Operasi
kutil bukan hal yang luar biasa, karena sifatnya minor. Dalam kehidupan nyata, saya
kenal dengan seseorang yang sungguh luar biasa dalam melihat ‘kutil kehidupan’.
‘Kutil kehidupan’ itu membuatnya terganggu, dan ia mengoperasinya dengan
canggih. Namanya Bachruddin. Saya memanggilnya Kang Din. Tampangnya kucel dan
enggak banget (tapi sekarang mendingan, setelah memutuskan berhenti merokok. Jadi
bayangkan betapa saya bakal LUAR BIASA cakep kalau berhenti merokok:)), dan bakal mengingatkan siapapun
pada penjual petis (memang ia dulu jualan petis kelilingan naik sepeda untuk
membiayai kuliahnya). Tapi jangan salah, di balik tampang nggak ada potongan
itu tersembunyi gunung prestasi dan kemuliaan yang luar biasa. Sebagai seorang
aktivis organisasi tani ia adalah seorang dedengkot. Sebagai orang yang
dipanggil Gus (anak kyai), beliau sangat dalam mengenai agama (ya mesthiii…).
Dalam urusan perikehidupan beragama ini, ia melihat sebuah ‘kutil’ dalam
hubungan lintas agama, paling tidak di kampungnya di Kalibening, Salatiga.
Penduduk kampung itu begitu konvensional sekaligus militan, dan menutup diri
serta sinis terhadap ‘orang-orang kafir (saya selalu tersenyum kalau mendengar,
membaca, terlebih menyebut istilah ini. Sekedar intermezzo, saya punya sahabat
sangaaaat….dekat, seorang mantan Ketua HMI, sekarang ngakunya pengusaha, dan
masih erat sampai sekarang, begini, “Ah, kamu enak Mad, kafir. Aku Kristen.”
Lain waktu, ketika kami membahas sesuatu, giliran dia bilang, “Ah, kamu enak,
May, kafir. Aku Islam.” Hehehe… Fundamentalis Islam dan Kristen kalau mendengar
guyonan ini pasti menggorok leher kami masing-masing:)).
Merasa
terganggu dengan ‘kutil’ agama ini, dengan sangat berani, pada tahun 90’an,
Kang Din mengorganisir teman-teman bulenya untuk live in di Kalibening, berbaur
dengan penduduk dan menjalani kehidupan sehari-hari mereka seperti menimba air,
memasak dengan kayu, nonton jathilan, ikut kendurian, membersihkan got, dsb.
Bule-bule tersebut datang dengan segala sesuatu yang 180 derajat berbeda,
termasuk agama dan nilai-nilai kehidupan, berbaur dengan penduduk kampung yang
syukurlah pada akhirnya berhasil ‘dipaksa’ Kang Din untuk membuka diri lebar-lebar,
dan cerita berakhir dengan sangat bahagia. Para bule pulang membawa cerita
mengesankan tentang kehidupan desa dan suasana religinya yang hangat dan
khusyuk, dan mata hati penduduk yang sempit akan ‘para kafir’ tersebut menjadi
terbuka luas. Luar biasa cara Kang Din mengoperasi ‘kutil’ dalam hal sentimen agama.
Terpujilah dan terberkatilah Kang Din!
Sudah
cukup? Belum. Suatu hari, sekitar sepuluh tahun lalu, ia merenungkan tentang ‘kutil
dalam bidang pendidikan di Indonesia’, yakni biaya pendidikan yang kian
menggila. Ada harga ada rupa, begitu istilahnya. Kalau mau dapat pendidikan
excellent harus bayar SPP selangit, belum uang gedung, duit ini-itu, dan
lain-lain. Lalu dia melihat kondisi anak-anak petani di desanya, yang setelah
berhasil diterima di sekolah yang baikpun, orang tuanya masih harus menyediakan
uang transport yang terbilang tidak sedikit bila dibandingkan dengan
penghasilan mereka. Akhirnya, bersama dua orang dedengkot lain dalam organisasi
tani ‘Qaryah Tayibbah’ (yang seorang pengusaha berhasil di Salatiga, pria,
etnis Cina, Katholik, bernama Pak Roy, dan seorang lagi bernama Ibu Ruth,
perempuan, pendeta Kristen), Kang Din menggodok konsep sebuah komunitas belajar
bernama Qaryah Tayibbah.
Awalnya
dibuka untuk lulusan SD, ditujukan untuk anak-anak yang hidup dalam lingkungan
dekat sekolah tersebut, mengusung konsep utama ‘semua orang adalah guru’,
dengan murid-murid pertama anak-anak tetangganya yang orang tuanya berhasil
‘dikelabuinya’J. Berhubung konsep utamanya semua
orang bisa menjadi guru, maka guru memiliki posisi nyaris setara dengan
murid-muridnya. Jadwal pelajaran, kegiatan sekolah, perlu atau tidaknya seragam
sekolah, dan sebagainya diputuskan bersama. Termasuk apakah pelajaran kali ini
akan diselenggarakan di luar atau di dalam kelas. Diskusi egaliter terjalin
hampir setiap saat, dan di sini murid-murid benar-benar belajar tentang arti
demokrasi, termasuk menyatakan dan MENGHARGAI SERTA MENERIMA perbedaan
pendapat. Dibuka pula ‘Morning English’ tiap jam enam pagi, sebelum jam pertama
dimulai, sehingga anak-anak petani, tukang jamu, pedagang, dan lain-lain
profesi informal tersebut dalam waktu singkat fasih berbahasa Inggris (tentu
saja dengan logat Jawa Salatiga yang medokJ). Bayaran sekolah sekitar tahun 2003-an
(yang sekarang ini saya belum up date) adalah 3 ribu perak sehari. Satu ribu
untuk biaya operasional (termasuk beli gitar, kamus, dll, apapun yang
disepakati murid-murid), satu ribu untuk sarapan (menu tiap hari ganti, plus
segelas susu sapi hangat. Waktu mendengarnya saya serasa ingin kembali SMP dan
sekolah di sanaJ). Satu ribu sisanya untuk mencicil komputer
yang… dibawa pulang ke rumah murid masing-masing. Heboh, ya?
Keberhasilan
yang saya ketahui sejauh ini adalah, dengan kurikulum belajar yang mereka ‘karang
sendiri’ tersebut, murid-murid di sana selalu meraih nilai terbaik dalam ujian
nasional di Salatiga. Dan karena murid-murid didorong untuk memunculkan yang
terbaik dari diri mereka, menjadi mandiri dan percaya diri, disertai fasilitas
yang lengkap, maka beberapa dari mereka telah menerbitkan buku yang prosesnya
mulai dari penulisan, editing, dll, mereka lakukan sendiri. Mereka juga bikin
film Indie, album lagu anak-anak tradisional, dan sebagainya. Dan saya bakal
mati kalau saya teruskan semua pencapaian sekolah Qaryah Tayibbah ini, soalnya
banyak sekali. Kalau penasaran saya sarankan anda live ini di sana. Menimba ilmu
dari manusia macam Kang Din adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga, yang
akan mengubah banyak sekali cara pandang anda. Dan saya sama sekali tidak
melebih-lebihkan. Kalau Syahrini live in di sana, pasti dia bilang, ”Kang Din
itu….sesuatu banget.”:).
Sekarang,
mari saya ingatkan anda pada kalimat saya dalam posting sebelumnya: Tentu saja
saya tidak hendak menyebarkan pesan semacam, “Ah, sutralah dengan segala
kekurangan dan keburukan itu. Toh masih lebih banyak yang baik. Jadi, sudah
bagus.” Bukan, sama sekali bukan seperti itu. Tidak pula ‘sutralah dengan
segala macam masalah itu’. Inilah maksud saya yang sebenarnya: marilah kita
bertanya pada diri sendiri, ‘kutil’ apa sih yang selama ini mengganggu pikiran
dan perasaan kita sebagai orang Indonesia? Kemudian, marilah kita dengan
bijaksana membuat peta masalah, lalu putuskan, ‘kutil’ mana yang hendak kita
operasi. Contoh sederhana: saya (tentu saja. Siapa yang punya blog ini, coba?
Yang punya akses untuk narsis di sini ya cuma sayaJ). Lama saya memikirkan, mengapa kian
lama ‘tampaknya’ bangsa ini kian semrawut. Setelah berpikir keras dengan
kapasitas otak saya yang terbatas, terkuaklah jawaban bahwa semua nampak buruk
karena bangsa ini kian lama kian senang melihat segala sesuatu dari sisi
negatifnya. Dan melihat hanya hal-hal yang negatif pada akhirnya akan
mematahkan semangat, seperti yang saya tulis dalam posting sebelum ini.
Oke,
lanjut. Setelah berhasil membuat peta masalah (sesuai perspektif saya, tentu
saja) kemudian saya memikirkan: apa ya yang kira-kira bisa kulakukan? Lalu saya
mulai sibuk ‘berkonsultasi’ dengan Tuhan. Kemudian saya diberi hikmat untuk
mengembangkan talenta. Jadilah saya teringat talenta menulis yang sudah saya
tinggalkan selama bertahun-tahun, karena kesibukan mengurus keluarga dan
sebagainya. Lalu saya kembali sibuk, mencari-cari hubungan antara talenta
dengan peta masalah yang telah saya buat di atas. Kemudian mikir-mikir lagi,
konsultasi dengan Tuhan lagi, begitu seterusnya. Akhirnya setelah sekitar
setahun (lama, ya? Maklum, lemot:)), saya memutuskan untuk membuat blog
dan bukannya mengirimkan tulisan ke berbagai media massa seperti yang dulu saya
lakukan, supaya artikel saya terkumpul jadi satu. Selain itu, kalau blog
sendiri kan pasti dimuat, kalau di media massa belum tentu, hihihi….
Dan
berhubung pemetaan masalah saya (di sini meliputi diskusi dengan suami, beberapa
teman, dan anak sulung saya. Sebagai catatan penting, dialah yang memberi
cambuk semangat ketika saya ragu, dengan kalimatnya: “Aku simpulkan, kita butuh
seseorang yang mau dan berani mengritik diri sendiri. Lalu teriak-teriak di
depan memberi motivasi. Go, Mak!” –thanks ya, Ndhut, I love you fulllll….!!!!)
menunjukkan pikiran negatif dan pesimisme yang happening banget (termasuk
semangat menuding pihak lain terutama pemerintah untuk tiap masalah), maka
tulisan-tulisan saya di blogpun saya khususkan bertema motivasi dan otokritik. Dengan
pisau kecil yang saya miliki, saya operasi ‘kutil’ pesimisme, hilang syukur dan
hormat pada Tuhan, nasionalisme yang semakin tipis, dan segala mental
menyebalkan yang trend-nya belum juga surut malah makin heboh hari demi hari
melalui tulisan-tulisan saya.
Dan
saya percaya tiap orang Indonesia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk melakukan
operasi ‘kutil kehidupan’. Mungkin anda melihat kehidupan anak-anak jalanan
sebagai kutil. Maka ambillah gunting anda, mungkin buku-buku dongeng, dan anda
bisa membacakan dongeng pada pada mereka dengan membuat komunitas khusus.
Mungkin anda melihat orang-orang yang hidup di tempat pembuangan sampah sebagai
‘kutil’ dan anda punya pisau operasinya yakni kemampuan memasak serta
gerombolan teman. Anda bisa gunakan itu membuat dapur umum di pemukiman liar di
tengah timbunan sampah atau kantong-kantong kemiskinan lain di kota anda.
Mungkin anda manajer hebat, sehingga anda bisa manfaatkan itu dengan memberi
pelatihan pada para pedagang kaki lima hingga bisa mencapai tahap akumulasi
modal, sehingga usaha mereka kian maju dan tak lagi mengotori kota dan merampas
hak pengguna trotoar yang lainnya. Mungkin anda musisi kampiun yang sukses
dengan etos kerja luar biasa, sehingga anda bisa membina para pengamen jalanan
menjadi sekampiun dan sedisiplin anda. Oh, banyak lagi kiranya ‘pisau operasi
kutil kehidupan’ yang Tuhan telah berikan untuk kita bangsa Indonesia. Mari
kita asah pisau itu, supaya tidak tumpul dan mengecewakan hati Tuhan, sehingga
bisa jadi Ia berpikir tidak ada gunanya kita diberi kesempatan hidup lebih lama
karena telah menyia-nyiakan ‘pisau’ yang sudah Ia berikan dengan segenap rasa
cinta dan percaya.
Tuhan
menajamkan ‘pisau operasi kutil’ anda dan saya! Bersama Tuhan kita operasi ‘kutil-kutil’
di Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar