Saya pernah nonton sebuah film
Hollywood. Judulnya apa, sutradara dan para pemainnya siapa, settingnya di kota
mana, semuanya lupa :).
Yang jelas film ini diangkat dari kisah nyata dan berlatar belakang sekitar
tahun ’90-an. Jadi nggak kuno-kuno amatlah. Singkat cerita, tersebutlah
sekelompok perempuan ekonomi sulit yang berusaha melamar kerja di sebuah
perusahaan apa, lagi-lagi lupa :).
Pokoknya karyawan perusahaan itu semuanya laki-laki. Tak terperi usaha para
perempuan itu untuk bisa masuk ke sana, dan giliran masuk mereka diperlakukan
benar-benar hina-dina-nista. Nggak sampai diperkosa, sih, tapi secara esensial
mereka menerima perlakuan yang tak kalah menjijikkannya dari perkosaan fisik.
Para perempuan tersebut akhirnya bangkit untuk perlawanan dan singkat kata
perjuangan mereka berhasil, sebab kalau tidak kan tidak mungkin diangkat jadi
film :).
Di lain waktu saya pernah membaca buku, yang lagi-lagi judulnya dan penulisnya
siapa lupa :).
Yang jelas sih pendeta laki-laki. Si pendeta ini menuliskan fakta-fakta
ketimpangan gender yang kabarnya hingga kini masih terjadi di banyak tempat di
Amerika. Contohnya, masih banyak gereja yang tidak mengijinkan perempuan
berkhotbah di atas mimbar. Ketika suatu kali istri si pendeta (yang adalah
seorang perempuan pengabar Injil atau evangelis) jadi pengkhotbah tamu di
sebuah gereja, para jemaah dan tua-tua gereja dengan kompak melakukan walk out.
Kalaupun perempuan boleh mengajar agama hanya dalam skup ibadah rumahan, itupun
musti diawasi tua-tua laki-laki.
Saya tidak mau banyak bicara,
jadi to the point saja: saudara-saudara, kalau ada orang bule atau Indonesia
pro bule atau bekas orang Indonesia pro bule yang mengatakan bahwa perempuan
Indonesia mengalami nasib sebagai warga Negara kelas dua, ceritakan dua hal
tersebut di atas pada mereka. Anda boleh menambahkan: di Sulawesi Utara pendeta
malah didominasi kaum perempuan. Dan mereka bukan pendeta yang hanya
ditempatkan di sebuah gereja sejak ditahbiskan hingga pensiun,
tidak. Mereka juga dipindah-pindah tempatkan, dengan suami dan anak-anak
mengikuti. Apakah para suami para pendeta tersebut pengangguran? Tidak juga.
Lalu bagaimana dengan pekerjaannya? Ya tinggal pindah saja ke instansi tempat
istrinya ditugaskan, kalau si suami PNS. Kalau kerja di perusahaan swasta dan
ada cabang di sana, maka ke sanalah pula ia ditempatkan. Kalau tidak ada ya
tinggal atur bagaimanalah. Singkatnya, semua pihak yang terlibat siap membantu
memfasilitasi pendeta dan keluarganya sehubungan dengan pelayanan yang diemban
si perempuan pendeta. Hebat, ya? Dengan begini para suami tak merasa tersisih dan ibu
pendeta bisa berbakti semaksimal mungkin.
Dan di seluruh wilayah Indonesia,
pendeta Kristen perempuan yang memiliki kapasitas boleh berkhotbah di manapun,
di atas mimbar kek, panggung sandiwara kek, sesukanya asal khotbahnya bermutu
dan tidak menyesatkan umat. Kalau ternyata khotbahnya membosankan dan
bertele-tele hingga bikin jemaah ketiduran, ya itu salah si pendeta sendiri,
bukan salah sistemnya. Bukan salah Negara atau gereja yang mengelas duakan
perempuan. Katakan pula bahwa sejak Indonesia merdeka dan menggelar pemilu
pertama, perempuan sudah punya hak pilih. Katakan pula bahwa
organisasi-organisasi perempuan sudah ada JAUH SEBELUM INDONESIA merdeka.
Kalaupun nasib mereka digencet, yang nggencet juga pemerintah Belanda busuk,
dan bukan karena urusan gender segala macam. Dan setelah ratusan tahun merdeka,
hingga detik ini Amerika belum juga punya presiden perempuan. Oh, ya sebagai
tambahan, walikota Manado yang pertama adalah perempuan dan itu terjadi tak
lama setelah Belanda hengkang. Saking sengitnya Ibu Wali yang saya tak tahu
namanya itu pada penjajah, sampai-sampai bangunan-bangunan peninggalan Belanda
segera ia ambrukkan dengan penuh semangat revolusi. Itu sebabnya kita sulit
melakukan wisata sejarah arsitektural Belanda di sini. Sayang, ya? Tapi tak
apalah, maklum orang lagi emosi :).
Kalau ada orang barat atau
Indonesia atau bekas Indonesia pro barat mengatakan manusia tak ada harganya di
Indonesia, dan bawa-bawa korban pembumi hangusan PKI sebagai misal, anda bisa
katakan pada mereka: masa di mana anggota KKK membunuh orang negro seenak udel
tanpa diadili juga belum berlalu lama. Masa gagal panen kapas yang membuat
orang kulit putih wilayah Selatan Amerika Serikat jadi frustrasi dan
melampiaskannya pada orang negro pun juga terjadi baru beberapa dekade silam.
Yang ini malah nggak perlu menutupi wajah pakai kerudung KKK. Ketika itu orang bisa bangun di pagi hari, membuka pintu dan menemukan
pria-pria negro digantung di pohon depan rumah mereka tanpa alasan jelas.
Benar-benar tanpa alasan jelas, hanya semata-mata karena orang kulit putih
putus asa dengan beratnya kehidupan mereka lalu membunuh orang-orang negro yang
sedang sial secara acak, sebagai katarsis dari semua rasa cemas dan tekanan
emosi mereka. Semua kebiadaban tersebut terjadi sama sekali tanpa unsur
keamanan dan stabilitas Negara atau pemimpin yang haus kekuasaan. Katakan juga
bahwa para pelaku kejahatan tersebut adalah orang-orang sipil yang bisa jadi
tetangga atau bahkan pakdhe seseorang, dan sama sekali bukan polisi, tentara
atau pria berseragam lainnya. Dan sama seperti anggota Ku Klux Klan, setelah
membunuh orang-orang tersebut melanjutkan hari mereka seperti biasa, makan dan
tidur di tempat yang sama seperti malam sebelumnya. Kalau ada yang bilang
aparat di Indonesia tak punya hati nurani, angkat saja kasus penjara Guantanamo
ke permukaan. Itu malah masih segar dalam ingatan, dan pasti bikin mereka
kelimpungan tak bisa ngeles.
Itu semua terjadi di Amerika,
yang sudah merdeka selama DUA RATUS TIGA PULUH ENAM TAHUN dan secara
keseluruhan tak pernah diajajah siapapun, jadi tak jelas merdeka dari siapa (menurut saya, sih :)). Yang ada mereka kan para
imigran Inggris, ngobrak-ngabrik tanah orang Indian, lalu baku rampas tanah
orang dan menghabisi si empunya tanah, setelah itu singkatnya mengklaim diri
dijajah Inggris (sampai di titik ini dan detik ini, otak saya yang terbatas ini
tak pernah bisa memahami, mengapa para imigran Inggris yang merampas tanah
orang tersebut bisa berakhir mengaku dijajah Inggris. Ada yang bisa menjelaskan
pada saya?). Mereka tak pernah dijajah
selama 350 tahun, tak pernah dimiskinkan secara materi, rohani, mental,
spiritual, dipecah belah, dihina, diinjak-injak, dan dinista selama ratusan
tahun. Mereka tak pernah perlu
memulihkan diri dari trauma fisik maupun non fisik apapun. Dan setelah
ratusan tahun punya waktu untuk menata Negara dan menghisap Negara-negara lain,
data yang diperoleh Oprah Winfrey mencatat bahwa pada sekitar tahun 2010 (kalau
tak salah ingat :)),
di kota Newark, SATU DARI DUA ANAK REMAJA MENGALAMI PUTUS SEKOLAH. Itu kalau
ada yang mengatakan betapa bobroknya sistem pendidikan di Indonesia dan betapa
besarnya jurang kesempatan pendidikan di negeri kita.
Kalau ada yang bilang Indonesia
adalah Negara yang tidak aman, bilang pada mereka bahwa di banyak apartemen
kelas bawah di Amerika, seorang perempuan tidak akan berani naik tangga
sendirian. Kalau lift mati dan tak ada teman, maka mereka tak punya pilihan
selain pasrah pada nasib. Apa pasal? Karena perkosaan di anak tangga bukan
perkara asing. Dan pada banyak kasus, saat perkosaan terjadi dan ada orang lain
melintasi anak tangga tersebut, maka orang tersebut akan melenggang begitu
saja, apalagi kalau pemerkosanya rombongan. Bilang pula pada mereka bahwa di
Amerika seorang murid SMA bisa saja stress lalu mengambil senapan milik orang
tuanya, lalu kembali ke sekolah dan menembaki siapapun yang dia temui. Dan ini
bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Di Amerika pula anggota gang-gang
bisa baku tembak semau mereka, tak peduli tempat dan waktu, dan masih terjadi
sampai sekarang setelah dua ratus sekian tahun mereka membangun Negara.
Kok kesannya seakan saya anti
Amerika, ya? Padahal sih memang iya. Hehehe, enggak sih, lantaran Amerika kan yang paling populer. Dan yang paling sering
diagung-agungkan oleh mereka yang sok bule. Tapi baiklah kita pakai
perbandingan lain saja. Sekarang giliran Perancis, yang katanya begitu penuh
semangat dalam menegakkan Human Rights dan blablabla. Kalau ada yang mengatakan
bahwa Indonesia belum siap berdemokrasi dus sama sekali tak pantas menyebut
diri sebagai Negara demokrasi, lain dengan di Eropa dan Amerika atau manapun
juga, bilang pada mereka bahwa Perancis melarang warganya memakai atribut
agama. Mau jilbab kek, kalung salib kek, apapun itu. Ada yang bilang lantaran
awalnya mereka pada parno teroris menyembunyikan bom atau apalah di balik burqa.
Setelah mendiskreditkan para hijabers, dengan bangga mereka mengatakan: “Supaya
fair maka umat agama lain juga tak boleh memakai atribut agama. Betapa kami
menjunjung keadilan dan hak-hak asasi manusia, bukan?”. Anda ngakak membaca
ironi tersebut? Kalau iya berarti kita soulmate :).
Hipokrisi yang sangat seksi, bukan? Nah, anda bisa bilang pada mereka, bahwa di
Indonesia, orang mau pake kalung salib kek, rantai dengan liontin gembok kek,
terserah. Mau pake burka dari atas sampai bawah kek, pakai rok karung goni dan hem
yang terbuat dari tikar anyaman bambu kek, sesukanya. Burqa tidak pernah
dijadikan alasan keamanan. Toh granat bisa disembunyikan di lipatan kondhe
simbah-simbah penjual uba rampe selamatan atau jajan pasar. Bom bisa
disembunyikan di keranjang pecel Yu Darmi atau gerobak sayur Mang Engkos.
Pistol bisa disembunyikan di balik susunan rokok asongan si Otong. Kalau
alasannya demikian, sekalian saja semua orang Indonesia dilarang pakai baju dan
tidak boleh bawa apa-apa. Jadi ke mana-mana telanjang sambil angkat tangan.
Kalau ada yang bilang orang-orang
Indonesia tidak bisa pakai logika, anda bisa mengatakan ini: setakut apapun kami pada terorisme, logika
kami tetap jalan dengan mengatakan bahwa hanya karena ulah segelintir teroris,
bukan berarti kami punya hak untuk menyamaratakan semua umat Islam dan merampas
hak mereka, yang diikuti oleh terampasnya hak umat beragama lain. Itu juga bisa
dijadikan bantahan kalau ada yang bilang tak ada toleransi di Indonesia. Kalau
ada orang bilang bangsa Indonesia brutal dan emosional, katakan pada mereka
bahwa sejauh ini kami masih bersabar menghadapi segala hinaan pada kami, karena
logika kami mengatakan bahwa membalas kejahatan hanya membuat kami sama
jahatnya dengan mereka yang berlaku jahat pada kami.
Sinis? Iya. Dan kenapa tidak?
Habis, mereka seenak jidat menuding-nuding jari ke muka orang seakan muka
mereka yang paling kecakepan, padahal yang paling cakep kan saya, hihihi… Mereka punya banyak kekurangan, dan entah
karena malu atau apa, mereka berusaha tutupi kekurangan tersebut dengan cari-cari
kekurangan orang lain. Kalau tidak berhasil menemukan kekurangan orang ya
akhirnya ngarang-ngarang. Dan tololnya, kita diperlakukan seperti itu kok ya
mau-maunya diam saja. Tapi bagaimana mau melawan kalau tidak punya mitraliur?
Jadi bagaimana, dong, kita harus berontak dengan memaki-maki mereka? Tenang,
para pembaca, tak perlu seperti itu, seakan-akan kita tidak pernah diajari
sopan-santun oleh orang tua. Ingat kan Mahatma Gandhi pernah melawan dengan
hanya diam seribu bahasa dengan ahimsanya? Memang sih kita tak perlu jadi
pendiam dan pemalu seperti itu. Namun intinya, sekali lagi, kita tak perlu
membalas kejahatan dengan kejahatan, karena itu justru membuat kita jadi sama
jahatnya dengan mereka. Kita bisa melawan dengan: mencari tahu hal-hal baik tentang
Indonesia, ibu pertiwi kita, lalu menggunakannya sebagai senjata untuk
mematahkan semua usaha mereka dalam mendiskreditkan kita. Caranya? Ya dengan
semua contoh yang sudah saya sebut di atas. Capek deh :).
Tapi ada masalah besar: bagaimana
mungkin kita bisa melawan penghinaan mereka, jika kita sendiri juga ikut-ikut
menghina ibu pertiwi kita? Kalau kita mau jujur, banyak sekali dari kita yang
suka menyumpah serapahi segala hal yang ada di Indonesia, bukan? (hal ini saya
pernah saya kupas secara khusus dalam posting berjudul ‘Salah Empat atau Betul
Enam Belas?’ dan ‘Ngomel Berjamaah’. Silakan tengok ulang, ketimbang saya capek
bikin contoh-contoh lagi:).
Jadi ijinkan saya membuat analoginya: anda dan saya punya orang tua, bukan?
Berhubung orang tua kita adalah manusia dan bukan Tuhan, maka mereka semua
pasti punya kekurangan. Dan apa reaksi kita kalau ada orang yang menghina orang
tua kita? Apa kita akan berdiam diri? Saya tidak tahu dengan anda, tapi kalau
saya pasti akan melawan dan berkata, “Memang simbokku premanwati yang suka
memaki, tapi cuma itu kejelekannya. Yang baik segudang. Dia cantik, lucu,
santai, murah hati, mudah jatuh iba, pergaulannya luas, masakannya enak, ramah,
kalau ada masalah selalu dibikin enjoy, suka bercanda, dan sebagainya. Cuma
karena satu dua kekurangannya kalian mau bilang emakku buruk semata? Bagaimana
dengan emakmu sendiri? Manusia sempurna? Dan bagaimana perasaanmu kalau emakmu
kuhina-hina? Jadi, kuminta dengan hormat mintalah maaf pada emakku sekarang
juga.” Tetapi sebagai perbandingan, ada baiknya saya membuat skenario begini:
ada segerombolan orang membicarakan kekurangan emak saya, dan saya menimpali, “Oh,
itu belum seberapa! Kalian semua harus tahu, emakku itu pelitnya minta ampun!
Dia nggak bakal kasih uang jajan kalau aku belum meratap dan menghiba. Emakku
juga koruptor, hobinya mark up duit belanja terus dia pakai buat borong tanaman
hias dan guci-guci koleksinya. Kemudian kalo Bapak menegur kenapa duit belanja kandas
sebelum waktunya, emakku memfitnah dengan bilang bahwa itu semua gara-gara
anak-anaknya yang tujuh orang itu, biarpun perempuan semua tapi kalo makan pada
kayak luwak. Dan, hei, kalian pikir emakku cakep banget dengan hidung tinggi
runcing, mata belok kecokelatan, alis tebal kayak disulam, dagu belah, bibir
tipis, dan blablabla? Tunggu sampai kalian lihat dia tidur mangap sambil
ngiler!”. Demikian saya menggosipkan emak saya dengan penuh semangat Malin
Kundang, sehingga arena penghujatan terhadap emak saya menjadi kian bergelora
dan berletupkan bara.
Sinting? Otomatiiiis….. Untung
saya belum durhaka dan tidak akan pernah durhaka. Jadi kalau ada yang
menjelekkan emak saya ya pastilah saya bela. Dan seperti saya yang punya hak
DAN kewajiban untuk menjunjung tinggi dan membela kehormatan orang tua terlebih
ibu yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkan saya, maka saya yakin
demikianlah sekalian anda. Dan sama gilanya dengan saya jika justru menghina
dan menginjak-injak kehormatan ibu saya, saya yakin demikian pulalah anda.
Tetapi di luar sana pasti ada satu dua orang ajaib yang suka menghina orang
tuanya sendiri. Dan bila ada di antara kita yang punya penyakit seperti itu,
maka kita tak punya pilihan selain melawan penyakit itu. Jika mulut sudah gatal
ingin membicarakan keburukan orang tua, kita tak punya pilihan selain mengingat
semua kebaikan dan pengorbanan mereka dalam merawat dan membesarkan kita. Kita
tak punya pilihan selain terus dan terus melawan penyakit itu, sampai akhirnya
penyakit itu takluk dan dengan bangga kita bisa berkata, “Ibukulah yang terbaik
di dunia, lepas dari segala kebaikan dan kekurangannya. Dan, hei, kekurangannya
tak seberapa, tapi sejuta kebaikannya pasti akan membuatmu terpesona. Mau
dengar ceritanya?”
Dan setelah punya rasa hormat
yang pantas pada orang tua, kita bisa melawan siapapun yang berani menginjak-injak
kehormatan ibu kita. Dan siapakah yang berani berkata bahwa Indonesia bukan ibu
pertiwi kita? Jika ada orang Indonesia yang berani berkata Indonesia bukan ibu
pertiwinya, maka kita bisa berkata, “Kalau begitu carilah ibu pertiwi lain.
Semoga ada yang mau.” Inilah tiang ke empat nasilonalisme hasil rumusan Yuanita
Maya, yang jika disatukan dengan tiga sebelumnya akan menghasilkan rasa percaya
diri nan proporsional sekaligus menguatkan kita dalam menghadapi tantangan
dalam berbangsa. Maka marilah kita semua bangkit dan tegakkan kepala! Adalah
hak dan kewajiban kita untuk membela kehormatan ibu pertiwi kita, Indonesia!
Adalah hak dan kewajiban kita untuk melawan penyakit diri yang HANYA MAU
melihat dan membicarakan kekurangan Indonesia! Adalah hak dan kewajiban kita
untuk terus-menerus mencari, mengembangkan, dan
mensyukuri segala kelebihan dan hal-hal baik yang dimiliki Indonesia!
Adalah hak dan kewajiban kita untuk melawan siapapun yang berani merendahkan
Indonesia, dan menuntut permintaan maaf atas segala hinaannya! Mari, tegakkan
kepala dan lawan diri kita dan mereka! Tuhan memberkati keberanian dan
kebenaran anda dan saya, Tuhan memberkati kehormatan Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah
tangga).
Saya pikir pertama-tama ini membicarakan tentang Patrialisme dan Maternalisme. upsss ternyata saya salah, intinya tetap adalah nasionalisme :D
BalasHapushihihi....sistem dan habit perilaku orang-orang disini sich memang sudah rusak ya mbak. nggak bisa dipungkiri dan ditutupi lagi. namun, bersyukurlah, yang bener dan yang masih mau berusaha membenahi masih banyak. kita? ya lakukan bagian kita aja sich menurut saya. pemikiran pemikiran dan penulisan mbak May bisa menjadi contoh, bahwapemikiran dan ide yang baik masih berlaku dan layak untuk dikumandangkan. nggak mungkin juga kan mbak May manjat gedung DPR dan menulis Jujur Adil lalu melenggang tanpa ditangkap petugas keamanan? hehehehe.
Yah, cape juga sich mendengar situasi sehari-hari tentang kondisi negara ini yang tiap hari "ya ampun...ada lagi...". namun bener benget tuh kata Mbak May, cape juga mendengar orang-orang yang selalu membandingkan negara ini dengan negara lain, apalagi sampai koar koar berlebihan namun nggak diketahui, apakah dia sudah pernah kesana, atau sudah pernah studi banding kesana. situasi di negara lain pun sebenernya sama. standard standard hidup yang banyak diterapkan dan ranking ranking itu pun nggak lebih dari rumusan dunia barat sana. bener banged di Amerika ada kasus penembakan, bener banged di Norwegia ada orang gila menembak membabi buta, bener banged juga di Inggris ada bomb kereta api bawah tanah, eh tapi bener banged juga kalau di Afghanistan ada bom mobil, Suriah terkena hantaman artileri dan peluru berat Turki, suasana di Laut Cina Selatan memanas serta bom buku bertebaran dimana-mana di Jabodetabek. dunia ini sudah bukan tempat yang aman ya mbak? hehehehe.
saya selalu setuju dengan pemikiran embargo. Iran mungkin bisa jadi contoh bagus walaupun jujur saya belum pernah kesana dan studi banding kesana. namun, politik menutup diri dan menjauhkan diri dari pengaruh barat dan internasional entah kenapa bukan hanya sekedar membangkitkan rasa nasionalisme saya, namun juga menumbuhkan harapan bahwa kita bisa jadi besar dan mandiri. memang sich, semua ide ada baik dan buruknya, termasuk embargo diri sendiri. nggak boleh egois dan mementingkan isi kepala dan keinginan sendiri aja, bagaimana nasib pada eksportir mebel, buah-buahan, pakaian yang memiliki klien klien di luar negeri? yah...saya sih bukan orang yg ahli ekonomi atau hubungan internasional, namun secara kasar aja unit usaha mereka pasti akan terhenti kalau sampai ide ini terlaksana. itu baru contoh kecil, bagaimana dengan listrik, air dan bentuk bentuk penunjang kehidupan dasar yang nggak bisa kita buat sendiri? dalam situasi terparah seperti itu, kira-kira apa yang akan Indonesia lakukan? mengutuk diri karena nggak bisa berbuat apa apa dan mempertimbangkan untuk membuka diri? ataukah justru mengkreatifkan diri untuk berbuat segala sesuatu agar lebih baik? Heyyy...kita ada 240 juta orang. masak iya, satu orang nggak bisa mengajari orang lainnya untuk mendapat pengetahuan dan bertumbuh? masak nggak bisa kita menjadi mandiri dengan menolong sesama kita? satu orang nolong 1 orang saja dech.
mudah-mudahan saya juga nggak dianggap tukang mengeluh. Tapi, negara ini begitu luas dengan sejuta masalahnya. namun ada sebagian dari kita yang pintar dan cerdas ini malah menggalang dana bantuan untuk Rohingya (suku yang konon, menurut pemberitaan media "dibuang" oleh Myanmar dan oleh Bangladesh juga) atau Suriah (yang notabene negara kaya). hmm....membantu sesama sich sangat mulia, namun apakah kita sudah di posisi yang tepat, sampai harus membantu mereka yang berjarak puluhan ribu kilometer dari kita? sementara di Sulawesi ada kasus bentrokan agama, Sumba ada krisis pangan, dan konflik larut berkepanjangan di Papua serta suku asli yang semakin terdesak perikehidupannya di pedalaman SUmatera. bukankah mereka yang layak dibantu terlebih dahulu? Apakah semut di seberang lautan sebegitu jelasnya?
Teuteup, komen yang lebih heboh ketimbang posting aslinya:). Kenapa kita bisa melihat bahwa kian hari bangsa ini kian keropos dan tercabik? Tak bukan adalah karena kita semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Tidak ada jalan lain untuk meraih kejayaan selain kembali kepada nilai-nilai Pancasila oleh segenap elemen bangsa, tak peduli pemerintah atau rakyat. Kalau perlu, orang asing yang tinggal di sini dan atau hendak menjadi WNI harus ditatar Pancasila dan dipantau apakah kehidupan sehari-harinya menyimpang atau tidak dengan norma-norma Pancasila. Lha wong kita orang Indonesia saja sulit setengah mati menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, apalagi orang asing, hehehe....
HapusSecara ekstrim saya setuju dengan mengembargo diri sendiri, paling tidak dalam konteks melecut diri sendiri untuk mandi asal semua pihak siap bergandeng tangan dengan kompak. Tapi ntar kita nggak bisa pake jejaring sosial? Capek:). Mengenai 240 juta penduduk Indonesia, ada cerita menarik. Masih ingat si Paijo yang lugu itu? Nah, sebagai orang Arab dia sama sekali nggak jaim dan jauh berbeda dengan teman-temannya. Salah satunya, dengan pebuh semangat dia belajar bahasa Indonesia, yang mana teman-temannya tak mau. Alasannya: ah, di Indonesia paling cuma 2 tahu. Lagipula Bahasa Indonesia bukan bahasa Internasional. Jawabannya membuat saya terkesima: "Memang, tapi jangan lupakan bahwa di dunia ini ada sedikitnya 240 juta berbicara dalam bahasa Indonesia." Sungguh, si Paijo ini sama sekali tak sadar bahwa pada titik ini ia membuat saya mengerti betapa besar dan agungnya bangsa kita. Masalahnya hanyalah: apakah kita mau? Sebab tak ada seorangpun atau bangsa manapun bisa menjadi kuat dan agung sebelum berhasil menghormati dan menghargai dirinya sendiri.
Oh ya, Paijo menambahkan: dan 240 juta jiwa bukanlah perkara yang sederhana. Itu kekuatan besar.
