Rabu, 14 November 2012

Ada di Sini



Apa kabar, saudara? Ada baik? Syukurlah kalau ada. Baiklah, kali ini tanpa banyak cingcong saya akan bicara soal sebab musabab menghilangnya Pancasila. Mau tak mau saya musti menuding Alm. Presiden Soeharto sebagai aktor utamanya, walaupun sesungguhnya saya tak ingin membicarakan kekurangan orang yang sudah tiada. Namun tak ada pilihan lain, jadi beginilah kisahnya: 1. Bung Karno, Bung Hatta dan rekan-rekan merumuskan Pancasila dan meletakkannya sebagai dasar kita berbangsa. 2. Pasca merdeka suasana negeri masih koyak-moyak baik secara fisik maupun psikis, baik rakyat maupun Negara. Jadi konsentrasi bangsa adalah ke arah bangkitnya Negara dan rakyat dari dampak dan trauma pasca perang dan penjajahan. Urusan penanaman nilai-nilai Pancasila menjadi tidak fokus. 3. Singkat kata Bung Karno dikudeta, dan pada awal-awal pemerintahannya Pak Harto boleh dibilang punya kredibilitas dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan kebangsaan. Namun belakangan, terutama setelah segala konglomerasi itu masuk dalam jubah PMA (titik baliknya adalah ketika anak-anak Pak Harto beranjak dewasa), urusan jadi lain. 4. Dalam pada melanggengkan keperluan politik dan kekuasaan, Pak Harto menjadikan Pancasila sebagai alat. UU anti subversi dan tetek-bengek yang sangat represif itu semuanya didasarkan dari Pancasila (tentu saja diselewengkan kiri-kanan). 5. Hasilnya rakyat tertekan, dan taunya ini semua gara-gara Pancasila. 5. Rakyat jadi jeri terhadap Pancasila. Segala sesuatu yang berbau Pancasila selalu dikait-kaitkan dengan otoritarianisme Soeharto dan kenikmatan hidup para kroninya. Plus organisasi-organisasi kepemudaan yang pakai stempel Pancasila ini atau ini, yang padahal semua orang tahu adalah premanisme yang dilegalkan. 6. Era reformasi, semua yang berbau Soeharto dijauhi dengan rasa takut kalau tak bisa dibilang jijik. Tak ubahnya Pancasila. Singkat kata, Pancasila kena getahnya.

Itulah kenapa kemarin saya bilang Pancasila menghilang selama belakangan tahun ini, ditandai dengan politisi yang tambah tak tahu malu dan rakyat yang makin rusuh. Pula saya bilang tak tahu ke mana hilangnya Pancasila. Oke, sekarang saya ralat, ya, bahwa sebenarnya Pancasila itu ternyata tidak hilang-hilang amat, kok. Karena ternyata banyak dari tokoh yang kita kenal ternyata memiliki Pancasila dan menjalankannya dalam setiap aspek kehidupan mereka. Contohnya Gus Dur, Romo Mangunwijaya, Bubby Chen, Mak Tiwar berkaki pecah dengan kuku kaki pada jepat kebanggaan saya, dan banyak lagi. Dan setelah saya telaah, ternyata ada banyak Pancasilais dalam kehidupan sehari-hari saya, hanya saja saya nggak ngeh. Ada dua orang terdekat dalam kehidupan saya yang sangat Pancasilais. Dan mereka sangaaaat… terkenal, di….kalangan keluarga dan teman-teman terdekat. Hihihi…, ya mesthiiiii.... :). 

Yang pertama adalah bapak saya. Karena saya cenderung terobsesi pada apa yang tidak saya miliki, maka adalah hal wajar bila Bapak yang introvertlah yang lebih berperan sentral dalam kehidupan saya, ketimbang Ibu yang meletup-letup dan sama sekali nggak ada bedanya dengan saya itu. Bapak saya ini orangnya halus minta ampun. Beliau tak pernah memerintah orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri. Kalau ingin dibuatkan teh, bukannya berkata, “Tolong buatkan teh untuk Bapak,” beliau hanya bertanya, “Di dapur masih ada teh?”. Di sini beliau telah menerapkan sila ke dua butir ke lima, yakni mengembangkan sikap tidak semena-mena pada orang lain. Dan anak-anaknya langsung paham, lalu baku rampas untuk membuatkan. Waktu saya ceritakan hal itu pada mami mertua saya, beliau sambil senyum-senyum bilang, ”Kalau anak Manado ditanya seperti itu pasti cuma menjawab, “Ada.” Sudah sopan itu, yang lain mungkin malah bilang,”Papak lihat sendiri kwa di dapur.”” Hihihi… Dalam hal ini secara tak langsung Bapak saya juga telah mengajarkan kepekaan dalam diri kami anak-anaknya. Masuklah sila ke dua butir ke enam, sebab bukankah kepekaan termasuk nilai kemanusiaan? Beliau juga mengajarkan kami (serta memberi contoh) untuk bersikap baik pada semua orang tak pandang derajat serta latar belakang sosial, agama, suku bangsa, blablabla.

Maka tak heran beliau sama sekali tak mengernyitkan kening saat suami saya si pria Manado dengan penampilan rocker itu, datang ke rumah untuk pertama kali. Kiranya perlu saya ceritakan latar belakangnya, supaya pembaca tahu kontras antara budi bahasa dan pekerti Bapak dengan betapa ajaibnya laki-laki yang kepadanya saya kemudian ‘terjebak’ tersebut :). Antara saya dengan dia dulu hanya berkomunikasi jarak jauh lewat telpon (saya di Semarang dia kelilingan). Lalu dia ngajak pacaran dan saya tolak dengan alasan, ngapain? Buang waktu. Tak tahunya dia sudah merancang rencana sendiri, dan pas keluarga besarnya ada rencana datang ke Jakarta ia menantang saya: “Berani nggak aku kenalin ke Mami sebagai calon istri? Terus kita langsung tunangan atau kalau perlu nikah sekalian.” Saya kaget. Tapi lantaran tak mau ketahuan maka saya justru balik tantang: “Berani nggak datang ke Bapakku langsung minta aku jadi istri?”. Dia tidak telpon selama tiga hari hari. Ternyata dia cuma berpenampilan gahar tapi bermental seempuk tahu, batin saya waktu itu, lalu saya cuekin. Eh, tak tahunya tiga hari kemudian dia telpon dan bilang: “Bapakmu ada? Satu jam lagi aku sampai di Semarang. Mau minta kamu baik-baik ke Jakarta, kukenalkan dengan Mami dan keluarga besarku.” Saya langsung petakilan gila-gilaan :). Untung waktu itu hari Sabtu dan Bapak sedang di rumah. Waktu saya sampaikan proposal gemblung tersebut, Bapak terlihat syok tapi seperti tersihir dan hanya mengangguk linglung:). Sambil menunggu kedatangan si preman yang ternyata punya nyali tersebut, Bapak mengadakan ‘litsus’ tentang bibit-bebet-bobot dan apakah saya sudah menyelidiki semuanya baik-baik. Saya jawab, “Sudah, Bapak. Tapi keputusan di tangan Bapak. Kalau menurut terawangan Bapak tidak baik, ya tidak usah.” Perlu dicatat bahwa saya adalah anak Jawa yang percaya bahwa orang tua itu ‘ngerti sak durunge winarah’ atau bisa merasakan hal baik atau buruk yang belum terjadi. Maka di sini saya melakukan bagian saya dan sisanya saya percayakan pada mata batin Bapak sebagai orang tua.

Jadi demikianlah, dia datang satu jam kemudian dengan kostum celana belel sobek di beberapa bagian, kaus kutung, rambut gondrong sepunggung bekas gimbal yang mekar bagaikan bunga bangkai di taman (belum terhitung ancaman kutu, hihihi…) dan tangan dari atas sampai bawah full tato. Bapak menerima Si Kumuh dengan sangat baik, dan di akhir pertemuan pertama tersebut beliau berbisik pada saya, “Tidak masalah penampilannya seperti itu. Bapak bisa lihat dia dari keluarga baik-baik, hatinya baik, dan penyayang serta bertanggung jawab pada keluarga.” Malam itu juga saya langsung ‘digondol’ ke Jakarta untuk diperkenalkan pada keluarga besarnya (di sini tampak jelas betapa murahannya saya :)). Masuklah sila ke dua butir satu (mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME) dan dua (mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya) di sini. Kalau Bapak hanya semata orang Jawa feodal dan blablabla yang tak paham makna Pancasila, mana mungkin beliau bisa menerima semua ini?

Lebih lanjut, sebagai seorang muslim dengan istri Katholik dan tujuh putri (enam Kristen satu Islam), beliau sama sekali tak terobsesi untuk mengislamkan kami (padahal saya yakin, di lubuk hatinya yang paling dalam pastilah beliau ingin kami mengikuti ‘jejaknya’). Butir ke enam (mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing) dan ke tujuh (tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa kepada orang lain) sila pertama selama bertahun-tahun beliau amalkan dengan sempurna. Dialog lintas agama selalu beliau bangun di antara kami orang tua dan anak. Menghadiri ibadah keluarga emak saya (bahkan turut serta dalam kebaktian dan bukan sekedar pas makan-makan) bukan perkara luar biasa. Suatu hari ada kebaktian di rumah Pakdhe dan Bapak ikut-ikut menyanyi, kalau tak salah waktu itu lagunya ‘Allah Peduli’. Usai memuji Tuhan, adik saya berbisik, “Mbak May, pasti Bapak nyanyinya gini ya, “Awloh (lafaz ‘Allah’ untuk kaum muslim) mengerti, Awloh peduli….” Saya tersiksa menahan tawa. Lalu kami taruhan :). Sampai rumah kami tanyakan hal itu pada Bapak. Beliau sama sekali tak tersinggung, hanya cengar-cengir sambil berkata, “Bapak cuma mangap-mangap, wong tidak tahu lagunya.” Hehehe… Saya dan adik sayapun kecewa karena tak ada yang menang taruhan :).  Mungkin beliau tak sadar, tapi yang jelas beliau telah mengamalkan sila pertama butir ke tiga yakni mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan YME dan sila ke empat yaitu membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam menyelesaikan masalah antara anak-anaknya beliau bukan hanya memberi nasihat semata, namun juga memakai pendekatan lintas agama. Contohnya, suatu kali terjadilah perselisihan besar antara saya dan seorang kakak. Walaupun sama sekali tak ada tetangga atau orang lain yang tahu, menurut ukuran orang Jawa pertengkaran kami sudah sampai taraf memalukan. Setelah menegur kami berdua, beliau berdialog dengan kami secara terpisah dan memberi wejangan seperti ini kira-kira (dengan nada dan pilihan kata dalam Bahasa Jawa yang sangat halus, dan tak bisa diukur derajatnya dalam bahasa Indonesia), “Kalian ini kan punya junjungan yang sama. Apa menurut kalian Gusti Yesus bangga dengan kelakuan kalian saat ini? Apa ini contoh yang Beliau berikan? Kalau Gusti Yesus ada di sini, di depan Bapak yang muslim dan tidak pernah dicekoki kata kasih ini, pasti Beliau merasa sangat malu.” Seingat saya, belum pernah saya tertunduk begitu dalam dan lama, serta membisu bagai patung merasakan panas yang begitu hebat di wajah karena malu seperti saat itu. Orang lain mungkin menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan agama dan Junjungan kami, lalu memromosikan agamanya sendiri. Tapi Bapak saya tidak, karena ia memahami betul butir ke tujuh sila pertama Pancasila, yakni tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Bapak saya pula adalah personifikasi sila ketiga, yang kalau saya jabarkan pasti bakal makan waktu seharian untuk anda membacanya. Untuk sila ke empat, Bapak saya tahu betul membangun dialog dengan anak-anaknya, melibatkan kami sebagai partner yang setara dalam setiap pengambilan keputusan, mendengarkan masukan-masukan dari tiap-tiap anaknya dengan adil SESUAI HIRARKI kami masing-masing dalam keluarga. Beliau tak pernah bersikap bossy, dan menghormati kebebasan kami dalam berbicara dan menentukan pilihan. Di sinilah beliau membangun dan mencontohkan demokrasi yang sama sekali bukan demokrasi a la Amerika. Kami berhak mengeluarkan pendapat dan membuat pilihan, namun bukan berarti kami boleh menyinggung perasaan orang lain dan mengambil keputusan yang merugikan orang lain. Urusan pasangan hidup, Bapak punya demokrasi ‘Bibit-bebet-bobot’, yakni kami bebas memilih pasangan hidup dengan batasan tersebut di atas. Dan kami sama sekali tak keberatan. Apa jadinya kalau Bapak saya membolehkan kami memilih semau-maunya, tanpa melihat latar belakang keluarga calon pasangan kami (bibit), hal-hal baik dan buruk saja yang telah ia lakukan sepanjang hidup (track record/bebet) dan kualitas atau bobot (karakter, kepribadian, mental, semangat hidup, dan lain-lain) calon pasangan kami? Bisa jadi kami anak-anaknya akan menikahi buaya darat pertama yang berhasil mengelabui kami. Sila ke empat sempurna Bapak saya jalankan, dengan landasan kebangsaan pada butir tiga dan empat sila ke tiga Pancasila. Maka sayapun tumbuh besar dengan belajar dan menikmati indahnya demokrasi Indonesia, jenis demokrasi yang tak akan pernah bisa ditandingi Negara adi kuasa yang mengaku paling jago sekalipun dalam urusan demokrasi di dunia.

Nah, cukup sampai sila ke empat dulu, soalnya kalau diteruskan nanti kepanjangan. Lagi pula, untuk urusan sila ke lima Bapak bantuan sparing partnernya, yaitu istrinya yang mana juga emak saya. Maka saya akan menutupnya dengan kalimat: Pancasila ada di sini, di kehidupan saya, seperti yang telah Bapak saya turunkan kepada kami anak-anaknya. Jadi, sampai di sini dulu teman-temaaaan…Merdeka!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar