Memang tidak mudah membayangkan
kondisi di Sulawesi Utara seperti saya sebut di posting sebelumnya. Kalau mau
menghayati ya musti tinggal selama beberapa waktu di sana. Itupun tidak hanya
semata nyangkul nyari duit, pulang istirahat, kalau ada waktu dugem atau cari
hiburan lain, nyangkul lagi, istirahat lagi, dst. Musti banyak bergaul dan
bertukar pikiran dengan masyarakat sekitar, baik etnis asli atau etnis-etnis
pendatang. Dan terutama membuka mata hati serta melihat semua dari perspektif
positif. Atau boleh juga kalau datang ke Sulut dengan niatan mau bikin
penelitian kualitatif, kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman dan
disebarluaskan di sana atau di mana-mana. Tapi inipun ada resikonya, yang pertama adalah butuh waktu dan
biaya. Resiko kedua (yang jauh lebih berbahaya), yakni kemungkinan besar si
peneliti karena terlalu menghayati penelitian kualitatifnya jadi keenakan,
terus ogah pulang. Hehehehe… Mungkin, lho, soalnya hidup di Sulut sini memang
bak hidup di dunia utopia dambaan Karl Marx. Bila demikian halnya, lalu bagaimana
kerukunan antar etnis bisa ditegakkan seantero Indonesia? Kalau memang seruan
saya seperti pada posting sebelum ini terlalu ribet dalam pelaksanaannya, maka
tak ada pilihan lain selain kembali ke dasar. Dasar apa? Dasar Negara kita
Pancasila. Ya, dasar Negara kita Pancasila, bukan “Dasar lu gila!!!” (hehehe...makin
lama saya makin garing, ya?).
Klise? Terserah. Tapi memang
benar, jadi saya tak punya pilihan lain selain mengangkat Pancasila ke
permukaan. Lhah, memang selama ini Pancasila ke mana? Emmmm….terus terang saya
tidak tahu, wong saya bukan Doraemon yang punya pintu ke mana saja. Namun
kenapa Pancasila menghilang kira-kira saya tahu sebabnya, hanya saja saya baru
akan mengupasnya di posting mendatang supaya yang ini tidak kepanjangan. Baiklah,
saya mulai. Saya tidak tahu apakah saya yang terlalu lebay atau bagaimana,
namun dengan segenap keluguan sekaligus rasa percaya diri, saya yakin bahwa ada
dua perkara di sini:
1. Semua
permasalahan bangsa hanya bisa ditangkal dengan Pancasila.
2. Cita-cita
menjadikan Indonesia bangsa yang jaya hanya bisa dicapai bila segenap elemen
bangsa dengan teguh dan penuh rasa Indonesia, mulai mendasari segenap aspek
hidupnya dari Pancasila.
Oke, sampai di sini saya dihadang
resiko protes kaum agamis puritan yang biasanya punya dalih: Pancasila adalah
berhala. Baiklah, untuk kaum yang satu ini saya akan ngeles dengan mencantumkan
ini: ‘Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab’. Terdengar familiar? Atau malah belum pernah dengar sama
sekali? Hihihi… Itu tadi butir ke dua sila pertama Pancasila. Jadi mau dibilang
berhala bagaimana, sedangkan yang tersirat di situ adalah kembali kepada
masing-masing kitab? Baiklah, karena saya menulis kata ‘tersirat’ di sini, maka
ada kemungkinan saya akan dihadang oleh mereka yang gemar bilang, “Maka tak
mungkin Pancasila ditegakkan, karena sifatnya sangat multi tafsir.” Jadi
sebagai prolog, ijinkan saya mengupasnya dengan menggunakan pendekatan logika
pikir orang barat yang anti tafsir dan timur yang sarat tafsir. Namun
pertama-tama, marilah kita semua berasumsi bahwa dikotomi ini bersifat umum,
dus bukan berarti seratus persen.
Oke, langsung saja.
1. Orang
barat atau Indonesia berpikiran barat (secara umum) sulit untuk melihat sesuatu
di luar warna hitam putih. Semua musti hitam atau putih. Warna lain membuat
mereka bingung. Bagi orang barat 1+1 harus sama dengan dua. Aksen membuat
mereka tersesat. Contohnya, sulit bagi mereka untuk memahami mengapa seorang
gadis dan pemuda mau-maunya dijodohkan oleh orang tua mereka dengan seseorang
yang tidak mereka cintai. Sulit bagi orang barat atau siapapun yang berpikiran
barat untuk melihat, bahwa ada banyak jenis cinta di luar cinta eros yang punya
pengaruh besar dalam sebuah relasi intim. Bagi mereka cinta adalah jika dua
orang (entah beda jenis atau tidak) merasakan unsur kimia yang kuat, yang
membuat dada bergetar, jantung menggelenyar, dan sebagainya. Unsur hormonal
tersebutlah yang bagi mereka MUSTI menjadi satu-satunya pendorong bagi cinta.
Sebaliknya, bagi orang Indonesia (secara umum) adalah bodoh memaksakan kehendak
hidup bersama dengan orang yang ia cintai secara eros, jika itu berdampak pada
menyakiti hati orang tua dan lain-lainnya. Mudah bagi orang Indonesia untuk
berkata, “Orang tua tau yang terbaik untuk anaknya. Jadi pilihan mereka pastilah
yang terbaik untukku.” Orang barat boleh berpikir sampai jidat mereka keriput,
dan saya tidak akan heran kalau mereka berakhir dengan tetap tidak mengerti.
Sekali lagi, karena hanya ada dua warna bagi mereka. Karena 1+1 sama dengan
harus dua.
2. Kecenderungan
untuk melihat warna hanya hitam dan putih dan 1+1 harus = 2 punya dampak
menutup ruang tafsir dan pemahaman. Ini pula menutup kesempatan bagi ruang pengasahan dan pertumbuhan nurani
serta rasa. Tidak heran jika saat membuat hukum atau apapun, mereka sibuk dengan batasan kata. Kalau mau bicara ekonomi,
musti ada kata ekonomi. Tidak heran pula ketika orang barat (atau timur berpikiran
barat) jadi bingung ketika tidak ada kata ekonomi pada sila ke lima. Kata
‘usaha’ dan ‘kerja keras’ yang dengan SANGAT MUDAH dipahami oleh orang
Indonesia sebagai bagian dari makna ekonomi secara umum dan khusus, membuat
mereka setengah mati berpikir keras. Jadi saya bisa mengerti mengapa kata
‘hikmat’ yang muncul pada sila ke IV membuat mereka jauh lebih kebingungan.
Bagaimana tidak, sedangkan kata ekonomi tidak muncul dalam sila ke V saja
membuat mereka hilang arah, padahal itu begitu sederhana. Apalagi memaknai
‘hikmat’ yang begitu luas dan dalam sehingga membutuhkan hati dan nurani yang
terasah betul untuk memahami, terlebih melaksanakannya? Hal serupa juga mereka
alami ketika menemukan kata gotong royong, ke-Tuhanan yang Maha Esa, azas
kekeluargaan dan sebagainya. Jika orang Indonesia hanya butuh beberapa lembar
kertas untuk menuliskan UUD ’45 dan Pancasila dan itu sudah cukup untuk membuat
paham, mereka mungkin butuh berjilid-jilid buku yang bisa jadi lebih banyak
ketimbang ensiklopedia Britania Raya. Lha iya, wong tiap patah kata musti
dijelaskan secara rinci dengan segala batasan dan contohnya dalam rangka
keterbatasan ruang pikir mereka. Untunglah tak semua dari mereka seperti itu.
Karena faktanya, para negarawan kelas internasional telah secara aklamatif
menobatkan Pancasila sebagai Super Ideology. Dan justru di sinilah letak ironinya: butuh orang-orang sekaliber
negarawan International bagi orang barat untuk memahami Pancasila, yang justru
dengan demikian mudahnya dimengerti oleh rakyat Indonesia kelas jelata, paling
tidak saya.
Kepanjangan, ya, prolognya? Ya
maaf :).
Berangkat dari kalimat terakhir pada paragraf di atas, saya merasa sangat
bersyukur dilahirkan menjadi orang Timur, Indonesia pula. Dengan nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orang tua, keluarga besar, guru-guru di sekolah, dan
siapapun orang baik yang mau mengajari saya atau setidaknya kepada siapa saya
pernah mencuri ilmu kehidupan, maka sama sekali tak sulit bagi saya untuk
memahami Pancasila. Dan setelah prolog yang panjang sekali tadi, saya hendak
kembali pada inti pembicaraan saya, bahwa satu-satunya pilihan yang masuk akal
untuk menegakkan persatuan Indonesia dengan tak terhitung etnis adalah
Pancasila. Dan kalau anda menebak saya akan menggeber sila ke tiga persatuan
Indonesia, maka anda salah total :).
Pendekatan yang paling bagus untuk ini menurut saya justru sila ke dua. Ini, ya,
butir-butirnya:
1. Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk
Tuhan YME.
2. Mengakui
persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit, dsb.
3. Mengembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan
sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Coba, deh, tak peduli anda datang
dari etnis manapun, entah yang terkenal suaranya seperti angin sepoi-sepoi
saking halusnya atau yang bikin orang terkaget-kaget saking kerasnya, tak
peduli anda dari etnis yang mengedepankan keterusterangan atau sebaliknya
kesantunan sehingga setiap pesan musti dibungkus dengan kata-kata
berbunga-bunga putar kiri putar kanan, akankah ada peristiwa baku bacok? Tak
peduli dari mana dengan agama apa, kalau paham butir ke-4, manalah mungkin kita
pelihara babi lalu dibiarkan berkeliaran di jalan sedangkan tetangga ada yang
mengharamkan? Kalau paham butir ke-4 dan 5, manalah mungkin kita naik motor
ugal-ugalan di kampung atau pasar dan menggeber knalpotnya bagaikan guntur? Jika
kita paham itu semua, manalah mungkin bila kita melakukan kesalahan dan
mendapat teguran, bukannya merasa bersalah dan meminta maaf justru balik
menyerang, bahkan secara fisik? Dan berbagai hal yang berpotensi merugikan
orang lain.
Butir ke-4 ini juga bisa
dijadikan penangkal untuk kesalah pahaman etnis. Misalnya, saya orang Jawa yang
terbiasa dengan maksud tersirat dalam sebuah kalimat (bahkan kalau marahpun
tidak secara langsung melainkan pakai bahasa sindiran), kalau tak paham benar
butir ini akan dengan mudahnya mendakwa orang Minahasa yang terbuka sebagai ‘kasar
dan tak kenal didikan’. Sebaliknya, orang Minahasa yang tak paham butir ini
bisa pula dengan enteng menuduh orang Jawa ‘munafik dan tukang main tikam dari
belakang’. Celaka, bukan? Padahal di Indonesia ini ada ratusan etnis dengan
tata dan nilai hidup masing-masing (sebagai perbandingan silakan baca posting
‘Bersatu Tetapi Tetap Beda’). Saya suka frasa yang dipakai di sini: tenggang
rasa dan tepa slira. Ini bukan sekedar bisa menerima tetangga kita orang
Kristen yang beribadah pakai live musik kerasnya minta ampun rupa di kafe, lama pula. Atau
semata menerima tetangga Muslim mengumandangkan adzan atau latihan
shalawat Nabi dengan rebana pakai toa pas kita enak-enak tidur, dan sebagainya.
Lebih dari itu, frasa ini mengandung kemauan untuk benar-benar mengerti,
sungguh-sungguh memahami perbedaan. Dan yang lebih penting, bahwa kebutuhan tiap-tiap orang yang pastinya
berbeda satu sama lain. Sampai di sini saya benar-benar tersentuh sekaligus
bangga memiliki dasar berbangsa yang demikian indah seperti butir Pancasila
yang satu ini.
Jadi bila rasa ketimuran kita
yang Indonesia memang terasah betul, kita tak perlu lagi sibuk bertanya-tanya:
ukuran tenggang rasa dan tepa slira bagaimana? Tau dari mana sikap yang ini
semena-mena dan sikap yang itu tidak? Blablabla, capek deh. Inilah landasan
yang musti dipahami betul dalam urusan persatuan Indonesia, sebelum kita
melangkah pada sila ke tiga. Dalam urusan menangkal pertikaian antar etnis,
saya rasa butir yang paling tepat adalah yang pertama, yakni ‘mampu menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan’. Ambil
contoh, saya merasa identitas etnis saya didzolimi oleh seseorang dari etnis B.
Bila saya tak ambil pusing dengan Indonesia, maka akan mudah bagi saya untuk
pulang, mengumpulkan rekan dan handai taulan, lalu menyerbu dzolimin tersebut.
Baku hantam, dzolimin yang kaget dan tak siap lalu kalah, apalagi saya main
keroyokan. Lalu dia pulang, mengumpulkan sanak saudara lebih banyak lagi, dst,
ujung-ujungnya belasan kepala ditebas dan ratusan orang kehilangan tempat
tinggal. Belum terhitung trauma psikologis yang pastinya jauh lebih sulit
dipulihkan ketimbang rumah yang tinggal puing. Belum lagi cemarnya nama bangsa,
karena jaman sekarang apa sih yang nggak dijadikan berita, link, dan sebagainya?
Yang terjadi di Lampung lima menit lalu bisa diketahui orang sejagad lima menit
sesudahnya.
Saya jadi ingat Bapak saya.
