Apa kabar, saudara? Ada baik? Syukurlah kalau ada. Baiklah, kali ini tanpa banyak cingcong saya akan bicara soal sebab musabab
menghilangnya Pancasila. Mau tak mau saya musti menuding Alm. Presiden Soeharto
sebagai aktor utamanya, walaupun sesungguhnya saya tak ingin membicarakan
kekurangan orang yang sudah tiada. Namun tak ada pilihan lain, jadi beginilah
kisahnya: 1. Bung Karno, Bung Hatta dan rekan-rekan merumuskan Pancasila dan
meletakkannya sebagai dasar kita berbangsa. 2. Pasca merdeka suasana negeri
masih koyak-moyak baik secara fisik maupun psikis, baik rakyat maupun Negara.
Jadi konsentrasi bangsa adalah ke arah bangkitnya Negara dan rakyat dari dampak
dan trauma pasca perang dan penjajahan. Urusan penanaman nilai-nilai Pancasila
menjadi tidak fokus. 3. Singkat kata Bung Karno dikudeta, dan pada awal-awal
pemerintahannya Pak Harto boleh dibilang punya kredibilitas dalam
kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan kebangsaan. Namun belakangan, terutama
setelah segala konglomerasi itu masuk dalam jubah PMA (titik baliknya adalah ketika anak-anak Pak Harto beranjak dewasa), urusan jadi lain. 4.
Dalam pada melanggengkan keperluan politik dan kekuasaan, Pak Harto menjadikan
Pancasila sebagai alat. UU anti subversi dan tetek-bengek yang sangat represif
itu semuanya didasarkan dari Pancasila (tentu saja diselewengkan kiri-kanan).
5. Hasilnya rakyat tertekan, dan taunya ini semua gara-gara Pancasila. 5.
Rakyat jadi jeri terhadap Pancasila. Segala sesuatu yang berbau Pancasila
selalu dikait-kaitkan dengan otoritarianisme Soeharto dan kenikmatan hidup para
kroninya. Plus organisasi-organisasi kepemudaan yang pakai stempel Pancasila
ini atau ini, yang padahal semua orang tahu adalah premanisme yang dilegalkan.
6. Era reformasi, semua yang berbau Soeharto dijauhi dengan rasa takut kalau
tak bisa dibilang jijik. Tak ubahnya Pancasila. Singkat kata, Pancasila kena
getahnya.
Itulah kenapa kemarin saya bilang
Pancasila menghilang selama belakangan tahun ini, ditandai dengan politisi yang tambah
tak tahu malu dan rakyat yang makin rusuh. Pula saya bilang tak tahu ke mana
hilangnya Pancasila. Oke, sekarang saya ralat, ya, bahwa sebenarnya Pancasila itu ternyata
tidak hilang-hilang amat, kok. Karena ternyata banyak dari tokoh yang kita
kenal ternyata memiliki Pancasila dan menjalankannya dalam setiap aspek
kehidupan mereka. Contohnya Gus Dur, Romo Mangunwijaya, Bubby Chen, Mak Tiwar
berkaki pecah dengan kuku kaki pada jepat kebanggaan saya, dan banyak lagi. Dan
setelah saya telaah, ternyata ada banyak Pancasilais dalam kehidupan
sehari-hari saya, hanya saja saya nggak ngeh. Ada dua orang terdekat dalam
kehidupan saya yang sangat Pancasilais. Dan mereka sangaaaat… terkenal,
di….kalangan keluarga dan teman-teman terdekat. Hihihi…, ya mesthiiiii.... :).
Yang pertama adalah bapak saya.
Karena saya cenderung terobsesi pada apa yang tidak saya miliki, maka adalah
hal wajar bila Bapak yang introvertlah yang lebih berperan sentral dalam
kehidupan saya, ketimbang Ibu yang meletup-letup dan sama sekali nggak
ada bedanya dengan saya itu. Bapak saya ini orangnya halus minta ampun. Beliau tak
pernah memerintah orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri. Kalau ingin
dibuatkan teh, bukannya berkata, “Tolong buatkan teh untuk Bapak,” beliau hanya
bertanya, “Di dapur masih ada teh?”. Di sini beliau telah menerapkan sila ke
dua butir ke lima, yakni mengembangkan sikap tidak semena-mena pada orang lain.
Dan anak-anaknya langsung paham, lalu baku rampas untuk membuatkan. Waktu saya
ceritakan hal itu pada mami mertua saya, beliau sambil senyum-senyum bilang, ”Kalau
anak Manado ditanya seperti itu pasti cuma menjawab, “Ada.” Sudah sopan itu,
yang lain mungkin malah bilang,”Papak lihat sendiri kwa di dapur.”” Hihihi… Dalam
hal ini secara tak langsung Bapak saya juga telah mengajarkan kepekaan dalam
diri kami anak-anaknya. Masuklah sila ke dua butir ke enam, sebab bukankah
kepekaan termasuk nilai kemanusiaan? Beliau juga mengajarkan kami (serta
memberi contoh) untuk bersikap baik pada semua orang tak pandang derajat serta
latar belakang sosial, agama, suku bangsa, blablabla.
Maka tak heran beliau sama sekali
tak mengernyitkan kening saat suami saya si pria Manado dengan penampilan
rocker itu, datang ke rumah untuk pertama kali. Kiranya perlu saya ceritakan
latar belakangnya, supaya pembaca tahu kontras antara budi bahasa dan pekerti Bapak dengan betapa ajaibnya
laki-laki yang kepadanya saya kemudian ‘terjebak’ tersebut :). Antara saya dengan
dia dulu hanya berkomunikasi jarak jauh lewat telpon (saya di Semarang dia kelilingan). Lalu dia ngajak pacaran dan saya tolak dengan alasan, ngapain? Buang
waktu. Tak tahunya dia sudah merancang rencana sendiri, dan pas keluarga
besarnya ada rencana datang ke Jakarta ia menantang saya: “Berani nggak aku kenalin ke Mami
sebagai calon istri? Terus kita langsung tunangan atau kalau perlu nikah
sekalian.” Saya kaget. Tapi lantaran tak mau ketahuan maka saya justru balik tantang: “Berani
nggak datang ke Bapakku langsung minta aku jadi istri?”. Dia tidak telpon
selama tiga hari hari. Ternyata dia cuma berpenampilan gahar tapi bermental
seempuk tahu, batin saya waktu itu, lalu saya cuekin. Eh, tak tahunya tiga hari
kemudian dia telpon dan bilang: “Bapakmu ada? Satu jam lagi aku sampai di
Semarang. Mau minta kamu baik-baik ke Jakarta, kukenalkan dengan Mami dan
keluarga besarku.” Saya langsung petakilan gila-gilaan :). Untung waktu itu hari Sabtu
dan Bapak sedang di rumah. Waktu saya sampaikan proposal gemblung tersebut,
Bapak terlihat syok tapi seperti tersihir dan hanya mengangguk linglung:). Sambil menunggu
kedatangan si preman yang ternyata punya nyali tersebut, Bapak mengadakan
‘litsus’ tentang bibit-bebet-bobot dan apakah saya sudah menyelidiki semuanya
baik-baik. Saya jawab, “Sudah, Bapak. Tapi keputusan di tangan Bapak. Kalau
menurut terawangan Bapak tidak baik, ya tidak usah.” Perlu dicatat bahwa saya
adalah anak Jawa yang percaya bahwa orang tua itu ‘ngerti sak durunge winarah’
atau bisa merasakan hal baik atau buruk yang belum terjadi. Maka di sini saya
melakukan bagian saya dan sisanya saya percayakan pada mata batin Bapak
sebagai orang tua.
Jadi demikianlah, dia datang satu
jam kemudian dengan kostum celana belel sobek di beberapa bagian, kaus kutung,
rambut gondrong sepunggung bekas gimbal yang mekar bagaikan bunga bangkai di
taman (belum terhitung ancaman kutu, hihihi…) dan tangan dari atas sampai bawah
full tato. Bapak menerima Si Kumuh dengan sangat baik, dan di akhir pertemuan
pertama tersebut beliau berbisik pada saya, “Tidak masalah penampilannya
seperti itu. Bapak bisa lihat dia dari keluarga baik-baik, hatinya baik, dan penyayang
serta bertanggung jawab pada keluarga.” Malam itu juga saya langsung ‘digondol’
ke Jakarta untuk diperkenalkan pada keluarga besarnya (di sini tampak jelas
betapa murahannya saya :)).
Masuklah sila ke dua butir satu (mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME) dan dua (mengakui persamaan
derajad, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan
suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna
kulit, dan sebagainya) di sini. Kalau Bapak hanya semata orang Jawa feodal
dan blablabla yang tak paham makna Pancasila, mana mungkin beliau bisa menerima
semua ini?
Lebih lanjut, sebagai seorang muslim
dengan istri Katholik dan tujuh putri (enam Kristen satu Islam), beliau sama
sekali tak terobsesi untuk mengislamkan kami (padahal saya yakin, di lubuk
hatinya yang paling dalam pastilah beliau ingin kami mengikuti ‘jejaknya’). Butir
ke enam (mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing) dan ke tujuh (tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa kepada
orang lain) sila pertama selama bertahun-tahun beliau amalkan dengan sempurna. Dialog
lintas agama selalu beliau bangun di antara kami orang tua dan anak. Menghadiri
ibadah keluarga emak saya (bahkan turut serta dalam kebaktian dan bukan sekedar
pas makan-makan) bukan perkara luar biasa. Suatu hari ada kebaktian di rumah
Pakdhe dan Bapak ikut-ikut menyanyi, kalau tak salah waktu itu
lagunya ‘Allah Peduli’. Usai memuji Tuhan, adik saya berbisik, “Mbak May, pasti
Bapak nyanyinya gini ya, “Awloh (lafaz ‘Allah’ untuk kaum muslim) mengerti,
Awloh peduli….” Saya tersiksa menahan tawa. Lalu kami taruhan :). Sampai rumah kami
tanyakan hal itu pada Bapak. Beliau sama sekali tak tersinggung, hanya
cengar-cengir sambil berkata, “Bapak cuma mangap-mangap, wong tidak tahu
lagunya.” Hehehe… Saya dan adik sayapun kecewa karena tak ada yang menang
taruhan :). Mungkin beliau tak sadar, tapi yang jelas
beliau telah mengamalkan sila pertama butir ke tiga yakni mengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan YME dan sila ke empat yaitu
membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam menyelesaikan masalah
antara anak-anaknya beliau bukan hanya memberi nasihat semata, namun juga
memakai pendekatan lintas agama. Contohnya, suatu kali terjadilah perselisihan
besar antara saya dan seorang kakak. Walaupun sama sekali tak ada tetangga atau
orang lain yang tahu, menurut ukuran orang Jawa pertengkaran kami sudah sampai
taraf memalukan. Setelah menegur kami berdua, beliau berdialog dengan kami secara
terpisah dan memberi wejangan seperti ini kira-kira (dengan nada dan pilihan
kata dalam Bahasa Jawa yang sangat halus, dan tak bisa diukur derajatnya dalam
bahasa Indonesia), “Kalian ini kan punya junjungan yang sama. Apa menurut
kalian Gusti Yesus bangga dengan kelakuan kalian saat ini? Apa ini contoh yang
Beliau berikan? Kalau Gusti Yesus ada di sini, di depan Bapak yang muslim dan
tidak pernah dicekoki kata kasih ini, pasti Beliau merasa sangat malu.” Seingat
saya, belum pernah saya tertunduk begitu dalam dan lama, serta membisu bagai
patung merasakan panas yang begitu hebat di wajah karena malu seperti saat itu.
Orang lain mungkin menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan agama dan
Junjungan kami, lalu memromosikan agamanya sendiri. Tapi Bapak saya tidak,
karena ia memahami betul butir ke tujuh sila pertama Pancasila, yakni tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
Bapak saya pula adalah
personifikasi sila ketiga, yang kalau saya jabarkan pasti bakal makan waktu
seharian untuk anda membacanya. Untuk sila ke empat, Bapak saya tahu betul
membangun dialog dengan anak-anaknya, melibatkan kami sebagai partner yang
setara dalam setiap pengambilan keputusan, mendengarkan masukan-masukan dari
tiap-tiap anaknya dengan adil SESUAI HIRARKI kami masing-masing dalam keluarga.
Beliau tak pernah bersikap bossy, dan menghormati kebebasan kami dalam
berbicara dan menentukan pilihan. Di sinilah beliau membangun
dan mencontohkan demokrasi yang sama sekali bukan demokrasi a la Amerika. Kami berhak
mengeluarkan pendapat dan membuat pilihan, namun bukan berarti kami boleh
menyinggung perasaan orang lain dan mengambil keputusan yang merugikan orang
lain. Urusan pasangan hidup, Bapak punya demokrasi ‘Bibit-bebet-bobot’, yakni
kami bebas memilih pasangan hidup dengan batasan tersebut di atas. Dan kami
sama sekali tak keberatan. Apa jadinya kalau Bapak saya membolehkan kami
memilih semau-maunya, tanpa melihat latar belakang keluarga calon pasangan kami
(bibit), hal-hal baik dan buruk saja yang telah ia lakukan sepanjang hidup
(track record/bebet) dan kualitas atau bobot (karakter, kepribadian, mental,
semangat hidup, dan lain-lain) calon pasangan kami? Bisa jadi kami anak-anaknya
akan menikahi buaya darat pertama yang berhasil mengelabui kami. Sila ke empat
sempurna Bapak saya jalankan, dengan landasan kebangsaan pada butir tiga dan
empat sila ke tiga Pancasila. Maka sayapun tumbuh besar dengan belajar dan menikmati
indahnya demokrasi Indonesia, jenis demokrasi yang tak akan pernah bisa
ditandingi Negara adi kuasa yang mengaku paling jago sekalipun dalam urusan
demokrasi di dunia.
Nah, cukup sampai sila ke empat
dulu, soalnya kalau diteruskan nanti kepanjangan. Lagi pula, untuk urusan sila
ke lima Bapak bantuan sparing partnernya, yaitu istrinya yang mana juga emak
saya. Maka saya akan menutupnya dengan kalimat: Pancasila ada di sini, di
kehidupan saya, seperti yang telah Bapak saya turunkan kepada kami
anak-anaknya. Jadi, sampai di sini dulu teman-temaaaan…Merdeka!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar