Rabu, 28 Desember 2011

'Apalah Arti Sebuah Nama'? Ah, Masa Iya?

Kabotan jeneng.
Pernah dengar? Kalau anda orang Jawa maka kemungkinan besar sudah. Kalau bukan dan atau belum, mari saya jelaskan: kabotan jeneng dalam terjemahan bebasnya adalah nama yang terlalu berat untuk disandang. Misalnya nama anda adalah Nabiel Handaru Wibisana, yang secara harafiah artinya: laki-laki cerdas mulia yang merupakan anugerah besar dan merupakan sosok pembela kebenaran dan keadilan. WOW. Jadi kalau anda punya nama ‘seberat’ ini dan ternyata perilaku anda jauh panggang dari api, maka wajarlah jika anda kemudian akan menerima banyak ejekan. “Kabotan jeneng. Nggak kuat mikul nama. Kalau jalan pasti sering jatuh.” Anda bisa menangkal ini dengan ruwatan a la Jawa. Atau minimal tangkisan, “Ah, nggak juga. Cuma kesandung-sandung. Paling banter jempol kakiku pada jepat.”
Nama bagi sebagian besar orang Indonesia adalah urusan sensi. Logika Shakespeare jelas tak masuk hitungan. Sebab bagi sebagian besar orang tua di Indonesia, nama bagi anak-anak mereka bukan hanya sekedar representasi kelas, namun juga mengandung harapan keluarga akan jadi apa si anak kelak. Contoh kasus menyedihkan sekaligus menggelikan mengenai nama adalah anak seorang tetangga kerabat saya di desa.
Alkisah, si pria tetangga tersebut adalah penggemar berat mantan anggota timnas sepakbola RI Ricky Yakobi, yang waktu kejadian ini sedang kondang-kondangnya. Maka kita bisa dengan mudah menebak apa yang dilakukan si pria tersebut ketika istrinya pada suatu hari melahirkan jabang bayi berjenis kelamin laki-laki. Malangnya, pria tersebut berasal dari keluarga yang dari generasi ke generasi hidup di bawah apa yang oleh pemerintah disebut garis kemiskinan. Maka menurut keawajaran orang Jawa ia mendapat terguran baik secara halus maupun terang-terangan dari kerabat dan handai taulan. Orang melarat kok aneh-aneh, aeng-aeng. Beri saja nama yang membumi, sebab burung yang tak punya sayap pastilah sering jatuh.
Namun tokoh kita ini, ayah si orok Ricky Yakob, tegar tengkuk. Dan boleh percaya boleh tidak, Ricky Yakob anak orang melarat tersebut tumbuh dengan duka nestapa silih berganti. Terguling dari kasur dengan kuantitas melebihi ambang batas, beberapa kali nyaris tercebur sumur, kesandung, benjol melebihi takaran, bisulan dengan kuantitas melebihi butir-butir pasir di laut, sakit-sakitan baik demam, diare, dll, tersiram kuah panas –sebutkan apa saja, niscaya si kecil Ricky nan malang telah mengalaminya. Tak urung ayah Ricky-pun mulai berpikir dan merenung, lalu sampai pada keputusan: menggelar selamatan untuk mengganti nama si anak. Ricky Yakob berganti menjadi Bejo Selamet (Beruntung dan Selamat) dan….voila!!!! Segala pilu lara yang senantiasa merundung pada tahun-tahun awal kehidupannya menguap begitu saja tanpa alasan logis.
Nama memang bukan hanya berurusan dengan keberuntungan dan keselamatan, namun juga perilaku serta amal sholeh seseorang. Jika anda orang Jawa punya nama indah dan mulia tapi berahlak rendah, itu bisa jadi karena anda sebagai pribadi tak kuat menyandang nama anda. Dengan demikian anda perlu melakukan perubahan besar-besaran dengan cara merombak total kelakukan anda. Atau kalau tak mau repot, ganti saja nama yang lebih sesuatu dengan derajat kelakuan anda sebagai mahluk fana.
Demikian sebaliknya, dalam kehidupan nyata banyak insan –tak peduli dari suku apa- setelah menyadari betapa luhur nama mereka, kemudian hidup sesuai dengan patron yang telah ditetapkan oleh namanya. Sebab nama adalah doa, demikian kata Lomar Dasika, seorang pecinta Indonesia pemilik blog Indahnesia yang mempesona. Dan Indonesia adalah negerinya nama indah. Di atas segalanya, dalam nama-nama indah tersebut ada doa orang tua atau siapapun yang menyematkan nama-nama tersebut bagi kita. Maka alangkah indahnya jika seseorang bernama Widya, misalnya, mengejewantahkan namanya dalam sosok yang berpengetahuan dan senantiasa ikhlas membagi pengetahuan tersebut pada sesama. Atau seseorang yang bernama Prasoja, benar-benar menjalani hidup sesuai namanya, yakni dengan menjadi sesseorang yang apa adanya. Seorang yang apa adanya tentu akan mensyukuri segala nikmat yang ia dapatkan dari Allah, dan dari itu ia tidak akan silau dengan godaan duniawi apapun, yang untuk meraihnya bisa saja menjerumuskan ia dalam perilaku korupsi, misalnya. Itu baru nama sederhana, padahal di Indonesia banyak sekali manusia penyandang nama para tokoh agama yang mereka anut. Muhammad, Wisnu, Henokh, Maria, Siti, dan lain-lain, bukankah nama yang umum kita dengar atau jangan-jangan malah kita sandang?
Tidakkah masing-masing dari kita yang beragama dan ber-Tuhan, bahkan menyandang nama-nama besar tersebut punya kewajiban moral untuk menjunjung kehormatan tokoh-tokoh yang telah meminjamkan kemuliaan nama mereka pada kita? Dan tidakkah siapapun yang mengemban keindahan nama-nama tersebut musti menegakkan kebenaran dan kemuliaan dalam nama-nama tersebut?
Marilah kita –jika anda sepakat dengan saya- merenungkan arti nama masing-masing, untuk selanjutnya kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa menjadi suluh bagi satu sama lain (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).




Senin, 26 Desember 2011

Para Rasul dan Nabi di Hotel Prodeo

Tante saya, Bu Tutuk, yang pernah tampil di artikel sebelumnya, bercerita bahwa seorang sepupunya –perempuan muslim yang tergolong sangat sholehah- pada suatu hari mengobrol dengannya dan berkata dengan nada malu: “Masak kebanyakan penjahat yang kita lihat di berita atau di penjara agamanya Islam. Isin tenan aku, mbakyu. Malu sekali. Masak yang jelek-jelek kok didominasi umat muslim.”
Bu Tutuk, Katholik fanatik, menangkis cepat, “Ya mesthi to, Jeng, namanya juga negara dengan mayoritas penduduk orang Islam terbesar di dunia. Ya wajar saja kalau penjahatnya mayoritas juga Islam.”
Rupa-rupanya sepupu Bu Tutuk tersebut belum pernah mendengar kisah pengalaman seorang pendeta Jawa yang ditugaskan di Indonesia bagian Timur. Setelah berkhotbah di rumah-rumah Tuhan, ia juga melakukan kunjungan  di rumah-rumah sakit, panti asuhan, dan tak ketinggalan penjara. Pulang dari tugas ia bersaksi di hadapan jemaah gerejanya sendiri di Pulau Jawa.
“Benar-benar luar biasa saudara-saudara kita di Indonesia bagian timur sana. Mereka begitu takut dan cinta akan Tuhan. Murid-murid Yesus ada di mana-mana. Saking cintanya, penjarapun dipenuhi oleh para rasul dan murid-muridNya. Ada Matius, Lukas, Yohanes, Markus, dan lain-lain. Ada Yeremia, Yehezkiel, Yesaya, Abraham. Sebutkan nabi dan rasul mana saja, pasti di penjara ada;”
Para jemaah tertawa. Tetapi saya percaya Tuhan tidak, karena Ia-lah yang pasti paling cepat menangkap ironinya.
Nama, kata Shakespeare, tak ada artinya. Well, whatever he said. Dan sekalipun pendapat Shakespeare benar –yang mana bagi saya tidak- nama, secara sederhana adalah identitas, sehingga kita tidak perlu memanggil semua orang dengan “Ssst,” atau, “Heh!”. Nama adalah semacam KTP yang terpampang jelas tanpa si empunya perlu membuka dompetnya. Kurang lebih sama dengan KTP Cirus Cinaga yang terpampang jelas di layar kaca setiap kali sebuah stasiun televisi menanyangkan berita tentangnya, di mana di situ terang-terangan tertulis dan terbaca jelas Agama: KRISTEN.
Di lain kesempatan seorang Al Amin menjadi anggota dewan dan makan uang suap yang tak tanggung-tanggung baik jumlah maupun haramnya. Betapa memilukan betapa para pembunuh yang mengatasnamakan Allah di Indonesia justru seringkali menyandang nama nabi besar mereka sendiri. Kasihan para rasul dan nabi, betapa kehormatan dan kemuliaan mereka yang mestinya dijaga sungguh-sungguh justru dicoreng secara sadar justru oleh umat mereka sendiri.
Nama, adalah penanda diri dan bagian dari tubuh kita. Dan jika tubuh ini adalah wujud kesempurnaan karya penciptaan Allah, maka siapakah kita hingga merasa punya hak untuk merusak kesempurnaan tersebut dengan solah tingkah yang mencoreng nama-Nya? Kalau saja kita semua sadar akan tanggung jawab yang kita emban di balik nama-nama yang kita punya, saya  percaya Indonesia akan menjadi negeri yang paling damai sejahtera, karena ada jutaan rasul dan nabi di Indonesia (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).






Kamis, 22 Desember 2011

Hati dan Pikiran yang Terbuka (2)

Lagi-lagi Paijo. Tampaknya Paijo benar-benar jadi hit dalam minggu-minggu terakhir ini. Masih tentang betapa konservatifnya ia sebelum menjadi dekat dengan saya. Dan itu bukan hanya menyangkut orang lain, namun juga tentang sesama muslim. Kisahnya begini. Suatu hari, entah dari mana awalnya, kami mengobrol tentang jilbab. Lalu ia sampai pada keheranannya tentang teman-teman gadisnya di Indonesia, terutama di kampus. “Hari ini mereka pakai jilbab. Esok hari mereka lepas jilbab. Esok harinya lagi mereka pakai lagi, kemudian lepas lagi, demikian seterusnya. Mengapa mereka perlakukan jilbab seperti itu? What kind of muslimah are they?”
“Wow, hold on! I believe that’s very a strong statement,” protes saya keras.
“What am I supposed to say?” tanyanya ngeyel, lalu semakin berapi-api dalam definisinya tentang muslimah yang baik dan sebagainya. Terus terang saya tidak begitu memperhatikan, karena sibuk memikirkan cara untuk menyampaikan antithesis dengan cara yang manis dan sederhana. Akhirnya saya mendapat hikmah illahi, untuk masuk dengan pertanyaan: bagaimana dengan gadis-gadis di negaramu? Apakah mereka tak pernah lepas jilbab?
“Of course! What do you expect?” gelegarnya bangga.
Saya, berkat urapan Roh Kudus, mendadak ingat sabda Yesus kristus, ‘Biarlah kamu cerdik seperti ular namun tulus bagaikan merpati’, berkata dengan nada kagum yang polos, “Wow, luar biasa! Bagaimana bisa?”
Dengan kebanggaan meluap-luap ia berkata sebab memang begitulah adanya. Sejak usia dini, gadis-gadis cilik di negaranya sudah dikenakan jilbab oleh emak mereka masing-masing. Hari demi hari mereka jalani seperti itu sementara mereka tumbuh besar, hingga hal itu akhirnya menjadi kebiasaan. Dan tak terbersit dalam benak mereka untuk melepas jilbab meski hanya sehari, karena tak ada seorangpun perempuan di penjuru Libya tak berkerudung.
“That reveals all answer,” kata saya masih dengan nada polos yang sama.
“Meaning….?”
“Maksudnya, tentu saja tak pernah terpikir oleh mereka untuk melepas jilbab, karena itu adalah kebiasaan. Belum lagi komentar sinis orang-orang di sekitar kalau mereka lepas jilbab, dan berbagai sanksi sosial lainnya. Lain dengan di sini. Memakai jilbab secara umum adalah pilihan. Dan jilbab tentu bukanlah urusan yang sederhana, karena bukan sekedar fashion atau pencitraan, tapi lebih ke dalam adalah komitmen dengan Tuhan. Membuat komitmen dengan pacar saja sulit, apalagi dengan Tuhan. Prosesnya tentu jauh lebih penuh tikungan dan tanjakan yang berbelit. Jadi sangat bisa dimengerti jika hari ini ia pakai jilbab kemudian esok melepasnya, demikian seterusnya. Sebab untuk mencapai tujuan ultimatium, apapun itu, akan selalu ada jatuh bangun. Tapi pada saatnya dia sudah mencapai titik tertinggi itu, kita bisa mengatakan bahwa ia sudah bisa mempertanggungjawabkan komitmennya pada Tuhan. Itu yang mungkin membedakan   pemakai jilbab di Indonesia dan di negaramu.”
Demikianlah pencerahan yang saya sampaikan dengan berdebar-debar cemas, siapa tahu ia ganti mencerca dengan kalimat macam, “Tahu apa kamu soal Islam?”. Atau komentar sinis yang ironik seperti, “Pendapat mengenai perkara menutup aurat yang paling wahid memang biasanya keluar dari mulut cewek yang ke mana-mana pakai celana pendek macam kamu.”
Saya kian gelisah, karena ia diam lama dengan tatapan yang sukar saya jelaskan artinya. Gawat, batin saya dalam hati, jangan-jangan dia minta putus, padahal nyambung aja enggak. Ternyata saya adalah seorang tukang suudzon sejati, karena secara tak dinyana ia justru menatap saya lekat-lekat, berkata, “Benar juga pendapatmu. Aku nggak seharusnya menghakimi orang lain dari luarnya aja. Apalagi sesama muslim. Betapa piciknya aku.”
Saya, setengah mati berusaha menyembunyikan cuping hidung yang melembung, kian bijak,”Ah, nggak separah itu, kok. Memang semua orang kan punya kecenderungan untuk menilai orang lain memakai ukurannya sendiri.”
Memang harus diakui kita cenderung mengukur kaki orang lain dengan sepatu kita. Itu juga menjawab pertanyaan mengapa selalu terjadi pergesekan bukan hanya pada agama yang berbeda, namun bahkan juga agama yang sama dengan aliran berbeda. Bahkan mazhab yang samapun tidak menjamin urusan jadi beres, karena tidak semua orang bisa menghadapi dan atau menanggapi perbedaan tafsir dengan bijaksana. Kalau semua orang bijaksana seperti yang dituntut oleh kitab suci panutannya masing-masing, maka tidak akan ada sesama muslim yang mengatai orang tuanya kafir hanya karena punya tafsir yang berbeda. Dalam derajat yang lebih buruk, meledakkan bom di sebuah masjid yang menurutnya berisi jemaah kafir. Atau tidak akan ada gereja ini atau itu dikatai ‘tidak ada urapan Roh Allah, karena jemaahnya tidak bisa berbahasa Roh’. Tidak akan ada pula sebagian Kristen yang disebut sebagai penyembah patung karena ritual doa mereka yang melibatkan patung dan lilin-lilin.
Tanpa kebijaksanaan spiritual yang cukup, yang ada memang kesombongan rohani. Ujung-ujungnya menghakimi. Lebih jauh lagi kekerasan terhadap siapapun yang berbeda tafsir. Akhirnya, selamat jalan sila ketiga persatuan Indonesia.
Memang butuh usaha untuk mencapai persatuan Indonesia. Dan ini bisa dimulai dari langkah sederhana, menerima dengan bijaksana segala perbedaan yang ada di sekitar kita. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).




Senin, 19 Desember 2011

Hati dan Pikiran yang Terbuka (1).

Masih Paijo sebagai tokoh utamanya. Jangan buru-buru kagum kalau dalam episode lalu saya telah dengan berbuih-buih mengisahkan kebaikan-kebaikannya. Itu kan baru dari satu sisi, sebab seperti sebuah pepatah mengatakan ‘There are always two sides of a coin’, demikian pulalah Paijo. Dan sisi yang lain ini benar-benar sulit didefinisikan, entah fanatisme buta, lugu atau o’on. Sudah saya jelaskan bahwa agama dan ke-Tuhananlah yang paling erat dan cepat mempertautkan kami. Sepanjang setahun lebih belajar di Indonesia, sayalah satu-satunya manusia beragama Kristen yang pernah dekat dengannya. Singkat cerita, pada awal-awal persahabatan kami saya curhat kepadanya tentang kedzoliman seorang perempuan yang jahatnya audzubilahiminzalik. Ia berkomentar, “I think she’s 85% crazy.” Saya tak ambil pusing dengan komentarnya, terus mengoceh. Di akhir kisah, ia menanyakan agama perempuan tersebut, sambil tak lupa berkata bahwa kemungkinan besar ia tidak punya agama sehingga kelakukannya seperti itu (padahal menurut pengalaman saya banyak sekali orang yang tidak memeluk agama tertentu, justru punya perilaku yang jauh lebih baik daripada mereka yang beragama). Saya jawab bahwa perempuan itu –ngakunya- dulu Islam  lalu pindah Kristen.
Sampai di titik ini Paijo benar-benar bagaikan disengat lebah.
“Now I really believe that she’s not 85% crazy, but 100%. I also really believe that’s because she converted from Islam to Christian,” demikian katanya dengan suara menggelegar.
Gantian saya yang melongo. “Hellllllooooo….. sadar nggak sih kalau lo ngomong begini di depan orang Kristen? Dibatin aja kenapa?” nyaris terlontar dari lidah saya, sedetik sebelum saya sadar bahwa ia hanyalah orang yang begitu lugu cenderung o’on. Dalam konteks ini sangat tak tepat kalau saya tersinggung, jadi yang saya lakukan hanyalah cekikikan dalam hati, sementara ia berkicau tentang ganjaran yang harus ditanggung oleh mereka yang menghianati agamanya.
Seberapa tidak sensitifkah si Paijo dalam skala 1-10 menurut anda? Well, tunggu, sebelum menilai anda harus membaca yang ini dulu.
Waktu baru sebulan tinggal di Indonesia, ia diajak makan di sebuah restoran oleh teman sesama Libya yang sudah lebih lama belajar di sini, dus sudah awam dengan berbagai keragaman di negeri ini. Mereka mengobrol dalam bahasa Arab, yang kemudian memancing perhatian beberapa gadis yang duduk berseberangan meja dengan mereka. Singkat kata, para gadis tersebut kemudian menerima tawaran teman Paijo untuk bergabung di meja mereka. Setelah ketahuan bahwa mereka dari Libya, negara yang tidak begitu populer terutama karena waktu kejadian ini belum terjadi masalah dengan Muamar Qadafi tersebut, para gadis tersebut kian tertarik. Mereka bertanya tentang budaya, tradisi, kehidupan sosial, dan sebagainya, dan tentu saja agama.
“Kalau begitu anda pasti muslim, ya?” tanya seorang gadis dengan bahasa Inggris belepotan.
“Absolutely,” jawab teman Paijo dengan bangga. Sampai di sini dalam hati Paijo bertanya-tanya, jika si gadis mengambil kesimpulan seperti itu, berarti ada kemungkinan dia bukan muslim, dong? Maka Paijo memberanikan diri bertanya si gadis beragama apa.
“Christian,” jawab si gadis tak kalah bangganya.
Paijo terlonjak bagaikan diseruduk banteng. “WHAAAT???!!! HOW COME????!!!” tanyanya dengan suara bagaikan Gundala Putra Petir. Si gadis melongo tak tahu harus berbuat apa mendapat reaksi seperti itu, sementara rekan Paijo spontan menyepak kakinya sambil mengumpat-umpat dalam bahasa Arab mengapa ia bisa bertingkah demikian tidak sopan. Paijo, bukannya malu, malah ngeyel tambah semangat. Terjemahannya kira-kira, “Ya wajarlah kalau aku kaget. Dia Kristen, bayangkan! Kenapa bukan Islam??!!!”
Saya tak sempat mendengar kisah kelanjutannya karena keburu terpingkal-pingkal, sampai dari kursi nyaris terjungkal. “Shame on you! I’d rather kill my self if I were you!” demikian seru saya berulang-ulang di tengah derai tawa sekaligus kesibukan menghapus air mata. Paijo tersipu-sipu, mengakui ketololannya yang tak ketulungan.
Demikianlah si Paijo yang demikian lugu dan sederhana, sehingga fakta bahwa ada orang yang dengan ikhlas memilih agama selain Islam bisa membuatnya lupa sopan santun dan sebagainya. Baginya Islam adalah alfa dan omega, permulaan dan akhir. Ia dari, oleh, dan untuk Islam. Saya tidak pernah menemukan orang yang lebih konservatif ketimbang dia sepanjang saya hidup di dunia yang fana. Islam adalah tanah dan langitnya. Islam adalah tempurungnya. Segalanya adalah Islam, dan Islam adalah segalanya. Walking Islam, menurut istilah saya.
Demikianlah si ‘Islam Berjalan’ ini menjalani hidupnya seakan tak ada apapun yang lebih berarti ketimbang Islam dan segala yang diajarkannya, sampai kemudian ia dekat dengan saya. Kami sama-sama penggemar berat Tuhan Allah, dan memandang bulan dengan pendaran sinarnya saja bisa membuat mulut kami berbusa-busa karena memuja-muji Allah dengan segenap kekaguman. Kami bisa mendadak menjadi dua mahluk yang sangat puitis dan romantis jika sudah sampai pada urusan pemujaan pada Tuhan. Kahlil Gibran dan May Ziadah bisa jadi akan menawari kami berkolaborasi membuat antologi puisi kalau berada di tengah kami.
Dari situ kami kemudian masuk kepada saling syiar tentang ajaran dan konsep-konsep yang kami pelajari dari agama masing–masing. Tentu saja banyak hal tentang Islam yang sudah saya dengar dan pahami jauh sebelumnya, mengingat saya hidup di tengah sahabat-sahabat dan masyarakat muslim, termasuk bapak saya sendiri. Namun segala hal tentang kekristenan yang keluar dari mulut saya adalah yang pertama kali ia dengar seumur hidupnya. Dan ia menerima semua itu dengan penuh semangat keingin tahuan dan tanpa ada hasrat sedikitpun untuk mempertentangkannya. Namun kegemarannya adalah mencari persamaan dalam kitabnya, yang mana membuat kami berakhir dengan kesimpulan, “Memang segala hal baik yang berasal dari Allah selalu bersifat universal.”
Satu-satunya hal yang ia ketahui tentang Kristen sebelum bertemu dengan saya adalah bahwa orang Kristen punya tiga Allah, yang mana membuat saya cekikikan dan berkomentar dalam hati, “Hmmm, classic.” Itupun ia katakan dengan entry point yang sangat cantik, yakni masuk dengan cara memuja-muja kebesaran Allah terlebih dahulu, dan berakhir dengan kalimat “Ia adalah esa, tak beranak, tak berbapak,” dan sebagainya. Saya dengarkan segala hal yang ia tahu dan pahami tersebut dengan segenap kesabaran dan ketekunan. Ketika ia selesai, saya, masih dengan kesabaran yang sama, menjelaskan tentang konsep ke-tritunggalan Allah versi, yang seringkali membingungkan bagi orang yang tak paham. Atau tak mau paham.
“Jadi, selama ini kalian hanya punya satu Allah?”
“Praising and serving more than one God will be very capek deh, don’t you think?” balas saya resiprokal.
Ia mengangkat kedua alisnya, lalu dengan takzim mengucapkan terima kasih karena telah memberinya pengertian yang baru, yang membuatnya tak lagi salah mengerti tentang orang lain.
Namun sesungguhnya rasa terima kasih itu tidak sepenuhnya layak saya miliki. Saya harus mengembalikan sebagian kepadanya. Ia seharusnya berterima kasih pula pada dirinya sendiri, yang telah membuka hati dan pikirannya, sehingga bisa menerima segala hal tentang orang lain dalam perspektif rasa hormat dan menghargai. Kalau si 100% Arab 100% Islam ini bisa begitu membuka hatinya, menurut anda bagaimana mustinya kita yang 100% Indonesia dan 100% terbiasa dengan keragaman? (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).






Kamis, 15 Desember 2011

Dia Baik Karena Agamanya

Saya punya sahabat yang sangat dekat, dalam arti secara emosional dan geografis, karena ia tinggal cuma berbatasan tembok saja alias tetangga. Namanya Ehmeda Abdl Aziz, tapi sudah saya ‘baptis’ dan beroleh nama baru yang lebih nJawani, yakni Paijo. Datang dari Libya demi studi lanjutan di Indonesia, seratus persen Arab, seratus persen Islam, bahkan menurut pengakuannya (kalau benar) masuk dalam daftar keturunan nabi. Waktu pengakuan itu keluar dari mulutnya, saya hanya berkomentar skeptis sambil memutar bola mata, “Ye, ye, ye, whatever you say.”
Seiring dengan berjalannya waktu, saya memang lama-lama percaya bahwa ia keturunan nabi. Sebab ia adalah pria yang sangat santun dan sholeh. Sungguh, baru kali ini saya lihat ada anak muda yang tinggal jauh dari orangtuanya namun tekun menjalankan ibadah puasa Senin-Kamis. Sedapat mungkin ia menjalankan ibadah sholat di masjid, termasuk subuh, yang mana bagi sebagian orang pasti dianggap kurang kerjaan. Dan saya merasa perlu menceritakan keadaan di negaranya sehinga sidang pembaca bisa menilai seberapa sholehnya dia.  Di Libya tidak ada diskotik, pub, night club, bahkan karaoke. Mall dengan segala fasilitasnya tidak ada dan pergaulan serta ruang gerak begitu dibatasi, yang mana terbukti dari matanya yang terbelalak saat ketika jalan dengan  saya di mall ia melihat dua orang gadis berjilbab begitu canggih main DDR. Hiburan yang umum bagi masyarakat kebanyakan di sana adalah piknik di taman-taman kota bersama keluarga sambil…..membawa bekal dari rumah. Saya terbahak-bahak mendengar ceritanya, sambil berikrar bahwa Libya adalah negara terakhir yang akan saya kunjungi jika suatu hari nanti saya punya kesempatan keliling dunia.
Namun salutnya, dengan semua kisah garing dari negerinya tersebut ia sama sekali tidak menjadi bagai anak ayam lepas dari kurungnya ketika tiba di Indonesia yang segalanya serba terbuka. Ia tidak mencoba minum alkohol, tetap setia menjadi perokok pasif di tengah teman-teman Indonesianya, dan hanya sekali dugem di diskotik. Itupun menurut pengakuannya, “Cuma sebentar, karena aku pusing gara-gara asap rokok di mana-mana.” Jadilah ia bahan tertawaan teman-teman Indonesianya, yang mana  dihadapinya dengan sabar dan tawakal.
Di samping itu ia sangat baik hati dan tidak sombong, serta jagoan lagipula pintar. Tangannya terbuka lebar bagi siapapun yang membutuhkan pertolongan, baik itu materiil maupun non materiil. Suatu hari kami ada janji bertemu dan ia baru datang hampir satu jam kemudian dengan kondisi terengah-engah dan peluh bercucuran. Setelah habis saya omelin, barulah ia menjelaskan bahwa ia terlambat karena membantu seorang ibu mendorong sepeda motornya yang mogok. TKP-nya adalah di jalan Gombel, sebuah tanjakan di Semarang yang enggak banget terlebih untuk urusan mendorong motor. Jadi ia mendekati ibu tersebut, menawari si ibu untuk mengendarai motornya sendiri ( motor si Paijo, maksudnya) sambil tak lupa ia tunjukkan bengkel terdekat yang letaknya sekitar 1 kilo dari situ, dan janji untuk bertemu di sana.
Saya menyesal sudah ngomel-ngomel, lalu bertanya kenapa musti dia yang bela-belain mendorong motor si ibu. Jawabannya membuat saya malu, “Because nobody helped her. I saw her clothe was all wet of sweat.” Artinya, si ibu sudah mendorong motornya cukup jauh dan tak satupun manusia di situ peduli padanya, sedangkan Gombel adalah jalan yang ramai. Rasa kebangsaan saya tercabik-cabik, meskipun ia tidak berkomentar, “What kind of people are you Indonesians who don’t help an aged woman pushing her motorcycle?”. Dalam membantu ia sama sekali tidak ambil pusing akan kemungkinan si ibu melarikan motornya, apalagi sekedar resiko menerima dampratan yang tak sedap didengar dari mulut saya.
Ada lagi cerita yang lebih menyentuh tentang Paijo. Suatu hari ia ditubruk oleh motor lain, dan terpuruklah baik si Paijo maupun sang pelaku. Paijo baik-baik saja, hanya lecet-lecet sedangkan sang penubruk patah kaki. Paijo-lah yang paling cepat memberikan pertolongan pada pria yang mencelakainya. Saat polisi datang, sang petugas sama sekali tidak percaya bahwa ia adalah korban, kalau saja tak ada saksi-saksi mata yang bersikukuh bahwa ialah yang paling dirugikan dalam tragedi ini.
“Kalau memang anda korban, kenapa tidak langsung pergi dan justru menolong orang yang mencelakai anda?” tanya ibu Polwan yang untunglah bisa berbahasa Inggris dengan cukup baik.
Dengan lugu Paijo menjawab, “Saya tidak boleh lari kalau di depan saya ada orang yang memerlukan pertolongan.”
Ibu Polwan terharu dan langsung mempersilakannya pergi diiringi salam berkat.
Paijo memang orang yang terberkati. Dan sepanjang saya dekat dengannya, saya melihat ia juga menjadi berkat bagi banyak orang. Ia punya kecenderungan untuk melihat hanya yang terbaik dari orang-orang yang ia temui. Ya memang sih, kadang-kadang ia ngomongin orang, tapi seringnya karena saya pancing-pancing. Yah, antara saya dan dia memang sayalah yang lebih sering keluar tanduk dan berkuping lancip.
Dibutuhkan blog narsis tersendiri untuk mengisahkan seribu satu kebaikannya dan hatinya yang selembut anak domba itu. Jadi tak pentinglah segala kebaikannya saya sebutkan di sini. Hal paling penting untuk diketahui adalah kebaikan dan ketulusannya tersebut bukan tanpa alasan. Dari obrolan-obrolan panjang kami selama ini, topik yang paling mempertautkan kami adalah agama dan ke-Tuhanan. Dan lama kelamaan, ia jadi semakin gemar mengutip ayat-ayat dari kitab suci, bahkan kadang ia lantunkan dengan nada agak-agak sumbang. Begitu gemarnya ia mendasarkan berbagai perkara dan perilaku sehari-hari dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits nabi, sampai-sampai saya sering berpikir jangan-jangan saya sedang gaul dengan syekh atau apalah.  Ia juga sulit memahami istilah Islam KTP yang baru dikenalnya di Indonesia, dalam pengertian apa gunanya memeluk Islam jika hanya untuk pantas-pantas?
Ia sangat mencintai agamanya, kitab sucinya, nabinya, dan segalanya. Ia mempercayai dengan sepenuh hati, tanpa pertentangan, semua ayat yang telah ia baca dari Al-Quran dari awal sampai akhir sebanyak sekian kali. Baginya agamanya adalah yang terbaik, yang ketika ia katakan tentu saja saya komentari, “Ya mesthi! Your religion!” (Btw, ia sudah bisa melafazkan ‘Ya Mesthiii…” dengan logat Semarang-an yang sempurna). Ia membalas komentar saya dengan memutar bola mata. Dan inilah inti dari segalanya. Sebab segala hal yang ia terima dari agamanya adalah yang terbaik baginya, maka segala yang ia keluarkan adalah yang terbaik pula. Ia tumbuh dewasa menjadi sosok yang teramat baik bukan karena unsur kebetulan. Sebab ia menggali segala kebaikan tersebut dari apa yang ia anggap terbaik. Jadilah ia baik karena dengan segenap hati ia mengejawantahkan segala yang terbaik dari kitab yang baginya terbaik.
Apakah bagi anda agama andalah yang terbaik? Ya mesthiii…. Dan apakah bagi saya agama saya yang terbaik? Ya mesthiii…. Kalau begitu, marilah menjadi yang terbaik karena kita masing-masing memiliki agama yang terbaik. Terberkatilah Indonesia dengan orang-orang semacam Paijo, anda, dan saya, jika kita semua menjadi yang terbaik karena agama kita (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).






Senin, 12 Desember 2011

Ya Mesthiiiii....!!! Agamamu!!!

Ya mesthi adalah ucapan khas orang Semarang kalau ingin mengiyakan sesuatu dengan cara lebay. Dimulai dengan nada rendah saat mengucapkan ‘ya’, lalu diakhiri dengan ‘i’ panjang dan nada meninggi. Sangat orisinil dan tidak dikenal di kota-kota manapun di antero Indonesia. Dulu, bagi saya ‘ya mesthi’ hanyalah ‘ya mesthi’, tapi kini tidak lagi. Ya mesthi sekarang selalu mengingatkan saya pada tante saya yang bernama Bu Puji tapi biasa saya panggil Bu Tutuk. Untuk meneruskan artikel ini saya harus menjelaskan manusia seperti apa gerangan Bu Tutuk ini. Beliau adalah pemeluk agama Katholik, yang saking taatnya sampai bisa dikategorikan fanatik. Begitu fanatiknya sampai ia kerap dijadikan bahan bulan-bulanan oleh orang-orang yang terdekat dengannya, termasuk saya, keponakan tersayang sekaligus tersopan.
Misalnya begini, tiap kali Bu Tutuk dengan menggebu-gebu berkisah tentang Bunda Maria, saya biasanya mendengarkan dengan tekun dan wajah bersungguh-sungguh. Tapi saat repertoirnya yang panjang itu usai, saya akan berkomentar, “Berdoa itu ya kepada Tuhan. Doa kok pada Bunda Maria. MUSYRIK!!!”. Atau begini, “Pemujaan terhadap Bunda Maria bisa dikategorikan bidah.” Saya punya seribu satu komentar menjengkelkan tentang Bunda Maria dan para santo serta santa, yang selalu berhasil memancing emosi bu Tutuk lebih cepat daripada kita mengucap “Salam Maria, penuh rahmat…”. Para pembaca, terutama yang beragama Katholik, mohon jangan salah paham. Saya bukan sedang menghina agama dan kepercayaan anda, karena toh saya juga orang Kristen Protestan yang dididik untuk menghormati Bunda Maria, meskipun dengan cara dan derajat berbeda. Tapi antara menghormati Bunda Maria dengan menggoda tante saya terbentang jarak bagaikan Kutub Selatan dan Utara.
Menggoda tante saya yang satu ini memang sangat mengasyikkan, bahkan anak-anaknya sendiripun –yang juga beragama Katholik- amat gemar melakukannya. Misalnya anak sulung Bu Tutuk yang bernama Yogi bisa saja melintas di depan ibunya sambil tiba-tiba berseru, “Pemujaan terhadap Bunda Maria sama sekali tidak alkitabiah! Atau, “Agama Katholik lama-lama melenceng dari Alkitab. Pindah agama, aaahhhh….” Dalam kesempatan lain anak perempuan Bu Tutuk satu-satunya, Divi, tiba-tiba, tanpa hujan tanpa angin nyeletuk, “Gereja Katholik adalah gereja yang bias gender! Sampai sekarang perempuan tidak diijinkan berkhotbah.” Padahal saya tahu pasti Divi sepakat dengan aturan gereja katholik yang satu ini. Saya tak mau ketinggalan, ikut menyiram bensin pada api, “Ini adalah perlawanan terhadap Kristus yang datang ke dunia untuk meruntuhkan segala tembok perbedaan serta mendobrak sekat-sekat, termasuk gender! Sekte sesat!”
Sampai di titik ini biasanya Bu Tutuk, yang sedari tadi berusaha menegarkan diri, runtuh. Lalu memaki, “Dasar orang-orang munafik! Kaum Farisi dan Saduki!” Atau mencaci, “Kalian adalah keturunan ular beludak!”. Sampai di titik  ini pula kami, para dholimin, pura-pura ciut lalu diam-diam saling lirik sambil menahan tawa. Terlebih mengingat fakta, bahwa kami, keturunan ular beludak ini lahir dari rahimnya dan rahim kakaknya, yakni emak saya.
Begitulah fanatisme Bu Tutuk pada agamanya yang begitu ia puja. Nah, sekarang kita sampai pada sejarah mengapa ‘ya mesthi’ tak lagi sekedar ya mesthi. Pada suatu petang saya bertandang ke rumah Bu Tutuk. Saat itu ada pula Yogi dan Titan, anak pertama dan bungsunya yang semua sudah beranak-istri tapi masih sama usilnya seperti waktu mereka masih remaja. Kami berkumpul di teras, dengan Yogi dan Titan bermain gitar, mengiringi kami menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Usai bernyanyi memuji Tuhan, kamipun mengobrol. Topiknya waktu itu agama, baik agama kami masing-masing maupun agama yang lain. Diskusi itu begitu gayeng, semacam penggalian makna dari tiap perbedaan yang ada dalam tiap agama, paling tidak sepanjang pengetahuan kami. Saat seru-serunya, Bu Tutuk mendadak mementahkan segalanya dengan berkata, “Tapi bagaimanapun juga, agama yang paling baik tetap agama katholik.”
Tak perlu menunggu dua detik, Yogi, Titan, dan saya serempak berseru, dan ajaibnya dengan pilihan kata dan nada seratus persen sama, “YA MESTHIIIII….!!!! AGAMAMU!!!” Diserang secara mendadak begitu Bu Tutuk sempat pias, tapi dengan cepat ia mengendalikan diri, dan berkata dengan rasa percaya diri yang penuh, “Bukan masalah ini agamaku itu agamamu. Tapi coba kalian anak-anak ingusan ini renungkan, mana ada agama lain yang punya devosi Maria? Atau santo atau santa? Nggak ada, bahkan Kristen Protestan yang paling dekat dengan Katholik-pun tidak. Cuma agama Katholik yang punya, belum lagi hal-hal lainnya.”
Yogi dan Titan, sambung menyambung menjadi satu, mematahkan argument ini dengan pertanyaan, “Di agama Katholik ada Al-Fathehah nggak? Nggak ada, kan? Sama, di Islam juga nggak ada ajaran karma. Di Hindu dan yang lain juga nggak ada reinkarnasi seperti di Budha. Intinya tiap agama itu punya ciri khasnya sendiri-sendiri, baik atau tidak ya tergantung  bagaimana kita memandangnya.” Masih banyak lagi komentar pedas yang mereka ucapkan dengan nada nyolot.
Bu Tutuk belum patah arang. Malah makin berkobar-kobar dengan pledoi-nya, “Kalian jangan meremehkan! Begini-begini aku sudah mempelajari kitab-kitab agama lain. Al-Quran malah aku sudah khatam dua kali. Tapi tetap pendapatku sama, agama Katholiklah yang paling baik.”
Kali ini saya masuk ke medan pertempuran, bedanya saya muncul sebagai pihak penengah yang bijak dan cinta damai. “Maksudnya begini lho, Bu Tutuk, kita ambil saja ilustrasi turis yang melakukan petualangan kuliner. Mereka merasakan soto ayam, sate kambing, nasi rendang, gudheg, pecel, tinoransa, dan lain-lain, lalu turis pertama jatuh cinta pada nasi goreng. Apakah nasi goreng lebih enak daripada nasi rendang? Ya belum tentu, malah menurutku nggak masuk akal. Tapi itu kan menurutku, menurut si turis jelas beda. Lalu turis yang kedua menganggap gudheg yang paling enak, begitu seterusnya. Makanan mana yang paling enak itu jelas tergantung pada lidah masing-masing orang. Agama mana yang paling baik itu juga tergantung hati tiap-tiap orang. Karena agama adalah sebuah jalan, di mana itu melibatkan rasa, hati, dan pikiran. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Semua baik. Dan semua bisa jadi buruk, kalau umat agama tersebut mencoreng agamanya dengan hal-hal yang buruk.”
Bagaikan nabiah saya berkhotbah, dan memang akhrinya meredakan semua masalah.
Kita pemilik agama, entah diturunkan oleh orang tua atau karena pilihan sebagai pribadi dewasa, sudah pasti menganggap agama kita yang paling baik. Dalam hemat saya, memang kita punya tanggung jawab sekaligus hak untuk menganggap pilihan kitalah yang terbaik. Ya iyalah, masak ya iya dong. Kan malah jadi aneh kalau kita memilih sesuatu dengan segenap kesadaran untuk sesuatu  yang kita anggap bukan yang terbaik.
Sebab memilih adalah suatu proses. Dan untuk mencapai di mana kita memahami bahwa kita hanya memilih yang paling baik adalah proses yang lebih lanjut. Tapi celakanya pada beberapa orang proses lanjutan tersebut seringkali kebablasan. Mereka tidak berhenti pada, “Ya, pilihankulah yang terbaik. Untuk itu aku musti memaknainya dengan melakukan yang terbaik sesuai patron terbaik yang telah kuterima darinya.” Mereka terlalu bersemangat, sehingga pemaknaan yang mustinya sakral, murni, dan berbuah berkah tersebut justru jadi kontraproduktif. Menjadi semacam legalisasi untuk kemudian memandang rendah yang lain. Memandang hina orang lain dan pilihannya yang berbeda. Pernah mengikuti situs atau akun-akun FB yang berkaitan dengan agama? Pernah memperhatikan bagaimana sadisnya para muslim dan kristen saling hujat dan hina (sayangnya, sampai detik ini saya tak pernah menemukan umat agama lain saling hina, paling tidak dalam dunia maya di Indonesia, kecuali umat dua agama ini)?
Mengherankan betapa para umat dua agama samawi yang segaris tersebut bisa saling begitu membenci. Tidak masuk akal betapa mereka membangga-banggakan agamanya, kitabnya, rasulnya, nabinya, tetek bengeknya, lalu mendiskreditkan yang lain seakan-akan sampah semata. Sangat menggelikan betapa mereka begitu ahli memelintir ayat-ayat dalam kitab suci untuk meludahi yang lain. Sungguh mengibakan betapa mereka mempelajari kitab umat yang lain bukan dalam upaya untuk memahami, tetapi sebaliknya dalam semangat mencari-cari kesalahan pihak yang lain. Agamaku agamaku agamamu agamamu serta kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri pastilah ayat-ayat yang paling sulit untuk mereka pahami dari kitab suci masing-masing.
Bu Tutuk memang fanatik. Tapi fanatismenya tidak buta. Ia memang menganggap agamanya yang terbaik, yang mana itu wajar, namun itu sama sekali tidak membuatnya merasa punya hak untuk menghujat agama yang lain. Paling tidak, kejumawaannya saat memproklamirkan keterbaikan agamanya langsung patah dengan komentar tidak sopan: “Ya mesthiiii…..Agamamu!”. Dan setiap kali diingatkan tentang hal ini Bu Tutuk malah tertawa-tawa bahagia, seolah bangga di-bully secara psikis oleh anak-anak dan keponakannya. Dan jangan salah! Bu Tutuk juga sering menggoda saya. Misalnya kami sedang sms-an saat saya emosi, tiba-tiba ia mengirimkan doa dalam bahasa Latin lengkap dengan terjemahannya, yang tentu saja adalah doa kepada Bunda Maria. Sms selanjutnya dia hanya menulis dua kata provokatif: “Penyembah Maria!”.  Atau sms berisi serangkaian nasihat penyejuk rohani, yang diakhiri dengan kalimat, “Demi Bunda Suci….” Semua kepedihan saya sirna mendadak dengan sms-smsnya yang macam begini.
Semoga Bu Tutuk bukan satu-satunya fanatik yang baik dan punya selera humor di negeri ini (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Kamis, 08 Desember 2011

Negeri Minahasa, Surga Bagi Kerukunan Umat Beragama

(Tiga perempat bagian tulisan ini telah dibajak secara mutlak tanpa ijin oleh Sdr. Michael Sendow dan dimuat di http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/30/hidup-rukun-dan-pluralitas-agamanya-atau-manusianya-573290.html
Namun yang bersangkutan telah meminta maaf dan menghapus tulisan tersebut, sehingga dengan demikian masalah saya anggap selesai. Sekian dan terima kasih). 

Bumi Minahasa di Sulawesi Utara adalah kantong kekristenan. Dan saya belum pernah menemukan sekelompok manusia yang begitu penuh semangat dalam menegakkan ibadah seperti masyarakat Minahasa, setidaknya sebatas pengetahuan dan pengalaman saya. Kebiasaan mereka minum cap tikus adalah satu hal, namun rasa cinta dan hormat mereka pada agama dan simbol-simbolnya adalah hal lain. Tiap individu normalnya pergi beribadah 3 kali seminggu. Itu baru yang resmi dari pihak gereja. Belum yang digelar oleh individu, kantor, sekolah, dll. Mereka nampaknya gamang jika tidak mengalasi acara apapun dengan ibadah liturgis.
Saking mengurat akarnya agama dan segala aspeknya dalam diri rakyat Sulawesi Utara, bahkan binatang piaraanpun ikut beribadah! Sungguh! Saya saksi netral yang masih hidup. Waktu pertama kali melihat seekor anjing duduk tenang di gang antar deretan kursi, manis dan tak bergerak sedikitpun sepanjang puji-pujian, khotbah, dan rentetan acara lain di gereja, saya ternganga –benar-benar dalam arti sebenarnya: mulut terbuka, mata terbeliak, dan ekspresi bodoh selama setidaknya 3 menit. Dan saya makin tercengang-cengang, karena setelah celingukan kiri-kanan, saya dapati saya adalah satu-satunya manusia yang bereaksi demikian. Berarti bagi mereka, pemandangan anjing, kucing, atau bahkan mungkin sapi ikut beribadah adalah hal yang biasa, bukan? Ibadah natal digelar mulai tangal 1 November, dan perayaan paskah meriahnya melebihi pesta rakyat 17 Agustus di kota-kota dan kampung-kampung di pulau Jawa. Seorang penodong akan malu jika yang ditodongnya ternyata seorang pendeta. Demikianlah Minahasa, surganya orang Kristen.
Lalu bagaimana dengan umat beragama lain di sana? Tersisihkah? Jangan salah. Coba tengok kehidupan orang Budha atau Konghucu, yang jika sedang merayakan hari besar maka kemeriahannya akan membuat para turis menyangka bahwa semua orang Menado pasti beribadah di kelenteng. Atau umat muslim. Mereka, biarpun minoritas, tetap sangat eksis.
Inilah yang luar biasa di Minahasa: kebersamaan antar umat beragama bukan hanya semata kebanggaan mereka: Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara). Di Tomohon, sebuah kota kabupaten berhawa sejuk yang ‘Kristen banget’, landmark yang akan kita jumpai pertama kali adalah sebuah masjid di sebuah pesantren. Jika ada satu umat beragama hendak merayakan hari besar, maka 2-3 malam sebelumnya anda akan melhat pelita-pelita dinyalakan sepanjang jalan dan di depan rumah-rumah penduduk tak peduli apapun agama mereka. Inilah simbol nyata bahwa sukacita umat yang satu adalah sukacita umat yang lain. Malam menjelang lebaran, Manado serasa pecah dalam takbir. Dan yang berkeliling mengumandangkan takbir bukan hanya kaum muslim saja, melainkan orang-orang Kristen juga! Tak percaya? Buktikan saja sendiri, sekalian meramaikan pariwisata di sana.
Inilah pernyataan yang jelas penghargaan dari pihak mayoritas kepada kaum minoritas.
Dan jika anda seorang kristen punya teman muslim, lalu bertandang ke rumahnya sambil mengucap “Assalamualaikum”, jangan terlalu terkejut jika anda mendapat sambutan “Waallaikumsyalom”. Saat umat Kristiani merayakan hari besar, yang mana biasanya melibatkan pawai dari gereja-gereja, bukan pemandangan aneh jika dari deretan devile tersebut terselip kontingen muslim.
Ini baru segelintir contoh. Yang lain bejibun. Semua contoh kerukunan dan saling pengertian antar umat beragama ada di sana. Tapi yang paling spektakuler adalah sebuah masjid di Manado yang bersisian dengan depot penjual babi panggang dan aneka hidangan lain dari babi yang larisnya bukan main. Dan kalau anda pikir itu sudah cukup hebat, maka bacalah ini baik-baik: depot tersebut tetap buka bahkan pada bulan Ramadhan! Kalau hal serupa terjadi di belahan lain di Indonesia, kota Jakarta atau Solo, misalnya, bukan mustahil si pemilik depotlah yang dipanggang. Lalu bagaimana dengan para pengurus masjid atau jamaah yang beribadah di tengah kepungan rasa haus dan lapar sambil menghirup aroma sedap bakaran yang celakanya adalah hewan yang haram bagi mereka tersebut? Kalau anda bertanya mengapa mereka tidak mengangkat parang sambil menyeru-nyerukan nama Allah dengan muka beringas, maka niscaya anda akan mendapatkan jawaban kurang lebih seperti ini, “Semakin besar tantangannya, semakin kuat menahan goda, maka semakin besar pula pahalanya.” Sweeping warung-warung makan yang tetap buka pada jam puasa di bulan ramadhan adalah sesuatu yang tidak pernah terbersit dalam benak mereka, mungkin bahkan dalam lima ribu tahun kehidupan.
Inilah wujud bagaimana kaum minoritas menghormati dan membalas pengertian yang telah terlebih dahulu disuguhkan oleh kaum mayoritas.
Dan itulah manusia-manusia kecintaan Tuhan, manusia-manusia Sulawesi Utara. Insan-insan yang menghayati ke-Tuhanan bukan cuma dari kemasannya. Yang memaknai agama jauh lebih dalam dan besar daripada sekedar tata cara dan dogma. Yang tidak pernah menggunakan nama Tuhan untuk melegalisir naluri kebinatangan seseorang yang punya kecenderungan membantai hak asasi dan kehidupan orang lain yang punya pandangan dan cara hidup yang berbeda dengannya.
Indonesia butuh lebih banyak manusia-manusia seperti di Minahasa. Kita perlu menjadi manusia-manusia seperti mereka. Sebab manusia-manusia seperti inilah yang melestarikan negeri kita (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



Selasa, 06 Desember 2011

Antara Polri, Amrozi dkk, dan KTP yang Hilang

Saya nyaris gagal menggunakan hak pilih dalam pemilu presiden yang terakhir. Berhubung sejak pindah ke Manado saya belum sempat mengurus kartu keluarga, maka boleh dibilang status saya tidak jelas.  Kabar baiknya, pemerintah bermurah hati pada orang-orang seperti saya dengan mengijinkan penggunaan KTP saja sebagai syarat memilih. Kabar buruknya, KTP saya hilang. Atau paling tidak nyelip entah di mana. Saya bisa bilang begini karena yakin melihat KTP itu di suatu tempat di rumah saya dan tidak membawanya ke mana-mana. Kemungkinan besar saya selipkan di mana lalu terjangkau oleh putri kecil saya yang ketika itu sedang senang-senangnya membongkar dan memberantaki barang-barang, membawa-bawa dan memindah-mindahkannya ke sana-ke mari, untuk kemudian ia tinggalkan begitu saja. Berhubung adegan membereskan barang yang seabreg-abreg itu bisa saya lakukan 3-5 kali dalam sehari, maka wajar jika saya tidak ngeh sekalipun saya sendiri yang menyimpan KTP tersebut.
Jadilah saya didera panik, lantaran waktu pemilihan sudah kian dekat. Seisi rumah sudah saya bongkar pasang berulang-ulang, KTP belum muncul jua. Emosi dan frustrasi mendera, hingga saya cenderung gampang tersulut. Anak sulung dan suami saya mengambil langkah aman, yakni menjauhi saya dan tidak mau ikut campur dalam upaya pencarian tersebut. Langkah yang salah, karena saya justru makin emosi. Tak disangka, sehelai KTP ternyata bisa memicu problema rumah tangga. Singkat kata, setelah 2 bulan lebih masa kegelapan penuh dengan aura panas tersebut, KTP saya akhirnya ketemu juga. Rasanya begitu legaaaaa…..seakan ada beban berat yang tiba-tiba diangkat dari pundak begitu saja.
Mencari memang adalah suatu perkara yang sangat menjengkelkan, apalagi jika keadaan mendesak. Rasanya kemrungsung, begitu orang Jawa bilang, yang patut disayangkan saya tak tahu terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pokoknya semacam campuran dari rasa emosi, perasaan terburu-buru, kesal, jengkel, dan sebagainya. Mungkin begitu kira-kira. Haru biru tragedi KTP yang hilang dan rasa lega luar biasa setelah menemukannya masih segar dalam ingatan, ketika beberapa waktu kemudian polisi mencatat prestasi menangkap pentolan teroris berselubung agama. Peristiwanya cukup heboh, mengandung unsur pengepungan dan tembak-tembakan di TKP yang diliput dan ditayangkan langsung di layar kaca. Mengingatkan saya pada film Die Hard. Sayangnya saya lupa teroris yang mana yang waktu itu berakhir tewas dengan berondongan peluru. Mungkin karena saking banyaknya, jadi saya lupa. Dari sekian banyak itu yang saya bisa ingat cuma Amrozi dan Azahari. Sudahlah, itu tidak penting. Setidak penting eksistensi mereka yang tidak menganggap penting nyawa orang lain.
Pembekukan dan pelumpuhan pentolan teroris serta para anteknya adalah satu hal. Namun melacak jejak mereka dan menemukannya adalah hal lain. Hal yang paling luar biasa di atas segalanya. Seorang teroris akan membayar harga berapapun untuk menyembunyikan dirinya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, gonta-ganti identitas, menutup diri, menjadi pribadi yang lain; sebutkan apa saja. Bandingkan usaha para teroris tersebut untuk menyamarkan diri dengan KTP saya, si benda mati yang tidak bisa memakai wig atau alat penyamaran lain. Bandingkan dengan mobilitas dan jaringan yang mereka miliki dengan KTP saya yang selama hampir dua bulan pencarian ternyata hanya tergeletak manis, tak melakukan apapun, di salah satu boneka anak saya yang memiliki kantung. Belum lagi fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan keadaan geografis yang seringkali sangat ekstrim. Bentangan ngarai, lembah, jurang, laut, selat, sungai, payau, gunung, perbukitan, hutan, dan sebagainya, bukankah itu menjawab pertanyaan mengapa Indonesia menjadi surga persembunyian para teroris? Bandingkan dengan rumah saya yang hanya sepetak. Butuh waktu dua bulan, peluh bercucuran, omelan, serta anak dan suami yang tertekan, untuk menemukan KTP yang tak bisa bergerak di sepetak rumah yang berukuran tak lebih dari 300 meter persegi.
Jadi, untuk segenap jajaran POLRI, saya hanya bisa mengucap salut.
Sedihnya, banyak yang tidak sepakat dengan saya. Selalu saja ada komentar miring baik dari masyarakat dan, terutama, para ‘pengamat sosial’ dan ‘pakar’ (entah apapun maksudnya). Dari  komentar polisi lamban bergerak, kecolongan, tidak bisa mengantisipasi keadaan, dan sebagainya, yang paling menggelikan bagi saya adalah ketika mereka membuat skenario yang –katanya- lebih baik, seakaan-akan mereka bisa melakukannya. Rasanya saya ingin menyurati mereka dengan huruf-huruf besar “KALAU MEMANG SKENARIOMU BEGITU HEBAT, KENAPA TIDAK DARI DULU KAMU KUMPULKAN TEMAN-TEMAN DAN MELAKUKANNYA SENDIRI SECARA INDEPENDEN?” Well, always easier to say than to do. Namun komentar paling menyebalkan adalah yang saya dengar dari seorang teman ketika beberapa waktu lalu kami hang out di kafe dan menyaksikan di tivi berita keberhasilan polisi menemukan sarang teroris lengkap dengan isinya hidup-hidup, yakni, “Ah, beneran nggak, tuh?”. Betapa ingin saya menggampar mulutnya sambil berseru, “Kemarikan KTP-mu! Biar aku umpetin di RUMAHMU SENDIRI dan kita lihat seberapa cepat kamu bisa menemukannya!!! Lagian apa pentingnya bagi polisi bikin-bikin cerita penggerebekan palsu? Oke, pencitraan, tapi kan nggak se-sinetron itu. Nah, ya, ketahuan banget kamu mendedikasikan banyak waktu untuk menonton sinetron kejar tayang.”
Tapi berhubung saya belum ingin kehilangan teman yang suka mentraktir dan gemar membelikan ini-itu, maka saya hanya menutup mulut persis seorang pengecut. Satu-satunya hal yang berani saya lakukan adalah menulis artikel ini dan berharap ia membacanya, lalu sadar bahwa ia disindir dan segera insyaf, sambil tak lupa terus melanjutkan hobi menraktir dan membelikan ini-itu. Oh ya, ada satu hal lagi yang berani saya lakukan atau tepatnya katakan: kepada segenap anggota Polri, terutama yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam urusan teroris, segala yang pantas anda sekalian dapatkan adalah ucapan terimakasih dan rasa hormat. Serta segenap empati karena setelah semua susah-payah tersebut ternyata yang dituai hanyalah cercaan dan cemoohan. Dan kalaupun dua ratus sekian puluh juta rakyat Indonesia tidak tahu bagaimana cara menghargai kerja keras anda semua, jumlah tersebut masih bisa dikurangi satu, yakni saya.
Polisi, anda layak dapat bintang!
(Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).


Senin, 28 November 2011

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi

Gorengan dan Kopi Suguhan Bapak-bapak Polisi.

Orang bijak berkata: apa yang kita pikirkan itulah yang kita dapatkan. Saya –sebagai orang yang sinis, paling tidak waktu itu- tentu saja tidak bisa menemukan kaitannya. Itu adalah ketidak logisan yang besar. Namun seiring dengan berjalannya masa, baru saya sadar bahwa logika sayalah yang kurang panjang. Karena aksiomanya ternyata tidak begitu. Contohnya, saya kadang-kadang merasa benci atau kesal pada seseorang, dengan atau tanpa alasan. Seringnya kebencian itu terselubung. Tapi namanya bangkai ya pasti tercium juga. Semanis-manisnya saya memasang senyum, lama-kelamaan ketahuan palsu juga. Jadi orang yang tidak saya sukai itu menjauh, dan kadang-kadang malah berbalik menikam saya, baik dari depan maupun belakang.
Singkatnya begini: hanya menyimpan rasa tidak suka dan memasang senyum palsu, tidak lebih tidak kurang, saya menuai balasan sekian kali lipat. Lebih sederhana lagi: kalau pikiran saya jelek, sudah pasti saya akan mendapat yang jelek-jelek juga.
Jadi saya putuskan untuk mencoba teori ‘berpikirlah yang baik maka kau akan mendapat yang baik juga.’ Paling tidak untuk membuktikan mana yang lebih pandai, saya atau orang bijak yang menciptakan teori tersebut.
Kesempatan pertama saya dapat ketika berurusan dengan aparat kepolisian. Waktu itu sekitar tahun 1994, ketika saya masih kuliah di Salatiga. Dari dulu sampai sekarang POLRI adalah institusi yang paling dibenci dan mengantongi rekor terbanyak dalam hal menerima cemoohan massa. Cuma bedanya, waktu itu polisi masih belum mau repot-repot memperbaiki citra sebagai aparat yang dekat dengan masyarakat, cinta anak-anak, dan sebagainya. Jadi wajar kalau saya ketakutan setengah mati tanpa alasan ketika harus mengurus laporan kehilangan buku rekening Bank.
Bayangan saya, berdasarkan info yang beredar, serba gelap: polisi suka membentak, memandang remeh dan mempersulit anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, gemar menjotos tanpa alasan dan kalaupun ya pastilah alasannya dibuat-buat, mata duitan, dan seterusnya. Belum lagi sosok-sosok aparat yang kekar, bermata tajam, urat bibir kencang tertutup kumis, dan sebagainya. Ditambah tekanan mental dari teman-teman, seperti ini: “Sudahlah, ikhlaskan saja buku rekeningmu. Datang ke kantor polisi justru bikin benang jadi makin kusut.”
Saya ngeyel. “Enak aja! Trus duitku mau dikemanain?” Jaman dulu memang belum ada ATM, jadi posisi saya terjepit.
Salah-salah biaya laporannya lebih besar daripada saldomu,” ketus teman yang lain, seakan tahu bahwa saldo saya memang seiprit.
Dan berbagai komentar sinis lain, menurut mereka yang berani bersumpah bahwa itu semua adalah ‘based on true stories.’ Terakhir ada yang bilang begini: “Salah-salah malah kamu digodain. Polisi biasa begitu, lho. Ujung-ujungnya pelecehan seksual. Kamu kan cakep.”
Berhubung kerangkanya adalah berpikir positif, maka tentu saja saya memilih mengabaikan frasa ‘pelecehan seksual’ dan fokus pada ‘kamu kan cakep’. Setidaknya itu membuat saya bahagia dan melangkahkan kaki ke kantor polisi dengan perasaan berbunga-bunga. Tidak lupa afirmasi positif yang saya ucapkan berulang-ulang: Polisi juga manusia. Ada yang manis ada ada yang tengik. Yang akan kutemui ini adalah yang manis. Dan lain-lain, berulang-ulang. Rasa percaya diripun jadi melambung tinggi. Namun ketika melihat petugas berkulit gelap, tampang sangar, dan kumis melintang, tak urung saya menciut.
Susah-payah saya menegarkan diri. “Jangan menilai buku dari sampulnya. Apalah arti segumpal kumis?”, gumam saya berulang-ulang.
Hasilnya? Laporan kehilangan bukan hanya sukses. Namun aparat juga mengakhiri tugasnya dengan dengan serangkaian nasihat: Jangan ceroboh. Keteledoran merugikan diri sendiri. Dan lain-lain.
Biaya? Tidak sepeserpun. Pungli? Fitnah belaka. Pelecehan seksual? Apalagi! Meskipun tak urung saya bertanya dalam hati, jangan-jangan itu karena sesungguhnya saya memang enggak cakep?
Saat saya menceritakan pengalaman manis tersebut, para dholimin mencibir. “Nggak mungkin ada polisi enggak mata duitan,” adalah yang paling banyak terlontar. Juara duanya adalah: “Polisi, dari yang paling keroco, sampai yang paling di atas, hanyalah penjahat yang berseragam.” Juara favoritnya adalah komentar miring ini: “Ah, pengalaman indahmu ini cuma kebetulan saja.”
Oke, mungkin memang kebetulan saja, seperti kadang-kadang ada kambing berkaki tiga. Tapi seberapa seringkah kesempatan kita melihat kambing berkaki tiga, kecuali jika kambing-kambing tersebut sengaja diamputasi? Nyatanya, seiring dengan bertambah panjangnya urusan saya dengan polisi, saya tak pernah membuktikan satupun dari berbagai stigma buruk yang dilontarkan masyarakat terhadap polisi. Mungkin pada titik ini anda bertanya-tanya, “Seberapa seringkah seseorang berurusan dengan polisi, kecuali dia adalah seorang residivis?”
Well, sejauh menyangkut kecerobohan, sayalah juaranya. Kehilangan ATM, KTP, SIM, buku rekening, sebutkan apa saja. Dan SEMUANYA minimal dua kali. Perkara paling ‘bermutu’ hanyalah ketika anak sulung saya harus menginap di hotel prodeo selama sekitar 2 minggu karena masalah tawuran. Dan dari semuanya, tak satupun saya mendapat perlakuan buruk. Kecuali anak saya yang mendapat ‘sambutan hangat’ dari para petugas pada malam pertama dia ‘check in’. Kakak saya yang tertua tidak terima. Ini pelanggaran HAM dan harus dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak!!!” demikian geramnya berapi-api. Saya menjawab enteng, “Ah, malah bagus, aku nggak perlu capek-capek menghajarnya dengan tanganku sendiri. Emang enak ngurus anak tawuran?”
Dan setelah dihajar sampai kapok, anak saya kemudian diperlakukan oleh para petugas seperti anak sendiri. Diajak mengobrol, bercanda, dinasehati, dan sebagainya. Bahkan seringkali dibelikan nasi rendang, cemilan, soft drink, dan sebagainya. Bukannya saya menyuap, justru mereka yang mengingat anak saya saat makan di warung. Saya sampai membatin, jangan-jangan ini bukan ruang tahanan?
Beberapa polisi dengan siapa saya berurusan mengajak ngobrol soal politik dan kehidupan. Beberapa lagi soal musik dan film. Yang paling menarik yang sampai sekarang masih saya ingat adalah soal Bob Marley dan Rhoma Irama. Dan tak satupun dari mereka mau menerima tanda ‘terima kasih’. 2 di antara mereka malah tersinggung. Dan yang patut dicatat, kebanyakan dari mereka menawari saya kopi dan gorengan yang saya jumpai hampir di tiap meja petugas. Saya belum terlalu bodoh untuk menolaknya, sebab itu adalah kombinasi yang tepat untuk Djisamsoe yang selalu saya kantongi sejak 1998-2008. Jadilah transaksi pertukaran Djisamsoe-kopi-gorengan, hampir tiap kali saya berurusan dengan mereka.
Saya tak tahu dengan pengalaman-pengalaman anda. Dan kemungkinan besar tulisan saya ini akan memancing kontroversi. Tapi saya hanya berpegang pada pengalaman-pengalaman positif saya: berangkat dengan pikiran-pikiran positif, berhadapan dengan sikap-sikap positif para petugas, dan pulang ke rumah dengan kepercayaan positif terhadap Kepolisian Republik Indonesia.
Adakah kemungkinan oknum polisi memperlakukan kita dengan buruk karena belum-belum kita sudah percaya dengan cerita-cerita buruk dari mulut orang lain dan berpikir buruk tentang aparat polisi sebagai akibatnya? Saya tidak tahu pasti. Sama tidak pastinya dengan apakah saya yang menjadikan petugas-petugas polisi tersebut insan positif karena pikiran positif saya terhadap mereka.
Tapi karena saya telah berhasil mendapatkan hasil empirik secara konstan, maka saya akan melakukannya sepanjang hayat. Anda mau mencobanya? (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).








Kamis, 24 November 2011

Salah Empat atau Betul Enam Belas?


              Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi pelajar manapun adalah, setelah bekerja keras mempelajari setumpuk materi bakal ulangan, ternyata yang keluar cuma 20 soal. Lebih menyakitkan lagi jika ulangan tersebut adalah materi gabungan beberapa bab. Seorang teman SMA –saya ingat namanya Uut- sering menggoda teman-temannya yang serius belajar di depan kelas menjelang ulangan dengan kalimat begini: “Paling-paling nanti yang keluar cuma 20 soal. 10 soal esai dan 10 soal pilihan ganda. Jadi pelajari saja 20 hal, daripada yang lainnya mubazir.”
                Garing. Tapi efisien, asal kita tahu soal-soal yang bakal  keluar.
                Dan puncak dari rasa sakit itu adalah: setelah mempelajari 3 bab dan ternyata yang keluar cuma 20 soal, ternyata salah 4. Atau sekian. Terakhir, sebagai perasan air jeruk untuk lebih menajamkan luka, adalah komentar sengit orang tua:
                “SALAH EMPAT?? KOK BISA???!!!
                Bagi saya, sebagai pelajar yang tidak bisa membanggakan diri dalam hal ketekunan, reaksi semacam itu adalah sembilu yang mengoyak-moyak integritas. Terlebih jika saya telah menggarap ulangan tersebut dengan kejujuran absolut, sesuatu yang tidak begitu sering saya lakukan jika berkaitan dengan ulangan.
Menghadapi reaksi tidak simpatik, “Salah empat?? Kok bisa??!!” tersebut, biasanya saya membalas begini: “Sudah bagus. Masih ada 16 sisanya yang betul.”
                Tangkisan yang salah, karena biasanya ini justru membuat emak saya semakin meletup-letup. Dan ‘salah 4’ sudah pasti jadi head-line dalam acara obrolan emak saya baik dengan tetangga maupun handai taulannya, seringkali sampai berhari-hari. Tinggallah saya mengumpat: “Tau begini mendingan nyontek.” Tentu saja dalam hati.
                Herannya, bertahun-tahun kemudian, ketika anak saya pulang membawa kertas ulangan untuk dibubuhi tanda tangan, perhatian saya terfokus pada berapapun sedikit salahnya. Dengan kata lain, saya benar-benar membutakan mata terhadap berapapun banyak betulnya. Nurani saya yang tumpul betul-betul tidak bisa merasakan kekeruhan wajah, dan tentu saja hati, anak saya.
‘               Mengenang itu, saya sangat menyesal. Dan hanya bisa berharap anak saya tumbuh dewasa dengan melupakan sisi-sisi gelap ibunya.
                Namun kegemaran melihat dengan seksama ‘salah 4’ ketimbang ‘betul 16’ rupanya bukan hanya monopoli orang tua saat melihat kertas ulangan anaknya. Memusatkan segalanya pada sisi buruk, sekecil apapun, ketimbang sisi baik, sebesar dan atau sebanyak apapun, rupa-rupanya telah menjadi gerakan nasional. Dan regenerasi bukan mutlak milik saya yang mengadopsi dengan sempurna kedigdayaan ibu saya dalam melihat kekurangan saya sekecil apapun ketimbang kelebihan saya sebesar apapun. Misalnya: media dan aktivis lebih suka berteriak-teriak soal perempuan sebagai obyek dalam program KB pada era Suharto, ketimbang keberhasilan program itu sendiri dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, kerumitan dan berbagai tantangan dalam aplikasi, kerja keras para penyuluhnya, dan sebagainya. Betapa ironis ketika dunia Internasional memberi penghargaan tinggi pada Indonesia dan Pak Harto, sementara kita justru melihat dan mencari-cari jeleknya. Entah kita ini sombong atau justru rendah diri.
                Karakter Megawati yang pendiam dan tidak cepat mengambil keputusan kita jadikan bahan bulan-bulanan dengan penuh semangat, sehingga kita kehabisan enerji untuk melihat bahwa beliau mendapat apresiasi luar biasa dari dunia luar atas keberhasilannya menggelar pemilu secara langsung. Belum lagi keberhasilan-keberhasilannya yang lain. Kita mengenang dan memaki Habibi sebagai ‘Si Kutil yang hanya bisa membuat lepas propinsi sebesar Tim-tim lepas’. Kita lupa bahwa ‘Si Kutil’ itu adalah embrio dalam pembebasan etnis Cina Indonesia dalam beragama dan berbangsa, yang kelak disempurnakan oleh Gus Dur dan kemudian para penerusnya. Dari otak ‘Si Kutil’ itu pula lahir teori Habibie Cracker yang kabarnya sampai sekarang masih menjadi hukum standart sistem keamanan pembuatan pesawat. Kita pula yang dengan keji membuat anekdot “Kalau pesawat buatan IPTN melintas di wilayah perairan Amerika, mereka nggak akan mau rugi menembak, karena toh lama-lama jatuh sendiri.” Begitu dungunya siapapun yang mencipta, melontarkan, atau tertawa saat mendengar lelucon aneh itu, sampai tidak paham bahwa CN 350 adalah yang terlaris di dunia dan terbaik di kelasnya, paling tidak pada masa kejayaannya.
                Kebiasaan itu lestari sampai kini, bahkan kian menjadi-jadi. Jika ada gedung SD bobrok satu saja, kita hujat pemerintah tidak pernah dan mampu berbuat apa-apa. Padahal sekarang ada program PAUD, sesuatu  yang sekian tahun lalu –setidaknya sampai jaman Pak Harto- disebut Play Group dan hanya bisa diakses oleh anak-anak orang kaya, dan kini bisa diakses oleh anak manapun, asal emak-bapaknya punya KK dan KTP. Kita juga tidak mau ambil pusing dengan program BOS, puskesmas-puskesmas yang kian representatif, keluarga-keluarga tak mampu yang menikmati kartu gakin, program PNPM, dan sebagainya.
                Kita lebih suka berteriak “Korupsi makin menggila, segila pemerintah yang nggak bisa bikin apa-apa!”. Kita menghujat pemerintahan SBY atas kemarakan korupsi dan membandingkan dengan era Suharto, padahal pada era Suharto korupsi tentu saja tidak kentara, karena media manapun yang hendak mengekspos pasti segera dibredel lebih cepat daripada Lucky Luke menembak bayangannya sendiri. Entah kita buta atau membutakan diri, yang jelas negara-negara lainlah yang terkesiap dan mengacungkan jempol ketika SBY mengikhlaskan besannya dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi. Teman chatting saya dari Utah bilang begini:
“Your president rocks!”
Kalau ada bupati yang korupsi, kita hujat pemerintah secara keseluruhan dengan kata-kata yang sama sekali tidak pantas. Entah kita bodoh atau membodohkan diri, yang jelas kita tidak tahu soal fakta bahwa hanya di era SBY kasus penanganan korupsi meningkat menjadi sekian RATUS kali lipat. Lepas dari keberhasilan atau kontroversinya, di era SBY-lah KPK, suatu lembaga yang paling tidak sampai kini masih punya taji, terbentuk.
Kita hujat Pak Harto sebagai otoriarian megalomania, dan tidak peduli pada fakta bahwa pada eranyalah Kopassus atau Kopasanda disegani oleh pasukan elite dari Negara manapun. Dan pasukan Garuda sekian tahun lalu pimpinan Ryamizard Ryakudulah yang tercatat sebagai satu-satunya pasukan perdamaian dunia yang berhasil menembus pusat Khmer Merah, bahkan main catur dan merayakan kemerdekaan RI di kandang mereka.
Ada ribuan contoh lain tentang melihat salah empat ketimbang betul enam belas, yang saya tidak tahu merupakan gejala apa. Selama ini saya bertanya-tanya dan tidak pernah menemukan jawabannya. Yang jelas bagi saya ini adalah kedangkalan ekstrim. Sama dangkalnya jika saya membuat kesimpulan ‘anda adalah manusia yang mutlak terbuat dari jerawat batu’ hanya karena saya melihat 2-3 buah jerawat batu kecil di sana di hidung anda. Celakalah saya sebagai pribadi jika melihat manusia lain hanya dari keburukan-keburukannya saja, karena dengan kata lain saya sedang memproklamasikan pada dunia bahwa saya adalah seorang pecundang. Siapapun yang tak mau melihat keberhasilan pihak lain memang tak lebih dari pecundang total.
Dan  celakalah kita sebagai bangsa jika hanya bisa melihat kekurangan-kekurangan pemerintah tanpa mau mengapresiasi keberhasilan-keberhasilannya, karena dengan kata lain kita sedang membuat proklamasi bahwa kita hanyalah segerombolan pecundang. Kegemaran sekaligus kelebihan utama seorang pecundang memang adalah mencari-cari kesalahan orang lain untuk menutupi kebodohannya sendiri.
Jadi marilah kita berhati-hati, karena saat kita HANYA bisa menghujat pemerintah Indonesia, berarti secara tak sadar kita sedang menelanjangi diri sendiri, bahwa sebagai rakyat Indonesia kita tidak pernah berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara kita. Sebab semakin kosong sebuah tong maka semakin nyaring pulalah bunyinya. Dan sepertinya Indonesia hanya membutuhkan tong-tong yang berisi. Atau setidaknya tong-tong kosong yang bisa diisi.

Senin, 21 November 2011

Virus dan Antinya


Tersebutlah seorang pengguna komputer dengan pengetahuan terbatas. Dari waktu ke waktu satu-satunya program yang bisa digunakannya hanyalah MS Word, yang ia pakai semata-mata karena tuntutan pekerjaan. Dan malangnya, setelah bertahun-tahun toh program tersebut tidak ia kuasai jua. Jika ada sebuah tool atau ikon yang tidak ia ketahui, ia ngomel. Jika ada masalah, ia berkeluh-kesah. Jika salah satu data tiba-tiba lenyap, ia tuduh komputernya lemot. Padahal setelah ditelusuri, tentu saja oleh orang yang lebih pandai, terkuak bahwa ia menyimpan file tersebut pada tempat yang tidak semestinya. Begitu bodohnya ia sampai mencari file yang tersesat saja tidak mampu. Dan berhubung tak terbersit sedikitpun dalam benaknya untuk mengembangkan kemampuan, maka satu-satunya hal yang bisa ia lakukan dalam menghadapai masalah apapun adalah menggerutu.

Maka jangan tanya kalau datanya terserang virus. Ia akan meradang habis-habisan. Lalu mengumpat ke kiri dan ke kanan. Korban kemarahannya yang pertama tentu saja adalah komputer itu sendiri.  “Dasar komputer eror! Jadul!”. Dan seterusnya. Sasaran kedua adalah virus tersebut: “Virus tengik! Nyebelin! Setan!” . Dan sebagainya. Yang terakhir, tentu saja adalah pencipta virus itu sendiri. Umpatan-umpatannya antara lain begini: “Sinting! Apa sih pahalanya bikin susah orang?!” atau “Kalau ada neraka khusus para penemu, pasti dia dapat keraknya.” Serta: “Pasti orang tuanya terlalu sibuk mengurus diri sendiri sehingga lupa memberinya nasihat ‘Berusahalah dengan cara halal’.” Dan yang paling tidak nyambung –tapi justru dianggapnya paling bermakna adalah: “Syukur kepada Tuhan bukan aku yang mengandung dan membesarkannya.”

Dan berhubung ia cukup bahagia hidup terselubung oleh tembok kedegilan, maka tentu saja ia tak punya gambaran bahwa di luar sana ada insan-insan yang mencurahkan segala daya upaya yang mereka punya untuk melawan gempuran virus dengan menciptakan antinya. Insan-insan luar biasa tersebut bukan hanya diwakili oleh mereka yang memiliki latar IT, ijazah ber-IP tinggi, dan lain-lain. Yang paling mencengangkan adalah anti virus berjudul ARTAV, yang bisa menggempur berbagai macam virus, bahkan kabarnya yang tak tertangkal oleh anti virus lain. ARTAV, nama anti virus yang kesannya bule. Padahal penciptanya Melayu asli, anak Indonesia, bau kencur pula, yakni kakak adik Arrival dan Taufik yang baru duduk di bangku SMP dan SMA.

Media massa dengan bangga dan menggebu-gebu memberitakan semangat dan usaha pantang menyerah anak-anak dari keluarga sederhana tersebut. Saya dengan sama sekali tidak bangga dan penuh rasa malu menyatakan bahwa pengguna komputer terbelakang sebagaimana tersebut di awal tulisan ini adalah…..saya sendiri.

Saya dan duo Taufik-Arrival adalah gambaran sempurna dari darkage dan aufklarung.
Saya adalah satu dari noktah pekat yang membuat blok gelap bagi bangsa ini, sedangkan mereka, sebaliknya, adalah satu lilin yang membuat bangsa ini tidak kehilangan sinarnya. Tak terhitung virus yang berkeliaran dalam dunia maya. Tak terhitung pula masalah yang mengepung kehidupan kita sebagai bangsa. Sama halnya Arival—Taufik yang memutar otak untuk menangkal virus, sebagian dari kita juga memutar otak dan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi berbagai krisis yang dialami bangsa kita, dengan cara luar biasa atau sederhana. Tapi faktanya, lebih banyak orang yang memilih untuk bersikap seperti saya: memaki, menggerutu, dan merutuk ketika menghadapi virus. Dan malangnya, dalam ranah berbangsa, orang-orang yang masih hidup dalam payung kegelapan seperti sayalah yang memegang peran dan dominan.

Tidak usah jauh-jauh. Pernah kumpul-kumpul dengan teman, tetangga, keluarga, atau siapapun, lalu menghujat pemerintah, memaki-maki aparat penegak hukum, dan semua pihak kecuali diri kita sendiri atas kenaikan harga BBM, beras, keadaan yang makin tidak aman, kekeringan, banjir, kemacetan, kerusuhan, bom bunuh diri, listrik byar-pet, dan sebagainya? Setelah puas menghujat, melontarkan kritik pedas dan analisa cerdas, dan pulang ke rumah masing-masing, apa yang biasanya mereka atau kita –para penghujat ini- lakukan? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Umpatan tetaplah umpatan. Hujatan tetaplah hujatan. Ketika kumpul-kumpul lagi, mereka –atau kita- keluarkan lagi seribu satu keluhan dan rutukan. Pulang lagi, tidak berbuat apa-apa lagi, demikian seterusnya. Persis lingkaran setan. Atau tepatnya: lingkaran kebodohan.

Persis seperti apa yang saya lakukan. Ketika saya tidak mampu mengatasi masalah dengan komputer saya, sekecil apapun, maka satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanya mengaktifkan lidah dan mulut secara lebay. Semata-mata pelampiasan dari ketidak mampuan saya untuk melakukan sesuatu demi mengurai kesulitan yang tengah saya hadapi. Persis seperti kebanyakan dari kita dalam ranah berbangsa. Tapi menjadi orang yang besar mulut dan tidak berbuat apa-apa pada saat yang sama ternyata sama sekali tidak membuat bangga. Semoga anda tidak hanya bisa besar mulut seperti yang saya lakukan dalam menghadapi virus dan segala tetek bengeknya.