Biarpun sering menang lomba nulis dan debat serta jagoan lagipula pintar
dalam bikin analisa, tapi saya ini dungu luar biasa dalam urusan matematika.
Entah berapa kali saya gonta-ganti guru les, dan tidak ada satupun yang tak mengundurkan
diri karena frustrasi. Saya tidak menyalahkan mereka, karena siapa sih yang
tahan menghadapi keledai berlama-lama? J. Sejak SMP, nilai saya di raport semester ganjil selalu lima, itupun
KATROLAN, karena ulangan-ulangan harian saya tak pernah mendapat nilai lebih
dari empat. Kalau di raport kenaikan kelas saya dapat nilai enam, itu berarti
katrolannya lebih dahsyat lagi. Hingga pada suatu hari waktu kelas III SMP,
guru matematika saya cuti melahirkan, dan digantikan oleh guru sepuh (lanjut
usia) yang mengajar di kelas lain. Dan kehadiran Pak Sarno –yang lebih sering
dipanggil Engkong- membuat sejarah hidup saya berubah total, yakni untuk
pertama kalinya raport bayangan saya dapat nilai TUJUH HASIL USAHA SENDIRI DAN
SAMA SEKALI BUKAN KATROLAN!!! Ini kemungkinan besar karena beliau sangat lucu,
sabar, luar biasa baik hati, dan ekspresi serta gerak-geriknya mengingatkan
saya pada Bocah Tua Nakal di Dragon Ball. Engkong punya kebiasaan bawa-bawa
gembor penyiram bunga tiap jam istirahat. Hobi ini membuat Engkong dihindari
murid-murid cewek, karena kalau ada yang berani mendekat pasti dipaksanya untuk
membantu menyiram bunga-bunga di halaman dan teras sekolah. Engkong juga suka
menraktir murid-murid cewek (biasanya yang manja, ribut, dan banyak mulut,
termasuk saya) dan kami biasa bergantian menraktirnya juga. Kalau saya lemot,
Engkong biasanya bilang gini,”Lhoooo….ayu-ayu kok koplong (cantik-cantik kok kosong).
Sini Engkong ajari lagi. Kalau belum bisa juga, kamu harus bantu Engkong menyiram
bunga satu minggu.” Saya kemudian biasanya merengek-rengek manja lalu mengatai
Engkong jahat, suka menyiksa, dan sebagainya, sambil menghentak-hentakkan kaki.
Satu hal mengenai Engkong, waktu saya mengeluh,”Aku kalau matematika kok
goblok sekali ya, Kong?”, Engkong berkata,”Ah, masa? Buktinya diajarin Engkong bisa.
Lagipula kalau goblok matematika terus kenapa? Yang lain-lainnya kan kamu tidak
goblok. Tahu tidak, kamu ini murid yang paling pintar menyiram bunga, lho.”
Saya tahu pasti kalimat terakhir itu bisa-bisanya Engkong ngegombal saja, tapi
nyatanya saya kejebak, ikhlas pula. Maka selama seminggu setelah itu tiap
istirahat saya ngintilin Engkong ke mana-mana sambil bawa-bawa gembor penyiram
bunga model kuno dari kaleng yang beratnya minta ampun. Ketika guru yang asli
mengajar lagi dan Engkong kembali ke ‘alamnya’, nilai sayapun kembali ke ‘fitrah’
dan bertahan sampai lulus SMA. Engkong, walaupun hanya ‘menjamah’ saya kurang
dari tiga bulan, telah membuat penilaian saya tentang diri sendiri berubah,
yakni pada dasarnya saya tidak dungu total
dalam hal angka. Selama ini saya hanya tidak pernah mendapatkan guru yang
mengerti kelemahan saya, itu saja. Engkong memberikan hati pada saya selama
beberapa bulan saja, dan saya mengenangnya dengan penuh cinta sepanjang masa.
Sayangnya kita tak akan pernah mengerti terang bila tak pernah melihat gelap.
Paradoks ini dengan sempurna dipersembahkan oleh guru Bahasa Inggris saya waktu
kelas III SMA. Ini kasus luar biasa, mengingat walaupun sama sekali tak pernah sedikitpun
mengeluarkan usaha, saya selalu mendapat nilai sembilan untuk semua pelajaran
bahasa termasuk Inggris. Mustinya guru yang satu ini dengan mudah membuat saya
jatuh sayang, bukan? Nyatanya tidak. Bahkan menurut saya Ibu ini kabotan jeneng
alias keberatan nama. Ia punya nama Jawa yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia
kira-kira ‘memberikan perlindungan dan rasa tenang’. Tapi bukannya mengayomi, selama
menjadi muridnya saya melihat ia hanya melakukan dua hal: mengajari kosa kata
dan tata bahasa serta menebar teror
psikologis. Granat teror tersebut secara rutin dan adil ia ledakkan di tiap
kelas di mana ia mengajar, dan kata-katanya sungguh menusuk lubuk hati yang
paling dalam. Saya sendiri pernah disuruh pindah ke London. Gara-garanya waktu
pelajaran saya ketahuan melamun dengan wajah bosan atau usrek sendiri, entahlah, lupa (saya tidak tahu terjemahan usrek dalam Bahasa Indonesia. Maksudnya kira-kira
gerak-gerak terus, bikin ini-itu yang nggak penting tanpa suara). Lalu intinya
Madam Teror bilang bahwa kalau saya sudah merasa paling Inggris sendiri lebih
baik pindah ke London sekalian saja dan
sebagainya. Saya pribadi sih sama sekali tidak tersakiti oleh kata-katanya ini,
apalagi waktu istirahat teman-teman saya bersorak-sorai soalnya Si May mau
bikin selametan bakal pindah ke London J. Namun di kelas sebelah, Si Maror, Madam Teror, mengatai seorang
murid,”Sudah hitam, pesek, bodoh pula.” Di kelas lain, seorang murid perempuan
yang bodinya model Pretty Asmara ditusuk dengan kata-kata,”Makanya jangan makan
terus. Sekali-kali belajar. Sudah gembrot, tidak ada cantik-cantiknya, bodoh
pula.”
Korban lain di kelas saya adalah satu-satunya murid dari etnis Cina yang
kami panggil Sinyo (saya lupa nama aslinya). Waktu SMA saya sekolah di SMA I, salah
satu SMA Negeri favorit di Semarang. Tapi entah kenapa, sekolah negeri biar
bagusnya seperti apa jarang sekali dimasukin anak-anak Cina, dan si Sinyo ini
nyasar ke SMA I dengan alasan yang hinggi kini masih jadi misteri. Nah, salah
satu SMA swasta favorit yang muridnya seratus persen Cina (dan pastinya sangat
mahal) waktu itu adalah SMA Karangturi. Sebelumnya perlu saya terangkan bahwa
ada stereotipi disini, yakni anak-anak Cina lebih cerdas daripada anak-anak
Jawa. Entah benar atau tidak, yang jelas Sinyo ini biarpun Cina nyatanya sama
sekali tidak cerdas (sori, Nyo, wek!J). Tapi itu sama sekali bukan masalah buat kami teman-temannya. Peduli
apa Sinyo Cina, Jawa, Buton, Madura, Siau, atau apapun, ataukah IQ-nya jongkok
bahkan tiarap sekalipun, sepanjang dia teman yang baik dan enak diajak becanda?
Tapi Maror punya pendapat berbeda. Suatu hari saat Sinyo sekali lagi
mendemonstrasikan ketidakcerdasannya (sambil cengar-cengir khas anak remaja),
Maror naik pitam. Dengan suara tajam berikut bahasa Indonesia sangat rapih namun
wajah berkilat-kilat jahat bak Medusa hanya saja tanpa ular-ular di kepala,
Maror berkata,”Saya heran kenapa orang tuamu menyekolahkanmu di sini. Kenapa
kamu tidak pindah saja ke Karangturi? Apa karena orang tuamu tidak mampu begitu
pula otakmu?” Namanya anak SMA, apalagi cowok, disayat hatinya begitu tetap
saja dia cengengesan. Tapi siapa yang bisa mengukur luka hati Sinyo? Kalaupun
Sinyo tak sakit hati, apalah hak Maror –terutama sebagai guru- mengata-ngatai
muridnya seperti itu, bawa-bawa etnis, dan menghina kondisi finansial orang
tuanya pula? Itu baru beberapa kasus dan di angkatan kami saja. Bagaimana
dengan angkatan-angkatan sebelumnya? Bagaimana dengan angkatan-angkatan
berikutnya? Berapa anak yang dia hina fisiknya, otaknya, ininya, itunya, dan
sebagainya? Kalau sulit memahami bahwa ia berhadapan dengan anak remaja yang
setia cengengesan setiap saat, kenapa tidak jadi pengacara atau tentara saja? Kalau tak tahan menghadapi anak
yang otaknya agak kendor, lalu kenapa pula ia jadi guru? Lebih baik jadi tukang
pukul saja. Ketemu anak blo’on langsung dijotosi, dapat bayaran, selesai urusan.
Si Maror juga punya tatapan mata yang begitu tajam seakan menelanjangi
kebodohan tiap murid, dan saya bahkan sama sekali tidak berdusta. Mungkin tiap
pagi sebelum berangkat kerja Maror menatap cermin, membulatkan tekad sambil mengepalkan
tinju ke angkasa, dan berkata,”Aku ditakdirkan untuk membuat setiap murid yang
bodoh merasa menyesal dilahirkan ke dunia.” Dan secara umum bola mata hitam Maror
bergerak sistematis mencari-cari celah kesalahan pada tiap anak, tak peduli
anak itu bodoh atau pintar tapi bengal macam saya. Status guru benar-benar
menutupi rentetan kejahatan Maror dengan sempurna. Ya, ya, silakan anda menyebut
saya lebay. Tapi sampai dua puluh tahun sesudahnya (terakhir sekitar 8 bulan
lalu), saya kadang-kadang mimpi kembali lagi ke SMA, dan SIALNYA, dalam mimpi-mimpi itu Maror SENANTIASA hadir dengan kekejaman yang tak jauh beda dari kehidupan
nyata. Mimpi-mimpi tentang Maror selalu berhasil membuat saya terbangun dalam
keadaan dada berdegup kencang, dan sayapun tercekam sampai beberapa hari
berikutnya (itu saya yang selalu dapat nilai minimal sembilan. Bagaimana dengan
mereka yang kualitas otaknya sama dengan saya dalam hal matematika? Mungkin
mereka memimpikan Maror seminggu sekali, lalu depresi berat hingga akhirnya kecanduan
obat-obatan telarang). Kenapa saya tak pernah memimpikan Engkong atau hura-hura
masa SMA misalnya waktu kelas III bolos dengan separuh teman cewek sekelas lalu
nonton film semi blue (cuma keliatan dada doang, itupun sudah pada kebelet
pipis. Hihihi), sampai sekarang masih jadi teka-teki. Apakah karena derajat
kejahatan psikologis Maror jauh melebihi dampak kebaikan Engkong dan sukacita
masa remaja, hingga kini saya tak pernah tahu jawabnya. Yang jelas saya tahu
pasti, bahwa kalau jadi anak Maror maka hanya ada dua kemungkinan yang bakal menimpa
saya: berakhir di Rumah Sakit Jiwa atau minimal cari ibu baru lalu pindah kota dan
ganti nama. Silakan anda mengatai saya murid durhaka, namun jujur, dalam lubuk
hati saya sama sekali tak ada rasa hormat pada Maror, bahkan seujung titik
hitam mata jahatnya sekalipun. Kadang pula saya berkhayal, kalau saja pencipta
lagu Hymne Guru pernah jadi murid Maror (dan bodoh pula), mungkin ia akan
memilih karir sebagai tukang jagal. Lalu tiap tahun ia mendapat penghargaan ‘the
best employee’, karena senantiasa bekerja penuh kobar semangat lantaran membayangkan
daging-daging yang sedang ia garap itu sebagai Maror. Lalu kita selamanya tak
akan pernah mendengar lagu yang begitu indah dan menyentuh itu. Syukur kepada
Tuhan yang melindungi seni dengan cara menjauhkan si pencipta hymne di atas dari
guru macam Maror.
Saya berdoa sepenuh jiwa, kiranya cukuplah seorang Maror di bumi
Indonesia. Janganlah kiranya ada lagi Maror-Maror berikutnya. Kalau perlu
perbanyak Engkong, supaya setiap anak tahu bahwa kedunguan macam apapun bisa
dilawan asal ada tekad dan terutama
pembimbing yang tepat. Dan tahukah anda, bahwa saya baru-baru ini bergirang
hati karena gelagatnya bakal ada The Next Engkong tapi versi female? Namanya
Sarintan Pasaribu Salomo, teman FB sekaligus admin di Grup diskusi
Islam-Kristen dimana saya jadi admin pemalas tak tahu ayat tapi sabar, humoris,
dan bijaksana (adakah kecap nomer dua? J). Di Grup ini Mak Intan –begitu saya biasa memanggilnya- terkenal ketus
dan lekas naik darah (maaf ya, Mak J). Pada anggota grup yang ngeyelan terus kena damprat Mak Intan, saya
biasanya bilang gini,”Maklumlah, hai bocah, Mak Intan ini orang Batak (maaf ya,
saudara-saudaraku orang Batak J)”. Tapi JANGAN SALAH! Biar galak ternyata Mak Intan ini seorang pemilik
sekaligus Kepala Taman Kanak-kanak plus punya day care a.k.a tempat penitipan
anak. Jangan buru-buru membayangkan anak-anak malang itu setiap hari pulang
dengan kepala benjol karena dijitakin Mak Intan yang tak sabaran. Jangaaan….
Karena jangankan benjol- benjol, mereka malah mendapat perlakuan istimewa. Pernah
dalam satu hari saya mendapati Mak Intan meng-up load foto-foto anak-anak day
carenya sebanyak dua kali (belum hari-hari lainnya yang saya tidak tahu). Yang
pertama adalah dua anak cowok dengan badan penuh dan kelihatan terawat, dengan
judul photo: sama-sama suka makan tapi sama-sama sulit tidur (atau begitulah
kira-kira). Yang kedua adalah up load dua foto anak cewek imut-imut, dengan
keterangan “Dua-duanya sama-sama cerdas dan kritis”. Saya memberi komentar: “Cantik-cantik
pula. Emak bapaknya pasti pada bangga.” Lalu Mak Intan membalas,”Jangankan Emak
Bapaknya, aku yang hanya gurunya saja bangga bukan kepalang.”
Ada dua perkara besar yang saya catat di sini:
1. Mak
Intan mengenal benar karakter tiap muridnya.
Berbeda sekali dengan Maror yang datang ke
sekolah membawa antena pendeteksi kebodohan murid dan kamus kata-kata keji, Mak
Intan menyambut murid-muridnya dengan kepala terbuka dan hati peka, hingga tahu
pasti keunikan dari masing-masing mereka. Saya yakin kalau jadi guru SMP atau
SMA dan menghadapi murid yang bebal dalam satu mata pelajaran tertentu seperti
saya, Mak Intan akan dengan tekun menyisir titik-titik lemah si murid bagaikan
anggota satuan gegana dengan alat deteksi metalnya, lalu berusaha keras untuk
mencari jalan keluar bagi kebuntuan otak itu. Tepat seperti yang dilakukan oleh
Engkong, hanya mungkin bedanya Engkong mem-bully saya dengan gembor penyiram
bunga dan Mak Intan bisa jadi mengerjai muridnya dengan sekop untuk
menggemburkan tanah. Hihihi.
2. Mak
Intan meresapi murid-muridnya bukan sebagai bakal duit semata.
