Ibu, adalah tempat sampah. Tiap
kali suami dan anak-anaknya menyisakan makanan di piring, ia yang menghabiskan,
sekalipun makanan itu tidak dibeli dengan uangnya sendiri. Dan jika tubuhnya
jadi melembung hingga suaminya berpaling ke perempuan yang lebih langsing,
iapun sekali lagi menjadi tempat bagi sampah kata-kata, “Suamimu selingkuh
karena kamu gembrot.”
Ibu, adalah satu-satunya jenis
manusia yang sanggup meletakkan piring makanan yang tengah dinikmatinya,
menceboki anaknya, dan setelah selesai kembali menyantap makanannya seakan-akan
tidak pernah terjadi apa-apa.
Ibu, adalah ia yang belum makan
dari pagi dan bisa berkata dengan nada sangat wajar, “Makan saja, Ibu sudah
kenyang,” pada anak-anaknya di waktu-waktu makanan terbatas.
Ibu, adalah ia yang paling
terluput dari perhatian orang-orang di sekelilingnya saat anak-anaknya tumbuh
manis, sehat, sopan, dan berprestrasi. Ia, sebaliknya, adalah orang yang
pertama kali dihakimi untuk setiap luka, kekurangan atau kenakalan
anak-anaknya.
Ibu, adalah ia yang terjaga
semalam suntuk sampai selama yang diperlukan saat anaknya tergeletak di rumah
sakit, dan obat penawar lelah yang ia dapat adalah ucapan, “Ini semua karena
kamu tidak becus jadi ibu.”
Ibu, adalah ia yang tetap berdiri
tegak di samping suami penjudi, pemabuk, tidak menafkahi, dan tukang main
perempuan. “Ceraikan saja suamimu,” demikian kata mereka yang mengaku peduli
padanya. Ia menjawab, “Kasihan anak-anakku,” sambil sedaya upaya menyembunyikan
air mata. Lalu mereka yang tak mampu melihat air mata ini menghardik, ”Kamu
memang perempuan tolol!”
Makhluk yang disebut ibu pula,
adalah ia yang tetap mau mendoakan suami yang meninggalkannya dan anak-anaknya.
Biasanya ia punya alasan sederhana, “Doa seorang istri besar kuasanya. Dan
kalau suamiku bertobat, pasti anak-anakku bahagia.” Ia menelan semua kepahitan
demi anak-anaknya.
Ibu, adalah ia yang menelan semua
rasa pahit demi anak-anaknya dan ketika mereka bertanya, “Mama kok sedih?
Kenapa?”, dengan wajah mendadak gembira ia berkata, “Mama tidak apa-apa. Kamu
tenang-tenang saja.”
Ibu, adalah sejenis mahluk yang
isi hati dan jalan pikirannya tak bisa diselami. Biasanya itu karena ia bersedia membuat dusta apa saja untuk
menenangkan hati anak-anaknya. Atau bertahan dalam situasi sesulit apapun demi mereka.
Atau menanggung semua derita atas pengkhianatan atas nama ‘kebahagiaan
anak-anak’. Itu adalah hal-hal yang membuat seorang ibu tidak jelas alur
logikanya.
Ibu, adalah ia yang selalu berdoa
untuk anak-anaknya, betapapun mereka mengecewakan hatinya. Ia adalah mahluk
yang memberikan separuh nyawa untuk anaknya, menanggung lelah dalam merawat
mereka, menerima semua penghakiman untuk setiap kekurangan anaknya, dan ketika
anak lelakinya menjadi milik perempuan lain, ia berada dalam posisi rawan untuk
dibentak, “Jangan campuri urusan rumah tanggaku, Ma!”.
Ibu, adalah ia yang meletakkan
sebelah kakinya ke liang kubur saat mengeluarkan anak-anaknya dari rahimnya. Dan
ketika si jabang bayi keluar dengan selamat, semua orang sibuk memuji-muji dan
mengagumi si bayi. Terlalu sibuk, sehingga tak seorangpun, termasuk suaminya,
terpikir untuk berkata, “Terima kasih sudah menyabung nyawa untuk anakku.” Pula
mertuanya, berterima kasih karena telah mempertaruhkan nyawa untuk kelahiran
cucu mereka.
Namun ibu, tak peduli bagaimana
mereka mengabaikan` bahkan menghakimimu, ada satu Sosok yang terus-menerus
mencatat apa yang kau lakukan bagi anak-anakmu. Ia-lah yang duduk di singgasana-Nya,
yang menghitung dengan cermat setiap pengorbananmu.
Untuk setiap orang yang tidak menghargai ibu, apakah
ibunya sendiri atau tidak, kiranya Tuhan memperhitungkan balasannya. Untuk setiap orang yang
menghargai ibu, baik ibunya sendiri atau bukan, kiranya Tuhan menyediakan
upahnya.
Ibu, Tuhan memberkatimu!
*Tulisan ini secara khusus
kudedikasikan bagi pahlawan kehidupan yang terbaru, Reni Anggraeni, yang pada
hari Rabu Pon 19 Desember 2012 telah melahirkan Shiraj Bhuana Paksi Estuaji
yang begitu sehat dan tampan, bagi Nabiel Handaru Wibisana, anak laki-lakiku. Terima
kasih telah menyabung nyawa demi jiwa cucuku, penerus keturunanku. Dan semoga
suamimu terus mengingat perjuangan dan keberanianmu pada hari itu, saat ia
terpikir untuk menyakitimu. Anak mantuku, Tuhan memberkatimu……
nyanda tahu kalau Non Maya so pung anak so besar! hahaha pasti saya dicaci maki sama orang Manado kalau nulis begini. secara tatanan pasti salah banyak, tapi Non Maya seng omahe nang Manado pastine ngartos :p
BalasHapusselamat! wilujeng, kalau kata Urang Sunda...hihihi.
Sosok seorang ibu juga punya arti khusus di hidup saya. walaupun kadang suka marah, suka ngomel berkepanjangan, suka ngegosip hihihi...tapi beliau ini sosok yang kuat dan tak pernah mengeluh dalam hidupnya. dia baru benaqr-benar mengeluh kalau semua sudah nggak bisa ditangani sendiri, itu pun sudah pada detik detik terakhir. beliau adalah idola saya, walaupun saya kadang juag suka error dengan ngga bertindak hormat sama beliau. Terpujilah engkau di antara para wanita, Ma :)
Teurimong Geumnaseh = terima kasih, kata orang Banda Aceh :p
Kalau orang Menado mencaci-maki, maka saya mengumpat-umpat:). Yang betul:"Kita nintau kalo Non Maya pe anak so basar no".Hihihi... Jadi sekarang Lomie punya pilihan, memanggil saya Mbak Maya atau Mbah Maya, wkwkwkwk.... Plus, wilujeng juga selamat kata Wong Jawa:).
BalasHapusIbu Lomie tak sendirian dalam urusan ngomel berkepanjangan, hal-hal yang tersebut di atas adalah penyakit khas yang biasa diderita perempuan begitu menjadi ibu (biasanya ibu-ibu yang sudah insyaf -termasuk saya- akan berjuang sedaya upaya untuk menahan diri supaya tak ngomel. Tapi saat akumulasi itu meledak, maka yang ada bagaikan 'membuka kotak pandora'. Hahaha... sebelas dua belas deh kayaknya:)).
Eh, pernah nggak, Ibunda Lomie kalau udah kesel banget sama kelakuan anaknya terus bilang gini, "Ambil pisau, nak. Bunuh aja Mama sekalian"? Saya dulu suka gitu, terus anak laki-laki saya langsung insyaf. Semakin dia dewasa, pendekatan itu kian tak mempan, wkwkwkwk.....
Insyaf aja, deh, Lomie. Sesebel apapun sama Mama (yang biasanya memang suka ngeselin dan marah tanpa alasan jelas), hal yang paling menusuk kami adalah ketika anak-anak bersikap tidak hormat. Rasanya lebih pedih daripada hukum picis, padahal merasakan hukum picis saja saya tak pernah:).
Tuhan memberkati Ibunyda Lomie, Tuhan memberkati Lomie (dengan catatan kalau sudah insyap:)).
Ya ALLAH May....Mewek aq bacanya, tiap selesai 1 baris kalimat, berat banget baca baris berikutnya T___T serasa dejavu ke beberapa tahun lalu... tiba2 keinget juga moment kapan hari wktu tengah malam qt ber2 chatting di fb curhat2an..Hiks *NangisDiPojokan*
BalasHapusMasih mending kamu nangis di pojokan, Lis. Aku malah nangisnya di pengkolan jalan:). Memang, waktu menulis ini air mataku terperas kian deras tiap-tiap baris. Tidak jelas juga, apakah aku bersimpati pada ibu-ibu yang lain atau bersimpati pada diriku sendiri:).
BalasHapusBtw, apa hubungannya kok sampai inget torang pe curhat-curhatan tu hari tu dia? Kalau tak salah ingat, waktu itu torang bongkar samua tong pe paitua pe busuk dan aib. Hahaha...kasian deh dorang:).