Senin, 27 Februari 2012

‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaan….?’? Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman.



Saya ini termasuk orang yang aneh. Ketika suami saya menciptakan dan mengaransemen secara utuh lagu-lagu romantis sebagai pernyataan cintanya, saya justru cekikikan geli. Menurut saya adalah hal yang  tidak masuk akal bila sepasang insan menjelang paruh baya seperti kami cinta-cintaan gaya alay begitu. Padahal orang-orang di sekeliling saya –terutama teman-teman cewek anak sulung saya- ketika tahu justru berseru: “Ooooohhhh…. Co cwiiiiiiiiittttt,” sementara saya memutar bola mata. Hati saya justru berbunga-bunga tinggi ketika ia memberi kejutan berupa 5 keris petai waktu kami masih tinggal di Manado dan barang busuk itu demikian sulit dicari. Ketika kebanyakan orang menganggap B.J Habibie adalah jenius fenomenal di Indonesia, saya justru memilih Benyamin Sueb. Ketika yang lain mengatakan bahwa lirik puitis lagu Kla Project dan Ebiet G. Ade sebagai yang paling top, saya justru menobatkan ‘Bulan Sabit di Awan’ sebagai bukan hanya puitis namun juga sanggup membawa imajinasi saya melayang menembus ruang dan waktu. Dan sekarang, waktu orang-orang bukan hanya memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sama sekali tidak relevan namun juga menjadikannya bahan olok-olokan, saya justru sibuk mempelajarinya dan dibikin kagum bukan buatan.

Iya, saya sedang terpesona pada Pancasila. Saya merenungi sejarah perumusannya dan menitikkan air mata, sebab pikiran saya mundur hingga masa ratusan tahun sebelumnya, saat bangsa kita jatuh bangun berdarah-darah dalam remasan tangan besi penjajah yang bergelimang darah para pendahulu kita. Klimaks adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan kemerdekaan yang akhirnya kita bisa raih. Dan saat berusaha menyelami suasana batin para anggota BPUPK saat membawa pulang pekerjaan rumah membuat rumusan Pancasila, lagi-lagi air mata saya mengalir. Mereka mengalami betapa beratnya perjuangan, dibuang dan dikucilkan, jauh dari keluarga, sakit hati karena melihat penderitaan rakyat di mana-mana, dan entah apa lagi sebab saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Jadi saya bisa membayangkan betapa besarnya harapan mereka akan masa depan negara Indonesia yang belum lagi terbentuk itu. Mungkin mereka memejamkan mata, mengkhayalkan kebesaran, ketentraman, kemakmuran dan kejayaan negeri ini terlebih dahulu, sebelum mereka memikirkan rumusan apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan semua itu.

Itu semua menjawab pertanyaan mengapa rumusan Pancasila dari butir pertama hingga yang terakhir bisa sedemikian memesona. Pesona paling utama dari Pancasila adalah kemampuannya untuk mencegah sekaligus mengatasi segala permasalahan bangsa luar biasa besar yang luar biasa majemuk ini.  Mari kita telaah bersama-sama (sebenarnya saya ingin menuliskan butir-butirnya secara lengkap, tapi saya terlalu baik hati untuk menyiksa mata siding pembaca, hehe…) rangkumannya.

Sila Pertama: butir-butirnya merangkum secara sempurna hubungan kita dengan Pencipta Alam semesta (sebelumnya diawali dengan iman percaya kita kepada-Nya, yang mana bukan perkara mudah mengingat ada banyak atheis berkeliaran di luar sana. Jadi sekali lagi, tidak menjadi atheis bukanlah hal yang gampang) dan panduan kita dalam berkarya sebagai manusia berlandaskan ajaran ajaran agama. Selebihnya adalah dasar bagaimana kita berinteraksi dengan mereka yang berbeda iman. Jika ini dilaksanakan dengan sempurna oleh segenap elemen bangsa, tidak akan perdebatan sengit berujung hujat antara umat yang berbeda, yang di Indonesia biasanya diwakili oleh umat Islam dan Muslim. Tidak akan ada bentrok antara dua kubu dari agama berbeda, tidak akan kericuhan yang disebabkan izin pendirian rumah ibadah, tidak akan pembunuhan berkedok agama, tidak akan ada FPI dengan aksi-aksi vandal mereka sebab bagaimanapun FPI tidak akan berulah seperti demikian jika tak ada kompleks maksiat dan sebagainya. Di sini saya percaya pepatah ada api ada asap, tidak akan ada kriminalisasi kelompok umat tertentu yang berseberangan tafsir dengan kelompok yang lain, dan sebagainya (cari sendiri, ya:)).

Sila kedua: butir-butirnya adalah dasar mengenai bagaimana selayaknya kita menjalin hubungan dengan yang lain berdasar prinsip keadilan dan keberadaban. Jika kita semua tahu makna dua kata tersebut, maka mungkinkah terjadi kericuhan pasca pilkada dari kubu yang tak terpilih? Mungkinkah terjadi bentrok berdarah antar warga yang saling memperebutkan tanah? Akankah ada kasus buruh yang merasa tereksploitasi dengan upah yang tidak sepadan? Akankah ada keluarga-keluarga yang berantakan? Akankah ada kasus KDRT? Akankah ada kemiskinan? Ada banyak lagi pertanyaan ‘akankah ada’, dan jawabannya ‘TIDAK’ jika kita semua melaksanakannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sila ketiga: rangkuman butir-butirnya adalah bagaimana seharusnya kita mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, mengembangkan rasa cinta tanah air dan semangat persatuan. Jika itu semua kita tanamkan dalam jiwa raga, akankah ada para ahli yang hengkang ke negara lain dengan alasan pemerintah tidak peduli? Adakah atlet yang berteriak-teriak mengeluh di media massa karena tidak mendapat bonus seperti yang ia harapkan atas prestasinya di event internasional? Akankah ada anak muda yang mengaransemen lagu Indonesia Raya dalam versi hip-hop rap seperti yang saya dengar 3 tahun lalu? Akankah ada tawuran antar pelajar, pendukung ormas satu dan yang lain, dan sebagainya? Akankah ada konflik-konflik horizontal? Masih banyak contoh lainnya. Dan jawabannya masih sama, TIDAK jika kita setia mengamalkan dasar-dasar negara kita.


Sila ke empat: inti dari sila ini adalah kedewasaan dalam mengolah pikiran dan mengutarakan pendapat dalam kerangka relasi antar sesama, dan lebih jauh adalah kemaslahatan masyarakat oleh para wakilnya. Ini juga merupakan bumper yang kuat yang jika dilaksanakan maka kita semua akan terhindar dari konflik horizontal macam apapun, yang biasanya berawal dari komunikasi yang salah. Kesalahan komunikasi biasanya diawali dari ketidak pahaman kita akan arti diskusi dan musyawarah. Saat tidak paham otomatis kita akan membuka mulut dengan pendekatan pemaksaan pendapat dan keinginan untuk menang. Digabungkan dengan pihak lain yang sama rendah kualitasnya, ujungnya adalah baku maki, baku hujat, dan akhirnya bentrokan fisik. Lebih ke atas, jika para wakil rakyat memahami benar nilai dari butir ke Sembilan sila ke empat, tidak akan ada keputusan-keputusan berbasis ‘mata ijoisme’ seperti kursi yang mahalnya ngujubilah setan, penundaan membahas UU anti korupsi, tuntutan minta laptop, mesin cuci, dan hal-hal bodoh lainnya yang kerap dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang ngakunya terhormat itu.

Sila ke lima: jika gabungan dari butir-butir dalam sila ini dilaksanakan oleh segenap elemen bangsa, maka tidak akan ada kasus busung lapar, anak jalanan, jual anak dan badan karena faktor ekonomi, kampung yang disesaki keluarga-keluarga pengidap retardasi mental karena faktor gizi, dan sebagainya. Tidak akan ada anekdot tentang pegawai negeri yang berusaha bunuh diri loncat dari gedung tinggi. Tidak akan segerombolan orang yang menempati tanah yang bukan hak mereka, memenuh sesaki bantaran rel dan sepanjang aliran sungai. Tidak akan ada pula kasus penggusuran yang biasanya dikemas secara lebay dalam liputan dan berita distorsif berat sebelah oleh media massa. Tidak akan ada pula mereka yang memperkosa hak pengguna jalan seenak jidat dengan membuka warung-warung kaki lima dengan alasan ‘kami rakyat kecil butuh makan’ dan jargon-jargon kemiskinan lebay lainnya. Tidak akan ada pula anggota masyarakat yang bunuh diri karena tekanan mental dan atau ekonomi. Tidak akan ada pengangguran yang kemudian mata gelap jadi maling atau copet. Perekonomian dalam negeri akan semakin kuat karena kita lebih suka membeli produk buatan lokal. Kesenjangan sosial akan bisa ditekan hingga derajat paling minim karena satu sama lain punya semangat untuk peduli, memperhatikan dan tidak merampas hak orang lain, dan sebagainya.

Rentetan kalimat di atas itulah yang membuat saya terpesona pada Pancasila. Kalau tidak percaya, silakan anda cari butir-butir Pancasila dan anda pelajari sepuasnya. Jika sudah, maka saya percaya seratus persen anda akan sepakat dengan saya: rakyat hanya akan adil dan makmur jika segenap elemen bangsa, terutama rakyat sebagai elemen yang paling besar, menerapkan dengan penuh suka cita setiap butir yang tercantum dalam Pancasila. Namun selama kita mengabaikan, menjauhi, apalagi mencemoohnya, maka parodi ‘Rakyat adil makmurnya kapaaannn…?’ akan terus berkumandang sampai saat Tuhan meluluh-lantakkan bumi ini kala kiamat tiba. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


Kamis, 23 Februari 2012

‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaan….?’? Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman (bagian 2).


Sebuah anekdot tentang pegawai negeri/birokrat yang entah diciptakan oleh siapa: tersebutlah kehebohan di bawah sebuah gedung bertingkat yang cukup tinggi. Orang-orang berkerumun dan mendongakkan kepala dengan cemas, karena ternyata di atas sana ada seorang galau yang tengah berusaha bunuh diri. Massa berteriak-teriak panik berusaha mencegah orang nekad tersebut, sebagian berusaha menelpon polisi, ambulan, pemadam kebakaran atau apalah. Lalu ada seorang dari antara kerumunan penonton yang sedari tadi memicingkan mata berusaha melihat dengan jelas siapa pelaku usaha bunuh diri tersebut, berteriak: “Tenang, saudara-saudara! Tak perlu panik! Saya kenal orang yang berusaha melompat itu. Dia tetangga saya, seorang pegawai negeri kawakan. Yang namanya pegawai negeri di mana-mana lelet, lebih lamban daripada kura-kura. Jadi nggak perlu panggil polisi atau siapapun. Kalau dia lompatnya sekarang paling jatuhnya minggu depan.” Demi mendengar teriakan tersebut, massapun membubarkan diri dengan tenang dan damai.

Hehehe… Jahat, ya? Iya, sih. Tapi lucu :). Para pegawai negeri yang membaca anekdot ini, piiiissss :), semoga anda bukan termasuk dari jutaan pegawai negeri yang terkenal lebih lamban dari kura-kura itu (sebagai catatan, dalam kehidupan sehari-hari saya melihat ada banyak pegawai negeri yang tangkas dan kredibilitasnya boleh dipuji). Jika ya, semoga anda tertampar dan langsung trengginas bak cheetah dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh dan dibayar dari pajak rakyat (halah). Baiklah, mari kita mulai.

Apakah benar jika saya berkata bahwa birokrat adalah bagian dari pemerintahan? Semoga iya, karena kalau tidak berarti tulisan di bawah ini bakal salah semua dan menyesatkan pembaca, hehehe… Lagi-lagi saya merasa perlu bicara soal pemerintah. Dalam beberapa tulisan saya, termasuk posting saya sebelumnya, saya dengan jelas menuliskan rasa sebal saya pada orang-orang yang bisanya cuma mengritik pemerintah. Sampah numpuk, pemerintah. Padahal yang buang sampah bukan cuma pemerintah. Orang miskin sakit, salah pemerintah. Padahal si miskin hidup dikelilingi oleh banyak orang (yang sayangnya pada nggak peduli padahal giat beribadah). Busung lapar, pemerintah kena salah, padahal makanan bergizi di Indonesia berlimpah ruah dengan harga murah dan penderita busung lapar tersebut nggak hidup sendirian (baca posting saya berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’, ‘KITA INI BANGSA TEMPE!!!’ dan ‘Anak-anak Sapi yang Cerdas dan Ceria’ sebagai referensi). Aparat makan suap mulai dari kelas coro sampai kelas kakap, pemerintah lagi yang salah, padahal lakon suap adalah sesuatu yang sifatnya mutual yang artinya nggak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja dan biasanya pihak penyuap adalah bagian dari rakyat, entah besar atau kecil. Kemiskinan membelit tak kunjung usai, lagi-lagi pemerintah yang disalahkan. Selain pemerintah, yang langganan jadi kambing hitam adalah sistem. ‘Kemiskinan struktural!!’ demikian raung para aktivis baik LSM, jalanan, maupun Facebook dan twitter dengan garang. Padahal sistem sebusuk apapun akan kalah oleh mental yang kuat dan semangat saling membantu (baca posting saya sebelumnya). Dan kemiskinan sejahat setan demit manapun akan patah jika kita takut akan TUHAN dan tahu bagaimana menyenangkan hati-Nya sehingga demikian hujan berkat dilimpahkan, sehingga yang miskinpun jadi kaya (baca posting jadul saya berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam Jadi Kaya’, dan ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’).

Kalau mau ditulis semua bagaimana kita menghujat pihak lain atas segala ketimpangan dan kepapaan yang terjadi di negeri ini, saya jamin sampai tahun depan saya belum akan habis menulis saking banyaknya. Sekali lagi saya bukan pemuja pemerintah. Bagi saya, pemerintah Indonesia dari jaman Orla, Orba, dan seterusnya sampai sekarang ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tiap-tiap periode pemerintahan punya keberhasilannya sendiri, yang sepatutnyalah kita apresiasi, yang mana sayangnya tidak (baca posting saya ‘Salah Empat atau Betul Enam Belas?). Dan tiap-tiap periode juga punya kegagalannya sendiri, yang mana seharusnya kita kritisi, dan memang sudah kita lakukan secara konsisten dengan segenap semangat seperti yang diturunkan oleh para pejuang kemerdekaan. Militansi rakyat Indonesia dalam mengritik memang layak dipuji dan yang saya sayangkan biasanya berhenti sampai di tahap ini (baca posting saya ‘Virus dan Antinya’).

Saya tidak tahu berapa total penduduk Indonesia secara tepat sekarang dan berapa rasio perbandingannya dengan jumlah birokrat dari level RI 1 sampai sekian juta. Tapi ijinkan saya bikin asumsi ngawur (kalau ada yang tahu mohon koreksi, karena sejak seminggu terakhir saya tak kunjung berhasil mendapat data yang valid), yakni anggap saja jumlah rakyat Indonesia adalah 240 juta (sekali lagi saya juga nggak tahu berapa usia produktif, berpendidikan, dan sebagainya) dan pemerintah adalah 20 persen. Berdasarkan rasio perbandingan ngawur a la Yuanita Maya tersebut, jumlah aparat pemerintah adalah 48 juta. Nah, asumsikan saja dari 48 juta birokrat tersebut bodoh dan lamban semua, dengan program yang buruk semua, yang mana jelas tidak mungkin karena nyatanya ada banyak program pemerintah yang bagus, yang sayangnya luput dari pengamatan kita yang biasa nyinyir ini. Tapi taruhlah begitu, yakni 192 juta rakyat Indonesia diatur oleh 48 juta orang bodoh dan lamban, apa yang kira-kira menurut anda bakal terjadi? Kemiskinan struktural abadi, jurang perbedaan kelas yang kian tajam, kesemrawutan, dekadensi, keruntuhan di segala bidang, apa lagi? Ataukah seperti yang sering saya dengar dari siapapun –teman-teman FB, para pengamat sosial, akademisi, aktivis, dsb: ‘negeri ini benar-benar sudah rusak, dan rakyat Indonesia sangat menderita’?. Hebat sekali, ya, negeri kita bisa dirusak hanya oleh pemerintah? Hebat sekali, ya, rakyat yang jumlahnya ratusan juta itu bisa dibikin menderita oleh hanya pemerintah? Memangnya sedungu dan setidak berdaya apa ratusan juta rakyat Indonesia sampai bisa dijadikan bulan-bulanan sedemikian rupa?

Dan memang itulah intinya. Selama ini kita lupa akan betapa luar biasa potensi yang dianugerahkan oleh TUHAN kepada mahluk ciptaan-Nya yang disebut manusia. Yang paling sederhana, kabarnya otak manusia secara normal bisa menampung hingga 6 milyar data. Dan saya perhatikan TUHAN tak pernah lalai memberikan talenta pada tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya, bahkan pada mereka yang mengalami keterbatasan fisik dan mental sekalipun. Saya jadi ingat salah satu film yang tak kunjung bosan saya tonton yakni ‘Mercury Rising’. Salah satu tokoh utamanya adalah seorang anak autis yang punya kemampuan luar biasa membaca pola-pola rumit yang tak terbaca oleh manusia ‘normal’ lainnya. Di lain kesempatan saya membaca anak autis yang bisa membuat puisi dalam 7 bahasa tanpa pernah mempelajarinya, dan sebagainya. Intinya, manusia yang mengalami retardasi saja Ia beri kemampuan luar biasa, terlebih yang hidup dalam kondisi normal menurut ukuran umum. Dengan sekian ratus juta rakyat, hampir semuanya (saya bilang hampir karena di luar sana ada yang menderita retardasi mental secara akut sehingga –maaf kata- benar-benar tak bisa melakukan apa-apa selain gerakan tak terkontrol) diberi kelebihan dan talenta untuk membangun diri sendiri dan bangsa, serta hampir semua mengaku percaya Tuhan dan rajin beribadah sehingga pasti sudah fasih akan apa kehendak Tuhan pada dirinya, maka adalah suatu ironi yang sama sekali tidak lucu jika Indonesia masih juga dibelit kemiskinan dan berbagai masalah yang bersifat multidimensional.

Bukan jamannya lagi menggantungkan nasib pada pemerintah dan segala sistem. Sejarah mencatat kritik-kiritik pada pemerintah adalah hal yang sangat jadul, dan nyatanya kritikan sama sekali tak merubah apa-apa. Ijinkan saya berbagi sedikit tentang salah satu pandangan hidup saya: betapa bodoh dan lemahnya saya jika kemiskinan, kekayaan, kepandaian, kedunguan, kesehatan, kesakitan, kekurangan, keberlimpahan saya, dan sebagainya bergantung pada pemerintah dan sistem-sistem di luar sana. Betapa lemah dan tidak bergunanya saya sebagai mahluk ciptaan TUHAN yang Ia ciptakan dengan segenap cinta, jika saya tidak bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi dan segenap talenta yang saya dapat dari-Nya secara cuma-cuma. Jika saya ingin berhasil menurut ukuran duniawi dan surgawi, maka pertama-tama yang saya lakukan adalah kembali ke kitab suci yang saya imani dan mempelajari apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Sebab saya percaya, TUHAN begitu murah hati dan kaya raya, dan sama sekali tidak pernah terbersit dalam niat-Nya untuk menciptakan umat yang kere, galau, dan sakit-sakitan. Ia menginginkan kekayaan dan damai sejahtera bagi mahluk ciptaan-Nya. Jadi sekali lagi, bila saya ingin menjadi seperti yang Ia inginkan, maka pertama-tama saya harus kembali ke kitab dan menyelidiki serta menjalankan rahasia kebenaran firman-Nya. Yang kedua, untuk hidup berkelimpahan dan damai sejahtera, saya harus mengoptimalkan semua asset yang saya miliki, termasuk manusia-manusia yang ada di sekitar saya.

Pengalaman membuktikan, bahwa ketika saya jatuh, TUHAN mengulurkan tangan-Nya lewat orang-orang yang mengasihi saya. Digabungkan dengan semangat serta kemampuan mengucap syukur, maka saya bisa mengatasi semua masalah dengan mudah. Saya bersyukur pada orang-orang yang banyak memperhatikan dan menguatkan saya, sehingga saya tak pernah terjatuh berlama-lama. Saya bayangkan bila semua orang di Indonesia punya kepedulian seperti yang saya terima dari keluarga dan teman-teman saya. Saya bayangkan bila semua orang di Indonesia punya sikap mental optimis seperti saya. Saya bayangkan bila semua orang Indonesia percaya bahwa TUHAN terlalu baik untuk membiarkan saya menjadi orang susah lebih lama dari yang saya perlukan, seperti yang saya imani ini (boleh dong GR dikit :) ). Dengan rumusan sederhana ini, saya percaya tidak akan ada lagi kemiskinan dan kericuhan di Indonesia.

Saatnya kita percaya bahwa manusia adalah kekuatan terbesar yang pernah ada, jauh melebihi semua sistem yang ada di dunia. Saatnya kita menggali potensi diri, kembali kepada TUHAN, dan berbagi apapun yang kita miliki pada sesama, terutama orang-orang yang terdekat dengan kita. Jika demikian halnya, maka nama TUHAN benar-benar akan dipermuliakan di Indonesia. Jika anda sepakat dengan saya, mari kita bergandengan tangan, bahu membahu memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama, bagi bangsa dan negara kita. Bisa dimulai dengan cara yang sangat sederhana, yakni dengan menyebarkan semangat ini pada siapapun yang anda temui. Sehingga dengan demikian tak akan ada lagi orang bernyanyi ‘Rakyat adil makmurnya kapaaannn…?’, karena pertanyaan itu sudah kita jawab dengan kerja dan semangat kita bagi Indonesia.

Tuhan memberkati kita, Tuhan memberkati Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


Senin, 20 Februari 2012

‘”Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaannn….?”’, Tanyakanlah Dirimu Sendiri, Teman (bagian pertama).

Bagian kedua dari empat tulisan

Ini adalah bagian kedua dari parodi Garuda Pancasila yang memancing amarah. Kata salah seorang teman dumay saya, ini malah nggak layak disebut parodi karena sama sekali enggak ada lucu-lucunya. Benar juga. Sutralah, saya mulai saja. Kalau ‘Pancasila dasarnya apaaa?’ membuat saya murka, yang satu ini membuat saya geli campur iba. Karena dalam skala ekstrim kalimat ini bisa dianalogikan dengan seorang bodoh yang malasnya minta ampun, kemudian frustrasi dengan kebodohannya, lalu mulai berteriak-teriak pada semua orang sebagai pelampiasan frutrasinya: "Kapan gue pinter???!!! Kapan gue pinter??!!" Lalu orang-orang dengan iba membalas: "Tanya aja diri  sendiri. Kok gue, sih?".

Yang sibuk teriak-teriak hingga lupa ngaca di atas tadi disebut orang, karena cuma satu. Tapi jika  dalam skala besar, bersatu mendiami suatu wilayah serta diikat oleh suatu rasa persamaan dan atau cita-cita serta tujuan, merekapun disebut rakyat. Wow, tanpa sadar saya sudah menjelaskan unsur pertama dan kedua sebuah negara :). Rincinya: wilayah, rakyat, pemerintahan, dan pengakuan dari negara lain. Yang terakhir ini sifatnya deklaratif, sih, meskipun dalam konteks global perkara diakui ini sangat strategis dalam urusan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Jadi jelas dari urutan tersebut, bahwa rakyat adalah unsur yang lebih penting ketimbang pemerintah..

Rakyat yang mendiami negara manapun pasti hidup di dalam apa yang disebut sistem. Sistem pastinya digodog oleh pemerintah, yang berfungsi sebagai penyelenggara negara. Kata penyelenggara ini sangat menarik, karena jika dibaca secara letterlig, maka negara dijalankan oleh pemerintah. Pertanyaannya: terus rakyat apa kabar? Pada ngapain? Ke mana aja? Begitu anak-anak gaul bilang. Sekali lagi kalau dibaca secara letterlig, maka rakyatnya ya nggak ngapa-ngapain, nggak ke mana-mana. Duduk manis, diam-diam, distir ke sana oke, ke situ hore, diceburin sumur oye. Kasihan sekaleee….

Betapa malangnya rakyat seperti itu. Lalu kalau merasa gerah, sebagai pion tanpa daya tanpa kemampuan pikir, rakyat akan beramai-ramai menyalahkan pemerintah. Apes-apesnya sistem. Padahal kalau mau dipikir secara dalam dan jujur, bisa apa sih sebetulnya sistem itu? Bukankah sistem hanyalah benda mati, mahluk tak bernyawa yang dibikin apa aja iya? Contoh sederhana adalah perilaku menyimpang oknum aparat di jalanan saat menilang. Nyemprit, dompet dibuka, habis perkara. Praktek itu sudah berlaku sejak lama, lalu rakyat berkeluh-kesah, dan ujung-ujungnya menyalahkan sistem. Tapi coba simak ini: 1. Apakah aparat akan menyemprit jika pengguna jalan (baca: rakyat) TIDAK MELANGGAR PERATURAN?  2. Apakah aparat akan berperilaku menyimpang jika si pelanggar peraturan (baca: rakyat) TIDAK BERUSAHA MENYOGOK? Adakah seseorang BISA DISUAP bila TIDAK ADA PENYUAP? Pertanyaan sederhana inilah yang luput dilontarkan oleh jutaan rakyat Indonesia yang dari tahun ke tahun hobinya mencari kambing hitam (sebagai perbandingan silakan baca posting jadul saya yang berjudul ‘Virus dan Antinya’).  Yang bertahun-tahun terbiasa hidup dalam cara berpikir ambivalen dan bias ganda, tanpa seorangpun mengingatkan. Tapi mustikah ada yang terlebih dulu mengingatkan baru kita sadar?

Contoh kedua: kasus kemiskinan. Dari Sabang sampai Merauke, untuk perkara kemiskinan selalu saja pemerintah dijadikan bulan-bulanan (mohon pembaca garis bawahi, saya SAMA SEKALI BUKAN PENGGEMAR PEMERINTAH. Saya adalah penggemar Brian May dan Benyamin Sueb, jadi jelas kan bedanya? Poin saya di sini adalah, betapa lemahnya kita secara mental dan spiritual bila setiap kali ada masalah kita pecicilan mencari kambing hitam dan lupa introspeksi pada saat yang sama). Jadi begini skenarionya: semua orang (orang-orang di media massa, para aktivis FB dan Twitter, ibu rumah tangga, preman-preman pasar, dosen, para pengamat sosial, kaum sosialita, para pemuka agama, para pengunjung coffee shop yang setia, dan siapa saja) menyalahkan pemerintah, sambil pada saat yang bersamaan lupa bahwa mereka (atau bahkan kita): menganggarkan ratusan ribu per bulan untuk rokok, mencabut dengan entengnya sekian ratus ribu untuk sekali nongkrong di coffee shop atau mall, menghamburkan jutaan rupiah demi potongan rambut, wax, botox, jam tangan, tas, sepatu, berbagai barang bermerk, dan sebagainya. Lalu seakan semua belum cukup, adu cepat ganti gadget setiap kali keluar jenis yang lebih canggih. Sambil dengan bergirang hati melakukan itu semua, tanpa beban lidah ini memaki-maki pihak lain –terutama pemerintah- atas kemiskinan di Indonesia.

Kalau sudah kekurangan bahan, yang disalahkan adalah korupsi. Korupsi memang menjijikkan, tapi harap dicatat bahwa itu bukan satu-satunya faktor utama kemiskinan. Sekalipun memang iya, masih ada dua faktor utama yang bisa mematahkan korupsi seganas dan sejahat apapun: sikap mental dan kepedulian. Sebab fakta sudah banyak bicara, bahwa seburuk apapun sistem yang memayungi seseorang, jika ia punya mental cukup untuk berjihad melawan kemiskinan maka habislah semua perkara. Dan fakta sudah banyak pula bicara, seseorang dengan sikap mental yang sangat lemah sekalipun akan lambat-laun berubah jika orang-orang di sekelilingnya cukup peduli. Kepedulian tidak harus selalu dalam bentuk materi. Kepedulian bisa lewat pencerahan batin, yang bisa kita lakukan dengan menyisihkan sedikit waktu secara rutin untuk ‘mencuci otak’ insan-insan bermental lemah yang mudah dijadikan bulan-bulanan oleh virus jahat bernama kemiskinan itu. Kepedulian dan sikap mental adalah kombinasi vaksin yang tak mungkin dikalahkan oleh virus kemiskinan macam apapun.

Perkara kemiskinan adalah urusan semua elemen bangsa Indonesia. Sungguh celaka kalau kita menganggap bahwa ini adalah urusan pemerintah semata, karena bila demikian –dan memang inilah yang selama ini terjadi- maka dengan mudahnya kita bisa berkelit dari tanggung jawab moral kita sebagai manusia. Karena sebagai rakyat Indonesia yang sebagian besar mengakui adanya Tuhan dan memeluk agama formal, kita semua pasti sudah fasih akan masalah kepedulian pada sesama. Agama dan kitab apapun sudah pasti memuat materi ini, jadi sungguh tidak masuk akal bila bangsa sebesar ini, dengan rumah ibadah tersebar di tiap jengkal tanahnya, masih dibelit kemiskinan. Sungguh sebuah kemunafikan yang tiada terperi bila saat kita gagal menerapkan ajaran dari kitab masing-masing, kita kemudian sibuk mencari pihak lain untuk dijadikan sasaran tudingan jari. Dan jika kita terus setia melakukan ini, maka keadilan dan kemakmuran rakyat hanya akan jadi mimpi. Jadi, pertanyaan ‘rakyat adil makmurnya kapan?’ pada akhirnya hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).




Jumat, 17 Februari 2012

Selamat Jalan, Oom Bubbi.....

Meskipun sudah cukup lanjut, tak urung kepergian Bubbi Chen mengejutkan saya, karena saya termasuk salah satu penggemar yang boleh dibilang cukup kenyang menikmati kepiawaiannya baik lewat album rekaman maupun pertunjukan langsung. Secara musikalitas, kualitas Oom Bubbi tidak perlu panjang lebar dibahas, karena beragam penghargaan bahkan tingkat internasional telah ia libas. Namun yang paling membuat saya terkesan adalah pribadinya yang santun dan rendah hati. Bukannya saya mengenal beliau secara pribadi dengan dalam, namun dari beberapa kali percakapan dengan beliau yang sangat membekas di hati saya (dan saya yakin tidak di hati beliau, hihi...), saya menangkap beliau adalah sosok manusia berkualitas. Suatu waktu sekitar 10 tahun lalu, bersama beberapa teman orang asing, saya menikmati penampilan reguler beliau dengan grupnya di salah satu hotel berbintang lima di Surabaya. Rombongan kami duduk di bagian terdepan, dan cukup menyita perhatian karena semuanya pria asing dan perempuannya cuma saya, cakep banget pula, hehe.... 

Setelah sekitar 10 menit, mulailah saya request lagu secara brutal, yang ternyata tak satupun dikuasai oleh sang penyanyi sebab yang saya minta adalah jazz model 'keriting'. Saat saya sudah mulai mengambil sikap pasrah, tak dinyana Oom Bubbie menerima SEMUA request saya dengan riang gembira. Saya cuma bisa duduk bagai tersihir dan baru sadar setelah rentetan lagu yang saya pesan secara tak sopan usai. Beberapa orang dalam rombongan saya berkomentar bahwa bahkan di negara mereka sendiripun mereka belum pernah menikmati live show macam begini. Meluap-luap dada saya, terlebih ketika secara pribadi Oom Bubbie mendatangi meja kami. Apalagi ketika beliau memuji pilihan lagu saya. Sikapnya santun, rendah hati, namun dengan kebanggaan yang terjaga rapi saat saya sampaikan pujian teman-teman di atas. Bahasa Inggrisnya tertata apik, dan beliau memperlakukan saya, satu-satunya perempuan, dengan sikap hormat yang sangat patut. Namun saat menyadari bahwa saya orang Indonesia, sikap beliau berubah menjadi cair. Sungguh membanggakan saat kita menyuguhkan orang sekaliber Oom Bubbi pada teman-teman bangsa asing. Kesan baik mereka terhadap Indonesia memang semakin meningkat setelah malam itu, dan banyak malam lagi ketika kami kembali ke hotel tersebut untuk menyaksikan penampilan Oom Bubbi. 

Oom Bubbi adalah salah satu insan yang patut kita jadikan suri tauladan. Kefokusan pada bidang yang dicintainya hingga mencapai level internasional tentu bukan perkara mudah, terlebih karena genre yang dipilihnya bukanlah yang diminati pasar besar. Tetapi beliau tetap teguh pada idealismenya, hingga akhirnya mencapai titik yang telah ia capai tersebut. Berkat ketekunan dan idealismenya pula nama bangsa diharumkan dalam kancah Internasional. Dan satu hal yang patut digaris bawahi adalah cara beliau membawakan diri. Beliau benar-benar mengerti falsafah Jawa empan papan, menempatkan diri sesuai tempat dan atau orang-orang yang kita hadapi, padahal jelas-jelas beliau adalah keturunan China yang identitasnya dipertahankan dengan bangga lewat namanya. Bukan perkara mudah memegang teguh tradisi mula-mula kemudian mengawinkannnya dengan nilai dan semangat yang lebih besar, yakni Indonesia.

Oom Bubbi adalah seorang Pancasilais, meskipun beliau tak pernah menggembar-gemborkannya. Paling tidak, ia telah mengamalkan dengan sempurna butir-butir dalam sila ke dua dan ketiga, dengan atau tanpa disadarinya. Di titik ini, bukan hanya saya dan penggemarnya yang merasa kehilangan, namun Indonesia juga. Ibu Pertiwi kehilangan seseorang yang telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan usaha untuk mengusung nama Indonesia ke tataran Internasional lewat profesi dan sikap sehari-hari. Sebuah sikap heroik          yang sederhana, yang digotong tanpa banyak cing-cong. Dan saya percaya, di balik tangis kehilangan, Indonesia pasti merasa bangga dan puas telah memiliki sosok seperti Oom Bubbi, yang membaktikan diri bagi ibu pertiwi dengan segala kemampuan yang ia miliki.

Selamat jalan Oom Bubbi, anda adalah teladan kami yang tak akan pernah mati......

‘Pancasila Dasarnya Apaaaa…..?’? Maksudnya…????!!!!!



Dari judulnya saja sudah ketahuan bahwa saya sedang emosi.  Dan sebenarnya ini adalah amarah yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Semua berawal ketika saya mendengar seseorang (saya lupa siapa dan di mana, yang jelas kejadiannya sekitar 13 sampai 15 tahun lalu) menyanyikan sebuah lagu parodi. Di akhir lagu tersebut dia tertawa-tawa, seakan-akan lagu tersebut lucu dan menghibur, sedangkan bagi saya pribadi itu adalah lagu parodi paling rendah dan murahan yang pernah ada, dan tidak akan ada lagu lagi, baik parodi maupun tidak, yang bisa sedangkal itu yang mampu diciptakan oleh seorang anak manusia hingga kiamat tiba. Demikianlah lagu tersebut secara lengkap: ‘Pancasila dasarnya apaaaa? Rakyat adil makmurnya kapaaan? Pribadi bangsaku, tidak maju-maju, tidak maju-maju, tidak maju-majuuu….’

Bagian pertamalah yang membuat saya murka. Saya doakan penciptanya diampuni oleh Yang Maha Esa, dan siapapun yang menyanyikannya apalagi menganggapnya unyu diberi kepandaian lebih oleh Sang Khalik Yang Penuh Kuasa. Tanpa basi-basi, berhubung sedang emosi, biarlah selekas mungkin saya tuntaskan gelegak dada ini dengan menjelaskan dasar Pancasila itu apa, dengan harapan siapapun yang menciptakan, pernah menyanyikan dan atau merasa geli pada lagu tersebut bisa segera insyaf.

Begini, untuk memahaminya terlebih dulu saya perlu menjelaskan suasana dan atau latar belakang terbentuknya Pancasila. Saya jelaskan gambaran umumnya saja, karena kalau secara detil pasti akan jadi capek deeeh….  Pada suatu ketika Jepang tertekan akibat kekalahan demi kekalahan dalam PD II, lalu mulai mendorong bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia. Maka dalam keadaan darurat tersebut terbentuklah BPUPK beranggotakan 62 orang dari (ini catatan yang sangat penting) berbagai penjuru tanah air, aliran, dan golongan. Lalu kejadian yang satu menyusul kejadian yang lain, hingga pada akhirnya para pemuda menjadi tak sabar, kemudian terjadi peristiwa ‘pencidukan’ Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok dan seterusnya, hingga kemudian pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut, anggota BPUPK bekerja keras membuat rumusan UUD  dan dasar Negara. Patutlah dimahfumi bahwa Pancasila bahkan lahir sebelum UUD negara ini. Jadi Pancasila bukanlah sesuatu yang sifatnya main-main atau bisa dipermainkan dengan cara apapun juga.

Proses perumusannya sendiri tak kalah heboh, karena terjadi pertentangan dan ketidak sepakatan terhadap masing-masing idea yang disampaikan oleh beberapa anggota BPUPK. Singkat kata, rumusan yang diajukan oleh Bung Karnolah yang kemudian disepakati paling sesuai untuk dijadikan dasar negara Indonesia yang akan lahir, meskipun dalam perjalanannya mengalami beberapa kali proses editing. Pertanyaannya, mengapa rumusan Bung Karno dianggap paling sesuai? Demikianlah menurut pendapat saya (entah menurut pendapat para ahli sejarah dan sebagainya):
1.    *  Sebab rumusan Pancasila yang dibuat Bung Karno berdasarkan nilai-nilainya yang telah ada selama berbilang abad di wilayah Nusantara (terlebih setelah diedit oleh panitia-panitia kecil berikutnya), mengandung kesadaran luar biasa akan kemajemukan Indonesia yang terbentang luas dalam berbagai spektrum. Sampai di sini mari kita bandingkan dengan betapa sekian puluh anggota BPUPK berasal dari beragam golongan dan wilayah yang berbeda di Hindia Belanda.
2.    * Kemajemukan butuh suatu pengikat yang kuat. Dan bila pengikat tersebut dijadikan landasan dalam perikehidupan dengan berbagai aspeknya, kemudian dihayati dan dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, maka akan tercapailah tujuan bernegara (yang kelak terumuskan dengan sempurna dalam UUD 1945).

Lalu mengapa kemajemukan menjadi bagian paling vital dalam perumusan dasar negara ini? Jawaban saya bisa dibilang pinpinbo alias pintar-pintar bodoh: ya karena hal yang paling menonjol dari untaian zamrud khatulistiwa ini adalah kemajemukan, gitu loh. Dan ini uraiannya yang sedikit lebih cerdas: karena kemajemukan sifatnya bagaikan pedang bermata dua, yang akan menjadi mematikan bila masing-masing pihak, mewakili etnisnya, hukum adatnya, agamanya, dan sebagainya, hanya memikirkan kepentingan golongannya sendiri. Namun kemajemukan tersebut sebaliknya akan menjadi kekuatan yang ngedab-ngedabi alias membuat jeri bila disinergikan dengan cerdas dan bijaksana. Sederhananya, yang satu melengkapi yang lain. Dan ketika semua unsur tersebut bersatu dengan menyisihkan kepentingan pribadi dan atau golongannya, maka kualitas terbaik dari berbagai elemen bangsa tersebut akan menjadikan negara kita, Indonesia, benar-benar maha dan raya.

Selanjutnya –mungkin tidak banyak yang menyadari hal ini- setiap sila yang ada dalam Pancasila ternyata secara mengagumkan mengandung unsur kesadaran yang total akan kemajemukan tersebut. Sila pertama, bukankah jelas didasari pemahaman akan beragam agama dan kepercayaan warisan nenek moyang yang telah jauh sebelumnya eksis, bahkan sebelum penjajah tengik mendarat di Nusantara, dan betapa keragaman tersebut akan menuai konflik jika tak diikat oleh simpul yang teguh?

Sila kedua, terutama jika kita mencermati butir-butirnya, merupakan pengertian yang sempurna akan beragam etnis dengan cara pandang, filosofi kehidupan, ukuran-ukuran norma dan sebagainya yang nyata-nyata berbeda. Bayangkan apa yang akan terjadi, misalnya, bila seorang Manado bergaul dengan Jawa tulen yang masih memegang teguh prinsip bibit-bebet-bobot (seperti contohnya saya), bila dua-duanya tak paham Pancasila? Itu baru contoh sederhana.

Sila ketiga sudah jelas, nggak perlu dibahas.

Kemudian sila ke empat. Bisakah anda bayangkan betapa mudahnya bangsa kita –yang terdiri dari tak terhitung kepala dari latar belakang berbeda- hancur jika tidak ada pengikat dan dasar kuat dalam bermusyawarah? Bukannya mencapai mufakat, yang ada baku hujat. Lalu runtuhlah Indonesia secepat kilat.

Terakhir, sila ke lima, mengandung kesadaran mutlak akan arti penting kemajemukan dalam mencapai kejayaan bangsa, seperti analogi pedang bermata dua yang saya rumuskan di atas. Belum terhitung kerinduan untuk menjadi bangsa gaul yang disegani dalam tataran internasional pada sila ke dua dan ketiga dalam butir-butirnya. Dipadukan dengan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma  Mangrwa (semoga saya tidak salah menuliskannya), sempurnalah Pancasila. 

Jadi sekarang, wahai siapapun yang menciptakan, menyanyikan atau menganggap lucu parodi ‘Pancasila dasarnya apaaa…?’, sudah jelas kan, Pancasila dasarnya apa? Sehingga menjadi jelas pula, bahwa siapapun yang berani melecehkan Pancasila, dengan cara apapun juga, adalah oknum-oknum berkualitas gombal yang berpikir, bertutur, dan bertindak tanpa dasar jelas. Singkatnya, mereka adalah manusia-manusia yang tidak jelas dasarnya apa. Manusia-manusia yang menurut pandangan pribadi saya, sama sekali tidak pantas menyebut diri sebagai orang Indonesia. Semoga anda dan saya tak sama dengan mereka, dan layak menjadi orang Indonesia yang sesungguhnya (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



Selamat datang untuk pengunjung dari India dan mana lagi saya lupaJ. Semoga suka, dan semoga semakin membuat cerah batin dan pikiran anda semua. Terima kasih, Tuhan memberkati (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga)

Minggu, 12 Februari 2012

Dan Ibupun Menangis....

Selama hidup saya beberapa kali memelihara binatang. Sepasang kura-kura bodoh dan aneh bernama Angel dan Angelo, kucing-kucing bernama U'un, I'in, A'an, dan Evan, ayam kesayangan bernama Tina, dan burung hantu liar nyasar yang akhirnya berhasil dijinakkan suami saya, yang saya beri nama Jarot. Saat mereka mati, tentu saja saya sedih. Tapi saya tidak larut berlama-lama, dan bisa menerimanya dengan lapang dada. Namun lain halnya saat Inoy pergi. Ya, Inoy, induk Alanis dan Patrice yang jadi tokoh utama dalam posting saya terakhir. Tak hanya menangis meraung-raung, selama berhari-hari -bahkan sampai detik ini- hampir setiap 10 menit air mata saya meleleh tanpa bisa saya kendalikan. Dan ketika saya sudah tidak kuat menahan, saya akan menangis tersedu-sedu di tempat tersembunyi supaya tidak terlihat oleh putri saya, sebab iapun berduka sama banyaknya seperti saya. Saking berdukanya, pada hari ke-2 dan ke-3 saya bahkan sempat mengalami delusi.

Saya bertanya-tanya, mengapa saya bisa berduka begitu dalam, sedangkan bukan hanya kali ini saya ditinggal mati binatang kesayangan? Bahkan beberapa kali saya harus terpisah dengan anjing-anjing saya sebelumnya. Setelah saya telaah, ternyata ini semua bukan semata-mata karena rasa sayang saya pada Inoy, melainkan lebih kepada apa yang telah ia berikan pada kami.

Inoy adalah anjing yang sangat devotif. Ke manapun saya pergi selalu diikuti, termasuk ke kamar mandi. Dan saat saya harus mengeluarkannya karena rumah sedang dipel, ia akan memandang saya dengan tatapan seakan bertanya, "Mengapa...????". Lalu saat saya muncul membawa pel untuk membersihkan teras, ia akan bergegas bangkit, menatap dari jauh, memandang saya dengan ekspresi yang besar kemungkinan berarti, "Sekarang sudah boleh dekat-dekat?". Ia memuja saya. Dambaannya yang terbesar adalah berada di dekat saya. Betapa besar hati saya mendapatkan luapan cinta semacam itu.

Dan bukan cuma itu saja. Ia adalah anjing penjaga yang sangat peka. Rumah saya yang terletak di pojok dengan halaman luas dan banyak pepohonan, nyaris terkucil, adalah sasaran empuk bagi pencuri. Tapi selama ada Inoy, tak ada seorangpun yang berani mendekat, padahal rumah tak pernah saya kunci siang malam. Dan ia adalah pemburu tikus yang sangat fanatik. Satu-satunya masa di mana saya bebas dari kelibatannya adalah ketika ia sedang berkonsentrasi menunggu kemunculan tikus-tikus tersebut. Militansinya terlihat dari ketabahannya berjaga di dekat liang tikus dari malam sampai subuh, tanpa sedikitpun memicingkan mata. Rumah saya yang didisain terbuka adalah mangsa empuk bagi tikus. Tapi Inoy adalah teror yang bagi mereka sangat horor.

Itu hanyalah segelintir dari jasa dan bakti Inoy kepada kami. Maka ketika ia pergi, hati kami rasanya terbelah. Rasanya tak kunjung kering sumber air mata ini, meskipun tiap saat saya hambur-hamburkan tanpa perhitungan. Demikianlah sebagai perempuan yang merawat dan mengasuhnya, saya patah hati karena kepergiannya. Sebab ia telah memberi begitu banyak bakti dan cinta.

Sayapun bertanya-tanya, sebagai anak negeri ini, akankah ibu pertiwi menangisi kepergian saya suatu saat nanti? Akankah ibu pertiwi merasa kehilangan, menderita kerugian besar, dan meratapi kepergian saya? Kemungkinan besar tidak, jika saya masih menjalani hidup seperti saya menjalani tahun-tahun sebelum ini, selama ini. Tahun-tahun di mana saya habiskan untuk memikirkan kepentingan diri sendiri, anak saya, keluarga saya, golongan saya. Jika seorang Yuanita Maya mati dalam kondisi sekarang ini, paling banter yang menangis keras adalah keluarga saya. Yang menangis lebih keras adalah mereka yang kepadanya saya masih berhutang dan belum bayar, entah karena belum mampu atau pura-pura lupa. Tapi Ibu Pertiwi? Saya yakin tidak. Karena saya belum pernah memberikan sumbangsih apapun untuk tanah kelahiran saya. Selama ini saya hanya menikmati apa-apa yang telah tersedia secara cuma-cuma di Indonesia. Yang saya lakukan selama puluhan tahun hanyalah mengambil. Tapi belum pernah sekalipun saya mengembalikan, apalagi memberi.

Lain halnya jika saya telah membaktikan tahun-tahun terbaik saya bagi negeri ini. Ketika saya pergi, negeri ini pasti akan berduka. Seperti yang terjadi ketika Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, Munir, Romo Mangun, dan mereka yang telah memberikan banyak jasa pada negeri ini mangkat. Negeri ini, bumi Indonesia ini, banjir oleh air mata. Itulah yang memang sewajarnya terjadi ketika seseorang yang mengisi hidupnya dengan memberi pergi. Lalu masih dengan berduka, orang bertanya-tanya, "Kapan lagi ada orang seperti mereka?" Pertanyaan sama yang juga saya lontarkan pada diri sendiri, tanpa sedikitpun sadar, bahwa dalam banyak hal saya juga bisa melakukan kebaikan dan bakti bagi ibu pertiwi, meskipun mungkin tidak sehebat apa yang telah mereka lakukan. Tapi jika setiap orang dari kumpulan manusia Indonesia yang berjumlah ratusan juta ini berpikiran sama, memberikan bakti bagi negeri ini, dalam derajat apapun, sepanjang itu adalah yang terbaik, betapa akan kuat, gagah, makmur, dan jayanya negeri ini. Sebab sebatang lidi yang besar masih bisa dipatahkan, namun sekumpulan lidi kecil yang liat akan sulit untuk diretakkan. Sebatang lidi yang besar mungkin hanya bisa digunakan untuk meyabet kecoak, namun sekumpulan lidi kecil bisa menyapu kotoran macam apapun. Sekumpulan besar manusia Indonesia yang memberikan sumbangsih kecil akan memberi sumbangan besar bagi negeri ini. Dan bila ini sudah terjadi, pada saat kita pergi menghadap Sang Khalik, ibu pertiwipun akan menangis, meratapi kepergian anak-anaknya yang telah memberi bakti dan cinta....

Selasa, 07 Februari 2012

Mengenang Patrice dan Alanis



Mungkin akan ada di antara pembaca yang menganggap saya drama queen. Atau bahkan mungkin ada yang berkomentar, “Yaks! Najiiiisss.” Tapi setidaknya ijinkan saya mengatakan betapa memukulnya peristiwa ini bagi saya, sehingga ingin rasanya saya berbaring selama seminggu dan tidak melakukan apa-apa. Saya baru saja kehilangan dua ekor anak anjing. Dua ekor dalam waktu semalam. Apa yang saya rasakan akan saya jabarkan dalam kesempatan berikutnya. Yang akan saya kisahkan sekarang adalah betapa luar biasa dan memesonanya Alanis dan Patrice, anak-anak anjing tersebut. Alanis berpostur kecil dan seumur hidup saya belum pernah melihat anak anjing yang begitu hobi melompat seperti dia. Hobinya melonjak-lonjak bukan masalah seandainya kuku-kukunya tidak setajam dan seruncing itu. Kegemaran melonjak melebihi takaran dan kuku-kuku runcing tajam juga bukan masalah seandainya ia tidak begitu memuja saya. Dan itulah inti masalahnya: ia begitu memuja saya seakan-akan saya adalah mahluk terindah dan terpenting di dunia. Setiap kali ia melihat tampang saya, ia akan melonjak-lonjak hebat di kaki-kaki saya seolah kami sudah seabad tak berjumpa. Dan ia belum juga berhenti bahkan setelah saya membelai-belainya dengan penuh konsentrasi. Dan kejadian itu bisa berlangsung belasan kali dalam sehari. Saat saya membuka pagar sepulang dari warung untuk membeli terasi, saat saya membuka pintu kamar mandi, saat ia bermain di luar dan mendapati saya membawa sapu hendak membersihkan halaman, saat saya bangkit dari duduk, apapun. Kapanpun. Maka kemulusan hanyalah masa lalu yang terasa amat jauh bagi sepasang kaki saya yang sehari-hari cuma dibungkus celana pendek jins belel.

Intinya: tidak ada apapun yang bisa membuatnya lebih girang selain keberadaan Mamak Maya.  Wajah Mamak Maya adalah sinar matahari yang mencerahkan harinya selama 24 jam, setiap detik, setiap waktu. Dan menunjukkan bakti serta cinta pada Mamak Maya adalah tujuan utama hidupnya.

Lain halnya dengan Patrice yang gendut dan cenderung lebih senang hidup dalam dunianya sendiri. Secara umum ia terlihat tidak mencintai saya sebesar Alanis mencintai saya. Tapi ternyata ia punya caranya sendiri. Begini, Alanis dan Patrice punya induk bernama Inoy, yang sangat penuntut dan pencemburu. Ia tidak mau saya membagi perhatian pada yang lain, bahkan sekalipun itu anak-anaknya sendiri. Dan di manapun saya berada atau duduk lebih dari 5 menit, maka mereka akan berbaring menanti, berserakan bagai sampah, dan mengerubuti saya seperti pasukan anjing gila tiap kali saya bergerak atau muncul dari pintu. Patrice dengan tubuh gendut yang bergoyang tenang, Alanis dengan kelincahan dan semangat memuja yang berlebihan, serta Inoy yang langsing liat dan sangat posesif. Tidak kurang dari 3 menit, Alanis dan Inoy akan bersitegang, ribut sendiri memperlihatkan sekaligus memperebutkan perhatian saya. Dan mereka sangat bersungguh-sungguh dalam hal itu. Lalu Patrice dengan cerdik dan lihai memanfaatkan kekosongan tersebut. Ia akan menyelinap diam-diam, menghambur dalam sunyi, dan mempertontonkan serta mendapat perhatian saya seratus persen.

Dengan karakter yang berbeda-beda, mereka sesungguhnya punya tujuan hidup sama: menyatakan cinta pada Mamak Maya. Dan mereka sangat militan mengenai hal itu.

Sungguh devosi yang luar biasa, yang belum pernah saya dapatkan dari siapapun sepanjang saya hidup hampir 40 tahun di dunia. Sungguh mengherankan bagaimana mereka bisa mencintai saya sebesar itu, bahkan jauh lebih besar dan dalam daripada cinta mereka pada induk mereka sendiri, tanpa sedetikpun pernah merasa bosan, tanpa sedikitpun berkurang keinginan mereka untuk menyenangkan hati saya. Dan cinta serta pengabdian dalam level setinggi itu mereka miliki dalam usia yang begitu belia.

Cinta dan devosi itu, di sela-sela air mata yang hampir setiap menit meleleh dalam hari-hari belakangan ini, membuat saya merenung. Pernahkah saya, sebagai anak manusia, mencintai dan menunjukkan bakti pada induk saya yang utama, ibu pertiwi, melebihi ibu kandung saya sendiri? Setelah merenung cukup lama, saya dapati jawabannya tidak. Dan saya merasa terpukul, malu pada diri sendiri. Sebab Alanis dan Patrice yang tidak mendapat karunia akal budi saja sanggup memberikan itu semua pada saya, melebihi yang mereka berikan pada induk mereka sendiri, sedangkan saya yang diciptakan sempurna sama sekali tak mampu melakukannya pada ibu pertiwi saya, Indonesia. Pada masa belia saya menghabiskan waktu dengan bermain. Beranjak remaja saya mulai menikmati pergaulan dan mencoba berbagai macam kenakalan yang membuat saya sering beradu mulut dengan ibu saya. Kemudian meningkat dewasa saya menghabiskan waktu dan tenaga untuk kesejahteraan hidup saya dan anak saya. Dari berbagai level kehidupan yang telah saya jalani, ibu pertiwi luput sama sekali dari benak dan perhatian saya. Semuanya saya dedikasikan bagi kesenangan dan kesejahteraan diri sendiri dan keluarga. Itu saja.

Tentu saja tidak terpikir dalam benak bahwa saya berhutang banyak pada ibu pertiwi saya. Saya berhutang pembentukan karakter, berhutang struktur tubuh yang kecil namun liat yang terbentuk dari iklim dan bahan-bahan makanan yang tersedia murah dan melimpah di negeri ini, berhutang sejarah, berhutang warisan filosofi dan pandangan-pandangan hidup, berhutang kedamaian dan kesejahteraan. Berhutang kebanggaan karena memiliki negara yang sangat majemuk, dalam segala hal, sehingga hampir semua teman-teman bangsa asing saya punya komentar yang sama: belum pernah aku lihat ada negara yang begitu luar biasa seperti Indonesia. Berhutang kepribadian yang ramah, terbuka, gemar menolong, dan pemaaf seperti yang secara kolektif dimiliki oleh rakyat bangsa ini, yang diturunkan dari abad ke abad meskipun tak pernah dirumuskan secara baku, berhutang rasa percaya diri karena bangsa ini tetap tegak utuh kendati diterjang berbagai masalah dan tantangan, dan entah hutang-hutang apalagi.

Hutang saya pada negeri ini tak terhitung. Tapi yang memenuhi benak saya dari tahun ke tahun tak lebih hanyalah bagaimana memberikan masa depan yang layak bagi anak-anak saya. Memang mulia, namun jika saya mau jujur mengakui, betapa sempitnya.

Kalau saja saya memiliki sedikit saja cinta dan devosi seperti yang Alanis dan Patrice punya, mungkin sejak dulu saya akan sudah melakukan sebuah tindakan sebagai wujud nyata dari cinta saya pada Indonesia. Mungkin bukan hal yang besar dan wah. Mungkin hanya sekedar memiliki 2 atau 3 anak asuh. Atau sekedar membuka perpustakaan kecil bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Menanam pohon sebanyak yang saya mampu. Seminim mungkin melakukan pelanggaran lalu lintas atau aturan apapun. Berusaha mengganti jam karet saya dengan jam normal. Sebanyak mungkin membeli barang-barang produksi dalam negeri. Tidak membeli buah-buahan atau produk-produk pertanian import. Mengunjungi panti jompo atau penjara secara berkala, meskipun saya tidak kenal siapa yang menghuni di dalamnya. Atau hal-hal baik apa saja, sekecil dan sesederhana apapun itu. Karena siapa tahu itu bisa menginspirasi orang-orang di sekitar saya, lalu inspirasi kecil itu meluas, dan kian banyak rakyat Indonesia yang melakukan hal-hal baik dengan semangat menjadikan Indonesia yang tertib, mandiri,  kaya, dan damai sejahtera dengan rakyat yang tenang dan kuat karena satu sama lain hidup saling memperhatikan, sehingga tidak ada lagi orang yang merasa memanggul beban berat sendirian dan hidup dalam stress berkepanjangan.

Kalau saja sejak dulu saya punya cinta dan bakti sebesar yang Alanis dan Patrice punya. Dan saya sangat bersyukur sempat memiliki mereka sekalipun tak lama, karena mahluk-mahluk kecil luar biasa itu memberi saya inspirasi dan keinginan untuk segera mewujudkannya. Merekalah guru natural saya tentang bagaimana berbakti dan mencinta. Semoga di luar sana ada banyak orang yang telah memiliki dan mewujudkan devosi itu jauh sebelum saya menyadarinya. Mewujudkan cinta dan bakti yang waktu demi waktu terus menggelora bagi ibu pertiwi kita, Indonesia. 

Kamis, 02 Februari 2012

Pemimpin Umat yang Galau the Sequel


Maafkan saya, pembaca, saya sama sekali tidak bermaksud berdusta. Sebelumnya saya terlanjur berkoar bahwa posting hari ini berjudul ‘Umat yang Lempengdotcom’. Namun sebelum tulisan tersebut saya rilis, saya terlanjur mendapat gagasan baru yang akhirnya saya putuskan untuk saya tuangkan (halah) dalam artikel ini. Masih mengenai pemimpin umat yang galau, namun dalam skup yang lebih luas.

Saya pernah membaca quote seorang tokoh yang sayangnya saya lupa, mungkin Robert Kiyosaki atau siapa (koreksi kalau saya salah), demikian: pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menggali dan memunculkan potensi yang terbaik dari mereka yang dipimpinnya. Saya jadi teringat salah satu tokoh favorit saya almarhum, Romo Mangunwijaya. Duluuu… sekali ketika diwawancarai sebuah majalah anak-anak tentang sekolah anak-anak kampung Code yang beliau bina, Romo berkata begini: “Anak-anak di sekolah ini kami bimbing untuk mengeluarkan dan mengasah potensi terbaik mereka. Karena sebetulnya tidak ada seorang anakpun yang bodoh. Mungkin saja dia tidak bisa matematika atau nilainya jelek di sekolah. Tapi siapa tahu dia jago layangan?”. Terpujilah Tuhan yang menciptakan seseorang dengan jiwa begitu besar yang tidak membatasi nilai seseorang dengan bidang-bidang tertentu macam  Romo yang satu ini. Dan terutama mau berjerih lelah menggali hal terbaik dari jiwa-jiwa yang dipimpinnya.

Dalam kesempatan lain saya membaca Romo Mangun adalah orang seorang yang galak dan tidak sabaran. Seperti yang kita tahu beliau mencurahkan dedikasi, tenaga, pikiran, dan waktu tak terhinga demi menata sebuah kampung kumuh di tepi sungai Code dalam berbagai aspek, hingga kemudian meraih penghargaan Aga Khan. Nah, beliau paling tidak suka melihat anak-anak kampung berkeliaran di jalan tanpa busana lengkap, apalagi buang air sembarangan. Hukum tersebut ia sosialiasikan sebagai kebenaran mutlak. Suatu sore, tertangkaplah oleh matanya seorang anak yang bukan hanya bermain tanpa celana namun juga b*rak sembarangan. Si anakpun ia gebuki dengan tongkat kesayangannya, dan orang tua si anak kemudian menghabiskan banyak enerji untuk meminta maaf sekaligus meredakan kemarahan si Romo.

Antara kesabaran dan kelembutan Romo dalam menggali potensi anak-anak yang dipimpinnya, serta kegalakan dan  kegemarannya mengayunkan tongkat untuk menegakkan disiplin adalah kontras yang tak akan mampu dilakukan oleh siapapun yang tidak punya karisma. Terlebih kemudian orang tua si anak yang bok*ngnya kena sabetan tersebut malah minta-minta maaf dan bukannya melaporkan Romo pada pihak yang berwenang dengan alasan penganiayaan. Romo Mangun adalah juara mengawinkan kelembutan dan ketegasan. Ia adalah pemimpin yang layak disebut pemimpin, sebab ia tahu betul apa yang harus ia lakukan demi kemaslahatan umat. Ia adalah sosok pemimpin yang kuat, punya pijakan yang teguh, dan jauhlah darinya kondisi yang disebut ‘galau’. Waktu beliau meninggal, tak terhitung massa menyemut menanti mobil jenasahnya tiba, tak peduli dari agama apa. Seseorang dengan kualitas sekaliber Romo Mangun adalah jenis orang yang mampu membuat batas-batas menjadi runtuh. Dan ketika ia pergi, jutaan manusia berduka.