Punya sekolah apalagi dengan murid anak-anak orang
berkecukupan (yang mana terlihat jelas dari tampang mereka di photo) sudah
pasti UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Tidak perlu malu, sedangkan pepatah Jawa saja
mengatakan ‘Jer Basuki Mawa Bea’, atau ‘Hidup mulia hanya bisa dicapai dengan
mengeluarkan biaya (bisa keringat, otak, waktu, dan sebagainya, termasuk
materi)’. Jadi kalau day care dan sekolahannya punya fasilitas bagus sudah
pasti juga butuh biaya ‘bagus’. Tapi kalau Mak Intan dasarnya mata duitan,
manalah ia mau pusing dengan murid ini sulit tidur atau tidak? Tinggal biarkan
saja mereka bermain sampai terhuyung-huyung dan pada benjut kejedot tembok,
habis perkara. Frasa ‘sulit tidur’, di mata saya, sudah lebih dari cukup untuk
membuktikan bahwa Mak Intan menganggap serius hal ini. Kalau sudah begitu
pastilah Mak Intan juga menghabiskan banyak enerji dan pikiran untuk mencari
cara, agar mereka mau menyerah dan menutup mata ketika waktu istirahat tiba. Persis
seperti seorang ibu yang pusing
menghadapi masalah anak-anak kandungnya
sendiri. Persis seperti yang dilakukan Engkong. Ketika guru-guru lain
menyerah dengan titik lemah saya dan mengambil jalan pintas dengan mengatrol
nilai, Engkong sibuk mencari cara untuk mengalahkannya. Dalam tiap candanya,
perintah-perintahnya yang lucu sekaligus menjengkelkan, serta gembor penyiram
bunga yang sangat berat itu saya melihat seorang
guru yang sesungguhnya. Saya melihat Engkong memandang saya seperti anak
kandungnya. Dari balik tiap kerutan di wajah Engkong, saya melihat jiwa mulia yang benar-benar melihat
tiap-tiap muridnya, selemah dan sekurang apapun mereka, sebagai anak manusia.
Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibimbing entah bagaimana caranya,
hingga pada akhirnya anak itu berkata pada diri sendiri,”Ternyata aku pintar
juga, ya?”. Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibesarkan jiwanya, dan
bukannya justru diiris-iris hatinya seperti yang dilakukan oleh Maror, wanita
keji tak punya nurani yang sampai hati menyebut dirinya guru itu. Dan tak
seperti Maror yang memandang murid-muridnya sebagai katarsis masalah serta luapan
amarahnya pada dunia, Mak Intan meluap hatinya oleh kebanggaan akan
murid-muridnya. Tepat seperti Engkong yang tiap kali saya –akhirnya- berhasil
memahami satu soal, selalu mengucak ujung rambut saya dan berkata,”Anak Engkong
memang hebat!”. Hanya guru yang bermodal kasih tanpa syarat saja yang bisa
merasa bangga pada murid-muridnya, seakan mereka adalah anak-anak sendiri.
Engkong dan Mak Intan adalah manusia-manusia yang layak disebut guru.
Guru, oleh orang Jawa disebut berasal dari kata digugu (didengar untuk kemudian
dilakukan) dan ditiru. Siapapun orangnya yang layak didengar, sudah pasti
terlebih dahulu mendengar orang lain. Guru seperti itu adalah mereka yang
mendengar muridnya bukan hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati dan rasa.
Itulah yang membuat mereka bersabar. Itulah yang membuat mereka tak keberatan
dengan separah apapun kekurangan muridnya, dan lebih dari itu, mencari cara
agar yang kurang itu menjadi lebih. Suatu hari nanti, entah kapan, saya yakin
Mak Intan akan memiliki murid-murid yang mengingatnya dengan cinta setelah
berpuluh tahun lewat, seperti yang saya lakukan pada Engkong. Sama halnya
dengan cara saya mengenang Engkong, demikian pula Mak Intan dan guru-guru
serupa mereka akan dikenang oleh murid-muridnya. Guru seperti mereka itulah
yang membuat anak-anak Indonesia tumbuh menjadi baik. Ya, guru serupa itu
adalah mereka yang namanya akan selalu hidup dalam sanubari anak-anak didiknya.
Pencipta Hymne Guru sama sekali tidak mengada-ada ketika mengatakan, bahwa mereka
adalah embun penyejuk dalam kehausan dan pelita dalam kegelapan. Sungguh mereka
adalah patriot pahlawan bangsa. Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan
guru-guru yang memandang muridnya dengan penuh cinta! Tuhan memberkati guru-guru
mulia di Indonesia!
Untuk Engkong yang tengah berjuang melawan
kanker dalam suntuk usia. Engkong, engkau mendapat doa dari mana-mana, dari
murid-murid yang basah kuyup oleh Gembor Penyiram Cinta-mu (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).