Bayangkanlah seseorang yang cerdas,
baik hati, tidak sombong, jujur, dan punya lain-lain sifat mulia yang bisa
menjadi suri tauladan sesama. Bodinya tegap, dan karena senang menjaga kebersihan
maka aroma tubuhnyapun sedap. Ia juga tergolong pria tampan, hanya saja di
wajahnya ada tiga buah kutil. Satu di dagu, ukuran kecil. Satu lagi di pipi,
ukuran sedang. Sisanya, yang paling besar, terletak di hidung. Lalu, suatu hari
entah karena apa ia berkenalan dengan saya. Kemudian kami berdua mengobrol
dengan hangat, berbicara dan berdiskusi tentang banyak hal, sehingga dari raut
wajah, ekspresi, dan pengetahuannya saya bisa memberikan penilaian kemudian
berkomentar dalam hati, “Hmmm… cowok yang berkualitas.” Namun, selama kami
mengobrol, saya tak bisa menahan diri mencuri pandang ke arah ‘The Three
Musketers’ di wajahnya. Lama kelamaan, kutil-kutil itu jadi mengganggu perasaan
saya, sehingga sayapun kehilangan konsentrasi, sambil terus-menerus membatin,
“Cakep-cekep kutilan, bikin drop.”
Obrolan
kami kemudian berakhir, dan singkatnya saya tahu bahwa ia dulu satu almamater
dengan saya, hanya saja kami beda angkatan. Akhirnya setiap kali ketemu
teman-teman sekolah dulu, saya selalu bertanya, “Tau kakak kelas kita yang
namanya Putra, nggak?” “Yang mana? Yang namanya Putra kan banyak,” demikian
setiap teman yang saya tanya. “Itu lho, yang mukanya kutil semua.” “Oh, yang
cakep, pintar, dan baek itu?” “Iya,” jawab saya, sambil sekali lagi menegaskan,
“yang mukanya kutil semua (padahal cuma tiga, yang dua kecil-kecil pula.
Sisanya adalah hidung yang bangir, bibir yang selalu tersenyum ramah, mata yang
bersahabat, dan ekspresi baik hati yang terpancar jelas dari wajahnya).”
Demikianlah percakapan yang terjadi setiap saya bertemu dengan siapapun yang
satu sekolah dengan saya. Lama-kelamaan, kakak kelas tersebut lebih dikenal
sebagai ‘Putra yang Mukanya Kutil Semua’. Segala yang pintar, cakep, baik, dan
lain-raib lain raib ditelan bumi.
Mengingatkan
anda pada sesuatu? Hmmmm…. Tidak? Ah, masak? Coba saya ingatkan. Saat sebuah
gereja mengalami kesulitan ijin mendirikan bangunan, sebagian umat kristiani
dengan lebay berkeluh kesah (termasuk para pendeta yang punya tugas membimbing
umatnya berpikir dengan obyektif dan penuh kasih). Lupa bahwa yang begituan
boleh dibilang kasuistik, dan jumlahnya sama sekali tidak sebanding dengan
jumlah gereja yang telah berdiri tegak bertahun-tahun, bahkan ada sejak abad
lalu, dan terus bertambah dari waktu ke waktu. Saat ada orang Kristen berbagi,
sebagian umat Islam yang narsis dengan sengit berteriak, “Ini kristenisasi!”.
Lupa bahwa berbagi memang adalah kewajiban semua umat beragama, tak terkecuali
orang Kristen. Saat ada seorang muslim pindah agama, mereka lebih sengit lagi,
lupa bahwa bukan cuma orang Islam yang pindah agama, lupa bahwa SALING pindah
agama adalah hal yang jamak. Lebih lagi, lupa bahwa Islam tetaplah agama dengan
jumlah pengikut paling heboh di Indonesia, bahkan dunia. Saat harga cabe naik,
semua orang ribut dan mencaci-maki pemerintah, lupa bahwa dalam setahun harga cabe
naik hanya sekitar 3 bulan, dan masih ada 9 bulan sisanya di mana cabe begitu murah.
Saat ada gedung sekolah reyot, orang-orang langsung up date status dengan
kalimat kira-kira, “Benar-benar tragedi! Mau dibawa ke mana pendidikan dan
generasi muda kita?”. Lalu media memberitakan dengan sangat lebay, seakan semua
anak Indonesia menimba ilmu di gedung sekolah yang hampir rubuh. Lupa bahwa
masih jauh lebih banyak gedung sekolah yang bagus dan representatif. Aktivis
Facebook dan juga tak kalah, kemudian yang kalimatnya paling pedas dan sinis
mendulang paling banyak followers. Saat melihat anak-anak putus sekolah,
kembali bikin status, “Inilah gambaran generasi muda kita! Tak heran kita
selalu jadi yang terbelakang!” Lupa bahwa masih ada jauh lebih banyak anak yang
menikmati sekolah, dan menebar prestasi bahkan hingga ke kancah Internasional.
Saat
ada satu atau beberapa desa paceklik, kembali orang-orang pada heboh dengan
sinis, tak mau tahu bahwa ada jauh lebih banyak desa yang sejahtera dengan
penduduk sederhana yang bahagia dengan sistem kekerabatan yang masih terjaga.
Ketika ada orang miskin tak mampu berobat, semua mencaci-maki pemerintah
seakan-akan tidak pernah ada jauh lebih banyak orang miskin yang telah
menikmati kartu Gakin. Ketika ada beberapa anak kena busung lapar, kecaman
begitu keras sehingga muncul kesan bahwa semua anak di Indonesia menderita
busung lapar. Saat ada satu atlet tidak diberi insentif yang besar, kena lagi
deh, pemerintah, seakan-akan di luar sana tidak banyak atlet yang menikmati
kesejahteraan. Aduuuuhhhh….. masih buanyaaaaakkkk…. lagi contoh lainnya, wahai
pembaca. Semoga yang itu tadi sudah memberi anda benang merah antara pria
berkutil di atas tadi dengan apa.
Ya,
Si Muka Kutil itu mengingatkan kita –atau setidaknya saya- dengan kita bangsa
Indonesia. Hanya gara-gara tiga buah kutil, hilang semua hal-hal baik yang
dimiliki, dipelihara, dan dikembangkan oleh pria malang di atas dengan
susah-payah. Hanya karena beberapa hal-hal buruk, hilang sudah hal-hal baik
yang jauh lebih banyak yang masih dimiliki Indonesia. Kita ini memang begitu
gemar melihat sesuatu dari sisi buruknya. Ibaratnya begini: sehelai kertas
putih dipampangkan ke depan kita oleh seorang psikolog dan kita berkomentar:
sehelai kertas putih. Sang psikolog kemudian membubuhi kertas putih tersebut
dengan noktah hitam di tengahnya, lalu bertanya, “Nah, sekarang apa yang anda
lihat?”. Dengan cepat kita menjawab, “Noda hitam di tengah kertas putih.” Dan itulah
masalahnya. Kertas putih itu masih sama, hanya ada tambahan titik hitam kecil
di tengahnya, dan pandangan serta perhatian kita semua terpusat pada si hitam
yang kecil itu. Itulah masalah kita yang sebenarnya: tak peduli sebesar apapun
bagian putih dari Indonesia kita yang raya, kita lebih suka memandang
titik-titik hitamnya.
Tentu saja saya tidak hendak
menyebarkan pesan semacam, “Ah, sutralah dengan segala kekurangan dan keburukan
itu. Toh masih lebih banyak yang baik. Jadi, sudah bagus.” Bukan, sama sekali
bukan seperti itu (untuk lebih
jelasnya akan saya uraikan dalam posting mendatang. Pertama, karena alasan
tempat. Kedua, ini kan bisa-bisanya saya aja supaya anda balik lagi ke sini,
hihihi….). Tapi baiklah saya berikan satu gambaran lagi: seorang gadis cilik
dibesarkan dengan ejekan oleh orang-orang di sekelilingnya: kamu jelek,
hidungmu pesek. Demikian terus selama masa perkembangannya, hingga kemudian ia
beranjak remaja dengan sama sekali yakin bahwa ia jelek dan pesek, tak mau tau
bahwa ia sebenarnya punya tubuh tinggi dengan struktur tulang yang memungkinkan
jadi atlet, kalau saja ia dibina sejak kecil. Namun berhubung sejak kecil
orang-orang lebih suka melihat kekurangannya timbang kelebihannya, tentu saja
tak ada satupun yang membinanya. Dan tentu saja si gadis tumbuh besar dengan
percaya pada hal-hal buruk yang ditanamkan orang-orang pada alam sadar dan
bawah sadarnya. Keburukan sekecil apapun jika dibesarkan dengan sungguh-sungguh
memang akan membuat kebaikan sebesar apapun jadi menghilang. Dan yang paling
menyedihkan, bagian paling teraniaya dalam skenario ini adalah semangat, rasa
percaya diri, dan kegembiraan gadis kecil tersebut di atas.
Tidakkah
itu pula yang terjadi saat tiap-tiap mulut di sekitar kita –atau jangan-jangan
mulut kita juga- yakni dengan spartan membesar-besarkan hal-hal yang buruk
SAJA? Itu jadi semacam pesan yang tertanam dalam alam sadar dan bawah sadar
kita, yang karena kita dengarkan dan saksikan berulang-ulang, maka kita
PERCAYAI SEBAGAI SEBUAH KEBENARAN. Dan karena kebenaran yang kita percayai
tersebut adalah kebenaran yang buruk, maka hilanglah semangat, rasa percaya
diri, dan kegembiraan kita hidup di Indonesia. Yang paling celaka, lambat laun
hilanglah kemampuan kita untuk mengucap syukur atas segala nikmat yang kita
peroleh secara cuma-cuma dari negeri kita nan kaya dan jelita.
Maka,
baiklah kita berhenti berpikir dan merasakan yang buruk. Sebab yang baik masih
jauh lebih banyak untuk kita nikmati. Kalau kita bisa memilih untuk melihat
yang baik, kenapa kita harus memilih untuk melihat yang buruk? Marilah kita
tidak mencontoh kejahatan saya dalam kisah imajiner di atas dengan membuat ‘Putra
nan Tampan dan Berkualitas’ menjadi ‘Putra yang Mukanya Kutil Semua’. Indonesia
layak untuk kita hargai keindahan, kekayaan, dan kebesarannya. Indonesia layak
menerima rasa cinta dan bangga, dan bukannya cemoohan kita. Sebab Tuhan saja
mencintai dan memandang indah Indonesia, apalah hak kita memandang dan
memerlakukan Indonesia dengan cara sebaliknya? Tuhan melihat keindahan dan
kelebihan saya dan anda! Tuhan melihat keindahan dan kelebihan Indonesia!
mbak Maya, singkat aja... Kalau semua memandang seseorang dengan cara seperti memandang kutil, ya ngga heran memang pepatah mengatakan: gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga... Ga ada obat yg mujarab, krn itulah sifat dasar manusia... Selalu memandang kejelekan.. Bukan mensyukuri apa yg dimiliki, tapi menginginkan yg tidak dimiliki..
BalasHapusHmmmmmm, Flute of reed yang baik, gara-gara sifat buruk memandang segala sesuatu dari buruknya sajalah maka kondisi di Indonesia semakin memburuk. Untuk membawa negeri ini bangkit dari keterpurukan maka pertama kali kita memang harus mengubah sikap mental dari berbagai aspek. Sebab bagaimana kita bisa membuat sesuatu yang baik jika diawali dari pikiran yang buruk? Terima kasih komentarnya, Fle of the reed. Tuhan memberkati!
BalasHapusIni seperti melihat gelas terisi setengah, dan menyebutnya setengah penuh atau setengah kosong.. Seringkali orang yg rendah diri, kurang pede akan bilang setengah kosong... Setuju dg mbak Maya... Lupakan kutil, lihatlah bahwa 90% keindahan dan kebaikan yang sudah dilakukan pemerintah, Teman-Teman maupun rekan-rekan kita... Lihatlah 1000 usaha yang sudah mereka lakukan dengan tulus dan niat baik... Jangan melihat 2 atau 3 kesalahan yg dilakukan... Jangan sampai panas setahun dihapus oleh hujan sehari... Untuk menuju Indonesia yg lebih baik...
BalasHapusHufff... kalau aja semua orang Indonesia seperti anda, Flute. Negeri ini akan jauh lebih damai, sejahtera, makmur, dan jaya. Karena masing-masing pihak hidup senang sebab hatinya diliputi rasa syukur. Hati yang senang adalah obat, dan pasti pompa yang besar untuk semangat. Tapi berhubung tidak semua orang seperti anda, gimana kalau sikap mental ini anda sebar luaskan pada orang-orang di sekeliling anda? Tuhan memberkati!
BalasHapusGara gara nila setitik, rusak susu sebelanga
BalasHapuspanas setahun dihapus hujan sehari
maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai #loch
yah, sayangnya kita semua nggak diberkati untuk melihat dengan kacamata yang lebih lebar ya mbak...hehehe.... mind set "sempurna" entah bagaimana sebegitu kuatnya tertanam dalam pikiran kita. Sehingga, sesuatu yang kurang dari sempurna tersebut akan dianggap nista, nihil, laknat, dan hal-hal lain yang nggak banged dech istilahnya. Wajar banget sih kalau kita menginginkan kertas putih tanpa noda, muka mulus tanpa kutil dan jerawat jerawat imut tersebut, hingga gelas yang selalu penuh, bukannya setengah kosong atau hampir kosong....
saya tertawa terbahak bahak membaca ilustrasi Mbak May akan potret bagaimana masyarakat Indonesia sangat melihat keburukan daripada kebaikan. Saya tertawa sekaligus miris, inikah gambaran bangsa ini (sekaligus berkaca pada diri sendiri)? saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu ada Good News Of Indonesia yang isinya tuh berita berita baik. saya nggak tahu Mbak May pernah menonton apa ngga, tapi konsep acaranya adalah berita yang terus menerus menayangkan tentang kebaikan Indonesia (belakangan dibuat versi webnya juga). Alasan mereka berbuat hal tsb adalah karena letih terhadap segala hal yan buruk tentang Indonesia. kalau mau membersihkan batin dan jiwa Indonesia, kenapa tidak dengan menghipnosis diri sendiri dengan mengatakan hal hal yang baik tentang Indonesia? mungkin begitulah kurang lebihnya kata-kata mereka....
saya ingat sekali berita-beritanya ini memang positif. contohnya : Indonesia punya 17ribuan pulau (belakangan katanya cuma 13rban karena gosong tidak dianggap pulau) sehingga Indonesia sampai dinobatkan sebagai negara kepulauan terbesar di Indonesia. Indonesia punya sekian gunung berapi, tanah tersubur, sekian samudera, penghasil ini terbesar, itu terbesar, anu terbesar, de el el de el el. Pokoknya beritanya positif semuanya. Sayangnya, entah kenapa berita seperti ini (seperti yang saya rasakan juga) lama kelamaan menjadi basi. Berita seperti ini tidak menarik, tidak seksi untuk hitungan bisnis. Entah, saya nggak tahu dimanakah Good News Indonesia tersebut berada saat ini.
bayangkan dalam suatu cafe, segerombolan pekerja kantoran asyik membahas 17ribu buah pulau yang ada di Indonesia! Situasi yang utopis ya? Kenyataannya, masyarakat kita lebih suka membicarakan hal hal yang bombastis dan berpotensi mengguncang peri kehidupan mereka sendiri. Sederhana saja, segerombolan pekerja kantoran asik membicarakan gonjang ganjing kenaikan harga BBM, kisruh di parlemen, kisah asmara Angie, atau Dewi Perssssssik, dan hal-hal yang memang seksi dan HOT jika dibicarakan. Ah, saya jadi ingat, surat kabar di Singapura yang memuat berita-berita nggak penting dalam headlinesnya. Misalnya saja, PM Singapura bermain golf dan berhasil hole in one sebanyak beberapa kali, Burung Flamingo di Jurong Bird Park melahirkan sepasang bayi Flamingo yang lucu, Ada selamatan di jalan sekian sekian. Dunia yang sungguh sangat adem ayem. Dimanakah berita-berita "horor" berada? Jauh di dalam surat kabar, ada halaman bagian Internasional yang memuat kejadian kejadian heboh seperti demo di Indonesia, jahit mulut, bom di Afghanistan, agresi militer Suriah maupun Israel, hingga demo dan rusuh Yunani akibat bergejolaknya perekonomian negeri itu.
BalasHapussaya rasa, nggak ada yang salah dalam sikap kita kala melihat suatu persoalan yang ada. Nggak apa-apa melihat kertas yang tidak sepenuhnya putih, nggak kenapa napa melihat kutil atau jerawat yang ada di hidung bangir. Yang lebih penting adalah : semangat kita untuk berkarya, membereskan persoalan tersebut, bukan dengan jalan membombastis dan menghebohkan dunia nasional dan internasional tentunya. apa yang kita alami ini tentu buah dari kebebasan berpendapat yang sedang kita terima. nggak salah sih... namun terkadang hal tersebut berimplikasi negatif terutama bagi mereka yang kurang memiliki akses informasi. sederhana saja, sebuah headlines menuliskan "JAKARTA LUMPUH!!!". whoaaa.... saudara saudara kita di Medan sana sibuk bertanya apakah kita bisa keluar dengan bebas? Padahal, lumpuhnya tersebut karena banjir yang katakanlah cuma di sekitar Cipinang Muara. atau "MATARAM MEMBARA!!!" karena aksi demo yang dilakukan oleh sejumlah pihak berakhir ricuh dan berdarah. Kenyataannya, bagian lain dari Mataram masih bisa membuka usahanya tanpa takut dan terpengaruh akan berita tersebut. Balik lagi Mbak May, nggak salah sama sekali memiliki penilaian terhadap suatu masalah seperti itu. Yang lebih penting, bagaimanakah kita dapat menyelesaikan masasalah tersebut dengan bijak, bukan justru malah fokus terus dengan masalah tersebut. Kalau ada anak busung lapar, ya galang dana untuk membantu, subsidi beras lah dari daerah yang surplus. Kalau ada gedung sekolah runtuh, ya bersama sama lah membangun. swadaya juga penting, selain tentunya daerah lain yang memang unggul dalam bahan baku bangunan turut membantu. Ini gunanya kita berada dalam naungan satu bendera Indonesia. SUdah saatnya kita seperti itu. Sudahkah kita?
Lomar, bapakmu pasti dukun, karena kamu bisa membaca isi hati dan pikiranku:).Hehe...nggak lucu. Begini, ketidak sepakatan Lomar di bagian bawah komen (tumben nggak sepakat?), tentang nggak masalah lihat kutil dll, sebetulnya sudah saya siapkan dalam artikel berikut (dan saya berjanji, apapun yang terjadi, tidak akan ada satu oknumpun yang bisa menggagalkan pemuatan artikel tersebut, dengan atau tanpa memberi ide baru!!! *dendam*). Kalimat Lomie: 'Yang lebih penting adalah : semangat kita untuk berkarya, membereskan persoalan tersebut', adalah poin dari artikel saya berikut. Jadi di sini yang paling tepat untuk Lomie adalah pepatah Jerman kuno yakni: Ngerti sak durunging winarah (hehehe...). Artinya, mengetahui sesuatu sebelum hal itu terjadi. Jadi tepatlah bahwa kau turunan dukun:).
BalasHapusBtw, Good News from Indonesia masih eksis, kok, di dunia maya. Emang pernah ada versi layar kacanya? Saya kok nggak pernah ngerti, ya? Apakah jika ada hanya ditanyangkan seminggu sekali? Hmmm....why am i not surprised? Yang jelek-jelek, sedikiiiiitttt.... aja, jadi headline sampai berminggu-minggu. Kalau yang bagus-bagus ditayangkan seminggu sekali sudah mewah. Iklannya paling dikit. Eh, tapi bukankah iklan itu tergantung penonton juga? Kalau penontonnya nggak suka yang bagus-bagus ya berarti acara yang bagus bakal sepi iklan (CRING! IDE BARU *SIALLL!!!!*:)). terus terang saja, saya ini orang yang senang bertemu orang, terutama untuk menyalurkan talenta saya yang paling unik dan spesifik yakni ngoceh, terutama hal-hal yang nggak penting:). Tapi belakangan ini saya males banget ngobrol, karena biasanya obrolan seeanak apapun ujung-ujungnya pasti ngomongin yang jelek-jelek tentang negeri ini, lalu maki-maki pihak lain (ya iyalah, masa diri sendiri?) seolah-olah semua orang sudah jadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi Indonesia. Akhirnya saya ngoceh di sini, dan Puji Tuhan, mendapat respon positif. Tiap hari ada aja orang yang ngajak saya kenalan. beberapa orang tak dikenal mengirim surat via inbox, mengatakan bahwa tulisan-tulisan saya memberi inspirasi dan sedikit banyak mengubah pola pikir mereka yang dulunya suka ngomel dan melihat yang jelek-jelek saja. Yang bikin terharu adalah kalimat begini: Percayalah, mbak, suatu perbuatan baik, jika niatnya untuk kebaikan, sekecil apapun itu, pasti akan diberkati dan menjadi berkat bagi banyak orang. Begitu selesai membaca saya langsung teriak : AMIIIINNNN!!!!! (untung tetangga saya nggak ada yang namanya Amin. Hehe...nggak lucu untuk kedua kali:)). Ini jadi semacam sugesti bagi saya, bahwa apa yang saya lakukan ini harus semakin ditingkatkan, dan siapapun yang sepakat dengan saya mustinya mengambil langkah sama, yakni menyebar luaskan pesan-pesan yang ada di blog ini. Betapa akan bahagianya Tuhan jika semakin banyak orang Indonesia yang tahu bersyukur, yang tahu menghargai segala kemurahan yang telah diberikan-Nya secara cuma-cuma bagi bangsa dan negeri ini. Aduuuuhhhh... air mata saya meleleh!:). Jadi, sebelum sesenggukan, saya sudahi saja. Tuhan memberkati kita! Tuhan memberkati Indonesia!