Senin, 12 Desember 2011

Ya Mesthiiiii....!!! Agamamu!!!

Ya mesthi adalah ucapan khas orang Semarang kalau ingin mengiyakan sesuatu dengan cara lebay. Dimulai dengan nada rendah saat mengucapkan ‘ya’, lalu diakhiri dengan ‘i’ panjang dan nada meninggi. Sangat orisinil dan tidak dikenal di kota-kota manapun di antero Indonesia. Dulu, bagi saya ‘ya mesthi’ hanyalah ‘ya mesthi’, tapi kini tidak lagi. Ya mesthi sekarang selalu mengingatkan saya pada tante saya yang bernama Bu Puji tapi biasa saya panggil Bu Tutuk. Untuk meneruskan artikel ini saya harus menjelaskan manusia seperti apa gerangan Bu Tutuk ini. Beliau adalah pemeluk agama Katholik, yang saking taatnya sampai bisa dikategorikan fanatik. Begitu fanatiknya sampai ia kerap dijadikan bahan bulan-bulanan oleh orang-orang yang terdekat dengannya, termasuk saya, keponakan tersayang sekaligus tersopan.
Misalnya begini, tiap kali Bu Tutuk dengan menggebu-gebu berkisah tentang Bunda Maria, saya biasanya mendengarkan dengan tekun dan wajah bersungguh-sungguh. Tapi saat repertoirnya yang panjang itu usai, saya akan berkomentar, “Berdoa itu ya kepada Tuhan. Doa kok pada Bunda Maria. MUSYRIK!!!”. Atau begini, “Pemujaan terhadap Bunda Maria bisa dikategorikan bidah.” Saya punya seribu satu komentar menjengkelkan tentang Bunda Maria dan para santo serta santa, yang selalu berhasil memancing emosi bu Tutuk lebih cepat daripada kita mengucap “Salam Maria, penuh rahmat…”. Para pembaca, terutama yang beragama Katholik, mohon jangan salah paham. Saya bukan sedang menghina agama dan kepercayaan anda, karena toh saya juga orang Kristen Protestan yang dididik untuk menghormati Bunda Maria, meskipun dengan cara dan derajat berbeda. Tapi antara menghormati Bunda Maria dengan menggoda tante saya terbentang jarak bagaikan Kutub Selatan dan Utara.
Menggoda tante saya yang satu ini memang sangat mengasyikkan, bahkan anak-anaknya sendiripun –yang juga beragama Katholik- amat gemar melakukannya. Misalnya anak sulung Bu Tutuk yang bernama Yogi bisa saja melintas di depan ibunya sambil tiba-tiba berseru, “Pemujaan terhadap Bunda Maria sama sekali tidak alkitabiah! Atau, “Agama Katholik lama-lama melenceng dari Alkitab. Pindah agama, aaahhhh….” Dalam kesempatan lain anak perempuan Bu Tutuk satu-satunya, Divi, tiba-tiba, tanpa hujan tanpa angin nyeletuk, “Gereja Katholik adalah gereja yang bias gender! Sampai sekarang perempuan tidak diijinkan berkhotbah.” Padahal saya tahu pasti Divi sepakat dengan aturan gereja katholik yang satu ini. Saya tak mau ketinggalan, ikut menyiram bensin pada api, “Ini adalah perlawanan terhadap Kristus yang datang ke dunia untuk meruntuhkan segala tembok perbedaan serta mendobrak sekat-sekat, termasuk gender! Sekte sesat!”
Sampai di titik ini biasanya Bu Tutuk, yang sedari tadi berusaha menegarkan diri, runtuh. Lalu memaki, “Dasar orang-orang munafik! Kaum Farisi dan Saduki!” Atau mencaci, “Kalian adalah keturunan ular beludak!”. Sampai di titik  ini pula kami, para dholimin, pura-pura ciut lalu diam-diam saling lirik sambil menahan tawa. Terlebih mengingat fakta, bahwa kami, keturunan ular beludak ini lahir dari rahimnya dan rahim kakaknya, yakni emak saya.
Begitulah fanatisme Bu Tutuk pada agamanya yang begitu ia puja. Nah, sekarang kita sampai pada sejarah mengapa ‘ya mesthi’ tak lagi sekedar ya mesthi. Pada suatu petang saya bertandang ke rumah Bu Tutuk. Saat itu ada pula Yogi dan Titan, anak pertama dan bungsunya yang semua sudah beranak-istri tapi masih sama usilnya seperti waktu mereka masih remaja. Kami berkumpul di teras, dengan Yogi dan Titan bermain gitar, mengiringi kami menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Usai bernyanyi memuji Tuhan, kamipun mengobrol. Topiknya waktu itu agama, baik agama kami masing-masing maupun agama yang lain. Diskusi itu begitu gayeng, semacam penggalian makna dari tiap perbedaan yang ada dalam tiap agama, paling tidak sepanjang pengetahuan kami. Saat seru-serunya, Bu Tutuk mendadak mementahkan segalanya dengan berkata, “Tapi bagaimanapun juga, agama yang paling baik tetap agama katholik.”
Tak perlu menunggu dua detik, Yogi, Titan, dan saya serempak berseru, dan ajaibnya dengan pilihan kata dan nada seratus persen sama, “YA MESTHIIIII….!!!! AGAMAMU!!!” Diserang secara mendadak begitu Bu Tutuk sempat pias, tapi dengan cepat ia mengendalikan diri, dan berkata dengan rasa percaya diri yang penuh, “Bukan masalah ini agamaku itu agamamu. Tapi coba kalian anak-anak ingusan ini renungkan, mana ada agama lain yang punya devosi Maria? Atau santo atau santa? Nggak ada, bahkan Kristen Protestan yang paling dekat dengan Katholik-pun tidak. Cuma agama Katholik yang punya, belum lagi hal-hal lainnya.”
Yogi dan Titan, sambung menyambung menjadi satu, mematahkan argument ini dengan pertanyaan, “Di agama Katholik ada Al-Fathehah nggak? Nggak ada, kan? Sama, di Islam juga nggak ada ajaran karma. Di Hindu dan yang lain juga nggak ada reinkarnasi seperti di Budha. Intinya tiap agama itu punya ciri khasnya sendiri-sendiri, baik atau tidak ya tergantung  bagaimana kita memandangnya.” Masih banyak lagi komentar pedas yang mereka ucapkan dengan nada nyolot.
Bu Tutuk belum patah arang. Malah makin berkobar-kobar dengan pledoi-nya, “Kalian jangan meremehkan! Begini-begini aku sudah mempelajari kitab-kitab agama lain. Al-Quran malah aku sudah khatam dua kali. Tapi tetap pendapatku sama, agama Katholiklah yang paling baik.”
Kali ini saya masuk ke medan pertempuran, bedanya saya muncul sebagai pihak penengah yang bijak dan cinta damai. “Maksudnya begini lho, Bu Tutuk, kita ambil saja ilustrasi turis yang melakukan petualangan kuliner. Mereka merasakan soto ayam, sate kambing, nasi rendang, gudheg, pecel, tinoransa, dan lain-lain, lalu turis pertama jatuh cinta pada nasi goreng. Apakah nasi goreng lebih enak daripada nasi rendang? Ya belum tentu, malah menurutku nggak masuk akal. Tapi itu kan menurutku, menurut si turis jelas beda. Lalu turis yang kedua menganggap gudheg yang paling enak, begitu seterusnya. Makanan mana yang paling enak itu jelas tergantung pada lidah masing-masing orang. Agama mana yang paling baik itu juga tergantung hati tiap-tiap orang. Karena agama adalah sebuah jalan, di mana itu melibatkan rasa, hati, dan pikiran. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Semua baik. Dan semua bisa jadi buruk, kalau umat agama tersebut mencoreng agamanya dengan hal-hal yang buruk.”
Bagaikan nabiah saya berkhotbah, dan memang akhrinya meredakan semua masalah.
Kita pemilik agama, entah diturunkan oleh orang tua atau karena pilihan sebagai pribadi dewasa, sudah pasti menganggap agama kita yang paling baik. Dalam hemat saya, memang kita punya tanggung jawab sekaligus hak untuk menganggap pilihan kitalah yang terbaik. Ya iyalah, masak ya iya dong. Kan malah jadi aneh kalau kita memilih sesuatu dengan segenap kesadaran untuk sesuatu  yang kita anggap bukan yang terbaik.
Sebab memilih adalah suatu proses. Dan untuk mencapai di mana kita memahami bahwa kita hanya memilih yang paling baik adalah proses yang lebih lanjut. Tapi celakanya pada beberapa orang proses lanjutan tersebut seringkali kebablasan. Mereka tidak berhenti pada, “Ya, pilihankulah yang terbaik. Untuk itu aku musti memaknainya dengan melakukan yang terbaik sesuai patron terbaik yang telah kuterima darinya.” Mereka terlalu bersemangat, sehingga pemaknaan yang mustinya sakral, murni, dan berbuah berkah tersebut justru jadi kontraproduktif. Menjadi semacam legalisasi untuk kemudian memandang rendah yang lain. Memandang hina orang lain dan pilihannya yang berbeda. Pernah mengikuti situs atau akun-akun FB yang berkaitan dengan agama? Pernah memperhatikan bagaimana sadisnya para muslim dan kristen saling hujat dan hina (sayangnya, sampai detik ini saya tak pernah menemukan umat agama lain saling hina, paling tidak dalam dunia maya di Indonesia, kecuali umat dua agama ini)?
Mengherankan betapa para umat dua agama samawi yang segaris tersebut bisa saling begitu membenci. Tidak masuk akal betapa mereka membangga-banggakan agamanya, kitabnya, rasulnya, nabinya, tetek bengeknya, lalu mendiskreditkan yang lain seakan-akan sampah semata. Sangat menggelikan betapa mereka begitu ahli memelintir ayat-ayat dalam kitab suci untuk meludahi yang lain. Sungguh mengibakan betapa mereka mempelajari kitab umat yang lain bukan dalam upaya untuk memahami, tetapi sebaliknya dalam semangat mencari-cari kesalahan pihak yang lain. Agamaku agamaku agamamu agamamu serta kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri pastilah ayat-ayat yang paling sulit untuk mereka pahami dari kitab suci masing-masing.
Bu Tutuk memang fanatik. Tapi fanatismenya tidak buta. Ia memang menganggap agamanya yang terbaik, yang mana itu wajar, namun itu sama sekali tidak membuatnya merasa punya hak untuk menghujat agama yang lain. Paling tidak, kejumawaannya saat memproklamirkan keterbaikan agamanya langsung patah dengan komentar tidak sopan: “Ya mesthiiii…..Agamamu!”. Dan setiap kali diingatkan tentang hal ini Bu Tutuk malah tertawa-tawa bahagia, seolah bangga di-bully secara psikis oleh anak-anak dan keponakannya. Dan jangan salah! Bu Tutuk juga sering menggoda saya. Misalnya kami sedang sms-an saat saya emosi, tiba-tiba ia mengirimkan doa dalam bahasa Latin lengkap dengan terjemahannya, yang tentu saja adalah doa kepada Bunda Maria. Sms selanjutnya dia hanya menulis dua kata provokatif: “Penyembah Maria!”.  Atau sms berisi serangkaian nasihat penyejuk rohani, yang diakhiri dengan kalimat, “Demi Bunda Suci….” Semua kepedihan saya sirna mendadak dengan sms-smsnya yang macam begini.
Semoga Bu Tutuk bukan satu-satunya fanatik yang baik dan punya selera humor di negeri ini (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar