Di
tengah rasa iri yang memuncak, mereka akhirnya mengumpulkan sejumlah anak SD,
SMP, dan SMA. Rencananya mereka hendak melontarkan beberapa pertanyaan untuk
mengetahui seberapa enak dan tidak berkualitasnya anak sekolah jaman sekarang,
karena materi hapalan sudah jauh berkurang. Pertanyaan pertama adalah yang
paling ringan, yakni perkiraan musim hujan dan kemarau di Indonesia. Anak SD yang
biasa-biasa saja menjawab, “Tidak ada yang bisa menebak, karena iklim sudah
berubah.”
Dua
sahabat yang aneh tersebut ber-toast, senang karena dugaan mereka benar. Ternyata
anak SD yang satunya lagi langganan jadi juara kelas, sehingga ia menambahinya
dengan definisi yang lengkap, yakni: ”Perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan
pembangunan yang dampak negatif akumulasi gas rumah kaca (GRK) yang timbul
akibat proses produksi dan konsumsi. Misalnya, pembabatan hutan untuk
peternakan massal bagi industri rumah makan cepat saji dan industri kertas,
penggunaan bahan-bahan yang mengandung CFC, berbagai polutan seperti asap
cerobong pabrik, knalpot, pembakaran sampah, dan sebagainya.”
Anak SD sisanya, yang ternyata juara
teladan se-Provinsi, menambahkan, “Pemanasan global sebagai bagian dari
perubahan iklim adalah meningkatnya suhu pada bumi yang dampaknya sangat relevan
terhadap kehidupan. Kenaikan suhu
bumi sebesar satu derajat celcius saja akan berpengaruh langsung pada perubahan
musim, arah angin, gelombang laut, mencairnya es di kutub bumi, serta perubahan
pola kehidupan berbagai makhluk hidup, tumbuhan, dan hewan.”
Dan sebagai gebrakan terakhir bagi para
penanya yang sedang ternganga, juara teladan SD se-Provinsi itu menutup
uraiannya dengan,”Kandungan gas
karbon di udara yang kian berlipat ganda juga akan
membuat pertumbuhan hutan alami di bumi pada
suatu saat akan berhenti sama sekali. Pada musim hujan akan terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan
banjir di mana-mana dan akan timbul berbagai penyakit. Restorasi
pasca banjir butuh dana besar dan bisa menyebabkan perekonomian terganggu. Sebaliknya
musim kemarau akan lebih panjang dan pada titik paling ekstrim akan terjadi
perang memerebutkan sumber-sumber air. Naiknya suhu udara juga menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin
pendek dan berkembang biak lebih cepat, sehingga muncul berbagai penyakit.
Penyebaran penyakit ini khususnya di daerah tropis, seperti demam berdarah,
diare, malaria dan leptospirosis karena bertambahnya populasi serangga sebagai
vektor penyakit. Namun tak perlu merasa sendirian, karena gelombang panas yang
melanda Eropa tahun 2005 telah meningkatkan angka ‘heat stroke’ atau serangan
panas kuat yang mematikan, infeksi salmonela, dan ‘hay fever’ atau demam akibat
alergi rumput kering. Inilah sekelumit akibat dari perubahan cuaca ekstrim.
Sekian dan terima kasih.”
Dua
insan paruh baya itu meneguk meneguk ludah dan bertanya pelan, “Lalu siapa yang
bertanggung jawab atas perubahan iklim ekstrim ini?”. Si anak SMP yang
biasa-biasa saja dan sering pinjam catatan teman menjawab singkat, “Kita semua,
Paman dan Bibi.” Melihat raut wajah Paman dan Bibi yang tak puas, anak SMP
satunya, yang langganan juara kelas menambahkan, “Terutama dunia industri yang
banyak mengorbankan hutan baik untuk lokasi maupun materi industri mereka.
Belum terhitung polutan dalam berbagai bentuk yang mereka timbulkan. Contohnya,
industri peternakan masif yang telah mengorbankan banyak sekali luasan hutan
hujan. Kotoran sapi juga menghasilkan gas metana yang berdampak krusial pada
kian rusaknya lapisan ozon. Tapi sapi-sapi itu tidak bersalah! Tahu apa mereka
selain mengunyah dan melenguh sambil sesekali mengibaskan ekor? Mereka
dikembang biakkan secara intensif karena pola makan dan konsumsi manusia. Kita,
manusia modern yang mudah dikelabui oleh iklan ini, percaya saja bahwa
mengonsumsi junk food adalah hal yang keren. Kita membeli junk food karena itu
adalah gaya hidup manusia modern. Ulang tahun anak dirayakan di restoran cepat
saji sebagai simbol kesuksesan orang tua. Para remaja hang out sambil menenteng
junk food biar dibilang gaul. Cuma remaja katrok yang jalan sambil bawa-bawa gorengan
tempe gembus. Maka mulai dari Mama, Papa, kakak sampe adek, semua pada rebutan
beli junk food.”
Anak SMP juara se-Provinsi tak
mau kalah “Dan camkan!” ia berseru lantang. “Itu baru junk food. Sadarlah wahai
kita semua, perilaku kita sehari-hari juga berpengaruh pada perubahan iklim.
Kita malu atau males naik sepeda. Di kota-kota besar, banyak keluarga yang
punya lebih dari 2 buah mobil. Bukannya
mengatur waktu supaya bisa pergi barengan, tiap anggota keluarga malah pergi
sendiri-sendiri dengan mobil masing-masing. Kalikan saja berapa keluarga dalam
satu kota. Kalikan satu propinsi. Kalikan satu negara. Kalikan seluruh bumi!!!”
gelegarnya, mengambil napas cepat-cepat dan buru-buru menambahkan, “Belum lagi
kebiasaan membakar sampah yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Rumah-rumah
kebanyakan seluruh kaplingnya disemen. Pohon semakin berkurang dan kita jadi semakin
tergantung pada pendingin udara. Oh, apakah kita tak menyadari, bahwa semakin
banyak AC semakin panas pula suhu secara kolektif? Tidakkah kita mengerti,
bahwa media pendingin AC saat ini masih dominan memakai zat freon? Dan
freon model lama yang kurang ramah lingkungan masih banyak disukai karena
efisien. Dan mengertikah wahai kita, anda dan saya, bahwa freon sangat
membahayakan lingkungan bila terjadi kebocoran? Sadarkah kita?? Sadarkah????”
demikian pekik berlagu si anak SMP juara se-Propivinsi, yang ternyata juga
juara baca deklamasi ini.
Lalu
anak SMA yang biasa-biasa saja bangkit dan berkata, “Dan sekalipun perubahan
iklim ekstrim ini akibat ulah masyarakat modern dan dunia industri, namun
ternyata justru masyarakat adatlah yang paling kena dampaknya. Ya, mereka adalah
komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu
wilayah adat dan memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Kehidupan
sosial budaya mereka diatur oleh hukum dan lembaga adat. Singkatnya, mereka
adalah manusia-manusia bijaksana yang telah ada jauh sebelum agama-agama impor
datang. Mereka hidup dengan cara yang telah dirumus dan turunkan oleh nenek
moyang, dan mereka pelihara serta lestarikan dari generasi ke generasi hingga
masa kini. Jumlah mereka sekitar 30% dari total penduduk Indonesia. Dan
setidaknya 60% di antara mereka masih
tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah
adatnya. Dan
merekalah yang paling kena imbas dari perubahan iklim. Cekidot!
Orang
Iban di Sungai Utik-Kapuas Hulu
mengalami gagal panen akibat tanaman padi mereka mati tanpa alasan yang jelas.
Siklus pertanian Orang Sungai Utik juga terganggu akibat cuaca yang
berubah-ubah. Akibatnya produksi beras mereka menurun drastis lebih dari 60 %.
Masyarakat Kampar di Riau juga mengalami gagal panen akibat hujan yang tidak menentu dan suhu tinggi. Mereka mencoba melakukan
adaptasi dengan menanam bibit tanaman
pangan lokal dan membendung kanal 12 guna mencegah migrasi ikan di sungai
tersebut. Namun pengaruhnya tidak banyak, karena selain kondisi cuaca
yang tidak menentu, aktivitas penebangan hutan di Semenanjung Kampar masih
terus berlanjut dengan dampak kian tipisnya sumber bahan pangan masyarakat. Di
Sumba, masyarakat adat yang tinggal di Kawasan Taman Nasional (TN) Wanggamenti
dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaniru mengalami perubahan musim tanam dan
gagal panen. Juga timbul penyakit tak dikenal yang menyerang manusia, tanaman,
dan hewan akibat perubahan iklim telah menyebabkan hujan tidak menentu,
gelombang laut meningkat, dan angin kencang. Iklim yang tidak menentu membuat masyarakat
adat Tompu di Sulawesi Tengah mengalami kerusakan tanaman pangan dan gagal
panen. Sebagian dari mereka mencoba bertahan dan berusaha mengembangkan bibit
tanaman pangan lokal yang belum bisa dipetik hasilnya. Sebagian lagi beralih
profesi menjadi penambang, buruh tani di
desa lain, pemulung, dan tukang ojek agar dapur tetap ngebul. Dan apakah hal
ini berdampak pada saya secara pribadi? Ya!!! Karena tiap kali naik ojek, saya
selalu tergelitik untuk bertanya, “Apakah anda salah seorang anggota masyarakat
adat Tompu yang jadi korban perubahan iklim?” Tak ada satu tukang ojekpun yang
luput dari cecaran pertanyaan saya, sehingga
lama-lama mereka jadi sebal dan sepakat menjauhi saya. Gara-gara perubahan
iklim, saya tidak bisa naik ojek!!!” anak SMA itu mengepalkan tangannya dengan
wajah geram.
Anak
SMA yang langganan jadi juara kelas menepuk pundaknya dan berkata penuh
simpati, “Ini bukan kiamat, bro, percayalah. Bukankah sekarang tengah gencar
digalakkan REDD dan REDD+?”.
“Apa
itu REDD dan REDD+?” tanya pria paruh baya.
“Ah,
norak lu, gitu aja nggak tau. Itu kan merek lipstick remaja,” kata si wanita
paruh baya.
“Yeee…Bibi
plesetan, deh. Bukan, Bi. REDD atau Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation adalah program PBB dalam rangka mitigasi
atau mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Dengan skema ini
negara-negara industri akan membayar insentif kepada negara-negara pemilik
hutan yang memelihara hutan untuk menyerap karbon. REDD diberlakukan untuk
hutan alam sementara REDD plus (+) untuk reboisasi atau upaya menghutankan
lahan-lahan. Ada 3 hal penting dalam REDD+, yaitu penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan,
pengakuan atas pentingnya peranan konservasi, dan pengayaan simpanan karbon.
Masyarakat adat berperan besar di
sini, karena selain jadi korban pertama perubahan iklim, mereka juga terbukti
yang paling siap menghadapinya. Itu karena masyarakat adat percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam yang
harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara keduanya.
Untuk menjaga armoni antara manusia dan alamnya, maka secara umum mereka telah mengembangkan konsep kepemilikan
(property rights) secara komunal yang sifatnya eksklusif, terutama atas suatu kawasan hutan
adat.
Maka masyarakat adat menciptakan sistem dalam pengelolaan hutan, hukum adat, dan struktur kelembagaan
(pemerintahan) adat untuk membantu mereka memecahkan
berbagai masalah dan mengelola hutan bersama. Hukum adat di sini sangat penting untuk mengamankan sumberdaya di dalam
kawasan hutan adat supaya tidak digunakan secara berlebihan, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar.
Misalnya, di komunitas
Masyarakat adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan
diatur oleh lembaga adat
dan menjadi
tatanan sosial yang sangat dipatuhi oleh masyarakatnya
maupun orang luar yang masuk dalam komunitas mereka. Mereka juga menerapkan
sanksi adat bagi para pelanggar tata kelola serta hukum adat. Karena filosofi
hidup dan peran yang sangat besar terhadap lestarinya alam inilah maka
masyarakat adat sangat dilibatkan oleh REDD+, dengan masyarakat adat Sulawesi sebagai
percontohan.”
“Tunggu dulu, Nak,” sela pria paruh
baya. “Bagaimana kalau masyarakat adat cuma dijadikan kambing congek dalam
proyek REDD+?”
Kali ini anak SMA juara propinsi tampil.
“Jangan sedih, Paman. Masyarakat adat sama sekali tidak potensial untuk dijadikan
kambing congek, karena mereka dan hutan punya hubungan saling menguntungkan. Paling
tidak ada 4 hal di mana masyarakat adat dan hutan saling tergantung:
1. Secara sosial-ekologi, masyarakat
adat dengan arif mengelola dan merawat hutan yang berfungsi sebagai penopang siklus air dan karbon dunia, serta memiliki kemampuan mengatur
iklim planet bumi.
2. Secara sosial-ekonomi, kehidupan Masyarakat Adat sangat bergantung dari sumber daya hutan yang
mereka kelola secara arif dan
berkelanjutan;
3. Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari
kehidupan Masyarakat Adat sebagai tempat ritual adat;
4. Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan
lokal dalam mengelola sumber daya hutan sehingga berfungsi konservasi lokal.
Oh ya, tanpa hutan masyarakat adat
jadi mati gaya, loh. Itu karena tanah dan air
bukan hanya sumber penghidupan, namun juga sumber identitas mereka. Sejarah, budaya, sumber pangan dan obat-obatan, mereka
berasal dari hutan. Jadi memisahkan masyarakat adat dan
hutan sama saja dengan membunuh mereka pelan-pelan. Tahun
2009, di Anchorage, Alaska, diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi global
masyarakat adat. Keputusan dalam pertemuan itu adalah: REDD+ bisa
berjalan terus JIKA didasarkan pada penghargaan PENUH
terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk terhadap peraturan-peraturan dalam
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Artinya,
jika tidak menghormati masyarakat adat, maka REDD+ pun bubar jalan.
Mayarakat adat Sulawesi Tengah juga tidak tinggal diam.
Mereka mengambil posisi dan sikap tegas sebagai berikut:
1. Setiap kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah dan
Swasta yang menyangkut skema REDD+, HARUS mengakui Hak-hak Masyarakat adat atas
tanah, sumber daya hutan, dan pengetahuan lokal mereka.
2. Masyarakat Adat harus dilibatkan secara penuh dan
aktif dalam seluruh
proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan skema REDD+ sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak
Masyarakat Adat.
3. Sosialisasi, penyebaran, dan penyampaian informasi mengenai
setiap project REDD+ yang akan dilakukan pada masyarakat adat di Sulawesi Tengah, harus dilakukan
secara transparan dan merata. Ini dilakukan sebagai jaminan keterlibatan penuh dan hak masyarakat
adat untuk mengambil
keputusan di tingkat komunitas.
Lainnya apa, ya? Kayaknya masih ada
dua, deh. Lupa, hehehe… Nanti aja Paman dan Bibi googling sendiri deh, ya?
Lagian capek ngemeng terus,” kata anak SMA juara Provinsi itu terengah-engah.
Kemudian anak SMP yang biasa-biasa saja
berdiri dan berbisik pada anak SMA yang kecapekan itu,”Adek bantu ya, Kak.
Barusan googling, nih” Lalu ia berdehem dan berkata, “Paman dan Bibi, REDD+
yang didasarkan pada hak-hak atas masyarakat adat juga dapat membantu mereka,
loh. Pertama, REDD bisa
digunakan sebagai
reformasi reformasi
progresif perundang-undangan dan kebijakan tanah, hutan, dan daerah.
Dengan demikian mereka secara
penuh menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas konsultasi yang
layak secara budaya dan persetujuan tanpa paksaan.
Kedua, penyelesaian klaim lahan dan wilayah yang utama bisa dijadikan syarat
utama untuk tiap proyek REDD. Ketiga, REDD bisa dijadikan cara alternatif untuk mendapatkan dana, pengakuan, dan dukungan untuk wilayah konservasi
masyarakat atau hutan konservasi masyarakat. REDD
juga bisa dijadikan sarana promosi, dengan cara mengakui bahwa masyarakat adat
selalu menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan saat mereka memanfaatkan
hutan. Demikian penjelasan saya, Paman dan Bibi.”
Paman dan Bibi bertepuk tangan
riuh-rendah.
“Wow, anak-anak, Paman tidak
menyangka kalian sehebat ini! Kiranya Paman tidak perlu bertanya yang lain-lain
lagi. Yang tadi aja sudah lebih dari cukup buat bukti kehebatan kalian.”
“Benar, Bibi jadi malu karena telah
menuduh anak jaman sekarang enak-enakan dan enggak bermutu.”
“Tapi Paman jadi penasaran, nih, apa
semua hal itu juga diajarkan di sekolah?”
“Tidaaaaak….,” jawab anak-anak itu,
mulai dari yang SD sampai SMA, serempak.
“Terus kalian dapat dari mana semua
informasi itu?”
“Kan ada Uncle Google.”
“Oh, iya, ya. Paman jadi malu, hehehehe…”
“Kami semua melek teknologi, Paman
dan Bibi. Dan nggak selamanya internet itu berakibat buruk buat anak-anak.”
“Iya, bahkan gara-gara sering search
tentang perubahan iklim, saya sekarang nggak tertarik gonta-ganti hape. Kan
sampah hape juga merusak lingkungan, gitu loh.”
“Kalau saya malah sudah males
nongkrong di restoran fast food. Ikut andil dalam pencemaran lingkungan? Ih,
nggak gaul!”
“Jadi lo sekarang ke mana-mana bawa
tempe gembus goreng, dong?”
“Nggak segitunya, kali. Gua kalo
jalan selalu bawa tempe mendoan, tau!”
“Eh, Paman dan Bibi, saya juga udah
bilang sama Mama supaya nggak usah ngikutin mode lagi. Nggak ngikutin trend
Mama juga udah cantik, kok, Ma, gitu yang saya bilang pada Mama. Padahal
enggak, sih, hihihi… Biarin, deh, yang penting Mama percaya.”
“Pokoknya sekarang Paman dan Bibi
udah ngerti, kan, bahwa hapalan sekolah bukan tolok ukur kecerdasan seorang
murid?”
“Iya, iya, Paman ngaku salah, deh.”
“Bibi juga. Bahkan Bibi nggak mau
kalah sama kalian. Bibi akan menjadi warga bumi yang baik dan berusaha
melestarikan bumi dalam hal-hal kecil sehari-hari.”
“Paman ikutan, ah. Malu sama
masyarakat adat yang jauh lebih pintar daripada Paman. Padahal Paman ambil S2
jauh-jauh di Inggris.”
“Nah, sebagai hadiah karena kalian
sudah membantu menyadarkan Paman dan Bibi, kami akan menraktir kalian makan
combro sepuasnya!!!”
“Yaaah… Masak combro, sih?”
“Kan penganan tradisional, ramah
lingkungan.”
“Horeee!!!!”
Lepas dari tokoh-tokoh imajiner yang
lebay di atas, fakta tentang perubahan iklim dan berbagai dampaknya adalah
nyata. Senyata keberadaan masyarakat adat sebagai korban dalam dunia yang kian
menurun kualitasnya dan pemegang peran yang besar dalam memerbaikinya. Mereka tidak
mengenal fashion, trend, life style, dan hal-hal lain macam itu. Yang mereka
tahu adalah hidup harmonis dengan alam; memakai secukupnya dan merawat
sebaik-baiknya. Mereka cerdas luar biasa. Saya sama sekali bukan apa-apa dibandingkan
dengan mereka. Dan saya telah menobatkan mereka sebagai guru alami saya. Semoga
anda juga (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar