Minggu, 04 November 2012

Ebony and Ivory




Konflik horizontal yang melibatkan berbagai etnis vs warga kampung Balinuraga benar-benar membuat hati saya pedih luar biasa. Bukannya hal itu tak pernah terjadi di Indonesia –terlebih pada pasca lengsernya Soeharto. Bukan pula yang paling hebat (bandingkan dengan kasus Sampit), tapi dengan lugu dan percaya diri saya merasa hal serupa tak akan mungkin terjadi lagi. Kalau bentrok ya paling-paling karena urusan tanah atau senggol-senggolan waktu nonton dangdutan. Atau rebutan gadis kembang desa, lalu para pemuda dua kampung berkelahi dan kelewatan sampai akhirnya merugikan warga kedua belah kampung. Namun yang ini lain. Dan sekalipun pemicunya memang jamak, namun bukankah apa saja bisa jadi pemicu kalau memang di bawah dan di dalam sudah rapuh?  

Kiranya saya tak perlu menceritakan ulang kejadian Napal dan yang terakhir melibatkan warga Balinuraga vs etnis-etnis lain tersebut, karena selain saya bukan wartawan, paling-paling anda juga sudah mendengarnya dari berbagai berita. Namun dari berbagai berita dan cerita dari teman-teman yang menjadi saksi mata (atau setidaknya tinggal di dekat situ), mereka mengambil kesimpulan sama: orang Balinuraga memang songongnya minta ampun dan dibenci oleh bukan hanya penduduk asli melainkan juga para pendatang lain. Sebagai tambahan, penduduk kampung Balinuraga bukan berasal dari Bali, melainkan Nusa Penida. Etnis Bali yang tinggal di situ damai dan akur dengan yang lain. Saya jadi ingat peristiwa Sampit. Waktu peristiwa itu berlangsung, info dari kerabat serta teman yang tinggal di sana mengatakan, tidak ada satupun etnis pendatang di sana yang ENGGAK NYUKUR-NYUKURIN orang Madura. Luar biasa, bukan? Padahal perlakuan sadis yang diterima etnis Madura di sana sudah melewati akal dan budi. Tapi waktu saya memrotes, mereka malah lebih nyolot. Begini rata-rata mereka bilang, ”Memang, sih, sadis. Tapi coba kamu ada di sana dan melihat kelakuan orang Madura sehari-hari, pasti pendapatmu sama. Lagipula suku asli yang membantai orang Madura itu kan melakukannya di bawah pengaruh ilmu, jadi nggak sadar. Sebab mereka sesungguhnya orang-orang yang baik hati dan pengampun. Jadi kalau secara sadar biar seribu tahun mereka tak mungkin melakukannya. Dan kalau nunggu seribu tahun, pasti orang Madura yang lebih dulu menghabisi mereka kalau dilihat dari kelakuannya selama ini.” Dan lain-lain. Jadi begitulah, tak peduli sekejam apapun perlakuan yang diterima orang Madura, ujung-ujungnya selalu ada rasionalisasi untuk membela suku asli. Jadi saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, karena kesombongan etnis Madura sudah melampaui batas akal dan budi mereka.

Saya jadi teringat sebuah sekeping tanah di Indonesia, tempat sekian banyak etnis menetap di sana dan hidup damai sejahtera dengan penduduk asli. Yup, mana lagi kalau bukan di Sulawesi Utara? Kalau dilihat di peta, Sulut ini memang sekutil sekali. Bahkan boleh dibilang agak ngenes. Bayangkan, sudah kecilnya segitu, jadi bagian dari pulau yang sangat besar pula, jadi tambah kentara kecilnya. Tapi nyatanya etnis pendatang di sana banyak sekali dan hampir semua sudah bikin kampung sendiri. Kampung Cina, Arab, Ternate, Bugis, dll. Hebatnya, Kampung Islam bahkan sudah jadi nama kelurahan secara resmi. Bentrok? Hohoho… mimpilah kau, Bro! Seperti yang saya koarkan di berbagai kesempatan: kalau Sulut rusuh, saya berani bertaruh Indonesia bakal buyar. Suwer. Padahal orang-orang Manado itu sama sekali nggak ada halus-halusnya. Bulan-bulan pertama tinggal di sini saya selalu takut kena serangan jantung karena cara bicara mereka yang meledak-ledak, padahal untuk ukuran orang Jawa saya sudah bisa dibilang kasar. Dalam urusan ngobrol, hanya dibutuhkan MAKSIMAL 3 orang Manado untuk menghasilkan efek riuh-rendah yang cuma bisa diciptakan oleh MINIMAL 10 orang Jawa. Ada kejadian yang (lumayan) lucu, begini: seorang teman suami saya waktu itu sering datang ke rumah karena urusan pekerjaan. Saya tertekan setengah mati setiap dia datang dan memilih mengurung di kamar lalu menutup telinga dengan bantal. Namun lama-lama saya tak tahan dan menggelorakan protes pada bapaknya anak-anak. Saya bilang, ”Sudahlah, lebih baik nggak usah kamu terima dia lagi. Tiap kali datang selalu marah-marah. Memangnya kamu punya hutang belum dibayar?”. Suami saya melongo, terus cekikikan dan berkata, ”Memang begitu bicaranya. Kayak belum tau cara bicara orang Manado saja.” Saya ngeyel, ”Sudah cukup banyak orang Manado yang aku temui, dan nggak gitu-gitu amat. Lagipula apa kamu nggak punya harga diri? Sudah bagus dia diterima sebagai tamu, disuguhin baik-baik, eh, malah membentak-bentak yang punya rumah.” Cekikikan suami saya kian menggila. Lalu katanya, ”Kalau begitu siap-siap saja, karena ada beberapa temanku yang suaranya lebih parah ketimbang dia.” GUBRAKS :).

Plus (menurut pengakuan orang-orang Manado sendiri) mereka itu punya harga diri tinggi dan paling kuat ‘baku lawan jago’. Yang paling sederhana adalah urusan gaya hidup, yang diwakili oleh kredo ‘Biar kalah nasi yang penting menang aksi’. Jadi tak peduli ngana cuma tukang ojek atau supir mikrolet, kalau urusan penampilan ngana tak bakal kalah dengan bos-bos di atas sana. Dan karena mereka adalah orang-orang keras kepala, maka berkelahi baik single maupun rombongan adalah hal jamak bagi mereka, baik dari level anak SD sampai Opa-Opa! Itu sudah saya buktikan, jadi dalam urusan harga diri model apapun saya mendapati bahwa orang-orang Manado itu sama sekali tidak mengada-ada. Jadi misterius bukan, mengapa para pendatang itu hidup damai dengan mereka dan bahkan enggan pulang kampung? Ah, nggak juga, sih. Karena di balik sikap keras dan gengsian itu mereka punya sisi yang sangat unyu dan chibi-chibi burger:). Saya tidak mau ngoceh panjang lebar dan bikin capek jari, kalau pengin lihat penjabaran dan contohnya silakan tengok posting saya berjudul ‘Kamse dan Upay’. Jadi saya perjelas saja di sini: orang Manado bukan sekedar ramah (apalagi ramah model saya yakni rajin menjamah, hihihi…). Lebih dari itu mereka sangat welcome. Terbuka dan mengundang siapapun masuk. Orang yang baru datang akan merasa bahwa mereka sangat diterima. Dan siapa yang tidak merasa nyaman dan tersanjung diperlakukan seperti ini? Tapi jika dikembalikan ke urusan kesombongan etnis seperti saya sebut di awal tulisan di atas, bagamana para pendatang itu bisa melebur masuk, tetap memertahankan identitas budayanya, tanpa keinginan untuk berpongah secara ras dan budaya?

Ehm, begini, saya bukan sosiolog ya, jadi pendapat saya ini kemungkinan besar secara ilmiah tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ini hanyalah hasil pengamatan saya selama bergaul dan berbincang dengan manusia-manusia yang saya cintai ini: sikap ramah, terbuka dan kebaikan hati serta harga diri mereka ublek jadi satu, menghasilkan enerji yang membuat orang lain (para pendatang) merasa nyaman SEKALIGUS segan, yang menjadi penangkal bagi para pendatang itu untuk menepuk-nepuk dan membusungkan dada.  Ini dia analisa saya:
1.      Etnis-etnis tersebut hidup mengelompok dan menyelenggarakan warisan adat yang mereka bawa dari tempat masing-masing.
2.      Dalam pada itu mereka hidup membaur dengan penduduk asli.
3.     Mereka melihat penduduk asli menerima semua pendatang dengan baik dan bergaul dengan mereka tanpa pilih kasih dan tak pandang bulu (tak peduli bulunya tebal atau tipis, di luar atau di dalam. Hihihi…becanda saya jelek, ya?.
4.     Dengan contoh perilaku yang diberikan oleh penduduk asli, maka para pendatangpun mengadopsinya dengan pula penghormati dan menerima etnis pendatang lain. Sedangkan yang punya rumah saja menghormati dan menyediakan tempat bagi semua tamu, masak si tamu malah sok-sokan pada tamu yang lain? Begitu kira-kira gampangnya.

Dengan pemahaman yang saling dibagikan satu sama lain baik oleh penduduk asli maupun para pendatang seperti di Sulawesi Utara tersebut di atas, maka secara umum kehidupan yang mereka capai adalah:
1.    Etnis Arab hidup mengelompok dengan segala sorban, hidung mancung bengkok, tatapan mata setajam elang, ana-ente mereka, dan lain-lain. Orang Cina dagang di kompleks pecinan (di sini disebut toko Cina) dengan kelenteng, dupa, dan tetek bengek nilai agama dan budaya mereka sendiri. Dan sebagainya berbagai etnis lain.
2.     Dalam pada itu, mereka membaur dengan manis. Kalau satu etnis menyelenggarakan acara atau hari besar keagamaan, mereka membuka pintu dan berkunjung satu sama lain. Dan lain-lain.
3.    Etnis-etnis yang hidup tersebar dan tak membentuk kelompok etnis sendiri hidup membaur dan mengikuti pola hidup penduduk asli.

Jadi  tak ada etnis yang hidup eksklusif dan mendongakkan kepala tinggi-tinggi serta ditakuti karena sakti mandraguna seperti Balinuraga di Lampung sana. Atau yang ke mana-mana bawa celurit lalu jelalatan dengan tatapan jagoan kampung nan tak terkalahkan seperti etnis yang dibenci di Sampang sana. Soal senjata tajam saya ada cerita yang (kali ini beneran) lucu. Tersebutlah di perumahan tempat saya tinggal seseorang dari Bugis atau mana saya lupa. Sebut saja namanya Oom Rosid. Oom Rosid ini kerjanya berkebun, jadi tiap sore ia pulang ke rumah dengan kaki penuh lumpur sambil memanggul kelewang. Pokoknya penampilannya bikin anak yang paling bengal sekalipun langsung ciut nyalinya. Nah, tiap sore hari, ada saja anak yang keluyuran dan main-main padahal belum mandi. Si Mamak teriak-teriak tak digubris, hingga akhirnya dari jauh tampaklah Oom Rosid berjalan dengan tenang membawa kelewang. Mamak-mamak kontan berseru dari pagar rumah masing-masing, “HE, NAPA OOM ROSID!!!”. Anak-anak langsung menengok dengan leher kaku dan wajah pucat pasi. Oom Rosid (dengan dilandasi simpati pada mamak-mamak) mengayunkan kelewang satu-dua kali, dan anak-anak itupun sontak bertemperasan ke rumah masing-masing sambil menjerit, “Mamaaaak…. Se mandi akang pa kita!!! (Mamaaaak…mandiin aku!!!)”. Sebatas itulah senjata tajam diperlakukan oleh etnis luar yang tinggal di Manado. Hihihi….

Jadi kalau mau damai tak peduli seribu etnis sekalipun ngumpul di satu tempat, maka contohlah apa yang sudah ditunjukkan oleh saudara-saudari kita di Sulawesi Utara sana. Ratusan tahun mereka menerima sekian banyak orang dengan latar belakang budaya, agama, tradisi, dan bahasa berbeda. Nyatanya tak satupun pernah ada perkara pertikaian bahkan saling bunuh oleh karenanya (paling banter karena di bawah pengaruh Cap Tikus, yang belakangan juga sudah berupaya diredam oleh slogan berhenti minum a k a ‘STOP JO BAGATE’, hehehe…). Karakter yang siap menerima, ramah, baik hati, serta gemar menolong dipadukan dengan seni memelihara harga diri membuat siapapun yang datang menjadi betah sekaligus MALU menyombongkan diri. Pendatang yang melihat ketulusan mereka juga belajar dan menyerap semua contoh yang telah diberikan tersebut, kemudian menularkannya pada yang lain. Sebaliknya, penduduk asli juga menghargai rasa hormat yang telah dikembalikan para pendatang tersebut, hingga semua berakhir dengan rasa saling memahami yang kian besar. Maka yang terjadi antara mereka adalah pembelajaran yang bersifat mutual, sehingga dengan demikian mereka bisa serempak bernyanyi dengan lantang, “EBONY AND IVORY, LIVE TOGETHER IN PERFECT HARMONY….”. Kalau saja semua daerah di Indonesia bisa belajar dari manusia-manusia asli dan pendatang di Sulawesi Utara, pasti lagu tersebut bisa berkumandang di seluruh penjuru Indonesia. TUHAN memberkati kerukunan antar etnis di Indonesia, TUHAN memberkati contoh yang telah diberikan rakyat Sulawesi Utara (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

5 komentar:

  1. mmmm mungkin saya salah inget kali yah. tapi peristiwa Sampang itu bukannya karena Sunni dan Syiah yach? sementara kalau etnis asli dan etnis pendatang yang mbak May maksud mungkin Sampit kali yach.... maaf kalau saya salah loch :p

    Hari geneeee, entah mengapa rasa yg mbak May tersebut sudah jauh panggang dari api. jangankan mengamalkan kelima sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menyebutkan semua sila tersebut saja belum tentu sempurna dilakukan lho. Pelajaran Pancasila dan budi pekerti yang berlangsung saat ini hanya sebatas teori dan buku teks saja, sementara prakteknya mungkin bisa dibilang hampir nggak ada. ada satu cerita mengenai seorang anak SD yang dengan segenap hati belajar dadakan demi ujian PPKn dan Agama yang berlangsung pada esok hari. Secara kebetulan, anak tersebut bersekolah di sekolah Katolik sehingga pelajaran agama Katolik lah yang dipelajari-nya. Pada saat ia sedang maju ke depan untuk diuji, sang guru bertanya, "coba, sebutkan Sila keempat Pancasila!". Sang anak yang gugup menghadapi ujian, mati-matian berusaha mengingat-ingat, apa itu isi dari sila keempat. Sejurus ia mengumpulkan ingatannya kembali dan dengan lantanglah ia berkata "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemerintahan Ponsius Pilatus Disalibkan Wafat Dan Dimakamkan...."

    ironis ya mbak....

    padahal sebenernya mengamalkan nilai-nilai sila Pancasila sich nggak sulit yach mbak. nggak perlu lah mengahfal semua butirnya, karena esensi dari semua butirnya tersebut sudah terangkum dalam sila-silanya tersebut. Selama kita mangakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, mengedepankan rasa kemanusiaan terhadap sesama, menjunjung tinggi persatuan bangsa, mengedepankan mufakat untuk mencapai solusi, hingga adil dan sosial terhadap semua orang, rasanya nggak susah untuk mewujudkan negara (atau setidaknya lingkungan hidup lokal, misal : Desa, RT, RW, Kampung, Dusun, Kota, Kabupaten, dll) yang damai dan harmoni, tanpa adanya rasa superior maupun inferior diantara masing-masing suku.

    padahal, jika semua ditanya, bosan nggak melihat warna putih saja? serempak pasti semua menjawab bosan. lalu, kenapa mereka yang lebih suka melihat pelangi berwarna warni tidak bisa menerima bahwa ragam dan perbedaan jauh lebih indah daripada satu warna? kita Melting Salad Bowl, bukan Melting Pot :)

    BalasHapus
  2. Astaga, betul juga, itu Sampit bukan Sampang!!! Duh, memalukan sekali, sudah dibaca banyak orang nggak tahunya salah. Asli, saya malu banget:). Makasih ya, sudah mengoreksi. Soal si anak SD Katholik itu kisahnya agak-agak mirip tante di Manado yang selalu demam panggung suatu kali berdoa di muka umum dengan gugupnya, begini, "Ya Tuhan, berilah hamba-Mu ini hikmat, dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan...". Hehehe....

    Wah, kamu benar-benar sialan ya Lomie, soal implementasi Pancasila yang nggak sulit itu kan sebetulnya materi saya untuk posting mendatang! Tau ah, pokoknya kali ini nggak akan saya edit lagi, apapun yang terjadi:).

    Orang yang berpikir positif memang akan memandang perbedaan sebagai pelangi dalam hidup. Namun mereka yang berpikiran dan berpandangan positif akan berpendapat sebaliknya. Segala hal yang berbeda adalah semacam gangguan yang bisa menimbulkan instabilitas. Saya pribadi berpikir orang-orang ini pasti punya krisis percaya diri. Kalau memang sudah kuat, maka tidak ada apapun atau siapapun yang bisa jadi ancaman, bukan?

    BalasHapus
  3. Orang yang berpikir positif memang akan memandang perbedaan sebagai pelangi dalam hidup. Namun mereka yang berpikiran dan berpandangan positif akan berpendapat sebaliknya. Segala hal yang berbeda adalah semacam gangguan yang bisa menimbulkan instabilitas. Saya pribadi berpikir orang-orang ini pasti punya krisis percaya diri. Kalau memang sudah kuat, maka tidak ada apapun atau siapapun yang bisa jadi ancaman, bukan?

    nulisnya pas lagi ngantuk-ngantuk ya mbak? hihihihi.....

    BalasHapus
  4. Wakakaka...memang kamu benar-benar manajer alam semesta, ya:). Setelah saya lihat jam tulis komentarnya, ternyata nggak mungkin saya ngantuk. Kemungkinannya cuma satu: otak lagi error. Hihihi....

    BalasHapus
  5. ADA INFO BAHAYA NIH KATANYA DI IBUKOTA JAKARTA ETNIS MADURA MAU DIHAJAR HABIS HABISAN SAMA ETNIS BETAWI DAN ALIANSINYA BANTEN ,DAN SEMARANG DLL......MENURUT MERE KA2 ETNIS MADURA GAK BISA LAGI DI KASIH HATI ,,HARUS ADA TINDAKAN EXTRA KERAS ....KESABARAN WARGA IBUKOTA SUDAH DIPERMAINKAN ETNIS MADURA YG TERKENAL DENGAN AROGANSI DAN KESERAKAHANNYA YANG DILUAR BATAS..... SAYA PIKIR HARUS ADA UPAYA KERAS PERBAIKAN PRILAKU DARI ETNIS MADURA INI AGAR KONFLI K SAMPIT TIDAK TERULANG DI JAKARTA...... SALAM DAMAI...

    BalasHapus