunggu di bandara dan di sekitar saya ada anak-anak dari sebuah sekolah menengah di Manado. Rupanya bahasa pengantar mereka bahasa Inggris dan mereka cukup fasih menggunakannya, paling tidak untuk anak seumuran itu. Demikian pula mereka sangat antusias mengajak saya ngobrol dengan bahasa Inggris. Tapi giliran saya ajak bicara dengan bahasa Indonesia, mereka tersendat-sendat menjawab. Besar kecurigaan saya bahwa mereka belajar bahasa Indonesia dari sinetron dan dubbing drama Korea, hihihi…..

Saya tidak tahu dengan anda dan keluarga anda, tapi keluarga tempat saya dibesarkan hanya memperbolehkan kami, anak-anak, bicara hanya bahasa Jawa halus di rumah dan bahasa Jawa kelas rendah dengan teman-teman bermain, hingga kami sekolah. Dengan demikian kami punya cukup waktu untuk mengenal bahasa ibu kami sendiri. Setelah masuk sekolah barulah kami diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia, dan setelah kami cukup menguasai kedua bahasa ibu ini, barulah kami dipersilakan belajar bahasa asing lain. Bahasa asing, terutama Inggris, memang penting. Tapi tidak pernah lebih penting ketimbang bahasa ibu, sebab bagaimana kita bisa mengenal diri dan orang lain dengan baik jika kita tak lebih dulu mengenal ibu sendiri? Mengenai keteguhan saya mengajarkan pada anak saya akar-akar budaya termasuk sekian jenjang bahasa Jawa yang memang enggak banget itu, saya pernah mendapat kritikan dari seorang rekan kerja yang lebih tua dan sangat saya hormati. Si Mbak ini berkata, “Kamu tidak bisa memaksa anak menjadi ini atau itu, May. Anak-anak pada akhirnya akan bertumbuh. Rupa pohon, cabangnya akan menjulur ke kiri, ke kanan, atau ke mana saja sesuka mereka.” Saya menyanggah dengan sopan, “Akan tetapi, Mbak, bagaimana pohon itu bisa bercabang dan menjulur ke mana-mana kalau ia tidak berakar dengan kuat? Setiap pohon musti punya akar yang kukuh terlebih dahulu, baru cabangnya bertumbuh ke mana ia suka, dan berbuah sebanyak yang ia bisa".

Sebab hanya pohon yang berakar kuatlah yang bisa bertumbuh dan berbuah. Dan generasi yang kuat adalah generasi yang tidak tercerabut dari akarnya. Dan besar syukur saya kepada Tuhan karena memberikan keluarga yang mendidik saya dengan dasar-dasar tradisi dan budaya yang kuat, yang sangat membantu saya dalam menjalani hidup terutama mengatasi berbagai masalah. Akar yang kuat tersebut pula yang membuat saya menjadi orang yang sama sekali tidak goyah oleh pengaruh asing apapun, tak peduli teman saya sudah komplet dari semua benua dan beberapa telah jadi sahabat yang membuat mereka rutin berkunjung ke Indonesia. Dan sebaliknya, tidak ragu-ragu menyerap pengaruh asing bila memang itu baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang saya anut.  Ada dua hal yang sering luput dari perhatian kita, bahwa pada saat kita tidak berakar dengan kuat, maka pendulum kita akan cenderung ekstrim ke kiri atau ke kana. Ekstrim kanan sudah saya sebutkan di atas, yakni begitu bangga dan silau pada orang lain namun justru tak mampu menghormati diri sendiri. Asal britislah, seperti Jamrud bilang di atas. Sisi sebaliknya adalah pendulum ke kiri, yakni kita membenci dan memandang rendah apapun yang berasal dari luar seakan-akan kita adalah yang paling hebat di dunia dan mereka adalah sampah belaka.  

Di sini ada dua kredo psikologi yang paradoksal, yang pertama adalah rasa percaya diri membuat kita mampu percaya pada orang lain dan tetap kuat pada saat yang bersamaan. Dalam aplikasinya pada ranah berbangsa dan bernegara, ini bisa muncul pada tindakan-tindakan sebagai berikut: membuka diri pada pergaulan yang seluas-luasnya dan tidak ragu untuk menyanggah bila ada pihak asing yang merendahkan hal-hal apapun sehubungan dengan bangsa dan Negara kita (tengok posting saya sebelumnya, ‘TEGAKKAN KEPALA DAN LAWAN KITA DAN MEREKA!!!’),  tidak mudah ikut arus dan membeo pada semua yang dianggap baik oleh orang lain padahal belum tentu buat kita, begitu memuja bangsa asing tak peduli yang mereka perbuat bertentangan dengan haluan politik dan berbangsa kita serta melawan kemanusiaan atau tidak (lihat posting ‘Foke dan Jari Tengahnya’), dan sebagainya.

Kredo kedua yang masih sama paradoksalnya adalah: orang yang tidak percaya diri tak akan pernah sanggup untuk percaya pada siapapun. Outputnya adalah sikap yang brutal dan menyerang. Saya gemar sekali nonton acara ‘Dog Whisperer’ yang dipandu oleh Cesar Milan di sebuah stasiun tivi kabel. Anjing-anjing bermasalah yang tak sanggup ditangani oleh siapapun, termasuk yang besok sudah hendak dieksekusi karena sering mencelakai orang lain, tak ada yang tak takluk di tangan Cesar. Dari situ saya tahu bahwa beberapa anjing jadi galak bukan karena dilatih jadi galak, tapi karena mereka merasa tidak aman. Rasa tidak aman tersebut berasal dari rasa tidak percaya diri dan berujung pada rasa tidak percaya pada pihak lain. Sebagai usaha untuk menutupi kelemahan tersebut, si anjing bersikap membela diri sekaligus menyerang. Cesar maupun saya tidak bermaksud menyamakan kita semua dengan anjing, namun sejauh ia menjadi The Dog Whisperer dan saya mengikuti acaranya, terkuak bahwa semua masalah psikologis yang dialami si anjing ia dapat dari manusia, terutama sang empunya. Itu sebabnya, sebelum menangani si anjing ia terlebih dulu ‘menggarap’ si manusia, sang sumber masalah. Maka tepatlah slogannya, “I rehabilitate dogs, I train people.” Singkatnya, saat kita merasa lemah dan tidak percaya, maka kita akan menyerang untuk menutupi kelemahan tersebut. Dan jika para pemilik anjing itu menulari anjing-anjing mereka dengan sikap mental lemah mereka, maka kita akan menulari orang-orang di sekitar kita.
 
Jadi jangan heran kalau ada sebagian dari kita yang panik sekali kalau ada penyanyi ini atau itu hendak konser di sini. Tak heran kalau ada penyanyi dangdut ngebor, ngecor, nyangkul, ngarit atau apapun, sebagian dari kita jadi marah-marah tak jelas dan mengatakan itu adalah pengaruh asing. Lupa bahwa jauh sebelum ada industri musik, para perempuan di Bali sudah biasa telanjang dada ke mana-mana tanpa ada satu laki-lakipun yang otaknya jadi ngeres. Tak heran pula bila ada sekelompok orang yang membenci satu dua atau beberapa Negara secara keseluruhan, dalam arti tak peduli baik atau buruk hal-hal yang dimiliki oleh pemerintahan atau rakyat Negara tersebut. Tak heran bahwa ketika terjadi peristiwa 11 Sepetember ketika ribuan orang tak bersalah mati, saya mendapati banyak orang Indonesia nyukur-nyukurin mereka! Benar, anda boleh tidak percaya. Saat peristiwa itu terjadi, saya sedang ada di kos teman. Mereka pada nonton bareng berita tersebut, dan beberapa malah bersorak-sorai sambil berseru, “F*CK AMERIKA!!!!”. Dan banyak pula di luaran yang bereaksi sama. Betapa tragisnya, bergembira ria atas kematian ribuan orang tak bersalah hanya karena kebencian universal.   

Terus terang saya bukan penggemar no 1 orang-orang barat terlebih Amerika Serikat. Dalam banyak hal kebijakannya saya anggap menghisap manusia lain. Namun itu tidak membuat saya membenci mereka secara brutal atau mengata-ngatai mereka ini itu. Berteman dengan mereka cukup menyenangkan, dan banyak hal positif yang bisa kita serap dari mereka. Bahkan kalau boleh jujur, saya menganggap orang Amerika punya kepribadian yang paling menarik ketimbang orang-orang barat lainnya. Dua hal yang paling membuat saya jatuh hati adalah mereka punya hati yang sangat hangat dan begitu mudah tersentuh. Seekor kucing yang tak bisa turun dari pohon bisa membuat orang satu kampung bingung dan memanggil pemadam kebakaran. Sekelompok masyarakat bisa berkumpul menjadi relawan untuk menyelamatkan ribuan binatang peliharaan yang terjebak di rumah saat badai dan banjir bandang melanda. Seorang tentara berbadan besar bisa melelehkan air mata dan membersit ingus ketika berhasil menolong anak yang terjepit eskalator. Seorang kakek yang kehilangan anjingnya saat banjir bisa menangis tersedu-sedan nyaris histeris, saat si anjing dikembalikan oleh tim penyelamat beberapa bulan berikutnya. Itu tak bakal terjadi di Indonesia, karena si kakek bakal dibilang, “Apaan, sih, Kek! Lebay!” dan walhasil si kakek akan memilih untuk jaim, hehehe…. Dan prajurit Amerika yang badannya pada segede hohah itu adalah para prajurit berhati paling lembut  yang bisa kita temui di belahan dunia manapun. Kehangatan hati semacam itu sangat sulit untuk ditolak. Itu sebabnya saya tidak percaya ada orang yang begitu sampai hati tertawa girang, saat ribuan orang Amerika mati untuk sesuatu yang tidak mereka pahami.      

Jadi, apakah pendulum kita bergerak ekstrim ke kiri atau ke kanan dengan semua dampak yang mengikutinya, itu semua tak akan terjadi bila kita berakar dengan kuat pada tradisi, norma, adat, budaya, filosofi, dan segala tata hidup yang telah diwariskan para pendahulu kita dari generasi ke generasi. Bila kita berakar dengan kuat, maka kita akan berdiri tepat di tengah-tengah. Kita akan mampu bergaul dan memberikan hal-hal baik pada bangsa-bangsa lain di dunia dan sebaliknya tidak memandang dengan curiga pada mereka. Kita bisa mengoreksi kesalahan mereka dengan harga diri yang pantas, sekaligus menyerap hal-hal yang baik dari mereka pada saat bersamaan. Dan bila dalam posting-posting sebelumnya saya telah menjabarkan empat tiang nasionalisme, maka akar kita adalah pondasinya. Sebab tak ada satu tiangpun bisa berdiri kokoh tanpa fondasi yang kuat. Maka kiranya kita semua orangtua Indonesia, tak peduli Minahasa, Papua, Batak, Sunda atau manapun juga, mulai kini memusatkan perhatian pada akar tradisi dan kebangsaan anak-anak kita. Sebab masa depan Indonesia ada pada kita dan generasi berikutnya. Dan anak-anak ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua, bukan tanggung jawab Pak RT, Bu Lurah, para menteri, anggota DPR, Presiden, Jendral Timur Pradopo, Ki Gendheng Pamungkas, Limbad, Trio Macan, Jokowi, semua orang dalam bangku pemerintahan, dan lain-lain. Anak-anak ini -apakah anak kita sendiri atau anak teman atau saudara kita- adalah tanggung tanggung jawab kita para orang tua yang ada di dekat mereka. Mari kita tumbuh kuatkan akar mereka, sebab Indonesia yang kuat adalah Indonesia dengan manusia-manusia yang tak tercerabut dari akarnya. Tuhan memberkati anda semua, para orang tua dan anak-anak Indonesia! Tuhan memberkati akar Indonesia kita! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



6 komentar:

  1. Hahaha setuju bgt mbak. Saya setuju bgt soal orang sini yg kayaknya yach, namun rasanya sich bukan perasaan saya saja, banyak jaimnya! Pdhal kl mau mengekspresikan sesuatu ya lakukan aja, knp juga musti ditahan tahan yah?

    Saya mau cerita sedikit soal kultur dimana saya dibesarkan. Saya lahir di Jakarta dengan background dua orang tua Cina asal Kalimantan Barat, Bengkayang dan Sambas. Bahasa ibu yang sebarusnya saya pergunakan harusnya adalah bahasa khek ( salah satu varian bahasa Cina lah yah....). Semua teman teman sebaya saya dalam generasi saya yang dibesarkan dengan orang tua asal sana pasti bisa berbahasa Khek ini. Namun, saya tidaklah demikian. Mama dan papa saya membuka toko yg harus dilakonidari pagi sampai petang, kadang2 hingga malam. Nah, tugas menemani anak dan mengasuh tentunya nggak bisa mereka lakukan donk? alhasil, saya diasuh oleh mbak yg berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah. Kenyataan ini diperparah dengan saya tidak per.ah sedikit pun dibawa ke tanah kelahiran orang tua saya. Alhasil lagi, saya justru jauh lebih akrab dengan kebudayaan yg mbak saya bawa, yakni Mataraman. Saya sedikit sedikit tahu istilah dalam bahasa Jawa, tempat2 wisata di sekitar kampung mbak saya (Grojogan Sewu), hingga kata makian dalam bahasa Jawa (*suuuuuuuuu) hihihihi. Dalam keseharian, saya juga kerap mendengar bahasa khek dan sebagaimana lazimnya anak2, pastisaya akan bertanya akanmakna dari mata2 tsb. Menjelang dewasa, saya sendiri yang punya keinginan untuk mempelajari bahasa tsb, dan untungnya saya sedikitbanyak bisa berbahasa Khek dan bisa melakukan percakapan sederhana, sebanding akan penguasaan saya akan bahasa Jawa. Hahaha.

    Saya percaya, setiap orang tua telah melakukan hal dan usaha terbaik untuk menumbuhkan akar fondasi yg kuat kepasa anak2nya. Tinggal akarnya ini dalam bentuk seperti apa. Selanjutnya, tinggal cabangnya ygmaudiarahkan kemana. Adik saya sendiri, minat untuk menguasai bahasa khek hampir tidak ada. Maaf saja, kemampuan adik saya kalahjauh dibanding saya dalam penguasaan bahasa ini. Walaupun tidak bisa dipergunakan dalam bahasa pergaulan internasional, namun saya senangmencoba dan mempelajari bahasa yg menurut saya, sedikit banyak menunjukkan identitas saya.

    Saya rasa, anak yg berhasil dididik dengan baik oleh orangtuanya adalah anak yg ketika dewasa, bisa berkata syukur memiliki orangtua yg baik, yg mengajar dan mengayomi, walau seperti apapun bentuk pengajarannya, bukan justru menyesali karena dahulu tidak sempat diajari hal ini dan itu. Saya bersyukur saya pernah diasuh oleh mbak saya dan memiliki pengetahuan serta kecakapan berbahasa Jawa. Plus, saya memiliki ksdar keIndonesiaan yang bisa saya banggakan. Seandainya dahulu semua komponen yg digunakan untuk membesarkan saya tidak seperti ini komposisinya, mungkin cerita saya hari ini tidak akan pernah ada. Bisa jadi juga kita ngga pernah saling kenal karena mungkin minat kita berbeda. Saya, misalnya lebih suka pergi ke Xia Men atau Guang Zhou untuk memperdalam ilmu bahasa Mandarin saya...hihihihi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak tau kenapa setelah membaca 'Mbak dari Karanganyar' saya malah jadi tergelitik. Seperti banyak orang tahu mbak dalam bahasa Jawa berarti kakak perempuan. Nah, suatu hari menginaplah saya di rumah tante di Surabaya. Adik-adik saya sepupu -anak tante- 3 orang dengan jarak hanya setahunan dan saat itu sudah pada kuliah. Ada adegan ketika mereka sedang ngumpul dengan teman-teman di ruangan khusus milik mereka. Lalu saya masuk ke sana beberapa saat sekedar untu pinjam korek atau nawarin makanan atau apalah, lalu basa-basi dengan teman-teman adik-adik sepupu tersebut. Sutralah, saat mereka sudah pulang salah seorang adik sepupu berkata, "Mbak tadi ada temenku, yang Cina itu, lho, kurang ajar. Waktu Mbak May habis dari sini dia bilang, "Mbak-mu cantik sekali." Aku jawab,"Ya iyalah, Mbak-ku... Masak nggak cantik." Temanku tambah kagum, terus nanya, "Memang dibayar berapa Mbak cantiknya kayak gitu?". Aku syok, terus tanya, "Hah??!! Dibayar berapa??!! Maksudmu??!!". Pokoknya hampir kubentak gitu, Mbak, terus dia bilang, "Ya iya, masak pembantu nggak dibayar?". Ternyata buat orang Cina Mbak itu artinya pembantu. Dasar edan!". Demikianlah kisahnya, dan saya cekakakan tiada henti. Yang lebih ngenes,semua pembantu orang Cina adalah orang Jawa dan tak ada orang Cina yang pernah jadi pembantunya orang Jawa. Sebuah ironi etnikal, hihihihi....
      Dan kalau boleh jujur, selama ini say bertanya-tanya, lho, kenapa bisa ada anak muda Cina Indonesia yang begitu tertarik dengan Indonesia seperti Lomie. Cina yang keren, karena sama sekali nggak Cina, demikian menurut istilah Meme, sahabat saya selama hampir 20 tahun, si Cina 5 watt itu. Ternyata sekarang terkuaklah jawabannya. Bukan karena sejak kecil Lomie dididik dengan sengaja menjadi Indonesia banget, namun justru karena orang tua terlalu sibuk mencari nafkah sehingga malah membuahkan dampak positif, yakni menghadirkan keragaman budaya di rumah dengan kehadiran Mbak (pembantu, hihihi...) Karanganyar tersebut. every cloud has it silver lining, right?:).
      Kalau boleh usul sih lebih baik Lomie kursus bahasa Khek, minimal makiannya, deh, nanti kalau sudah fasih transfer ilmunya pada saya. Masa cuma Lomi yang boleh memaki a la Jawa "A*UUUU!!!!* sedangkan saya tidak? Hihihihi.....

      Hapus
  2. Menarik skali apalg pas ngomongin asal-usul DNA qt.11-12 lah qt b2 may.. Klo saya malah jawa,belanda ama ambon,portugisnya mengalir dri seblah pa2(marga Thomas-Pithers-Van der sloot) klo ma2 Minahasa-belanda,gorontalo tp tetap aja klo ada yg tanya pasti saya akan memekik dgn bangga klo saya org Manado ƪ(♥ε♥)ʃ walau ada kerancuan dlm asal-usul yg menyebabkan kebimbangan dlm menetapkan "budaya asli" toh endingnya k2 ortu saya memutuskan utk membesarkan saya n adik dgn budaya "keislaman-manado". Ma2 n pa2 saya memutuskan utk mengajarkan tiap bahasa yg ada,tp stelah bahasa indonesia standar diajarkan. Itulah knp saya n adik tdk prnh kesulitan berkomunikasi dgn berbahasa indonesia, org manado pd umumnya susah ngilangin "dialek manado" klo brbicara bahasa indonesia standar. Stelah menikah bru saya lbh menjerumuskan diri dlm budaya jawa-minahasa yg awalnya dikenalkan oleh sang suami, yg notabene merupakan keturunan asli Jawa n minahasa(titik segede helm)tanpa ada kontaminasi dri daerah apalagi negara lain. Bahasa daerahnya bahasa gabungan Jawa-tondano,jd jgn kaget mendengr bahasa jawa halus nan medhok yg dimix dgn struktur bahasa tondano sehingga menciptakan pakem bahasa daerah yg benar2 merepresent "Dna,darah dan jiwa" leluhur mereka. Yup, I'm in love with jawa tondano, bangga menjadi "produk multicultural" yg berakar dan membumi dgn INDONESIA YG SATU ♥

    BalasHapus
    Balasan
    1. (Sayang Liza Thomas tidak mencantumkan foto di sini, padahal dia manis sekali:)). Sepakat, biasanya sebuah keluarga produk darah campuran pada akhirnya akan memutuskan identitas etnis mereka melalui prosentasi darah yang mengalir dan atau wilayah tempat mereka dibesarkan. Karena produk dari bauran banyak akar memang memiliki tanggung jawab etnis psikologis yang jauh lebih rumit dan berat ketimbang mereka yang berdarah murni. Eh, saya kagum, lho, dengan ortu Liza yang teguh dalam mengajarkan bahasa Indonesia, karena sesuai pengakuan Liza sendiri memang orang Manado pasti terbata-bata kalau disuruh ngomong kelamaan pakai bahasa Indonesia, hihihi.....
      Bicara soal Jaton, mungkin ada pembaca yang belum mengetahui bahwa ada satu wilayah di Sulut bernama Tondano tempat para anak buah Pangeran Diponegoro yang loyal diasingkan. Para kyai itu kemudian menikah dengan penduduk sekitar, beranak-pinak, dan membuat identitas kultural mereka sendiri yang sudah diakui sebagai salah sub etnis. Keren sekali, ya? Dan mereka sangat memegang teguh adat serta pengetahuan sejarah mereka. Pokoknya TEOPEBEGETE. Sayang sekali saya belum pernah dapat kesempatan live ini di sana. Padahal pengen sekali, apalagi kalau lebaran ketupat.
      Ada kisah lucu mengenai ini. Sebelum saya tinggal di Manado, suami cerita bahwa dia punya teman keturunan Jawa dari garis bapak yang lahir besar di Manado. Dan dia punya marga. Tentu saja saya sangkal habis. "Dari garis bapak Jawa kok punya fam. Sejak jaman dulu sampe entah kapan orang Jawa tidak pernah punya fam." Dia ngeyel, saya tambah ngeye, dst. Dan dengan bangga dia bilang bahwa fam si teman (suami dari Zus Liza Thomas di atas) adalah KYAI DEMAK. Saya terbahak-bahak tiada tara, dan berkata dengan penuh kemenangan, "Fam Kyai Demak? Tau arti Kyai nggak sih? Tau maksud Demak nggak, sih?" Lalu saya memberikan kuliah singkat tentang sejarah dan agama Islam sebatas saya tahu. Intinya semua berakhir dengan saya mencibir:). Waktu pindah ke sana giliran saya tertampar. Ternyata benar ada fam Kyai Demak! Ternyata mereka adalah keturunan Kyai Demak yang dibuang Belanda di Tondano, berkawin dengan perempuan lokal, beranak cucu, melakukan adaptasi budaya (di sinilah letak keistimewaannya!), dan jadilah Jawa-Tondano dengan fam Kyai Demak, Kyai Mojo, dll, yang pasti ditertawakan orang Jawa yang kuper seperti saya waktu itu:). Saya suka cara orang Jaton memelihara akar, membaur, dan membuat identitas bauran yang mandiri tersebut. Sangata teguh dan percaya diri!

      Hapus
  3. Hmmm,,sangat menarik,menghibur dan sangat informatif,,,,,,,
    lebih dai itu nayku tertarik dengan tulisa ikan roa yang harus dihindari oleh orang yang diet dan berkantong tebal,,,!!!
    bukan diet dan kantongnya yg saya tarik,,ekh salah ,ta hela kote.justru ikan Roa nya yg saya pikirkan,gimana caranya ikan berjarum tajam di moncongnya ini,asapnya bisa sampe keluar negri,,kalo bisa sampe ke rt/rw di pelosok British,,,!!
    dorang si bule2 British bin Londo bisa mengikuti bau asap Roa sampe ke Airmadidi Tounsea ,tanah adat kelahiran nyaku,,,he,he,he,,
    naluri dan hasrat bisnis so pasti bisa disalurkan,,,,hhmmmari jo kitorang gate ni perhatian dunia dgn apa yg kitorang punya di Indonesia tercinta ini,apapun produknya yg penting si Londo2,si sipit and itang2 datang ke Indo dgn penuh hasrat memncari apa yg kita hasilkan,yaitu kebanggaan sebagai pemilik Negri nan indah dgn hasil alamnya yg meuruhkan segala rasa,,inga,,inga rasa adalah segalanya,,dan satu hal yg nimboleh kitorang lupa adalah Indonesia di jajah oleh karena rasa,,,cingkeh,pala,kopra deng Whiskey yg di Tounsea pinaraci (dicampur dgn ramuan alami) tapi dinamai si cap tikus,,,!!

    disana tempat lahir nyaku,,,tempat menuju dihari tua,,tempat akhir menutup mata.,,,,,,^_^,,,,,,
    (mati di LN biaya besar)

    BalasHapus
  4. Buat yang tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Oom Stanley (hihihi...), ini terjemahannya= ta hela= ketarik/terkuras, gate= tarik (kalau bagate artinya minum minuman keras), itang= hitam, nyaku= aku #kursus singkat bahasa orang gunung Manado:).
    Eh terbalik kali, Oom, roa justru merupakan sahabat mereka yang berkantong tebal dan bisa nyetok beras sebanyak mereka mau, hehehe...
    Eh iyo kote kang, kita malah ndak terpikir tu masalah dagang roa sampai ke LN. Kalau saya sendiri selalu promo kelezatan roa. Di kalangan teman-teman dumay ya sebatas ngecap, tapi kalau yang di dunia nyata di luar Manado saya selalu bela-belain masak sendiri (kalau pas pulang Jawa ya bawa dari sini lengkap dengan cakalang fufu dan bakasang). Dan mereka selalu ketagihan lalu minta dimasakin lagi (entah ketagihan dengan tulus atau karena gratisan, hehehe...).
    Ada usul kote, kiapa dang Oom Stenly nyada bajual roa di Amrik, dang? Ada tinggal di sana, to? Sebagai langkah awal mungkin Oom dan Tante bisa buka stand pada perayaan hari kemerdekaan, hihihi...

    *ngakak berat baca 'mati di LN biaya besar'*

    BalasHapus