Beliau orang Jawa yang sungguh Jawa, sedangkan saya…. terserah, deh :). Bagaimana menyebut
diri Jawa kalau tidak sungkan ngakak di muka umum? Suatu hari Bapak saya
menegur sikap buruk ini. Dengan cara sindiran seperti biasa, beliau bilang,
“Teman-teman Maya yang banyak orang bule itu waktu pulang cerita ke keluarganya
apa, ya?” Melihat saya cuma melongo dengan wajah bodoh karena tak paham
sindirannya, Bapak meneruskan, “Mungkin mereka cerita, “Oh, ternyata orang
Indonesia urakan-urakan.”” Rambatannya pelan, lho, saudara-saudara, rasa panas
di pipi saya :).
Jadilah saya insyaf, kalau ngakak ya di rumah saja pas nggak ada orang saja. Tapi
lebih seringnya sih lupa. HAHAHAHAHAHA!!!!!! (Husss!!! Maaf lupa, di
hadapan saya ada saudara:)).
Jadi begitulah, Bapak saya ini gemar sekali menegur dengan bawa-bawa Indonesia
untuk banyak hal. Ujung-ujungnya
nasionalisme dan cinta tanah air dan bangsa bisa jadi penangkal untuk melakukan
hal-hal buruk.
Jadi tak perlulah kita semua
menjadi orator kawakan macam Bung Karno untuk menumbuhkan rasa tersebut, karena
sebagai orang tua yang bahkan paling kalempun kita bisa menanamkannya pada
anak-anak kita. Sederhana, ya? Kalau pengin naik level ya kita bisa membawa
muatan ini dalam perkumpulan PKK, pengajian, arisan bapak-bapak, rapat kampung,
dll. Mau lebih menantang lagi yang buat saja pertemuan khusus warga demi
mengupas Pancasila dan aplikasinya. Sekalian mengembalikan fungsi balai desa,
to? Bagus lagi kalau wilayah dengan ragam etnis tersebut melakukan kegiatan
bersama antar kampung. Seperti Festival Empat Gunung di Merapi itu, lho. Saya
bayangkan kalau kejadian itu ada di Lampung sono pasti keren sekali. Setahun
sekali warga dan seniman alam tersebut bertemu dalam satu acara besar, kemudian
keunggulan seni budaya tiap etnis ditumpahkan dalam satu wadah. Sosialisasi
dilakukan jauh hari, dengan demikian dari awal sudah ada komunikasi intens
antar warga dan pentolan-pentolannya. Semakin kenal semakin sayang, bukan? Lalu
rembugan bareng, menuangkan ide, nyusun acara, cari dana, blablabla. Jadi
tambah dekat dan memahami, kan? Pas hari H undang semua orang, mau pejabat kek,
wartawan kek, turis, sanak saudara di lain kecamatan, para pedagang asongan
terdekat di kota anda, terserah. Lalu bukannya bacok-bacokan, mereka semua
bersatu dalam gerak dan isi kepala menampilkan yang terbaik dari etnis mereka. Indahnyaaaaaaa……
Anda yang tinggal di Lampung sana
atau mana saja, ingin mencobanya? Maka, Tuhan memberkati rencana dan kerja anda!
aku punya pengalaman, ketika nginap di Remboken (Minahasa),,,, kebetulan Mas bakso sedang memarkir jualannya di suatu pinggiran Jalan,,,,
BalasHapusketika sedang melayani pesanan orang, dari seberang jalan tiba2 ada suara memaki & marah2 "gara2 Mas pe Bakso torang pe jualan ndak laku2..." dan itu juga sering terjadi di Manado
Coba bandingkan di Jawa (Jkt),,, ketika aku nongkrong didepan rumah makan (semacam warteg-lah),,, tiba2 Mas penjual Nasi Goreng datang dan memarkir jualannya didekat warteg tsb... ada beberapa warga yg memesannya... Dan saya teringat di Manado & Minahasa, tapi yg membuat saya kagum tidak ada satupun yg memarahi si Mas penjual itu...
Disini terlihat bahwa rejeki & belum rejeki para penjual (baik warteg maupun gerobak) tergantung dari para masing2 orang yang membelinya,,,,
Haaa??? Masa, sih? Kita nda pernah no melihat hal-hal macam begitu. Malah kita pe pengalaman seputar ini nih: beli pulsa voucher di satu kios ternyata harganya terlalu mahal. Lalu aku bilang sama penjual: wah, mahal sekali. Nggak jadi, deh. Eh, penjualnya bilang: "Itu di kios sebelah lebih murah. Jalan aja sekitar dua lorong dari sini." Nah, lo! Dan banyak kali kita temui hal-hal macam itu di Manado sini.
BalasHapus