Jumat, 30 Maret 2012

Ya Dioperasi Saja Kutilnya



Operasi kutil bukan hal yang luar biasa, karena sifatnya minor. Dalam kehidupan nyata, saya kenal dengan seseorang yang sungguh luar biasa dalam melihat ‘kutil kehidupan’. ‘Kutil kehidupan’ itu membuatnya terganggu, dan ia mengoperasinya dengan canggih. Namanya Bachruddin. Saya memanggilnya Kang Din. Tampangnya kucel dan enggak banget (tapi sekarang mendingan, setelah memutuskan berhenti merokok. Jadi bayangkan betapa saya bakal LUAR BIASA cakep kalau berhenti merokok:)), dan bakal mengingatkan siapapun pada penjual petis (memang ia dulu jualan petis kelilingan naik sepeda untuk membiayai kuliahnya). Tapi jangan salah, di balik tampang nggak ada potongan itu tersembunyi gunung prestasi dan kemuliaan yang luar biasa. Sebagai seorang aktivis organisasi tani ia adalah seorang dedengkot. Sebagai orang yang dipanggil Gus (anak kyai), beliau sangat dalam mengenai agama (ya mesthiii…). Dalam urusan perikehidupan beragama ini, ia melihat sebuah ‘kutil’ dalam hubungan lintas agama, paling tidak di kampungnya di Kalibening, Salatiga. Penduduk kampung itu begitu konvensional sekaligus militan, dan menutup diri serta sinis terhadap ‘orang-orang kafir (saya selalu tersenyum kalau mendengar, membaca, terlebih menyebut istilah ini. Sekedar intermezzo, saya punya sahabat sangaaaat….dekat, seorang mantan Ketua HMI, sekarang ngakunya pengusaha, dan masih erat sampai sekarang, begini, “Ah, kamu enak Mad, kafir. Aku Kristen.” Lain waktu, ketika kami membahas sesuatu, giliran dia bilang, “Ah, kamu enak, May, kafir. Aku Islam.” Hehehe… Fundamentalis Islam dan Kristen kalau mendengar guyonan ini pasti menggorok leher kami masing-masing:)).

Merasa terganggu dengan ‘kutil’ agama ini, dengan sangat berani, pada tahun 90’an, Kang Din mengorganisir teman-teman bulenya untuk live in di Kalibening, berbaur dengan penduduk dan menjalani kehidupan sehari-hari mereka seperti menimba air, memasak dengan kayu, nonton jathilan, ikut kendurian, membersihkan got, dsb. Bule-bule tersebut datang dengan segala sesuatu yang 180 derajat berbeda, termasuk agama dan nilai-nilai kehidupan, berbaur dengan penduduk kampung yang syukurlah pada akhirnya berhasil ‘dipaksa’ Kang Din untuk membuka diri lebar-lebar, dan cerita berakhir dengan sangat bahagia. Para bule pulang membawa cerita mengesankan tentang kehidupan desa dan suasana religinya yang hangat dan khusyuk, dan mata hati penduduk yang sempit akan ‘para kafir’ tersebut menjadi terbuka luas. Luar biasa cara Kang Din mengoperasi ‘kutil’ dalam hal sentimen agama. Terpujilah dan terberkatilah Kang Din!

Sudah cukup? Belum. Suatu hari, sekitar sepuluh tahun lalu, ia merenungkan tentang ‘kutil dalam bidang pendidikan di Indonesia’, yakni biaya pendidikan yang kian menggila. Ada harga ada rupa, begitu istilahnya. Kalau mau dapat pendidikan excellent harus bayar SPP selangit, belum uang gedung, duit ini-itu, dan lain-lain. Lalu dia melihat kondisi anak-anak petani di desanya, yang setelah berhasil diterima di sekolah yang baikpun, orang tuanya masih harus menyediakan uang transport yang terbilang tidak sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan mereka. Akhirnya, bersama dua orang dedengkot lain dalam organisasi tani ‘Qaryah Tayibbah’ (yang seorang pengusaha berhasil di Salatiga, pria, etnis Cina, Katholik, bernama Pak Roy, dan seorang lagi bernama Ibu Ruth, perempuan, pendeta Kristen), Kang Din menggodok konsep sebuah komunitas belajar bernama Qaryah Tayibbah.

Awalnya dibuka untuk lulusan SD, ditujukan untuk anak-anak yang hidup dalam lingkungan dekat sekolah tersebut, mengusung konsep utama ‘semua orang adalah guru’, dengan murid-murid pertama anak-anak tetangganya yang orang tuanya berhasil ‘dikelabuinya’J. Berhubung konsep utamanya semua orang bisa menjadi guru, maka guru memiliki posisi nyaris setara dengan murid-muridnya. Jadwal pelajaran, kegiatan sekolah, perlu atau tidaknya seragam sekolah, dan sebagainya diputuskan bersama. Termasuk apakah pelajaran kali ini akan diselenggarakan di luar atau di dalam kelas. Diskusi egaliter terjalin hampir setiap saat, dan di sini murid-murid benar-benar belajar tentang arti demokrasi, termasuk menyatakan dan MENGHARGAI SERTA MENERIMA perbedaan pendapat. Dibuka pula ‘Morning English’ tiap jam enam pagi, sebelum jam pertama dimulai, sehingga anak-anak petani, tukang jamu, pedagang, dan lain-lain profesi informal tersebut dalam waktu singkat fasih berbahasa Inggris (tentu saja dengan logat Jawa Salatiga yang medokJ). Bayaran sekolah sekitar tahun 2003-an (yang sekarang ini saya belum up date) adalah 3 ribu perak sehari. Satu ribu untuk biaya operasional (termasuk beli gitar, kamus, dll, apapun yang disepakati murid-murid), satu ribu untuk sarapan (menu tiap hari ganti, plus segelas susu sapi hangat. Waktu mendengarnya saya serasa ingin kembali SMP dan sekolah di sanaJ). Satu ribu sisanya untuk mencicil komputer yang… dibawa pulang ke rumah murid masing-masing. Heboh, ya?

Keberhasilan yang saya ketahui sejauh ini adalah, dengan kurikulum belajar yang mereka ‘karang sendiri’ tersebut, murid-murid di sana selalu meraih nilai terbaik dalam ujian nasional di Salatiga. Dan karena murid-murid didorong untuk memunculkan yang terbaik dari diri mereka, menjadi mandiri dan percaya diri, disertai fasilitas yang lengkap, maka beberapa dari mereka telah menerbitkan buku yang prosesnya mulai dari penulisan, editing, dll, mereka lakukan sendiri. Mereka juga bikin film Indie, album lagu anak-anak tradisional, dan sebagainya. Dan saya bakal mati kalau saya teruskan semua pencapaian sekolah Qaryah Tayibbah ini, soalnya banyak sekali. Kalau penasaran saya sarankan anda live ini di sana. Menimba ilmu dari manusia macam Kang Din adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga, yang akan mengubah banyak sekali cara pandang anda. Dan saya sama sekali tidak melebih-lebihkan. Kalau Syahrini live in di sana, pasti dia bilang, ”Kang Din itu….sesuatu banget.”:).

Sekarang, mari saya ingatkan anda pada kalimat saya dalam posting sebelumnya: Tentu saja saya tidak hendak menyebarkan pesan semacam, “Ah, sutralah dengan segala kekurangan dan keburukan itu. Toh masih lebih banyak yang baik. Jadi, sudah bagus.” Bukan, sama sekali bukan seperti itu. Tidak pula ‘sutralah dengan segala macam masalah itu’. Inilah maksud saya yang sebenarnya: marilah kita bertanya pada diri sendiri, ‘kutil’ apa sih yang selama ini mengganggu pikiran dan perasaan kita sebagai orang Indonesia? Kemudian, marilah kita dengan bijaksana membuat peta masalah, lalu putuskan, ‘kutil’ mana yang hendak kita operasi. Contoh sederhana: saya (tentu saja. Siapa yang punya blog ini, coba? Yang punya akses untuk narsis di sini ya cuma sayaJ). Lama saya memikirkan, mengapa kian lama ‘tampaknya’ bangsa ini kian semrawut. Setelah berpikir keras dengan kapasitas otak saya yang terbatas, terkuaklah jawaban bahwa semua nampak buruk karena bangsa ini kian lama kian senang melihat segala sesuatu dari sisi negatifnya. Dan melihat hanya hal-hal yang negatif pada akhirnya akan mematahkan semangat, seperti yang saya tulis dalam posting sebelum ini.

Oke, lanjut. Setelah berhasil membuat peta masalah (sesuai perspektif saya, tentu saja) kemudian saya memikirkan: apa ya yang kira-kira bisa kulakukan? Lalu saya mulai sibuk ‘berkonsultasi’ dengan Tuhan. Kemudian saya diberi hikmat untuk mengembangkan talenta. Jadilah saya teringat talenta menulis yang sudah saya tinggalkan selama bertahun-tahun, karena kesibukan mengurus keluarga dan sebagainya. Lalu saya kembali sibuk, mencari-cari hubungan antara talenta dengan peta masalah yang telah saya buat di atas. Kemudian mikir-mikir lagi, konsultasi dengan Tuhan lagi, begitu seterusnya. Akhirnya setelah sekitar setahun (lama, ya? Maklum, lemot:)), saya memutuskan untuk membuat blog dan bukannya mengirimkan tulisan ke berbagai media massa seperti yang dulu saya lakukan, supaya artikel saya terkumpul jadi satu. Selain itu, kalau blog sendiri kan pasti dimuat, kalau di media massa belum tentu, hihihi…. 

Dan berhubung pemetaan masalah saya (di sini meliputi diskusi dengan suami, beberapa teman, dan anak sulung saya. Sebagai catatan penting, dialah yang memberi cambuk semangat ketika saya ragu, dengan kalimatnya: “Aku simpulkan, kita butuh seseorang yang mau dan berani mengritik diri sendiri. Lalu teriak-teriak di depan memberi motivasi. Go, Mak!” –thanks ya, Ndhut, I love you fulllll….!!!!) menunjukkan pikiran negatif dan pesimisme yang happening banget (termasuk semangat menuding pihak lain terutama pemerintah untuk tiap masalah), maka tulisan-tulisan saya di blogpun saya khususkan bertema motivasi dan otokritik. Dengan pisau kecil yang saya miliki, saya operasi ‘kutil’ pesimisme, hilang syukur dan hormat pada Tuhan, nasionalisme yang semakin tipis, dan segala mental menyebalkan yang trend-nya belum juga surut malah makin heboh hari demi hari melalui tulisan-tulisan saya.

Dan saya percaya tiap orang Indonesia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk melakukan operasi ‘kutil kehidupan’. Mungkin anda melihat kehidupan anak-anak jalanan sebagai kutil. Maka ambillah gunting anda, mungkin buku-buku dongeng, dan anda bisa membacakan dongeng pada pada mereka dengan membuat komunitas khusus. Mungkin anda melihat orang-orang yang hidup di tempat pembuangan sampah sebagai ‘kutil’ dan anda punya pisau operasinya yakni kemampuan memasak serta gerombolan teman. Anda bisa gunakan itu membuat dapur umum di pemukiman liar di tengah timbunan sampah atau kantong-kantong kemiskinan lain di kota anda. Mungkin anda manajer hebat, sehingga anda bisa manfaatkan itu dengan memberi pelatihan pada para pedagang kaki lima hingga bisa mencapai tahap akumulasi modal, sehingga usaha mereka kian maju dan tak lagi mengotori kota dan merampas hak pengguna trotoar yang lainnya. Mungkin anda musisi kampiun yang sukses dengan etos kerja luar biasa, sehingga anda bisa membina para pengamen jalanan menjadi sekampiun dan sedisiplin anda. Oh, banyak lagi kiranya ‘pisau operasi kutil kehidupan’ yang Tuhan telah berikan untuk kita bangsa Indonesia. Mari kita asah pisau itu, supaya tidak tumpul dan mengecewakan hati Tuhan, sehingga bisa jadi Ia berpikir tidak ada gunanya kita diberi kesempatan hidup lebih lama karena telah menyia-nyiakan ‘pisau’ yang sudah Ia berikan dengan segenap rasa cinta dan percaya.

Tuhan menajamkan ‘pisau operasi kutil’ anda dan saya! Bersama Tuhan kita operasi ‘kutil-kutil’ di Indonesia!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar