Konflik horizontal yang
melibatkan berbagai etnis vs warga kampung Balinuraga benar-benar membuat hati
saya pedih luar biasa. Bukannya hal itu tak pernah terjadi di Indonesia
–terlebih pada pasca lengsernya Soeharto. Bukan pula yang paling hebat
(bandingkan dengan kasus Sampit), tapi dengan lugu dan percaya diri saya
merasa hal serupa tak akan mungkin terjadi lagi. Kalau bentrok ya paling-paling
karena urusan tanah atau senggol-senggolan waktu nonton dangdutan. Atau rebutan
gadis kembang desa, lalu para pemuda dua kampung berkelahi dan kelewatan sampai
akhirnya merugikan warga kedua belah kampung. Namun yang ini lain. Dan
sekalipun pemicunya memang jamak, namun bukankah apa saja bisa jadi pemicu
kalau memang di bawah dan di dalam sudah rapuh?
Kiranya saya tak perlu
menceritakan ulang kejadian Napal dan yang terakhir melibatkan warga Balinuraga
vs etnis-etnis lain tersebut, karena selain saya bukan wartawan, paling-paling
anda juga sudah mendengarnya dari berbagai berita. Namun dari berbagai berita
dan cerita dari teman-teman yang menjadi saksi mata (atau setidaknya tinggal di
dekat situ), mereka mengambil kesimpulan sama: orang Balinuraga memang
songongnya minta ampun dan dibenci oleh bukan hanya penduduk asli melainkan juga
para pendatang lain. Sebagai tambahan, penduduk kampung Balinuraga bukan
berasal dari Bali, melainkan Nusa Penida. Etnis Bali yang tinggal di situ damai
dan akur dengan yang lain. Saya jadi ingat peristiwa Sampit. Waktu peristiwa
itu berlangsung, info dari kerabat serta teman yang tinggal di sana mengatakan,
tidak ada satupun etnis pendatang di sana yang ENGGAK NYUKUR-NYUKURIN orang
Madura. Luar biasa, bukan? Padahal perlakuan sadis yang diterima etnis Madura
di sana sudah melewati akal dan budi. Tapi waktu saya memrotes, mereka
malah lebih nyolot. Begini rata-rata mereka bilang, ”Memang, sih, sadis. Tapi coba kamu
ada di sana dan melihat kelakuan orang Madura sehari-hari, pasti pendapatmu
sama. Lagipula suku asli yang membantai orang Madura itu kan melakukannya di
bawah pengaruh ilmu, jadi nggak sadar. Sebab mereka sesungguhnya orang-orang
yang baik hati dan pengampun. Jadi kalau secara sadar biar seribu tahun mereka
tak mungkin melakukannya. Dan kalau nunggu seribu tahun, pasti orang Madura
yang lebih dulu menghabisi mereka kalau dilihat dari kelakuannya selama ini.” Dan
lain-lain. Jadi begitulah, tak peduli sekejam apapun perlakuan yang diterima
orang Madura, ujung-ujungnya selalu ada rasionalisasi untuk membela suku asli.
Jadi saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, karena kesombongan etnis Madura sudah
melampaui batas akal dan budi mereka.
Saya jadi teringat sebuah
sekeping tanah di Indonesia, tempat sekian banyak etnis menetap di sana dan
hidup damai sejahtera dengan penduduk asli. Yup, mana lagi kalau bukan di
Sulawesi Utara? Kalau dilihat di peta, Sulut ini memang sekutil sekali. Bahkan
boleh dibilang agak ngenes. Bayangkan, sudah kecilnya segitu, jadi bagian dari
pulau yang sangat besar pula, jadi tambah kentara kecilnya. Tapi nyatanya etnis
pendatang di sana banyak sekali dan hampir semua sudah bikin kampung sendiri.
Kampung Cina, Arab, Ternate, Bugis, dll. Hebatnya, Kampung Islam bahkan sudah
jadi nama kelurahan secara resmi. Bentrok? Hohoho… mimpilah kau, Bro! Seperti
yang saya koarkan di berbagai kesempatan: kalau Sulut rusuh, saya berani
bertaruh Indonesia bakal buyar. Suwer. Padahal orang-orang Manado itu
sama sekali nggak ada halus-halusnya. Bulan-bulan pertama tinggal di sini saya
selalu takut kena serangan jantung karena cara bicara mereka yang
meledak-ledak, padahal untuk ukuran orang Jawa saya sudah bisa dibilang kasar.
Dalam urusan ngobrol, hanya dibutuhkan MAKSIMAL 3 orang Manado untuk
menghasilkan efek riuh-rendah yang cuma bisa diciptakan oleh MINIMAL 10 orang
Jawa. Ada kejadian yang (lumayan) lucu, begini: seorang teman suami saya waktu
itu sering datang ke rumah karena urusan pekerjaan. Saya tertekan setengah mati setiap dia datang dan memilih mengurung di kamar lalu menutup telinga dengan
bantal. Namun lama-lama saya tak tahan dan menggelorakan protes pada bapaknya
anak-anak. Saya bilang, ”Sudahlah, lebih baik nggak usah kamu terima dia lagi.
Tiap kali datang selalu marah-marah. Memangnya kamu punya hutang belum
dibayar?”. Suami saya melongo, terus cekikikan dan berkata, ”Memang begitu bicaranya.
Kayak belum tau cara bicara orang Manado saja.” Saya ngeyel, ”Sudah cukup
banyak orang Manado yang aku temui, dan nggak gitu-gitu amat. Lagipula apa kamu
nggak punya harga diri? Sudah bagus dia diterima sebagai tamu, disuguhin
baik-baik, eh, malah membentak-bentak yang punya rumah.” Cekikikan suami saya
kian menggila. Lalu katanya, ”Kalau begitu siap-siap saja, karena ada beberapa
temanku yang suaranya lebih parah ketimbang dia.” GUBRAKS :).
Plus (menurut pengakuan
orang-orang Manado sendiri) mereka itu punya harga diri tinggi dan paling kuat
‘baku lawan jago’. Yang paling sederhana adalah urusan gaya hidup, yang
diwakili oleh kredo ‘Biar kalah nasi yang penting menang aksi’. Jadi tak peduli
ngana cuma tukang ojek atau supir mikrolet, kalau urusan penampilan ngana tak
bakal kalah dengan bos-bos di atas sana. Dan karena mereka adalah orang-orang
keras kepala, maka berkelahi baik single maupun rombongan adalah hal jamak bagi
mereka, baik dari level anak SD sampai Opa-Opa! Itu sudah saya buktikan, jadi dalam
urusan harga diri model apapun saya mendapati bahwa orang-orang Manado itu sama
sekali tidak mengada-ada. Jadi misterius bukan, mengapa para pendatang itu
hidup damai dengan mereka dan bahkan enggan pulang kampung? Ah, nggak juga,
sih. Karena di balik sikap keras dan gengsian itu mereka punya sisi yang sangat
unyu dan chibi-chibi burger:).
Saya tidak mau ngoceh panjang lebar dan bikin capek jari, kalau pengin lihat
penjabaran dan contohnya silakan tengok posting saya berjudul ‘Kamse dan Upay’.
Jadi saya perjelas saja di sini: orang Manado bukan sekedar ramah (apalagi
ramah model saya yakni rajin menjamah, hihihi…). Lebih dari itu mereka sangat
welcome. Terbuka dan mengundang siapapun masuk. Orang yang baru datang akan
merasa bahwa mereka sangat diterima. Dan siapa yang tidak merasa nyaman dan
tersanjung diperlakukan seperti ini? Tapi jika dikembalikan ke urusan
kesombongan etnis seperti saya sebut di awal tulisan di atas, bagamana para
pendatang itu bisa melebur masuk, tetap memertahankan identitas budayanya,
tanpa keinginan untuk berpongah secara ras dan budaya?
Ehm, begini, saya bukan sosiolog
ya, jadi pendapat saya ini kemungkinan besar secara ilmiah tidak dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ini hanyalah hasil pengamatan saya selama
bergaul dan berbincang dengan manusia-manusia yang saya cintai ini: sikap
ramah, terbuka dan kebaikan hati serta harga diri mereka ublek jadi satu,
menghasilkan enerji yang membuat orang lain (para pendatang) merasa nyaman SEKALIGUS
segan, yang menjadi penangkal bagi para pendatang itu untuk menepuk-nepuk dan
membusungkan dada. Ini dia analisa saya:
1. Etnis-etnis
tersebut hidup mengelompok dan menyelenggarakan warisan adat yang mereka bawa
dari tempat masing-masing.
2. Dalam
pada itu mereka hidup membaur dengan penduduk asli.
3. Mereka
melihat penduduk asli menerima semua pendatang dengan baik dan bergaul dengan
mereka tanpa pilih kasih dan tak pandang bulu (tak peduli bulunya tebal atau
tipis, di luar atau di dalam. Hihihi…becanda saya jelek, ya?.
4. Dengan
contoh perilaku yang diberikan oleh penduduk asli, maka para pendatangpun
mengadopsinya dengan pula penghormati dan menerima etnis pendatang lain.
Sedangkan yang punya rumah saja menghormati dan menyediakan tempat bagi semua
tamu, masak si tamu malah sok-sokan pada tamu yang lain? Begitu kira-kira
gampangnya.
Dengan pemahaman yang saling
dibagikan satu sama lain baik oleh penduduk asli maupun para pendatang seperti
di Sulawesi Utara tersebut di atas, maka secara umum kehidupan yang mereka
capai adalah:
1. Etnis
Arab hidup mengelompok dengan segala sorban, hidung mancung bengkok, tatapan
mata setajam elang, ana-ente mereka, dan lain-lain. Orang Cina dagang di
kompleks pecinan (di sini disebut toko Cina) dengan kelenteng, dupa, dan tetek
bengek nilai agama dan budaya mereka sendiri. Dan sebagainya berbagai etnis
lain.
2. Dalam
pada itu, mereka membaur dengan manis. Kalau satu etnis menyelenggarakan acara
atau hari besar keagamaan, mereka membuka pintu dan berkunjung satu sama lain.
Dan lain-lain.
3. Etnis-etnis
yang hidup tersebar dan tak membentuk kelompok etnis sendiri hidup membaur dan
mengikuti pola hidup penduduk asli.
Jadi tak ada etnis yang hidup eksklusif dan
mendongakkan kepala tinggi-tinggi serta ditakuti karena sakti mandraguna
seperti Balinuraga di Lampung sana. Atau yang ke mana-mana bawa celurit lalu
jelalatan dengan tatapan jagoan kampung nan tak terkalahkan seperti etnis yang
dibenci di Sampang sana. Soal senjata tajam saya ada cerita yang (kali ini
beneran) lucu. Tersebutlah di perumahan tempat saya tinggal seseorang dari Bugis
atau mana saya lupa. Sebut saja namanya Oom Rosid. Oom Rosid ini kerjanya
berkebun, jadi tiap sore ia pulang ke rumah dengan kaki penuh lumpur sambil
memanggul kelewang. Pokoknya penampilannya bikin anak yang paling bengal
sekalipun langsung ciut nyalinya. Nah, tiap sore hari, ada saja anak yang
keluyuran dan main-main padahal belum mandi. Si Mamak teriak-teriak tak
digubris, hingga akhirnya dari jauh tampaklah Oom Rosid berjalan dengan tenang
membawa kelewang. Mamak-mamak kontan berseru dari pagar rumah masing-masing,
“HE, NAPA OOM ROSID!!!”. Anak-anak langsung menengok dengan leher kaku dan
wajah pucat pasi. Oom Rosid (dengan dilandasi simpati pada mamak-mamak) mengayunkan
kelewang satu-dua kali, dan anak-anak itupun sontak bertemperasan ke rumah
masing-masing sambil menjerit, “Mamaaaak…. Se mandi akang pa kita!!!
(Mamaaaak…mandiin aku!!!)”. Sebatas itulah senjata tajam diperlakukan oleh etnis luar yang tinggal di Manado. Hihihi….
Jadi kalau mau damai tak peduli
seribu etnis sekalipun ngumpul di satu tempat, maka contohlah apa yang sudah
ditunjukkan oleh saudara-saudari kita di Sulawesi Utara sana. Ratusan tahun
mereka menerima sekian banyak orang dengan latar belakang budaya, agama,
tradisi, dan bahasa berbeda. Nyatanya tak satupun pernah ada perkara pertikaian
bahkan saling bunuh oleh karenanya (paling banter karena di bawah pengaruh Cap
Tikus, yang belakangan juga sudah berupaya diredam oleh slogan berhenti minum a
k a ‘STOP JO BAGATE’, hehehe…). Karakter yang siap menerima, ramah, baik hati,
serta gemar menolong dipadukan dengan seni memelihara harga diri membuat
siapapun yang datang menjadi betah sekaligus MALU menyombongkan diri. Pendatang
yang melihat ketulusan mereka juga belajar dan menyerap semua contoh yang telah
diberikan tersebut, kemudian menularkannya pada yang lain. Sebaliknya, penduduk
asli juga menghargai rasa hormat yang telah dikembalikan para pendatang
tersebut, hingga semua berakhir dengan rasa saling memahami yang kian besar. Maka
yang terjadi antara mereka adalah pembelajaran yang bersifat mutual, sehingga dengan
demikian mereka bisa serempak bernyanyi dengan lantang, “EBONY AND IVORY, LIVE
TOGETHER IN PERFECT HARMONY….”. Kalau saja semua daerah di Indonesia bisa
belajar dari manusia-manusia asli dan pendatang di Sulawesi Utara, pasti lagu
tersebut bisa berkumandang di seluruh penjuru Indonesia. TUHAN memberkati
kerukunan antar etnis di Indonesia, TUHAN memberkati contoh yang telah
diberikan rakyat Sulawesi Utara (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah
tangga).
mmmm mungkin saya salah inget kali yah. tapi peristiwa Sampang itu bukannya karena Sunni dan Syiah yach? sementara kalau etnis asli dan etnis pendatang yang mbak May maksud mungkin Sampit kali yach.... maaf kalau saya salah loch :p
BalasHapusHari geneeee, entah mengapa rasa yg mbak May tersebut sudah jauh panggang dari api. jangankan mengamalkan kelima sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menyebutkan semua sila tersebut saja belum tentu sempurna dilakukan lho. Pelajaran Pancasila dan budi pekerti yang berlangsung saat ini hanya sebatas teori dan buku teks saja, sementara prakteknya mungkin bisa dibilang hampir nggak ada. ada satu cerita mengenai seorang anak SD yang dengan segenap hati belajar dadakan demi ujian PPKn dan Agama yang berlangsung pada esok hari. Secara kebetulan, anak tersebut bersekolah di sekolah Katolik sehingga pelajaran agama Katolik lah yang dipelajari-nya. Pada saat ia sedang maju ke depan untuk diuji, sang guru bertanya, "coba, sebutkan Sila keempat Pancasila!". Sang anak yang gugup menghadapi ujian, mati-matian berusaha mengingat-ingat, apa itu isi dari sila keempat. Sejurus ia mengumpulkan ingatannya kembali dan dengan lantanglah ia berkata "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemerintahan Ponsius Pilatus Disalibkan Wafat Dan Dimakamkan...."
ironis ya mbak....
padahal sebenernya mengamalkan nilai-nilai sila Pancasila sich nggak sulit yach mbak. nggak perlu lah mengahfal semua butirnya, karena esensi dari semua butirnya tersebut sudah terangkum dalam sila-silanya tersebut. Selama kita mangakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, mengedepankan rasa kemanusiaan terhadap sesama, menjunjung tinggi persatuan bangsa, mengedepankan mufakat untuk mencapai solusi, hingga adil dan sosial terhadap semua orang, rasanya nggak susah untuk mewujudkan negara (atau setidaknya lingkungan hidup lokal, misal : Desa, RT, RW, Kampung, Dusun, Kota, Kabupaten, dll) yang damai dan harmoni, tanpa adanya rasa superior maupun inferior diantara masing-masing suku.
padahal, jika semua ditanya, bosan nggak melihat warna putih saja? serempak pasti semua menjawab bosan. lalu, kenapa mereka yang lebih suka melihat pelangi berwarna warni tidak bisa menerima bahwa ragam dan perbedaan jauh lebih indah daripada satu warna? kita Melting Salad Bowl, bukan Melting Pot :)
Astaga, betul juga, itu Sampit bukan Sampang!!! Duh, memalukan sekali, sudah dibaca banyak orang nggak tahunya salah. Asli, saya malu banget:). Makasih ya, sudah mengoreksi. Soal si anak SD Katholik itu kisahnya agak-agak mirip tante di Manado yang selalu demam panggung suatu kali berdoa di muka umum dengan gugupnya, begini, "Ya Tuhan, berilah hamba-Mu ini hikmat, dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan...". Hehehe....
BalasHapusWah, kamu benar-benar sialan ya Lomie, soal implementasi Pancasila yang nggak sulit itu kan sebetulnya materi saya untuk posting mendatang! Tau ah, pokoknya kali ini nggak akan saya edit lagi, apapun yang terjadi:).
Orang yang berpikir positif memang akan memandang perbedaan sebagai pelangi dalam hidup. Namun mereka yang berpikiran dan berpandangan positif akan berpendapat sebaliknya. Segala hal yang berbeda adalah semacam gangguan yang bisa menimbulkan instabilitas. Saya pribadi berpikir orang-orang ini pasti punya krisis percaya diri. Kalau memang sudah kuat, maka tidak ada apapun atau siapapun yang bisa jadi ancaman, bukan?
Orang yang berpikir positif memang akan memandang perbedaan sebagai pelangi dalam hidup. Namun mereka yang berpikiran dan berpandangan positif akan berpendapat sebaliknya. Segala hal yang berbeda adalah semacam gangguan yang bisa menimbulkan instabilitas. Saya pribadi berpikir orang-orang ini pasti punya krisis percaya diri. Kalau memang sudah kuat, maka tidak ada apapun atau siapapun yang bisa jadi ancaman, bukan?
BalasHapusnulisnya pas lagi ngantuk-ngantuk ya mbak? hihihihi.....
Wakakaka...memang kamu benar-benar manajer alam semesta, ya:). Setelah saya lihat jam tulis komentarnya, ternyata nggak mungkin saya ngantuk. Kemungkinannya cuma satu: otak lagi error. Hihihi....
BalasHapusADA INFO BAHAYA NIH KATANYA DI IBUKOTA JAKARTA ETNIS MADURA MAU DIHAJAR HABIS HABISAN SAMA ETNIS BETAWI DAN ALIANSINYA BANTEN ,DAN SEMARANG DLL......MENURUT MERE KA2 ETNIS MADURA GAK BISA LAGI DI KASIH HATI ,,HARUS ADA TINDAKAN EXTRA KERAS ....KESABARAN WARGA IBUKOTA SUDAH DIPERMAINKAN ETNIS MADURA YG TERKENAL DENGAN AROGANSI DAN KESERAKAHANNYA YANG DILUAR BATAS..... SAYA PIKIR HARUS ADA UPAYA KERAS PERBAIKAN PRILAKU DARI ETNIS MADURA INI AGAR KONFLI K SAMPIT TIDAK TERULANG DI JAKARTA...... SALAM DAMAI...
BalasHapus