Saya ini termasuk orang yang aneh. Ketika suami saya menciptakan dan mengaransemen secara utuh lagu-lagu romantis sebagai pernyataan cintanya, saya justru cekikikan geli. Menurut saya adalah hal yang tidak masuk akal bila sepasang insan menjelang paruh baya seperti kami cinta-cintaan gaya alay begitu. Padahal orang-orang di sekeliling saya –terutama teman-teman cewek anak sulung saya- ketika tahu justru berseru: “Ooooohhhh…. Co cwiiiiiiiiittttt,” sementara saya memutar bola mata. Hati saya justru berbunga-bunga tinggi ketika ia memberi kejutan berupa 5 keris petai waktu kami masih tinggal di Manado dan barang busuk itu demikian sulit dicari. Ketika kebanyakan orang menganggap B.J Habibie adalah jenius fenomenal di Indonesia, saya justru memilih Benyamin Sueb. Ketika yang lain mengatakan bahwa lirik puitis lagu Kla Project dan Ebiet G. Ade sebagai yang paling top, saya justru menobatkan ‘Bulan Sabit di Awan’ sebagai bukan hanya puitis namun juga sanggup membawa imajinasi saya melayang menembus ruang dan waktu. Dan sekarang, waktu orang-orang bukan hanya memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sama sekali tidak relevan namun juga menjadikannya bahan olok-olokan, saya justru sibuk mempelajarinya dan dibikin kagum bukan buatan.
Iya, saya sedang terpesona pada Pancasila. Saya merenungi
sejarah perumusannya dan menitikkan air mata, sebab pikiran saya mundur hingga
masa ratusan tahun sebelumnya, saat bangsa kita jatuh bangun berdarah-darah
dalam remasan tangan besi penjajah yang bergelimang darah para pendahulu kita.
Klimaks adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan kemerdekaan yang
akhirnya kita bisa raih. Dan saat berusaha menyelami suasana batin para anggota
BPUPK saat membawa pulang pekerjaan rumah membuat rumusan Pancasila, lagi-lagi
air mata saya mengalir. Mereka mengalami betapa beratnya perjuangan, dibuang
dan dikucilkan, jauh dari keluarga, sakit hati karena melihat penderitaan
rakyat di mana-mana, dan entah apa lagi sebab saya kehabisan kata-kata untuk
menggambarkannya. Jadi saya bisa membayangkan betapa besarnya harapan mereka
akan masa depan negara Indonesia yang belum lagi terbentuk itu. Mungkin mereka
memejamkan mata, mengkhayalkan kebesaran, ketentraman, kemakmuran dan kejayaan
negeri ini terlebih dahulu, sebelum mereka memikirkan rumusan apa saja yang
diperlukan untuk mewujudkan semua itu.
Itu semua menjawab pertanyaan mengapa rumusan Pancasila dari
butir pertama hingga yang terakhir bisa sedemikian memesona. Pesona paling
utama dari Pancasila adalah kemampuannya untuk mencegah sekaligus mengatasi
segala permasalahan bangsa luar biasa besar yang luar biasa majemuk ini. Mari kita telaah bersama-sama (sebenarnya saya
ingin menuliskan butir-butirnya secara lengkap, tapi saya terlalu baik hati
untuk menyiksa mata siding pembaca, hehe…) rangkumannya.
Sila Pertama: butir-butirnya merangkum secara sempurna
hubungan kita dengan Pencipta Alam semesta (sebelumnya diawali dengan iman percaya
kita kepada-Nya, yang mana bukan perkara mudah mengingat ada banyak atheis
berkeliaran di luar sana. Jadi sekali lagi, tidak menjadi atheis bukanlah hal
yang gampang) dan panduan kita dalam berkarya sebagai manusia berlandaskan
ajaran ajaran agama. Selebihnya adalah dasar bagaimana kita berinteraksi dengan
mereka yang berbeda iman. Jika ini dilaksanakan dengan sempurna oleh segenap
elemen bangsa, tidak akan perdebatan sengit berujung hujat antara umat yang berbeda,
yang di Indonesia biasanya diwakili oleh umat Islam dan Muslim. Tidak akan ada
bentrok antara dua kubu dari agama berbeda, tidak akan kericuhan yang
disebabkan izin pendirian rumah ibadah, tidak akan pembunuhan berkedok agama, tidak
akan ada FPI dengan aksi-aksi vandal mereka sebab bagaimanapun FPI tidak akan
berulah seperti demikian jika tak ada kompleks maksiat dan sebagainya. Di sini
saya percaya pepatah ada api ada asap, tidak akan ada kriminalisasi kelompok
umat tertentu yang berseberangan tafsir dengan kelompok yang lain, dan
sebagainya (cari sendiri, ya:)).
Sila kedua: butir-butirnya adalah dasar mengenai bagaimana
selayaknya kita menjalin hubungan dengan yang lain berdasar prinsip keadilan
dan keberadaban. Jika kita semua tahu makna dua kata tersebut, maka mungkinkah
terjadi kericuhan pasca pilkada dari kubu yang tak terpilih? Mungkinkah terjadi
bentrok berdarah antar warga yang saling memperebutkan tanah? Akankah ada kasus
buruh yang merasa tereksploitasi dengan upah yang tidak sepadan? Akankah ada
keluarga-keluarga yang berantakan? Akankah ada kasus KDRT? Akankah ada
kemiskinan? Ada banyak lagi pertanyaan ‘akankah ada’, dan jawabannya ‘TIDAK’
jika kita semua melaksanakannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Sila ketiga: rangkuman butir-butirnya adalah bagaimana
seharusnya kita mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan, mengembangkan rasa cinta tanah air dan semangat
persatuan. Jika itu semua kita tanamkan dalam jiwa raga, akankah ada para ahli
yang hengkang ke negara lain dengan alasan pemerintah tidak peduli? Adakah atlet
yang berteriak-teriak mengeluh di media massa karena tidak mendapat bonus
seperti yang ia harapkan atas prestasinya di event internasional? Akankah ada
anak muda yang mengaransemen lagu Indonesia Raya dalam versi hip-hop rap
seperti yang saya dengar 3 tahun lalu? Akankah ada tawuran antar pelajar,
pendukung ormas satu dan yang lain, dan sebagainya? Akankah ada konflik-konflik
horizontal? Masih banyak contoh lainnya. Dan jawabannya masih sama, TIDAK jika
kita setia mengamalkan dasar-dasar negara kita.
Sila ke empat: inti dari sila ini adalah kedewasaan dalam
mengolah pikiran dan mengutarakan pendapat dalam kerangka relasi antar sesama,
dan lebih jauh adalah kemaslahatan masyarakat oleh para wakilnya. Ini juga merupakan
bumper yang kuat yang jika dilaksanakan maka kita semua akan terhindar dari
konflik horizontal macam apapun, yang biasanya berawal dari komunikasi yang
salah. Kesalahan komunikasi biasanya diawali dari ketidak pahaman kita akan
arti diskusi dan musyawarah. Saat tidak paham otomatis kita akan membuka mulut
dengan pendekatan pemaksaan pendapat dan keinginan untuk menang. Digabungkan dengan
pihak lain yang sama rendah kualitasnya, ujungnya adalah baku maki, baku hujat,
dan akhirnya bentrokan fisik. Lebih ke atas, jika para wakil rakyat memahami
benar nilai dari butir ke Sembilan sila ke empat, tidak akan ada
keputusan-keputusan berbasis ‘mata ijoisme’ seperti kursi yang mahalnya
ngujubilah setan, penundaan membahas UU anti korupsi, tuntutan minta laptop,
mesin cuci, dan hal-hal bodoh lainnya yang kerap dilakukan oleh wakil-wakil
rakyat yang ngakunya terhormat itu.
Sila ke lima: jika gabungan dari butir-butir dalam sila ini
dilaksanakan oleh segenap elemen bangsa, maka tidak akan ada kasus busung
lapar, anak jalanan, jual anak dan badan karena faktor ekonomi, kampung yang
disesaki keluarga-keluarga pengidap retardasi mental karena faktor gizi, dan
sebagainya. Tidak akan ada anekdot tentang pegawai negeri yang berusaha bunuh
diri loncat dari gedung tinggi. Tidak akan segerombolan orang yang menempati
tanah yang bukan hak mereka, memenuh sesaki bantaran rel dan sepanjang aliran
sungai. Tidak akan ada pula kasus penggusuran yang biasanya dikemas secara
lebay dalam liputan dan berita distorsif berat sebelah oleh media massa. Tidak akan
ada pula mereka yang memperkosa hak pengguna jalan seenak jidat dengan membuka
warung-warung kaki lima dengan alasan ‘kami rakyat kecil butuh makan’ dan
jargon-jargon kemiskinan lebay lainnya. Tidak akan ada pula anggota masyarakat
yang bunuh diri karena tekanan mental dan atau ekonomi. Tidak akan ada
pengangguran yang kemudian mata gelap jadi maling atau copet. Perekonomian dalam
negeri akan semakin kuat karena kita lebih suka membeli produk buatan lokal. Kesenjangan
sosial akan bisa ditekan hingga derajat paling minim karena satu sama lain
punya semangat untuk peduli, memperhatikan dan tidak merampas hak orang lain,
dan sebagainya.
Rentetan kalimat di atas itulah yang membuat saya terpesona
pada Pancasila. Kalau tidak percaya, silakan anda cari butir-butir Pancasila
dan anda pelajari sepuasnya. Jika sudah, maka saya percaya seratus persen anda
akan sepakat dengan saya: rakyat hanya akan adil dan makmur jika segenap elemen
bangsa, terutama rakyat sebagai elemen yang paling besar, menerapkan dengan
penuh suka cita setiap butir yang tercantum dalam Pancasila. Namun selama kita
mengabaikan, menjauhi, apalagi mencemoohnya, maka parodi ‘Rakyat adil makmurnya
kapaaannn…?’ akan terus berkumandang sampai saat Tuhan meluluh-lantakkan bumi
ini kala kiamat tiba. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).