Bagaimana dengan para pemimpin umat sekarang? Saya tidak tahu dengan kualitas para pemimpin yang tidak diekspose oleh media (tahu sendiri kan seberapa condong sebelahnya media massa), namun sejauh yang sering muncul di berita, kebanyakan dari mereka adalah pemimpin-pemimpin yang galau. Mari kita bicara soal kondisi sosial Indonesia yang tengah banyak mengalami guncangan ini. Situasi ini banyak menyebabkan rakyat jadi gelisah, didera tekanan, dan depresi. Tentu masih segar dalam ingatan kita berita tentang ibu yang mencekik bayinya, membakar diri dan anak-anaknya karena tekanan ekonomi dan rumah tangga, kasus-kasus bunuh diri yang kabarnya meningkat, ekspresi kemarahan kolektif yang membabi-buta seperti dalam banyak sekali kasus tawuran, kerusuhan karena urusan rebutan tanah, dan sebagainya. Orang-orang malang ini kebanyakan berbuat begitu karena tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah. Kalaupun mereka sudah berusaha, rasanya jalan keluar begitu jauh sementara jiwa kian tertekan. Akhirnya munculah ekspresi-ekspresi keputus-asaan suisidal dan anarkisme tersebut. Padahal sebenarnya tekanan apapun bisa dengan mudah diatasi oleh jiwa yang tenang dan terkendali. Dan sejauh pengalaman saya sebagai orang yang percaya pada Tuhan, jalan terampuh untuk mencapai kondisi itu adalah kembali pada Tuhan.  Dan sepanjang yang saya ketahui, bangsa ini adalah bangsa yang percaya pada Tuhan. Kalaupun tidak, ada filosofi-filosofi kehidupan yang diramu oleh nenek moyang kita dan diturunkan hingga ke generasi yang sekarang.

Itu idealnya. Tapi fakta di lapangan jauhlah panggang dari api. Entah apa saja yang membuat para pemimpin umat tersebut sibuk, yang jelas mereka meninggalkan umatnya gelisah, kebingungan, galau, tertekan, dan pada akhirnya menjadi pribadi yang represif. Kalau mereka telah mencapai ideal sebagai pemimpin umat tersebut dengan baik, tentu mereka akan memberikan porsi perhatian yang lebih pada pelayanan umat yang berbasis pada kesehatan jiwa dengan cinta kasih dan kuasa Tuhan sebagai dasarnya, yang pastilah bisa membesarkan dan menyemangati jiwa. Dan kemungkinan besar rakyat Indonesia tidak akan serusuh belakangan tahun ini. Sebab tindakan rusuh pastilah berasal dari jiwa yang keruh. Dan tak ada satu jiwa, milik siapapun itu, yang takkan akan jernih bila ia dekat dengan Penciptanya, yang paling tahu isi hati umat-Nya yang paling dalam. Jiwa siapa yang tak akan tenang teduh bila ia berada dalam hadirat Tuhan? Sayangnya para pemimpin umat gagal melakukan itu. Jargon Kristennya begini: bagaikan domba-domba yang tersesat dan bahkan terhilang, sementara sang gembala sibuk sendiri dengan banyak urusan.

Domba-domba yang tersesat itupun kemudian bertemperasan tak tentu arah, terbenam makin ke bawah pada belitan masalah, persis seperti lumpur pengisap yang menenggelamkan mereka dalam dan makin dalam. Semestinya mereka tak perlu bernasib semalang itu, jika para pemimpin umat mau memikirkan formula-formula peneduhan jiwa dengan basis kitab masing-masing, untuk kemudian menjadikan formula tersebut sebagai program yang terstruktur dalam rangka penyelamatan jiwa-jiwa jemaah yang gelisah. Tetapi mereka telah gagal. Dan untuk menutupi kegagalan tersebut mereka kemudian menggalang kekuatan bersama, untuk berikutnya dengan tangkas dan sistematis menudingkan jari pada pihak lain. Masih ingat ketika sekumpulan orang yang mengaku pemimpin umat membentuk suatu forum kebohongan yang mencatat dusta-dusta pemerintah? (patut digarisbawahi bahwa saya bukan penggemar pemerintah. Saya tidak menganggap pemerintah bersih dari noda dan nista. Garis besar saya adalah betapa kerdilnya jika kita gagal melakukan sesuatu dan atau melakukan kesalahan, kemudian kita mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi borok kita sendiri).

Beberapa dari grup pembentuk forum kebohongan tersebut adalah orang-orang yang kepada mereka saya menaruh simpati. Namun saat mengetahui perilaku tersebut sontak saya kecewa, dan spontan berkomentar, “Siapa mendustai siapa? Dan siapa yang sebenarnya berusaha kalian dustai?”. Pada galibnya mereka sedang berusaha mendustai diri sendiri. Sayangnya banyak orang terkelabui dan kemudian menganggap tindakan mereka benar. Terlebih karena kemudian media massa –kenapa saya tidak terkejut, ya?- membesar-besarkan perkara tersebut dengan -seperti biasa- narasi yang sangat lebay, distorsif, dan tentu saja menyimpang dari akar masalah yang sebenarnya. Sayang sekali banyak orang yang kemudian percaya pada ‘langkah kritis’ palsu tersebut. Tetapi masih ada seorang Yuanita Maya yang berani ‘berteriak’ tentang perkara ini, dan saya percaya di luar sana, masih banyak sekali orang yang punya pikiran sama dengan saya. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, itulah peribahasa yang tepat untuk tindakan pembentukan forum kebohongan oleh gabungan para pemimpin umat lintas agama tersebut.

Betapa kegalauan ternyata tengah happening di antara pemimpin umat, sehingga tugas penting menggali potensi yang terbaik dari umat dengan basis ajaran dari Kitab Suci masing-masing mereka abaikan atau malah bisa jadi sama sekali tak terpikirkan. Tugas tersebut justru diambil alih oleh Mario Teguh, yang militansinya juga teguh dalam mendorong seseorang untuk menggali kekuatan dari dalam diri sendiri, melihat segala sesuatu dari sisi yang terbaik, dan sebagainya, sehingga orang tersebut bisa menjadi pribadi yang super (sampai di sini saya terpikir untuk meminta fee pada Oom Mario Teguh). Sayang Mario Teguh punya pangsa pasar yang jelas, yakni masyarakat kelas menengah yang setidaknya diwakili oleh pemirsa acaranya di sebuah televisi swasta. Sedangkan massa akar rumput, yang paling rentan menjadi bahan bulan-bulanan masalah, tertinggal di belakang sana, tertatih-tatih berusaha menarik diri dari lumpur masalah yang menghisap mereka, sementara para pemimpin mereka entah bikin apa di luaran sana.

Betapa indahnya jika di Indonesia ada banyak pemimpin umat yang berjiwa lembut dan teguh seperti Romo Mangun. Sosok sederhana pandai luar biasa yang jauh dari galau, yang tahu betul apa yang harus dilakukannya. Yang tahu benar mengangkat hal-hal terbaik dari umatnya ke permukaan, hingga demikian sang umat menjadi pribadi teguh yang tak terpengaruh oleh situasi apapun. Yang tidak mementingkan popularitas dan urusan pribadinya sama sekali. Yang terlalu sibuk berkarya bagi kepentingan umat, sehingga tak punya waktu untuk mencari-cari kesalahan apalagi menudingkan jarinya pada orang lain. Diberkatilah Romo Mangun. Diberkatilah pemimpin-pemimpin umat yang punya kualitas semacam itu, yang berkarya dalam diam, yang tidak menghabiskan waktu untuk mengundang wartawan agar beramai-ramai meliput kegiatan mereka. Dicurahkanlah kiranya hujan berkat Tuhan untuk Indonesia Raya!

*Artikel yang (menurut saya) berhubungan dengan tulisan ini adalah posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’, ‘Diam-diam Jadi Kaya’, dan ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’. Dan semoga posting berikutnya yakni ‘Umat yang Lempengdotcom’ tidak terganggu oleh gagasan yang melesat tiba-tiba di benak saya. Piiiisssss…….


Rabu, 01 Februari 2012

Untuk pembaca dari Hongkong, Irlandia, dan Malaysia, salam jumpa. Selamat bergabung dengan pembaca dari Indonesia dan negara-negara lain yang sudah duluan datang sebelumnya. Semoga menikmati web saya yang t-o-p-b-g-t luar biasa ini (kecapbiarpunpalingbusuktetapnomorsatudotcom). Untuk pengunjung dari Qatar dan Saudi Arabia, ke sini naik apa? Onta? (Nggak lucu nggak apa-apa). Semoga semakin tercerahkan. Semoga makin cinta Indonesia. Tuhan memberkati anda!