Hapussaya terharu pas membaca bagian ini. dari 8 Milyar penduduk dunia, 240 juta diantaranya, atau sekitar 3% adalah penutur bahasa Indonesia. ngeri ya.... apa jadinya kalau Indonesia tuh dahulunya bangsa penjajah? jangan2 bahasa Indonesia yang jadi bahasa internasional? hehehe
HapusWah, tiga persen? Hebat, ya! Kalau Indonesia jadi penjajah maka sudah pasti seratus persen bahasa kita jadi bahasa internasional. Kan Bahasa Melayu sendiri sudah pernah jadi lingua franca. Bahasa Indonesia juga memiliki sifat-sifat yang musti dimiliki oleh sebuah bahasa untuk menjadi lingua franca. Cuma syaratnya apa saja saya lupa, hehehe...Yang jadi masalah kita tidak punya potongan penjajah kelas wahid, jadi lupakan saja kemungkinan bahasa Indonesia jadi lingua franca:). Dslsm hsl ini saya salut pada Pak Harto yang bersikukuh memakai Bahasa Indonesia dalam tiap pertemuan internasional sekalipun beliau menguasai Bahasa Inggris. Saya bayangkan bila usaha beliau untuk menginternasionalkan bahasa kita berjasil. maka bukan tak mungkin saat berkunjung ke Indonesia Obama bukan hanya fasih bilang 'Sateeeeee....' dan 'Baksossss....', tapi bisa bikin kalimat panjang lebar, seperti misalnya: "Saya mengucapken banyak terima kasih daripada Bapak Suharto sudah mempersiapken segala sesuatunya dengan baik dalam pada menyambut daripada kedatangan saya. Maka pada tanggal anem bulan ini saya memberitahuken bahwasanya perjanjian daripada kerjasama daripada Indonesia dan Amerika telah diresmiken oleh daripada saya presiden daripada Amerika dan Bapak Suharto presiden daripada Indonesia." Hahahaha.....
Hapuskita hidup di era informasi yang sudah sangat mengalir dengan sedemikian derasnya. katak bertelur di Nikaragua langsung kita bisa tahu informasinya saat ini, sekarang juga. pinter-pinterlah semua wahai pelahap informasi. nggak semua informasi yang anda cerna itu benar dan bagus adanya. sudah bukan hal yang bohong bahwa pemberitaan itu tidak independen. sebagian besar dari informasi yang kita terima kebanyakan bermotif sesuatu namun umumnya mengarahkan pola pikir. gampangnya aja, pemberitaan internasional adalah Jakarta rusuh dan lumpuh karena demo buruh besar-besaran. loch, koq malamnya bisa ada midnite sale sampe rebut-rebutan sepatu yang harganya minimal 500rb rupiah? suasana Timika panas karena tembak-tembakan misterius tersebut. lha, itu koq masih ada institut pertambangan yang masih rutin beroperasi dan masih rutin menggelar kegiatan operasionalnya? Semarang buanjiirrrrr.... lah, apa kabarnya Srondol, Gunungpati dan Banyumanik, coba?
BalasHapusnggak usah terpesona dengan bangsa asing karena berita berita super mulus yang diberitakan tersebut. sama saja, memangnya pas wisatawan asing datang ke Indonesia, lalu tour leader akan membawa mereka ke Cipinang Muara? Jembatan Besi? Utan Panjang? rasanya nggak dech. mereka pasti akan dibawa ke Sudirman-Thamrin, Dunia Fantasi, dan Taman Mini. servis mata. itu saja pencitraan yang lokal, gimana yang internasional, coba?
Tuhan memberkati Indonesia dengan berita baik, dan kecerdasan manusia-manusianya agar berazaskan pancasila. :)
Btw, Pancasila musti huruf besar, ya:). Saya malah cekikikan membaca midnite sale sehabis banjir. Entah kenapa menurut saya lucu:). Emang beneran ada? Kebanggaan tak proporsional jelas dilandasi rasa tak percaya diri. Apalagi ditambah media massa yang kian hari kian tak jelas arah tujuannya apa, selain bikin tambah bising. Dari awal saya sudah gembar-gembor untuk hati-hati terhadap media. Hal paling menyedihkan yang bisa kita lakukan pada diri sendiri adalah menjadikan diri bulan-bulanan manusia-manusia media yang mendedikasikan diri pada oplag dan rating tersebut. Sinis, ya? Biarin saja, memang layak mereka diperlakukan seperti itu:). Saya harap Lomar dalam kehidupan sehari-hari membagikan pemahaman-pemahaman yang kita sepakati. Satu orang saja akan membuat sedikitnya seorang yang lain tercerahkan dan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Tuhan memberkati Lomar dan segenap rasa cintamu pada Indonesia!
BalasHapus