Selasa, 20 November 2012

Di Sini dan Di sana




Menyelesaikan kisah-kasih Bapak saya dan Pancasila, sebaiknya saya langsung saja. Urusan melaksanakan sila ke lima, Bapak saya biangnya. Beliau adalah pekerja keras dan jujur. Mengenai ini saya dengar dari beberapa teman Bapak yang sering bertandang ke rumah kami, begini, ”Meskipun posisinya lumayan, tapi sampai sekarang Pak-mu itu masih jadi orang paling miskin se-kantor Pertamina.” Waktu saya konfrontir, beliau senyum-senyum dan berkata, “Kalau mau korupsi ya Bapak sudah kaya. Tapi buat apa?” Sambil cengengesan saya bilang, “Ya buat anak-anaknya, dong, Bapak.” Bapak mendengus, “Kaya tapi masuk neraka.” Saya tambah kurang ajar, berkata, “Kan yang korupsi Bapak, jadi yang masuk neraka ya cuma Bapak. Tak masalah.” Lalu beliau menjulek kepala saya sambil berkata, “Putra gemblung! (anak sinting).” Hehehe….

Untuk urusan sila ke lima ini, beliau juga menghabiskan tahun-tahun dengan membantu banyak orang untuk berdikari. Di sini saya akan mulai memasukkan sosok emak saya. Meskipun sejak kecil saya lebih dekat dengan Bapak ketimbang Ibu (plus beliau sudah meninggal 18 tahun lalu), bukan berarti beliau tak mewariskan nilai hidup apa-apa pada saya. Dalam urusan membantu orang lain untuk berdiri sendiri secara ekonomi, Ibu adalah partner Bapak yang sempurna. Bahu-membahu mereka memberikan bantuan modal uang, barang, nasehat, dorongan semangat, dan blablabla pada orang-orang yang membutuhkan di sekeliling kami. Tukang becak-tukang becak langganan pembantu kami di pasar, para tetangga di desa Bapak, teman sepermainan Ibu yang hidupnya kurang beruntung, tetangga di perkampungan belakang kompleks yang hidupnya serba kekurangan, adalah beberapa dari sekian banyak orang yang merasakan bagaimana orang tua saya menerapkan butir ke-5 sila V Pancasila (suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri), walaupun besar kemungkinan mereka tak hapal.

Sebagai perempuan, Ibu juga tak pernah melibatkan dirinya dengan fashion dan segala tetek-bengeknya. Bukannya naik sedan halus dengan jambul tertata serta alis melengkung yang bakal membuat wajahnya nampak senantiasa terkejut, Ibu lebih suka menyetir Hardtop dengan ban radial-nya sendiri, serta berkostum kebangsaan celana pendek dan kaos oblong yang biasanya belel. Dengan gayanya yang koboi, Ibu sangat populer di kampung Bapak. Itu karena Ibu selalu bersikap baik, rendah hati, dan ramah pada semua orang, tak peduli itu penjual daun jati di pasar yang stratanya paling rendah di sana sekalipun. Saya ingat sebuah peristiwa, di mana suatu hari menjelang ulang tahun saya meminta ibu untuk merayakannya, yang mana wajar untuk anak SD, apalagi belum pernah merasakannya. Tanpa banyak bicara, Ibu mengajak saya pergi berdua saja tanpa saudara yang lain. Ia kemudian membawa saya ke sebuah tempat, yang ternyata adalah panti asuhan. Kami tinggal di sana selama beberapa jam, menemui pengurus dan bermain-main serta bergaul dengan anak-anak penghuni panti. Di mobil waktu pulang, Ibu –tanpa nasehat panjang lebar- bertanya, “Masih ingin dibuatkan pesta ulang tahun?”. Saya menjawab, “Minta uang saja, mau Maya belikan keperluan sekolah dan mainan buat mereka.” Ibu tersenyum, mengucak rambut saya sambil berkata, “Anak Ibu pintar,” dan tanpa banyak cing-cong memenuhi permintaan saya. Sampai sekarang saya tak pernah tahu bagaimana rasanya ulang tahun dipestakan, karena saya tak pernah lagi ingin tahu sejak peristiwa itu. Dan di sini kiranya masuk sila ke-5 butir tujuh, yakni tak suka hidup mewah dan boros-borosan.

Untuk urusan altruisme, Ibu saya malah lebih ‘parah’ ketimbang Bapak. Ibu mungkin lebih memilih untuk dipotong lidahnya, ketimbang mengucapkan kalimat ‘Lainnya saja’ sebagai senjata ampuh untuk menolak peminta-minta. Untuk para pengemis, Ibu merasa memberi uang saja tak cukup. Ia juga memberikan makanan yang ditata dengan baik di kardus, dengan nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, lalu dibekali berbagai baju dan barang lain. Saya ingat betul waktu itu saya masih SMP, di mana pada suatu siang nan terik datang seorang pengemis tua yang matanya sebelah buta ke rumah kami. Tak hanya memberi uang, makanan, dan barang seperti biasa, Ibu meminta nenek tua itu untuk masuk. Kemudian Ibu menyilakan simbah pengemis untuk mandi, menyiapkan baju bekas yang pantas, dan sesudahnya membuatkan teh untuk simbah tersebut dengan tangannya sendiri (tidak suruhan pembantu). Setelah menemani simbah tersebut makan dan mengobrol, Ibu menyilakan simbah untuk tidur di kamar belakang. Dan ketika simbah pengemis bangun hendak ngider lagi, Ibu membekalinya dengan makanan yang disiapkannya sendiri, pakaian-pakaian bekas pantas, dan sejumlah uang yang kata Ibu, “Cukuplah kalau Simbah mau pulang kampung dan jualan pecel atau bubur sumsum.” Saya ingat ketika Ibu tersenyum pada saya saat melepas nenek peminta-minta tersebut seraya berkata, “Mbah Kakungmu kalau bisa melihat pasti bangga sekali pada Ibu.” Demikianlah saya tahu bahwa sifat Ibu yang menjunjung harkat manusia lain dan gemar memberi pertolongan yang terbaik yang bisa ia lakukan, adalah sesuatu yang ia dapatkan dari orangtuanya. Ah, mengapa tiba-tiba saya sangat merindukan ibu saya?

Ibu saya juga seorang premanwati nan tak sungkan melabrak orang yang dianggapnya merugikan orang lain. Ingat satu posting yang menceritakan adegan saya berantem fisik dengan teman, gara-gara ia menghina pekerjaan orang tua teman yang lain? Saya terancam diskors dan Ibu mencak-mencak di sekolah, memberi khotbah sekeras guntur pada para guru serta kepala sekolah sambil bawa-bawa ‘menegakkan keadilan, membela mereka yang lemah, kemanusiaan’, dan jargon-jargon heroik lainnya. Lalu Ibu mengakhiri kehebohan itu dengan berseru, “Sekolah Kristen macam apa ini, yang hendak menskors murid yang berusaha membela yang lemah???!!!” sambil menggebrak meja. Hihihi… Walaupun sempat malu dengan kegemparan tersebut, saya akhirnya belajar bahwa  selama saya membela kebenaran, maka tak ada yang perlu saya takutkan. Dan satu lagi pelajaran, ketika di rumah Ibu berkata, ”Jadi, Ndhuk, kalau kamu membela kebenaran, jangan takut pada apapun, karena PASTI TUHAN SEDIAKAN PASUKAN UNTUK MEMBELAMU!!!!!!”. Dan memang sampai di sini suara Ibu menggelegar, jadi tulisannya pakai huruf besar dan saya tambahi tanda pentung banyak sekali :).

Si premanwati yang sekarang sudah tenang di ‘sana’ itu bagi saya adalah Pancasila yang hidup. Ia yang cantik jelita (saya tampak agak-agak kayak anak gelandangan kalau mengambil posisi di dekatnya :) ), dari keluarga ningrat dan kaya raya, ibunya berdarah Belanda kelas atas pula (bagi sebagian orang ini merupakan hal yang sangat hebat), menikah dengan Bapak yang berasal dari desa terpencil dan secara sosial bisa dibilang sama sekali tidak sederajat. Tapi bibit bagi Ibu saya di sini bukanlah kelas sosial orangtua Bapak saya, melainkan kejujuran dan kerja keras yang telah mereka contohkan pada Bapak saya. Bebet bukanlah banyaknya harta yang berhasil ditumpuk Bapak, melainkan kebaikan dan tindak-tindak kemanusiaan yang Bapak saya lakukan selama itu. Bobot bukanlah tubuh yang gagah perkasa, melainkan karakter Bapak saya yang teguh sekaligus teduh, dan berbagai sifat baik lainnya. Jadi, dalam urusan cintapun Ibu melaksanakan berbagai butir dari sila ke dua.

Dan pernahkah anda menemukan seorang perempuan yang dalam hal keyakinan begitu kesepian seperti Ibu saya? Suaminya Muslim, dan tak seorangpun dari tujuh anaknya memilih agama Katholik seperti yang diimaninya. Tetapi karena Ibu tahu benar sila pertama berikut segala butirnya, maka ia sama sekali tak pernah meributkan hal itu. Dengan hati selembut kapas dan kemampuan toleransi begitu besar ini, tak heran saat beliau terbaring karena kanker, para pemimpin dari berbagai agama datang secara khusus mendoakannya dengan keyakinan mereka masing-masing. Saya tak tahu dari mana saja datangnya orang-orang ini dan saya tidak merasa perlu tahu. Catatan hidup Ibu sudah menjawab semuanya. Dan saat beliau wafat, para pelayat terpaksa harus parkir mobil jauh dari wilayah parkir rumah sakit saking banyaknya. Begitu melimpah ruah, sampai-sampai orang-orang mengira bahwa yang meninggal adalah pejabat atau orang terkenal lainnya. Padahal beberapa tahun menjelang akhir hidupnya beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan di antara tak terhitung mobil tersebut, terselip juga truk-truk yang mengangkut orang-orang desa entah siapa, yang jelas bukan kerabat atau tetangga Bapak di kampung sana. Mereka rela berdiri berjejal-jejal di bak belakang truk terbuka, tak tahu dari mana datangnya, tak tahu dari mana dengar kabar kematian Ibu saya, mengingat tahun 1994 belum ada program telepon genggam masuk desa. Dan kiranya saya tidak perlu terheran-heran. Kebaikan serta nilai-nilai kemanusiaan Ibu saya selama hidup telah menjawab semua pertanyaan dengan sendirinya.

Ah, sekali lagi mata saya membasah merindukan Ibu, padahal beliau telah pergi begitu lama. Ibu saya pergi tanpa meninggalkan warisan yang berarti. Andai beliau mewariskan banyak harta benda sekalipun, bisa jadi sekarang sudah habis saya hambur-hamburkan. Tapi Ibu, dengan segala kekurangannya sebagai manusia, telah meninggalkan warisan nilai-nilai hidup dan kemanusiaan yang tak akan bisa ditukar oleh gunung emas tertinggi di manapun. Ibu meninggalkan warisan yang begitu besar bagi saya sebagai orang Indonesia, bahwa Pancasila sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dan bahwa mengamalkan hal-hal baik dalam Pancasila akan membuat kita berguna bagi banyak orang, serta membuat nama kita dikenang selamanya. Sebab harimau mati meninggalkan belang, sedangkan manusia mati meninggalkan nama. Ibu saya mati meninggalkan nama, dan di balik nama itu ada jejak-jejak kebaikan untuk dikenang dan ditiru oleh semua yang pernah menerima atau setidaknya melihatnya. Di sini, di sana, dan di mana-mana. Saya pula yakin, ketika Bapak saya meninggalkan dunia suatu saat kelak, beliau akan mewariskan hal-hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Ibu. Semoga besok ketika mati, itu pula yang akan saya wariskan pada anak-anak saya: warisan kebaikan Indonesia yang digali dari landasan hidup kita sebagai manusia Indonesia, Pancasila. Entah mereka tetap tinggal di sini atau merantau di tanah seberang nun jauh di sana. Apakah anda, sebagai orang tua atau calon orang tua anak Indonesia, menginginkannya juga? Tuhan memberkati bibit Pancasila yang kita semaikan pada anak-anak Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia!

6 komentar:

  1. mata saya berkaca kaca dan membasah, mbak waktu membaca postingan ini. Masih ada harapan untuk dunia ini dan kemanusiaan kalau ibu dari Mbak May bisa bermultiplikasi, bukan orangnya, namun warisan perilaku moral yang sangat luar biasa.

    memang bener, orangtua itu penting banged dalam tumbuh kembang anak, apapun yang dilakukan orang tua tersebut. penyemaian bibit kebaikan ini apabila dilakukan dengan benar, bukan nggak mungkin melahirkan generasi generasi penerus yang kuat, bermoral, dan berbudipekerti, walaupun digempur oleh kekuatan asing macam manapun. hmmmm apakah generasi sekarang ini melewatkan satu hal dalam menurunkan pemahaman akan budi pekerti ini?

    BalasHapus
  2. Kenapa mata saya membasah lagi waktu mengetahui bahwa Lomie juga berkaca-kaca, ya? Seakan Lomie larut sekali dalam persetujuan akan nilai-nilai kemanusiaan yang almh. Ibu saya sudah tanamkan. Saya sendiri percaya, meskipun kelihatannya keadaan begitu runyam dan ricuh di Indonesia, namun manusia-manusia seperti ibu saya masih ada di berbagai sudut negeri kita. Hanya mungkin mereka tertutup oleh orang-orang dengan perilaku tercela. Terlebih perilaku tak terpuji memang jauh lebih menarik untuk diperbincangkan (atau diberitakan) ketimbang perbuatan-perbuatan baik. Jadi kiranya kini tugas kita lebih berat ketimbang generasi orang tua kita: menjalankan warisan nilai kemanusiaan dari orang tua kita, menurunkannya pada anak-anak manapun di sekeliling kita, dan melawan setiap perbincangan ataupun pemberitaan tentang hal-hal yang negatif yang demikan keras berdengung di telinga hari demi hari. Tuhan memberkati usaha kita semua!

    BalasHapus
  3. Jika sekarang Nona Yuanita berhadapan dengan saya, saya akan akan tanya isi dari sila 1 sampai sila ke lima secara acak dan terakhir secara berurutan!! tidak menutup kemungkinan bisa saja Nona Yuanita tak hafal hehehehe just kid.... :p

    Otong Sutisna

    BalasHapus
  4. Hapal dooong... Berani sekarang? Eh, mana kertas contekannya, ya? Hahaha....

    BalasHapus
  5. baiklah jik ingin di test masuk saja ke link ini http://www.facebook.com/panglima.langit.904, hehehe tidak, jangan terkejut hanya bercanda. percaya kok nona yuanita hafal hanya berteman saja.

    Otong Sutisna

    BalasHapus