Jumat, 14 Desember 2012

Sesungguhnya, Ia Telah Mati Bersama Bayi-bayi yang Dibunuhnya




Sesungguhnya saya tidak sampai hati menulis artikel mengenai kisah tragis yang terjadi baru-baru ini. Bahkan saya lebih suka tidak mendengar berita ini sama sekali sehingga nurani saya tidak perlu terganggu karenanya. Terlebih ini terjadi di Manado, yang selama ini saya bangga-banggakan di banyak tulisan saya sebagai daerah Utopia yang pasti membuat Karl Marx malu atau setidaknya penasaran. Kisah memilukan ini mengenai seorang ibu yang membunuh dua dari tiga bayi kembarnya. Kronologinya secara singkat adalah setelah menidurkan bayi pertama, ia kesulitan menidurkan dua bayi lainnya yang bersikap rewel. Stres dalam usahanya yang sia-sia, perempuan ini membekap dua bayi tersebut. Yang pertama meninggal dalam waktu singkat. Yang kedua masih menangis dan tersengal-sengal. Kemudian kedua bayi (baik yang telah tewas maupun masih tersengal-sengal) tersebut ia letakkan berjejeran dengan satu yang masih selamat dan tidur lelap. Lalu ia ke depan, menemui kedua anaknya yang lebih besar (10 dan 12 tahun), berkata bahwa ia hendak pergi membeli susu. Kemudian ia berbalik lagi, menemukan bahwa bayi yang tersengal-sengal telah tewas pula. Entah dengan motivasi apa, ia kemudian memasukkan dua bayi yang telah tewas tersebut ke dalam ember yang berisi air. Setelah itu ia pergi.

Berita tersebut saya baca di sebuah media online yang saya ikuti, lengkap dengan foto si ibu tengah diinterogasi oleh polisi sambil menggendong satu-satunya bayi yang masih hidup. Membaca tulisan ini, saudara-saudara, apa yang anda akan katakan? Apakah anda akan berkata, “Jangan biarkan ibu itu menggendong bayinya! Nanti dibunuhnya pula!”?. Atau yang semacam itu? Baiklah, saya lanjutkan lagi. Ibu tersebut bukanlah perempuan yang tidak berpendidikan. Ia memiliki gelar S1 Ekonomi dan anak seorang pendeta. Sampai di sini, apa komentar anda? Apakah, “Sekolah tinggi-tinggi tetap saja tidak punya otak! Dan pendeta macam apa itu membesarkan anaknya jadi seorang pembunuh??!!” atau yang serupa itu  kira-kira? Baiklah, lagi-lagi saya lanjutkan. Suami perempuan itu meninggalkannya karena perempuan lain. Singkatnya, ia mengkhianati istrinya dan mengawini perempuan lain, lalu meninggalkan istrinya bersama 5 anak mereka. Sebagai tambahan: tanpa nafkah.

Membaca lanjutan kisah tersebut baru saja, apakah anda masih akan memberikan komentar serupa? Saudara, saya tidak berkata bahwa saya menghalalkan pembunuhan jika alasannya masuk akal. Tidak ada satu pembunuhanpun yang bisa masuk di akal siapapun (kecuali akal orang tak waras. Hanya saja setahu saya orang tak waras tidak memiliki akal. Kalaupun ada tentulah tak sehat). Apalagi pembunuhan yang dilakukan oleh orangtua –terlebih ibu- si korban. Bayi baru beberapa bulan pula. Saya juga tidak akan menggalang opini massa untuk mendesak pihak aparat agar membebaskan tersangka dari tuntutan hukum, dengan dasar perikemanusiaan. Tidak, karena apapun alasannya tidak ada satupun pembunuhan yang memiliki dasar kemanusiaan. Dan bagaimanapun saya adalah orang yang percaya pada apa yang disebut sebagai supremasi hukum, apapun kata orang tentang hukum di Indonesia.

Tetapi ijinkan saya mengisahkan apa yang saya rasakan setelah melahirkan Kinasih, putri sekaligus anak bungsu saya, sehingga anda bisa sedikit menyelami apa yang dirasakan perempuan pembunuh anak-anaknya tersebut. Ketika itu saya masih mengalami gegar mental dan budaya. Saya pindah ke kultur yang sama sekali baru, terlebih kehamilan saya yang kedua ini berjarak 14 tahun dari yang pertama dan sama sekali bukan kehamilan mudah. Jauh dari sanak keluarga, orang tua, tak punya teman, terlebih berjauhan dari anak sulung yang ketika itu belum ikut pindah, adalah latar belakang tekanan mental yang masih mengikuti saat bayi saya lahir. Ditambah kondisi ekonomi yang sedang terguncang dan masalah dengan suami, keadaan tersebut masih diperparah dengan tidak adanya pembantu, yang memang sulit dicari di Manado sini. Saya benar-benar kesepian, tak ada hiburan, tidur hanya sekitar 4 jam per hari, dan lelah dalam segala aspek. Terlebih Kinasih adalah bayi yang aneh. Jika bayi kecil biasanya tidur belasan jam sehari, ia hanya tidur maksimal 9 jam. Itupun harus digendong. Saya ingat jelas bahwa ada banyak masa di mana saya benar-benar ingin lari atau mungkin bahkan mati. Saya tidak tahu apakah segala faktor penyebab stres tersebut di atas berdiri sendiri atau mungkin ditambah dengan sindroma baby blues. Sejauh yang saya ketahui, baby blues syndrome seringkali muncul begitu saja dan membuat seorang ibu (yang berkelimpahan secara materiil dan spiritual, bahkan bergelar doktor sekalipun) menjadi tidak sehat secara mental dan sanggup melakukan hal-hal buruk apapun. Terlebih ditambah faktor-faktor lain. Saya ingat kondisi mental saya saat itu benar-benar parah dan tidak pernah saya bayangkan bisa saya alami. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan saat itu, yang jelas yang saya lihat saat ini adalah saya masih hidup, segar bugar, menuliskan hal-hal yang menurut banyak pembaca ‘menginsipirasi dan menjadi berkat’ (saya sangat bahagia dan bersyukur untuk ini), dan masih sering terheran-heran kenapa secara mental saya bisa sestabil ini sekarang.

Namun jika boleh jujur, seberat apapun kondisi saya saat itu, hidup masih sedikit tersenyum pada saya. Sesakit apapun saya secara fisik dan mental pada waktu itu, sesungguhnya tak ada apa-apanya dibanding perempuan tersebut. Sama sekali tak ada seujung kuku hitamnya. Masih ada ibu mertua sehingga saya tak perlu memasak dan tinggal makan saja, dan sepulang kerja suami masih membatu menggendong Kinasih kecil yang luar biasa menjengkelkan itu, walaupun hanya kurang dari dua jam. Dan bagaimanapun, ia masih menafkahi kami. Pula ia tidak bersenang-senang dengan perempuan lain di atas penderitaan istrinya. Namun ibu pembunuh tersebut –saya berdoa untuk kedamaian hatinya- merawat TIGA BAYI SEKALIGUS SENDIRIAN dan dua anak lain, mengurus semua pekerjaan rumah tangga sendiri, tak punya penghasilan, dan suaminya bersenang-senang di ranjang perempuan lain. Ia tentunya ratusan kali lebih menderita daripada saya. Saya berusaha keras membayangkan apa yang dirasakannya dan berusaha lebih keras untuk menjabarkannya pada saudara, namun saya sama sekali tidak bisa. Karena apa yang ditanggungnya memang terlalu berat untuk dibayangkan apalagi dimengerti oleh orang lain. Terlebih orang-orang yang menghakiminya, yang dengan enteng mengatakan ia tak punya otak. Yang tanpa hati mengatakan janganlah ia menggendong bayinya yang tersisa supaya tak pula dibunuhnya.

Saat menuliskan kata demi kata dalam paragraph di atas, mata saya kabur oleh genangan air dan tenggorokan saya tercekat demikian kuatnya sehingga terasa sangat sakit. Kemudian saya memutuskan untuk mengendalikan emosi dan duduk termangu-mangu. Lama, membayangkan jika seandainya suaminya adalah manusia normal, besar kemungkinan perempuan ini akan sama dengan ibu-ibu lain, yang membesarkan dan merawat anak-anak mereka lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa perlu ditambah predikat pembunuh. Saya juga membayangkan jika para bapak yang tinggal satu lorong dengannya mau menyisihkan uang rokok dua ribu saja perhari, mereka bukan hanya akan membuat tubuh sedikit lebih sehat, namun juga membuat perempuan itu sedikit bernapas lega. Atau jika para tetangga mau meluangkan waktu beberapa jam sehari untuk diisi oleh beberapa perempuan demi membantunya merawat anak secara bergiliran setiap hari, keadaan pasti akan sangat lain. Sayangnya, ibu tersebut baru tinggal di lingkungan tersebut selama 6 bulan, yang membuat para tetangga merasa cukup punya alasan untuk menganggapnya ‘misterius’ (sedangkan 6 bulan sama dengan 180 hari, yang mana lebih dari cukup untuk membuat apapun menjadi sama sekali tidak misterius -dengan catatan kalau ada yang sedikit peduli). Mereka bahkan mengaku kaget bahwa di rumah tersebut ADA TIGA BAYI. Sesuatu yang sangat janggal, kecuali jika tiga bayi tersebut semuanya bisu. Di saat yang bersamaan para tetangga mengaku cukup mengenal orangtua perempuan tersebut, dan lebih jauh dengan sangat enteng mengatakan, “Kejadian yang sangat mengherankan, karena orangtuanya adalah gembala (pendeta) di Gorontalo.” Dengan imajinatif pula mereka berkata bahwa kemungkinan perkawinan perempuan tersebut tak direstui karena orangtuanya tak pernah menengok. Semakin seseorang tak peduli, memang biasanya makin mudah pula ia menghakimi.

Masih sambil termangu-mangu, saya membayangkan kalau saja para pemimpin jemaah dan pelayan di gereja tempatnya beribadah mau sedikit menengokkan kepala mereka dari padatnya acara ibadah dan perayaan pra natal pada beratnya beban yang ditanggung perempuan itu, bisa jadi tidak akan ada dua bayi yang tercabut nyawanya. Seperti yang pernah saya muat dalam tulisan saya sebelumnya, ibadah Natal (yang selalu diikuti dengan perayaan dan makan-makan) di Manado dimulai sejak jauh hari. Mungkin para pemimpin dan pelayan di gereja demikian sibuk membuat acara pohon terang yang penuh sukaria, sehingga mereka terlalu lelah untuk memperhatikan seorang umat yang tersaruk-saruk sendiri, dalam jalan kehidupannya yang penuh onak dan duri. Atau mungkin mereka –bersama para jemaah lain- sudah silau dengan benderang pohon natal yang dipasang di gereja dan tiap rumah, sehingga mereka kesulitan melihat penderitaan seorang perempuan dengan mata fisik, terlebih mata batin. Jika mata-mata tersebut tidak terlalu disilaukan oleh gemerlap pesta dan acara belanja, bisa jadi tidak akan ada satu bayi yang masih hidup dan dua kakaknya yang kehilangan sang ibu sementara ia meringkuk di bui.

Dan setelah semuanya itu, masih berbaris kumpulan orang yang menganggap diri suci sehingga berani merebut peran Sang Hakim Agung. Orang-orang yang membaca atau mendengar berita ini, yang kemudian dengan demikian mudah melontarkan komentar segala rupa pada perempuan pembunuh yang sesungguhnya malang tiada terperi itu. Perempuan ini pasti jelmaan iblis, ia sama sekali tidak pantas jadi ibu, salah apa anak-anaknya sampai punya ibu seperti itu, adalah beberapa di antara penghakiman tersebut. Terakhir, hampir semua berkomentar, “Semoga ia dihukum seberat-beratnya!!!”. Namun sesungguhnya, tanpa hukuman fisik apapun, ia telah terhukum oleh penyesalan yang pasti mengikutinya sejak kini hingga nanti. Dan tanpa dikurung oleh terali besi apapun, sesungguhnya ia telah terpenjara oleh beban dosa yang bisa jadi akan mengungkungnya hingga mati. Dan hidup semacam itu bukanlah kehidupan lagi. Maka sesungguhnya, ia pula telah mati pada saat ia membunuh kedua darah dagingnya sendiri. Dan di balik kedua tangan yang ia gunakan untuk mencabut nyawa anak-anaknya, ada suami yang tak punya hati nurani. Di balik bantal yang ia bekapkan pada bayi-bayinya, yang telah membuatnya ikut mati, ada aparat pemerintah tingkat kampung, orang-orang di sekitarnya, dan kaum agama yang tidak peduli. Sesungguhnya, ia sama sekali tidak membunuh kedua bayinya seorang diri.

6 komentar:

  1. Saya trenyuh dengan kejadian ini, sekaligus miris terhadap hal-hal yg melatarbelakanginya. Saya setuju terhadap opini bahwa kondisi sosial yg dialami sang ibu tersebut sebenarnya adalah faktor utama yg berkontribusi sehingga terjadi hal seperti ini. Sayang sekali proses verbal hukum kita selalu mengabaikan cerita dibelakang layar. Penegak hukum kita TIDAK MAMPU mangurai benang kusut permasalahan, dan hanya memfokuskan pada tindakan pelaku pada waktu itu. Ya, hanya sebatas itu tok!.
    Dilain pihak, ketika ada kesan bahwa lingkungan sosial seakan tidak peduli, maka saya sendiri tidak 100% setuju, karena perilaku "misterius" lebih besar merupakan kelalaian keluarga ini. Berdiam di suatu tempat yg jauh dari sanak famili, tidak ada yg mengenal secara intim, serta tidak ada yg suka mengunjungi sudah merupakan indikator ada sesuatu yg salah. Demikian juga dengan sikap enggan bersosialisasi yg diciptakan keluarga ini. Selaku orang Kristen, (apalagi orang tuanya konon adalah seorang Gembala) maka seharusnya interaksi dengan lingkungan HARUS diciptakan, bukan "basambunyi didalam rumah terusssss". Saya dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak proaktif untuk -setidaknya- mengikuti kegiatan-kegiatan sosialita dilingkungannya, paling tidak mengikuti Ibadah di kelompok terdekat, sehingga akan ada yg ikut memahami apa dan bagaimana keluarga ini serta PASTI akan ikut memberikan empati atas masalah yg dirundung oleh sang ibu misterius ini. Well,... hidup bersosialisasi memang jangan dianggap sepele.

    BalasHapus
  2. Waktu saya ngurus si kecil, saya cuma bisa tidur 4 jam sehari, itupun panggal-panggal. Satu jam siang, setengah jam sore, dll. Padahal cuma satu bayi dan ada mertua. Jadi saya pikir sangat wajar jika ibu itu sama sekali tak punya waktu untuk bersosialisasi, mengingat yang diurusnya adalah TIGA BAYI, dua anak lain, dan pekerjaan rumah tangga seabrek. Jika dilihat dari pola kekerabatan di Manado pada umumnya, sikap proaktif justru biasanya dimulai oleh pihak kepala kampung dengan keramahan Manado yang sangat khas. Jika manusia di sekitar mau bekerjasama membantu ibu itu, maka saya yakin si ibu akan punya cukup waktu untuk istirahat. Tapi di sini memang seperti pertanyaan: duluan mana, ayam atau telur?

    Mengenai pengadilan, setahu saya ada yang disebut diskresi di sini, minimal pada tingkat kepolisian. Saya harap ada diskresi pula di sini.
    Terima kasih sudah berkunjung ke sini, Bung. Semoga tulisan saya bisa menjadi berkat. Tuhan memberkati....

    BalasHapus
  3. Halo Mbak May, jumpa lagi.

    hehehe...baru sempet main lagi nich ke Blog :p

    saya mau membuka komentar saya dengan pandangan umum saya : masyarakat kita dewasa ini memang sakit. saya pun termasuk dalam masyarakat tsb jadi saya ini ya, sama saja sakitnya sebenernya. entah jaman dulu ngga keekspos media atau skrg lebih terbuka jadi berita berita semacam ini muncul dan gampang diketahui khalayak luas, saya nggak tahu, tapi ya itu, terkadang alasan yang sepele bisa memicu seseorang untuk melakukan tindakan yang bikin heran seseorang yang lagi waras. ya, saya lagi waras sehingga saya bisa menghakimi dan sekaligus mengatakan saya waras. masih segar dalam ingatan saya tentang seorang anak SD yang bunuh diri lantaran tabungannya lebih sedikit dari kakaknya, dan seorang remaja yang memutuskan untuk bnuh diri lantaran tidak memiliki handphone. dua kasus ini sih jelas lebih remeh daripada kasus sang ibu dengan tiga anak kembar yang ditinggal suaminya tanpa nafkah. namun, coba kita lihat sisi lain dari cerita tsb. mengapa anak-anak tsb yang katakanlah pikirannya masih bersih dan belum ternoda tersebut nekad untuk melakukan perbuatan ajaib yang kiranya menghabiskan nyawa mereka itu?

    saya berpikir, mungkinkah edukasi moral dan ketahanan seseorang terhadap ujian stress kurang teruji pada bbrp kasus ini?

    walaupun doktor, bukan berarti dia mampu melewati tekanan hidup sich, mbak. walaupun masih anak-anak, kita juga nggak bisa sepenuhnya memahami apa yg terjadi dalam dunianya sampai dia memutuskan saja hidup anak-anak yang dimilikinya yang mestinya ceria dan penuh warna itu.

    tentu, kepedulian orang orang sekitar biasanya mampu meredam konflik internal batin yg terjadi dalam diri seseorang. itu sebabnya, perhatian dan hubungan kedekatan memang penting untuk membuat seseorang menjadi lebih kuat dan stabil.

    bagaimanapun, ibu itu bersalah karena telah gelap mata membunuh dua bayinya, hanya karena dua bayinya menangis tak bisa diam. saya sendiri nggak bisa menghakimi karena saya tidak akan pernah bisa mengandung dan melahirkan sehingga mampu untuk berempati dan memiliki rasa yg sama dengan apa yg dialami oleh ibu tsb. terlalu sombong bagi saya apabila saya mengatakan bahwa saya bisa memahami ibu tsb.

    bantuan selalu ada bagi mereka yg membutuhkan. saya pernah berada di dalam situasi yang lumayan pelik dalam hidup saya, rasanya saya sudah pernah mengatakan ini. waktu itu, berbicara dengan Tuhan menjadi jalan yang sedikit melegakan wakaupun jalan keluarnya tidaklah instan. walau demikian, saya nggak bisa mengatakan bahwa ini selalu jalan terbaik yang bisa dilakukan untuk setiap orang. mungkin pendekatan kepada setiap orang itu berbeda-beda. ada yg tipenya seperti saya, bercerita kepada sebuah kekuatan yang di luar kuasa saya, ada pula yang dengan model berbeda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hah, beneran ada anak bunuh diri cuma lantaran duit tabungan dikit??? Astaga, saya benar-benar tak tahu harus berkomentar apa. Apalagi menganalisa, terlebih menghakimi. Saya tidak ingin mengatakan keluarga saya yang terbaik ada hal ajaib yang diwariskan turun-temurun di keluarga besar saya sehingga kami semua jadi sosok tahan banting: hobi meledek tak kenal aturan. Bahkan ibu-ibu di keluarga terbiasa mengarang cerita dusta untuk tiap anaknya. Biasanya garis besarnya sama: kamu sebenarnya anak pungut (hanya diberi variasi beda untuk tiap-tiap anak). Misalnya, berhubung tampang saya paling Cina sendiri dan selalu diledekin karena ini (padahal saudara sepupu saya banyak yang matanya sipit, tapi mereka ngeles, "Aku nggak sipit, cuma alisku turunnya ke bawah banget". Hehehe...), ibu saya ngarang cerita, "Suatu pagi Ibu buka pintu, dan di teras ada keranjang bayi. Bayinya sipit sekali, saking sipitnya sampai matanya baru bisa terbuka setelah dijilat Brono (atau siapalah, anjing keluarga waktu itu). Ibu kasihan, akhirnya Ibu pelihara saja. Belakangan ketahuan bahwa kamu anaknya Bah Pek Ging." Bertahun-tahun saya percaya cerita itu, sampai tertekan berat dan pernah menghabiskan waktu berbulan-bulan, tiap malam berdoa dan saya tulis di buku diari (apalagi kalau habis dimarahin nyokap), curhat pada Tuhan sambil berlinang air mata, "Ya Tuhan, pertemukanlah aku dengan orang tua kandungku." Belakangan, barulah otak saya terbuka dari fakta sederhana: darimana ceritanya Ibu bangun pagi buka pintu, wong dia selalu bangun siang dan semuanya dikerjain pembantu? Hahahaha...... Setelah sadar rasanya sakit hati sekali pada Ibu, tante-tante, dan saudara-saudara lebih tua yang ngerjain saya selama bertahun-tahun. Tapi kemudian dari situ tanpa saya sadari mental saya jadi terbentuk sekeras baja, hahaha... Plus yang lain semangat ngerjain saya karena mereka terlebih dulu sudah dikerjain, hihihi.... Dan apakah saya melanjutkan tradisi ini pada anak-anak saya? YA, TENTU SAJA. Hahahaha.... Selain itu -melawan teori psikologi barat- anak-anak di tempat kami justru disorot kekurangannya dan dijadikan bulan-bulanan. Misalnya, seindah apapun saya, yang tak lain pusing dan lebih suka bilang, "Jari tangannya Maya berhenti pada usia tujuh tahun. Kalau aku punya jari kayak gitu mending buntung." Hahaha...gila semua. Pokoknya macam-macam, deh. Jadi sesetres apapun kami selalu dapat cara untuk ketawa (entah tawa pasrah atau tawa korslet saya nggak tahu:)). Saya selalu merasa itu salah satu hal yang menyelematkan saya dari berbagai kemungkinan tindak melawan prinsip kemanusiaan (misalnya menyakiti orang lain atau bunuh diri) sedepresi apapun saya).

      Untuk ibu itu, saya sama sekali tidak mengatakan dia lepas dari kesalahan. Tidak. Tapi keadaan pasti akan lain kalau ada banyak tangan atau setidaknya telinga untuk membantu dan mendengarkan keluh-kesahnya. Kita memang seringkali tak menyadari apa pentingnya diri kita bagi orang lain, terlebih yang sedang jatuh dalam pencobaan dan derita.

      Hapus
  4. saya percaya dan setuju, ibu itu sudah sangat menyesal. bagaimana anak tsb hidup tanpa dua saudaranya nanti. hukuman terberat bagi ibu tsb adalah dia harus menanggung seumur hidup untuk beban pikiran itu. pikiran, adalah sesuatu yang rumit dan teramat kompleks. sudut pandang kita bisa jadi nggak valid disini. di luar itu, saya percaya akan takdir dan karma, mbak. saya percaya, semuanya ini sudah digariskan dari atas sana. semua ini terjadi karena semua komponen saling melengkapi. hehehe...saya jadi ngalor ngidul ngetan ngulon hihihi

    entah yah, membantu atau tidak. namun dalam dunia yang sudah egoistis ini, ada dan harus selalu ada waktu bagi setiap dari kita untuk berhenti sejenak, menepi dan menyapa orang orang di sekitar kita. saya percaya, ini adalah obat mujarab bagi kesehatan dan kewarasan masyarakat. kita memang bukan manajer alam semesta, kita nggak bisa mengendalikan semuanya. tapi, dengan minimal berbuat seperti itu, dunia akan jadi tempat yg lebih baik. bisa jadi juga, mungkin si ibu tsb mau mengurungkan niatnya untuk membunuh krn sudah gelap matanya dia, karena bantuan dari, misal, tetangganya yang mau membantu menenangkan sang bayi. dari sudut pandang berbeda, ibu itu, pernahkah meminta bantuan? kepada siapapun? kepada Tuhan? sebab sekali lagi, ini kata kata favorit di komen saya : bantuan akan datang kepada mereka yang membutuhkan :)

    psssttt.....saya yang waras bisa dengan bijak menulis ini semua. tapi ntah apa jadinya di saat saya lagi galau dan egois....saya nggak akan pernah ingat dngan apa yg saya katakan ini. maka dari itu, perlu adanya seorang "teman" yg selalu mengingatkan balik :)

    BalasHapus
  5. Eh, ada manajer alam semesta di sini, hihihi... Ya, saya sepakat bulat dengan pendapat Lomie di atas mengenai 'perhentian sejenak' dan 'membuka diri'. Tetap terhubung dengan 'Energi Kudus' memang recharging yang sangat ampuh dalam segala masalah, seberat apapun. Plus bila koneksi tersebut bagua maka Kuasa yang Tak Terlihat terbebut juga akan mengatur segala macam bentuk bantuan yang kita butuhkan. Seringkali tanpa kita sadari.
    Itu semua sudah saya alami, makanya saya bisa bilang begini. Namun dalam hal ibu tersebut, daya sama sekali tak berani mengukur kakinya dengan ukuran kaki saya. Karena saya tak pernah mengalami ujian seperti itu, jadi perspektif saya bisa jadi tak terpakai dalam cobaannya. Saya tidak tahu pasti, sehingga saya tak berani menghakimi. Nasi sudah jadi bubur, yang saya harapkan bagi kita semua, terutama masyarakat atau orang-orang yang mengenal keluarga tersebut tidak mudah mengetukkan palu penghakiman. Saya memikirkan anak-anak mereka yang harus menghabiskan sisa hidup menyandang predikat anak 'perempuan yang membunuh anak-anaknya sendiri'. Jika orang-orang sekitarnya tak memberi dukungan secara moral bahkan sebaliknya menghakimi, bisa-bisa mereka mencabut nyawa sendiri untuk mengakhiri tekanan mental yang mereka alami. Kalau kita tak bisa melakukan sesuatu untuk membantu, setidaknya kita tidak perlu menganggap diri sebagai Tuhan. Saya sungguh-sungguh berdoa bagi ibu dan anak-ananya yang tersisa tersebut.

    BalasHapus