Minggu, 14 April 2013

Belajar Dari Masyarakat Adat


(Tulisan ini meraih posisi ke-3 dalam lomba menulis dengan tema 'Masyarakat Adat' oleh The Samdhana Institute. Terima kasih atas dukungannya, Tuhan memberkati....)


Tersebutlah sepasang sahabat, lelaki dan perempuan berusia sekitar 40-an, yang bertemu kembali setelah 20 tahun berpisah. Mereka mengenang masa-masa indah di sekolah dan akhirnya merasa iri pada anak-anak sekolah jaman sekarang. Anak SMA jaman sekarang bebas dari hapalan nama propinsi dan gubernurnya karena trend pemekaran daerah. Selain itu,  kemungkinan besar banyak gubernur yang dicopot sebelum habis masa jabatan karena ketahuan korupsi. Anak SMP jaman sekarang tidak disuruh menghapal nama-nama menteri, karena sususan kabinet sering diganti. Jaman SD dulu dalam pelajaran IPA mereka disuruh menghapal begini: musim kemarau berlangsung pada bulan Maret-Agustus, sedangkan musim hujan berlangsung pada bulan September-Februari. Mulai kira-kira periode 2000-an, anak-anak SD sudah terbebas dari hapalan tersebut. Bagaimana mau dihapal, sedangkan pertengahan April saja hujan lebat masih sering mengguyur berhari-hari dan banjir kita temui di sana-sini?

Di tengah rasa iri yang memuncak, mereka akhirnya mengumpulkan sejumlah anak SD, SMP, dan SMA. Rencananya mereka hendak melontarkan beberapa pertanyaan untuk mengetahui seberapa enak dan tidak berkualitasnya anak sekolah jaman sekarang, karena materi hapalan sudah jauh berkurang. Pertanyaan pertama adalah yang paling ringan, yakni perkiraan musim hujan dan kemarau di Indonesia. Anak SD yang biasa-biasa saja menjawab, “Tidak ada yang bisa menebak, karena iklim sudah berubah.”

Dua sahabat yang aneh tersebut ber-toast, senang karena dugaan mereka benar. Ternyata anak SD yang satunya lagi langganan jadi juara kelas, sehingga ia menambahinya dengan definisi yang lengkap, yakni: ”Perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan pembangunan yang dampak negatif akumulasi gas rumah kaca (GRK) yang timbul akibat proses produksi dan konsumsi. Misalnya, pembabatan hutan untuk peternakan massal bagi industri rumah makan cepat saji dan industri kertas, penggunaan bahan-bahan yang mengandung CFC, berbagai polutan seperti asap cerobong pabrik, knalpot, pembakaran sampah, dan sebagainya.”

Anak SD sisanya, yang ternyata juara teladan se-Provinsi, menambahkan, “Pemanasan global sebagai bagian dari perubahan iklim adalah meningkatnya suhu pada bumi yang dampaknya sangat relevan terhadap kehidupan. Kenaikan suhu bumi sebesar satu derajat celcius saja akan berpengaruh langsung pada perubahan musim, arah angin, gelombang laut, mencairnya es di kutub bumi, serta perubahan pola kehidupan berbagai makhluk hidup, tumbuhan, dan hewan.

Dan sebagai gebrakan terakhir bagi para penanya yang sedang ternganga, juara teladan SD se-Provinsi itu menutup uraiannya dengan,”Kandungan gas karbon di udara yang kian berlipat ganda juga akan membuat pertumbuhan hutan alami di bumi pada suatu saat akan berhenti sama sekali. Pada musim hujan akan terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan banjir di mana-mana dan akan timbul berbagai penyakit. Restorasi pasca banjir butuh dana besar dan bisa menyebabkan perekonomian terganggu.  Sebaliknya musim kemarau akan lebih panjang dan pada titik paling ekstrim akan terjadi perang memerebutkan sumber-sumber air. Naiknya suhu udara juga  menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek dan berkembang biak lebih cepat, sehingga muncul berbagai penyakit. Penyebaran penyakit ini khususnya di daerah tropis, seperti demam berdarah, diare, malaria dan leptospirosis karena bertambahnya populasi serangga sebagai vektor penyakit. Namun tak perlu merasa sendirian, karena gelombang panas yang melanda Eropa tahun 2005 telah meningkatkan angka ‘heat stroke’ atau serangan panas kuat yang mematikan, infeksi salmonela, dan ‘hay fever’ atau demam akibat alergi rumput kering. Inilah sekelumit akibat dari perubahan cuaca ekstrim. Sekian dan terima kasih.”

Dua insan paruh baya itu meneguk meneguk ludah dan bertanya pelan, “Lalu siapa yang bertanggung jawab atas perubahan iklim ekstrim ini?”. Si anak SMP yang biasa-biasa saja dan sering pinjam catatan teman menjawab singkat, “Kita semua, Paman dan Bibi.” Melihat raut wajah Paman dan Bibi yang tak puas, anak SMP satunya, yang langganan juara kelas menambahkan, “Terutama dunia industri yang banyak mengorbankan hutan baik untuk lokasi maupun materi industri mereka. Belum terhitung polutan dalam berbagai bentuk yang mereka timbulkan. Contohnya, industri peternakan masif yang telah mengorbankan banyak sekali luasan hutan hujan. Kotoran sapi juga menghasilkan gas metana yang berdampak krusial pada kian rusaknya lapisan ozon. Tapi sapi-sapi itu tidak bersalah! Tahu apa mereka selain mengunyah dan melenguh sambil sesekali mengibaskan ekor? Mereka dikembang biakkan secara intensif karena pola makan dan konsumsi manusia. Kita, manusia modern yang mudah dikelabui oleh iklan ini, percaya saja bahwa mengonsumsi junk food adalah hal yang keren. Kita membeli junk food karena itu adalah gaya hidup manusia modern. Ulang tahun anak dirayakan di restoran cepat saji sebagai simbol kesuksesan orang tua. Para remaja hang out sambil menenteng junk food biar dibilang gaul. Cuma remaja katrok yang jalan sambil bawa-bawa gorengan tempe gembus. Maka mulai dari Mama, Papa, kakak sampe adek, semua pada rebutan beli junk food.”

Anak SMP juara se-Provinsi tak mau kalah “Dan camkan!” ia berseru lantang. “Itu baru junk food. Sadarlah wahai kita semua, perilaku kita sehari-hari juga berpengaruh pada perubahan iklim. Kita malu atau males naik sepeda. Di kota-kota besar, banyak keluarga yang punya lebih dari 2 buah mobil.  Bukannya mengatur waktu supaya bisa pergi barengan, tiap anggota keluarga malah pergi sendiri-sendiri dengan mobil masing-masing. Kalikan saja berapa keluarga dalam satu kota. Kalikan satu propinsi. Kalikan satu negara. Kalikan seluruh bumi!!!” gelegarnya, mengambil napas cepat-cepat dan buru-buru menambahkan, “Belum lagi kebiasaan membakar sampah yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Rumah-rumah kebanyakan seluruh kaplingnya disemen. Pohon semakin berkurang dan kita jadi semakin tergantung pada pendingin udara. Oh, apakah kita tak menyadari, bahwa semakin banyak AC semakin panas pula suhu secara kolektif? Tidakkah kita mengerti, bahwa media pendingin AC saat ini masih dominan memakai zat freon? Dan freon model lama yang kurang ramah lingkungan masih banyak disukai karena efisien. Dan mengertikah wahai kita, anda dan saya, bahwa freon sangat membahayakan lingkungan bila terjadi kebocoran? Sadarkah kita?? Sadarkah????” demikian pekik berlagu si anak SMP juara se-Propivinsi, yang ternyata juga juara baca deklamasi ini.

Lalu anak SMA yang biasa-biasa saja bangkit dan berkata, “Dan sekalipun perubahan iklim ekstrim ini akibat ulah masyarakat modern dan dunia industri, namun ternyata justru masyarakat adatlah yang paling kena dampaknya. Ya, mereka adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat dan memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam. Kehidupan sosial budaya mereka diatur oleh hukum dan lembaga adat. Singkatnya, mereka adalah manusia-manusia bijaksana yang telah ada jauh sebelum agama-agama impor datang. Mereka hidup dengan cara yang telah dirumus dan turunkan oleh nenek moyang, dan mereka pelihara serta lestarikan dari generasi ke generasi hingga masa kini. Jumlah mereka sekitar 30% dari total penduduk Indonesia. Dan setidaknya 60% di antara mereka masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya.  Dan merekalah yang paling kena imbas dari perubahan iklim. Cekidot!
Orang Iban  di Sungai Utik-Kapuas Hulu mengalami gagal panen akibat tanaman padi mereka mati tanpa alasan yang jelas. Siklus pertanian Orang Sungai Utik juga terganggu akibat cuaca yang berubah-ubah. Akibatnya produksi beras mereka menurun drastis lebih dari 60 %. Masyarakat Kampar di Riau juga mengalami gagal panen  akibat hujan yang tidak menentu dan suhu  tinggi. Mereka mencoba melakukan adaptasi  dengan menanam bibit tanaman pangan lokal dan membendung kanal 12 guna mencegah migrasi ikan di sungai tersebut.  Namun pengaruhnya tidak banyak, karena selain kondisi cuaca yang tidak menentu, aktivitas penebangan hutan di Semenanjung Kampar masih terus berlanjut dengan dampak kian tipisnya sumber bahan pangan masyarakat. Di Sumba, masyarakat adat yang tinggal di Kawasan Taman Nasional (TN) Wanggamenti dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaniru mengalami perubahan musim tanam dan gagal panen. Juga timbul penyakit tak dikenal yang menyerang manusia, tanaman, dan hewan akibat perubahan iklim telah menyebabkan hujan tidak menentu, gelombang laut meningkat, dan angin kencang. Iklim yang tidak menentu membuat masyarakat adat Tompu di Sulawesi Tengah mengalami kerusakan tanaman pangan dan gagal panen. Sebagian dari mereka mencoba bertahan dan berusaha mengembangkan bibit tanaman pangan lokal yang belum bisa dipetik hasilnya. Sebagian lagi beralih profesi menjadi penambang,  buruh tani di desa lain, pemulung, dan tukang ojek agar dapur tetap ngebul. Dan apakah hal ini berdampak pada saya secara pribadi? Ya!!! Karena tiap kali naik ojek, saya selalu tergelitik untuk bertanya, “Apakah anda salah seorang anggota masyarakat adat Tompu yang jadi korban perubahan iklim?” Tak ada satu tukang ojekpun yang luput dari cecaran pertanyaan saya,  sehingga lama-lama mereka jadi sebal dan sepakat menjauhi saya. Gara-gara perubahan iklim, saya tidak bisa naik ojek!!!” anak SMA itu mengepalkan tangannya dengan wajah geram.

Anak SMA yang langganan jadi juara kelas menepuk pundaknya dan berkata penuh simpati, “Ini bukan kiamat, bro, percayalah. Bukankah sekarang tengah gencar digalakkan REDD dan REDD+?”.
“Apa itu REDD dan REDD+?” tanya pria paruh baya.
“Ah, norak lu, gitu aja nggak tau. Itu kan merek lipstick remaja,” kata si wanita paruh baya.
“Yeee…Bibi plesetan, deh. Bukan, Bi. REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation adalah program PBB dalam rangka mitigasi atau mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Dengan skema ini negara-negara industri akan membayar insentif kepada negara-negara pemilik hutan yang memelihara hutan untuk menyerap karbon. REDD diberlakukan untuk hutan alam sementara REDD plus (+) untuk reboisasi atau upaya menghutankan lahan-lahan. Ada 3 hal penting dalam REDD+, yaitu penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan, pengakuan atas pentingnya peranan konservasi, dan pengayaan simpanan karbon.

Masyarakat adat berperan besar di sini, karena selain jadi korban pertama perubahan iklim, mereka juga terbukti yang paling siap menghadapinya. Itu karena masyarakat adat percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara keduanya.  Untuk menjaga armoni antara manusia dan alamnya, maka secara umum mereka telah mengembangkan konsep kepemilikan (property rights) secara komunal yang sifatnya eksklusif, terutama atas suatu kawasan hutan adat.

Maka masyarakat adat menciptakan sistem dalam pengelolaan hutan, hukum adat, dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat untuk membantu mereka memecahkan berbagai masalah dan mengelola hutan bersama.  Hukum adat di sini sangat penting untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat supaya tidak digunakan secara berlebihan, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar. Misalnya, di komunitas Masyarakat adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan diatur oleh lembaga adat dan menjadi tatanan sosial yang sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dalam komunitas mereka. Mereka juga menerapkan sanksi adat bagi para pelanggar tata kelola serta hukum adat. Karena filosofi hidup dan peran yang sangat besar terhadap lestarinya alam inilah maka masyarakat adat sangat dilibatkan oleh REDD+, dengan masyarakat adat Sulawesi sebagai percontohan.”

“Tunggu dulu, Nak,” sela pria paruh baya. “Bagaimana kalau masyarakat adat cuma dijadikan kambing congek dalam proyek REDD+?”

Kali ini anak SMA juara propinsi tampil. “Jangan sedih, Paman. Masyarakat adat sama sekali tidak potensial untuk dijadikan kambing congek, karena mereka dan hutan punya hubungan saling menguntungkan. Paling tidak ada 4 hal di mana masyarakat adat dan hutan saling tergantung:
1. Secara sosial-ekologi, masyarakat adat dengan arif mengelola dan merawat hutan yang berfungsi sebagai penopang siklus air dan karbon dunia, serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi.
2. Secara sosial-ekonomi, kehidupan Masyarakat Adat sangat bergantung dari sumber daya hutan yang mereka kelola secara arif dan berkelanjutan;
3. Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat sebagai tempat ritual adat;
4. Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya hutan sehingga berfungsi konservasi lokal.

Oh ya, tanpa hutan masyarakat adat jadi mati gaya, loh. Itu karena tanah dan air bukan hanya sumber penghidupan, namun juga sumber identitas mereka. Sejarah, budaya, sumber pangan dan obat-obatan, mereka berasal dari hutan. Jadi memisahkan masyarakat adat dan hutan sama saja dengan membunuh mereka pelan-pelan. Tahun 2009, di Anchorage, Alaska, diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi global masyarakat adat. Keputusan dalam pertemuan itu adalah: REDD+ bisa berjalan terus JIKA didasarkan pada penghargaan PENUH terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk terhadap peraturan-peraturan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Artinya, jika tidak menghormati masyarakat adat, maka REDD+ pun bubar jalan.
Mayarakat adat Sulawesi Tengah juga tidak tinggal diam. Mereka mengambil posisi dan sikap tegas sebagai berikut:
1. Setiap kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah dan Swasta yang menyangkut skema REDD+, HARUS mengakui Hak-hak Masyarakat adat atas tanah, sumber daya hutan, dan pengetahuan lokal mereka.
2. Masyarakat Adat harus dilibatkan secara penuh dan aktif dalam seluruh proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan skema REDD+ sesuai dengan prinsip-prinsip dan hak Masyarakat Adat.
3. Sosialisasi, penyebaran, dan penyampaian informasi mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan pada masyarakat adat di Sulawesi Tengah, harus dilakukan secara transparan dan merata. Ini dilakukan sebagai jaminan keterlibatan penuh dan hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas.
Lainnya apa, ya? Kayaknya masih ada dua, deh. Lupa, hehehe… Nanti aja Paman dan Bibi googling sendiri deh, ya? Lagian capek ngemeng terus,” kata anak SMA juara Provinsi itu terengah-engah.

Kemudian anak SMP yang biasa-biasa saja berdiri dan berbisik pada anak SMA yang kecapekan itu,”Adek bantu ya, Kak. Barusan googling, nih” Lalu ia berdehem dan berkata, “Paman dan Bibi, REDD+ yang didasarkan pada hak-hak atas masyarakat adat juga dapat membantu mereka, loh. Pertama, REDD bisa digunakan sebagai reformasi reformasi progresif perundang-undangan dan kebijakan tanah, hutan, dan daerah. Dengan demikian mereka secara penuh menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas konsultasi yang layak secara budaya dan persetujuan tanpa paksaan. Kedua, penyelesaian klaim lahan dan wilayah yang utama bisa dijadikan syarat utama untuk tiap proyek REDD. Ketiga, REDD bisa dijadikan cara alternatif untuk mendapatkan dana, pengakuan, dan dukungan untuk wilayah konservasi masyarakat atau hutan konservasi masyarakat. REDD juga bisa dijadikan sarana promosi, dengan cara mengakui bahwa masyarakat adat selalu menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan saat mereka memanfaatkan hutan. Demikian penjelasan saya, Paman dan Bibi.”

Paman dan Bibi bertepuk tangan riuh-rendah.
“Wow, anak-anak, Paman tidak menyangka kalian sehebat ini! Kiranya Paman tidak perlu bertanya yang lain-lain lagi. Yang tadi aja sudah lebih dari cukup buat bukti kehebatan kalian.”
“Benar, Bibi jadi malu karena telah menuduh anak jaman sekarang enak-enakan dan enggak bermutu.”
“Tapi Paman jadi penasaran, nih, apa semua hal itu juga diajarkan di sekolah?”
“Tidaaaaak….,” jawab anak-anak itu, mulai dari yang SD sampai SMA, serempak.
“Terus kalian dapat dari mana semua informasi itu?”
“Kan ada Uncle Google.”
“Oh, iya, ya. Paman jadi malu, hehehehe…”
“Kami semua melek teknologi, Paman dan Bibi. Dan nggak selamanya internet itu berakibat buruk buat anak-anak.”
“Iya, bahkan gara-gara sering search tentang perubahan iklim, saya sekarang nggak tertarik gonta-ganti hape. Kan sampah hape juga merusak lingkungan, gitu loh.”
“Kalau saya malah sudah males nongkrong di restoran fast food. Ikut andil dalam pencemaran lingkungan? Ih, nggak gaul!”
“Jadi lo sekarang ke mana-mana bawa tempe gembus goreng, dong?”
“Nggak segitunya, kali. Gua kalo jalan selalu bawa tempe mendoan, tau!”
“Eh, Paman dan Bibi, saya juga udah bilang sama Mama supaya nggak usah ngikutin mode lagi. Nggak ngikutin trend Mama juga udah cantik, kok, Ma, gitu yang saya bilang pada Mama. Padahal enggak, sih, hihihi… Biarin, deh, yang penting Mama percaya.”
“Pokoknya sekarang Paman dan Bibi udah ngerti, kan, bahwa hapalan sekolah bukan tolok ukur kecerdasan seorang murid?”
“Iya, iya, Paman ngaku salah, deh.”
“Bibi juga. Bahkan Bibi nggak mau kalah sama kalian. Bibi akan menjadi warga bumi yang baik dan berusaha melestarikan bumi dalam hal-hal kecil sehari-hari.”
“Paman ikutan, ah. Malu sama masyarakat adat yang jauh lebih pintar daripada Paman. Padahal Paman ambil S2 jauh-jauh di Inggris.”
“Nah, sebagai hadiah karena kalian sudah membantu menyadarkan Paman dan Bibi, kami akan menraktir kalian makan combro sepuasnya!!!”
“Yaaah… Masak combro, sih?”
“Kan penganan tradisional, ramah lingkungan.”
“Horeee!!!!”

Lepas dari tokoh-tokoh imajiner yang lebay di atas, fakta tentang perubahan iklim dan berbagai dampaknya adalah nyata. Senyata keberadaan masyarakat adat sebagai korban dalam dunia yang kian menurun kualitasnya dan pemegang peran yang besar dalam memerbaikinya. Mereka tidak mengenal fashion, trend, life style, dan hal-hal lain macam itu. Yang mereka tahu adalah hidup harmonis dengan alam; memakai secukupnya dan merawat sebaik-baiknya. Mereka cerdas luar biasa. Saya sama sekali bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka. Dan saya telah menobatkan mereka sebagai guru alami saya. Semoga anda juga (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar