Jumat, 09 November 2012

Maka Tak Ada Pilihan Lain: Kembali ke Dasar



Memang tidak mudah membayangkan kondisi di Sulawesi Utara seperti saya sebut di posting sebelumnya. Kalau mau menghayati ya musti tinggal selama beberapa waktu di sana. Itupun tidak hanya semata nyangkul nyari duit, pulang istirahat, kalau ada waktu dugem atau cari hiburan lain, nyangkul lagi, istirahat lagi, dst. Musti banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan masyarakat sekitar, baik etnis asli atau etnis-etnis pendatang. Dan terutama membuka mata hati serta melihat semua dari perspektif positif. Atau boleh juga kalau datang ke Sulut dengan niatan mau bikin penelitian kualitatif, kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman dan disebarluaskan di sana atau di mana-mana. Tapi inipun ada resikonya, yang pertama adalah butuh waktu dan biaya. Resiko kedua (yang jauh lebih berbahaya), yakni kemungkinan besar si peneliti karena terlalu menghayati penelitian kualitatifnya jadi keenakan, terus ogah pulang. Hehehehe… Mungkin, lho, soalnya hidup di Sulut sini memang bak hidup di dunia utopia dambaan Karl Marx. Bila demikian halnya, lalu bagaimana kerukunan antar etnis bisa ditegakkan seantero Indonesia? Kalau memang seruan saya seperti pada posting sebelum ini terlalu ribet dalam pelaksanaannya, maka tak ada pilihan lain selain kembali ke dasar. Dasar apa? Dasar Negara kita Pancasila. Ya, dasar Negara kita Pancasila, bukan “Dasar lu gila!!!” (hehehe...makin lama saya makin garing, ya?). 

Klise? Terserah. Tapi memang benar, jadi saya tak punya pilihan lain selain mengangkat Pancasila ke permukaan. Lhah, memang selama ini Pancasila ke mana? Emmmm….terus terang saya tidak tahu, wong saya bukan Doraemon yang punya pintu ke mana saja. Namun kenapa Pancasila menghilang kira-kira saya tahu sebabnya, hanya saja saya baru akan mengupasnya di posting mendatang supaya yang ini tidak kepanjangan. Baiklah, saya mulai. Saya tidak tahu apakah saya yang terlalu lebay atau bagaimana, namun dengan segenap keluguan sekaligus rasa percaya diri, saya yakin bahwa ada dua perkara di sini:
1.      Semua permasalahan bangsa hanya bisa ditangkal dengan Pancasila.
2.      Cita-cita menjadikan Indonesia bangsa yang jaya hanya bisa dicapai bila segenap elemen bangsa dengan teguh dan penuh rasa Indonesia, mulai mendasari segenap aspek hidupnya dari Pancasila. 

Oke, sampai di sini saya dihadang resiko protes kaum agamis puritan yang biasanya punya dalih: Pancasila adalah berhala. Baiklah, untuk kaum yang satu ini saya akan ngeles dengan mencantumkan ini: ‘Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’. Terdengar familiar? Atau malah belum pernah dengar sama sekali? Hihihi… Itu tadi butir ke dua sila pertama Pancasila. Jadi mau dibilang berhala bagaimana, sedangkan yang tersirat di situ adalah kembali kepada masing-masing kitab? Baiklah, karena saya menulis kata ‘tersirat’ di sini, maka ada kemungkinan saya akan dihadang oleh mereka yang gemar bilang, “Maka tak mungkin Pancasila ditegakkan, karena sifatnya sangat multi tafsir.” Jadi sebagai prolog, ijinkan saya mengupasnya dengan menggunakan pendekatan logika pikir orang barat yang anti tafsir dan timur yang sarat tafsir. Namun pertama-tama, marilah kita semua berasumsi bahwa dikotomi ini bersifat umum, dus bukan berarti seratus persen.

Oke, langsung saja.
1.      Orang barat atau Indonesia berpikiran barat (secara umum) sulit untuk melihat sesuatu di luar warna hitam putih. Semua musti hitam atau putih. Warna lain membuat mereka bingung. Bagi orang barat 1+1 harus sama dengan dua. Aksen membuat mereka tersesat. Contohnya, sulit bagi mereka untuk memahami mengapa seorang gadis dan pemuda mau-maunya dijodohkan oleh orang tua mereka dengan seseorang yang tidak mereka cintai. Sulit bagi orang barat atau siapapun yang berpikiran barat untuk melihat, bahwa ada banyak jenis cinta di luar cinta eros yang punya pengaruh besar dalam sebuah relasi intim. Bagi mereka cinta adalah jika dua orang (entah beda jenis atau tidak) merasakan unsur kimia yang kuat, yang membuat dada bergetar, jantung menggelenyar, dan sebagainya. Unsur hormonal tersebutlah yang bagi mereka MUSTI menjadi satu-satunya pendorong bagi cinta. Sebaliknya, bagi orang Indonesia (secara umum) adalah bodoh memaksakan kehendak hidup bersama dengan orang yang ia cintai secara eros, jika itu berdampak pada menyakiti hati orang tua dan lain-lainnya. Mudah bagi orang Indonesia untuk berkata, “Orang tua tau yang terbaik untuk anaknya. Jadi pilihan mereka pastilah yang terbaik untukku.” Orang barat boleh berpikir sampai jidat mereka keriput, dan saya tidak akan heran kalau mereka berakhir dengan tetap tidak mengerti. Sekali lagi, karena hanya ada dua warna bagi mereka. Karena 1+1 sama dengan harus dua.

2.      Kecenderungan untuk melihat warna hanya hitam dan putih dan 1+1 harus = 2 punya dampak menutup ruang tafsir dan pemahaman. Ini pula menutup kesempatan bagi ruang pengasahan dan pertumbuhan nurani serta rasa. Tidak heran jika saat membuat hukum atau apapun, mereka sibuk dengan batasan kata. Kalau mau bicara ekonomi, musti ada kata ekonomi. Tidak heran pula ketika orang barat (atau timur berpikiran barat) jadi bingung ketika tidak ada kata ekonomi pada sila ke lima. Kata ‘usaha’ dan ‘kerja keras’ yang dengan SANGAT MUDAH dipahami oleh orang Indonesia sebagai bagian dari makna ekonomi secara umum dan khusus, membuat mereka setengah mati berpikir keras. Jadi saya bisa mengerti mengapa kata ‘hikmat’ yang muncul pada sila ke IV membuat mereka jauh lebih kebingungan. Bagaimana tidak, sedangkan kata ekonomi tidak muncul dalam sila ke V saja membuat mereka hilang arah, padahal itu begitu sederhana. Apalagi memaknai ‘hikmat’ yang begitu luas dan dalam sehingga membutuhkan hati dan nurani yang terasah betul untuk memahami, terlebih melaksanakannya? Hal serupa juga mereka alami ketika menemukan kata gotong royong, ke-Tuhanan yang Maha Esa, azas kekeluargaan dan sebagainya. Jika orang Indonesia hanya butuh beberapa lembar kertas untuk menuliskan UUD ’45 dan Pancasila dan itu sudah cukup untuk membuat paham, mereka mungkin butuh berjilid-jilid buku yang bisa jadi lebih banyak ketimbang ensiklopedia Britania Raya. Lha iya, wong tiap patah kata musti dijelaskan secara rinci dengan segala batasan dan contohnya dalam rangka keterbatasan ruang pikir mereka. Untunglah tak semua dari mereka seperti itu. Karena faktanya, para negarawan kelas internasional telah secara aklamatif menobatkan Pancasila sebagai Super Ideology. Dan justru di sinilah letak ironinya: butuh orang-orang sekaliber negarawan International bagi orang barat untuk memahami Pancasila, yang justru dengan demikian mudahnya dimengerti oleh rakyat Indonesia kelas jelata, paling tidak saya.  

Kepanjangan, ya, prolognya? Ya maaf :). Berangkat dari kalimat terakhir pada paragraf di atas, saya merasa sangat bersyukur dilahirkan menjadi orang Timur, Indonesia pula. Dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua, keluarga besar, guru-guru di sekolah, dan siapapun orang baik yang mau mengajari saya atau setidaknya kepada siapa saya pernah mencuri ilmu kehidupan, maka sama sekali tak sulit bagi saya untuk memahami Pancasila. Dan setelah prolog yang panjang sekali tadi, saya hendak kembali pada inti pembicaraan saya, bahwa satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk menegakkan persatuan Indonesia dengan tak terhitung etnis adalah Pancasila. Dan kalau anda menebak saya akan menggeber sila ke tiga persatuan Indonesia, maka anda salah total :). Pendekatan yang paling bagus untuk ini menurut saya justru sila ke dua. Ini, ya, butir-butirnya:
1.      Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME.
2.      Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dsb.
3.      Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4.      Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.      Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 

Coba, deh, tak peduli anda datang dari etnis manapun, entah yang terkenal suaranya seperti angin sepoi-sepoi saking halusnya atau yang bikin orang terkaget-kaget saking kerasnya, tak peduli anda dari etnis yang mengedepankan keterusterangan atau sebaliknya kesantunan sehingga setiap pesan musti dibungkus dengan kata-kata berbunga-bunga putar kiri putar kanan, akankah ada peristiwa baku bacok? Tak peduli dari mana dengan agama apa, kalau paham butir ke-4, manalah mungkin kita pelihara babi lalu dibiarkan berkeliaran di jalan sedangkan tetangga ada yang mengharamkan? Kalau paham butir ke-4 dan 5, manalah mungkin kita naik motor ugal-ugalan di kampung atau pasar dan menggeber knalpotnya bagaikan guntur? Jika kita paham itu semua, manalah mungkin bila kita melakukan kesalahan dan mendapat teguran, bukannya merasa bersalah dan meminta maaf justru balik menyerang, bahkan secara fisik? Dan berbagai hal yang berpotensi merugikan orang lain. 

Butir ke-4 ini juga bisa dijadikan penangkal untuk kesalah pahaman etnis. Misalnya, saya orang Jawa yang terbiasa dengan maksud tersirat dalam sebuah kalimat (bahkan kalau marahpun tidak secara langsung melainkan pakai bahasa sindiran), kalau tak paham benar butir ini akan dengan mudahnya mendakwa orang Minahasa yang terbuka sebagai ‘kasar dan tak kenal didikan’. Sebaliknya, orang Minahasa yang tak paham butir ini bisa pula dengan enteng menuduh orang Jawa ‘munafik dan tukang main tikam dari belakang’. Celaka, bukan? Padahal di Indonesia ini ada ratusan etnis dengan tata dan nilai hidup masing-masing (sebagai perbandingan silakan baca posting ‘Bersatu Tetapi Tetap Beda’). Saya suka frasa yang dipakai di sini: tenggang rasa dan tepa slira. Ini bukan sekedar bisa menerima tetangga kita orang Kristen yang beribadah pakai live musik kerasnya minta ampun rupa di kafe, lama pula. Atau semata menerima tetangga Muslim mengumandangkan adzan atau latihan shalawat Nabi dengan rebana pakai toa pas kita enak-enak tidur, dan sebagainya. Lebih dari itu, frasa ini mengandung kemauan untuk benar-benar mengerti, sungguh-sungguh memahami perbedaan. Dan yang lebih penting, bahwa kebutuhan tiap-tiap orang yang pastinya berbeda satu sama lain. Sampai di sini saya benar-benar tersentuh sekaligus bangga memiliki dasar berbangsa yang demikian indah seperti butir Pancasila yang satu ini. 

Jadi bila rasa ketimuran kita yang Indonesia memang terasah betul, kita tak perlu lagi sibuk bertanya-tanya: ukuran tenggang rasa dan tepa slira bagaimana? Tau dari mana sikap yang ini semena-mena dan sikap yang itu tidak? Blablabla, capek deh. Inilah landasan yang musti dipahami betul dalam urusan persatuan Indonesia, sebelum kita melangkah pada sila ke tiga. Dalam urusan menangkal pertikaian antar etnis, saya rasa butir yang paling tepat adalah yang pertama, yakni ‘mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan’. Ambil contoh, saya merasa identitas etnis saya didzolimi oleh seseorang dari etnis B. Bila saya tak ambil pusing dengan Indonesia, maka akan mudah bagi saya untuk pulang, mengumpulkan rekan dan handai taulan, lalu menyerbu dzolimin tersebut. Baku hantam, dzolimin yang kaget dan tak siap lalu kalah, apalagi saya main keroyokan. Lalu dia pulang, mengumpulkan sanak saudara lebih banyak lagi, dst, ujung-ujungnya belasan kepala ditebas dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Belum terhitung trauma psikologis yang pastinya jauh lebih sulit dipulihkan ketimbang rumah yang tinggal puing. Belum lagi cemarnya nama bangsa, karena jaman sekarang apa sih yang nggak dijadikan berita, link, dan sebagainya? Yang terjadi di Lampung lima menit lalu bisa diketahui orang sejagad lima menit sesudahnya.  

Saya jadi ingat Bapak saya. Beliau orang Jawa yang sungguh Jawa, sedangkan saya…. terserah, deh :). Bagaimana menyebut diri Jawa kalau tidak sungkan ngakak di muka umum? Suatu hari Bapak saya menegur sikap buruk ini. Dengan cara sindiran seperti biasa, beliau bilang, “Teman-teman Maya yang banyak orang bule itu waktu pulang cerita ke keluarganya apa, ya?” Melihat saya cuma melongo dengan wajah bodoh karena tak paham sindirannya, Bapak meneruskan, “Mungkin mereka cerita, “Oh, ternyata orang Indonesia urakan-urakan.”” Rambatannya pelan, lho, saudara-saudara, rasa panas di pipi saya :). Jadilah saya insyaf, kalau ngakak ya di rumah saja pas nggak ada orang saja. Tapi lebih seringnya sih lupa. HAHAHAHAHAHA!!!!!! (Husss!!! Maaf lupa, di hadapan saya ada saudara:)). Jadi begitulah, Bapak saya ini gemar sekali menegur dengan bawa-bawa Indonesia untuk  banyak hal. Ujung-ujungnya nasionalisme dan cinta tanah air dan bangsa bisa jadi penangkal untuk melakukan hal-hal buruk. 

Jadi tak perlulah kita semua menjadi orator kawakan macam Bung Karno untuk menumbuhkan rasa tersebut, karena sebagai orang tua yang bahkan paling kalempun kita bisa menanamkannya pada anak-anak kita. Sederhana, ya? Kalau pengin naik level ya kita bisa membawa muatan ini dalam perkumpulan PKK, pengajian, arisan bapak-bapak, rapat kampung, dll. Mau lebih menantang lagi yang buat saja pertemuan khusus warga demi mengupas Pancasila dan aplikasinya. Sekalian mengembalikan fungsi balai desa, to? Bagus lagi kalau wilayah dengan ragam etnis tersebut melakukan kegiatan bersama antar kampung. Seperti Festival Empat Gunung di Merapi itu, lho. Saya bayangkan kalau kejadian itu ada di Lampung sono pasti keren sekali. Setahun sekali warga dan seniman alam tersebut bertemu dalam satu acara besar, kemudian keunggulan seni budaya tiap etnis ditumpahkan dalam satu wadah. Sosialisasi dilakukan jauh hari, dengan demikian dari awal sudah ada komunikasi intens antar warga dan pentolan-pentolannya. Semakin kenal semakin sayang, bukan? Lalu rembugan bareng, menuangkan ide, nyusun acara, cari dana, blablabla. Jadi tambah dekat dan memahami, kan? Pas hari H undang semua orang, mau pejabat kek, wartawan kek, turis, sanak saudara di lain kecamatan, para pedagang asongan terdekat di kota anda, terserah. Lalu bukannya bacok-bacokan, mereka semua bersatu dalam gerak dan isi kepala menampilkan yang terbaik dari etnis mereka. Indahnyaaaaaaa……

Anda yang tinggal di Lampung sana atau mana saja, ingin mencobanya? Maka, Tuhan memberkati rencana dan kerja anda!

2 komentar:

  1. aku punya pengalaman, ketika nginap di Remboken (Minahasa),,,, kebetulan Mas bakso sedang memarkir jualannya di suatu pinggiran Jalan,,,,
    ketika sedang melayani pesanan orang, dari seberang jalan tiba2 ada suara memaki & marah2 "gara2 Mas pe Bakso torang pe jualan ndak laku2..." dan itu juga sering terjadi di Manado

    Coba bandingkan di Jawa (Jkt),,, ketika aku nongkrong didepan rumah makan (semacam warteg-lah),,, tiba2 Mas penjual Nasi Goreng datang dan memarkir jualannya didekat warteg tsb... ada beberapa warga yg memesannya... Dan saya teringat di Manado & Minahasa, tapi yg membuat saya kagum tidak ada satupun yg memarahi si Mas penjual itu...
    Disini terlihat bahwa rejeki & belum rejeki para penjual (baik warteg maupun gerobak) tergantung dari para masing2 orang yang membelinya,,,,

    BalasHapus
  2. Haaa??? Masa, sih? Kita nda pernah no melihat hal-hal macam begitu. Malah kita pe pengalaman seputar ini nih: beli pulsa voucher di satu kios ternyata harganya terlalu mahal. Lalu aku bilang sama penjual: wah, mahal sekali. Nggak jadi, deh. Eh, penjualnya bilang: "Itu di kios sebelah lebih murah. Jalan aja sekitar dua lorong dari sini." Nah, lo! Dan banyak kali kita temui hal-hal macam itu di Manado sini.

    BalasHapus