Kamis, 26 Januari 2012

Umat Narsis dan Umat Lebay


Ini adalah posting di luar jadwal, karena sesuai rencana mustinya saya menyelesaikan dulu rangkaian artikel mengenai gizi. Tapi karena ada hal yang lebih mendesak, maka saya dahulukan dulu yang satu ini, sebagai tanggapan atas komentar MUI dalam sebuah talk show yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta, sehubungan dengan komentarnya mengenai perkara gereja Yasmin. Sebelum menerbitkan artikel mengenai salah satu statement Ketua MUI yang sangat tidak bertanggung jawab dalam perkara ini dalam kapasitasnya sebagai pemimpin umat, saya hendak terlebih dulu membahas mengenai sang umat.

Kita semua tahu dan merasakan, bahwa tanah air kita yang sangat raya ini dihuni oleh beragam jenis manusia dengan berbagai jenis latar belakang yang berbeda, jadi semestinyalah kita sudah sangat fasih mengenai perkara kemajemukan. Kemajemukan yang sangat menonjol salah satunya adalah agama. Koreksi kalau saya salah, setahu saya populasi kaum Muslim di negeri ini berjumlah lebih dari dari 80%. 20% persen sisanya dibagi secara tidak merata antara kaum Kristiani, Budha, Hindu, dan Konghucu. Saya tidak tahu pasti di mana rakyat penganut agama warisan leluhur yang tidak diakui oleh pemerintah ditempatkan dalam potongan-potongan kue tersebut. Dan berapa jumlah pastinya? Meneketehe, kita kan bukan tukang sensus, hehehe…. Umat yang paling populer di Indonesia adalah umat Muslim. Ya mesthi. Dan yang kedua adalah umat Kristen. Sayangnya dua umat paling top di Indonesia yang kabarnya masih sedarah ini ternyata juga paling sering berseteru, dan seringnya tanpa alasan jelas. Kalaupun jelas, biasanya mengada-ada.

Baiklah, mari kita bicara terlebih dahulu soal umat paling populer, yaitu Muslim. Sebagai kelompok umat dengan populasi paling banyak, umat Muslim di Indonesia boleh dibilang sangat percaya diri. Ya iyalah, temannya segambreng. Dan sejauh ini, paling tidak menurut pengamatan dan pengalaman saya pribadi, kepercayaan diri mereka sangat asyik dan kul. Sayangnya, tidak semua dari mereka asyik dan kul. Sebagian (untungnya sangat keci), menganggap rasa pede saja tidaklah cukup. Walhasil dengan penuh semangat mereka meningkatkan derajat kepedean tersebut sampai level narsisme. Dan karena narsis sendirian dirasa enggak fun dan kurang gahar, maka merekapun beramai-ramai membentuk kelompok umat narsis. Front Pembela Itu, misalnya. Atau kelompok-kelompok lain yang bakal menyita halaman kalau saya sebut satu demi satu.

Unjuk karya dan rasa narsisme mereka sangat beragam. Salah satu contoh sederhana adalah, bila bulan ramadhan tiba, mereka sibuk menghabiskan waktu dengan jelalatan mencari warung-warung makan yang buka sambil membawa pentungan dan berbagai bentuk senjata tumpul atau tajam lainnya. Kalau ketemu sudah jelas diobrak-abrik. Narsisme mereka dalam hal ini adalah menganggap diri sebagai penegak hukum agama, sekalipun tidak ada seorangpun yang menahbiskan mereka, dan bahkan saat tafsir mengenai hal ini masih jadi bahan berdebatan sekalipun. Tapi sebagai kaum narsis tentu saja mereka tak peduli dengan pendapat dan atau hak orang lain, karena semua kan berpusat pada diri mereka sendiri. Istilahnya, dunia milik mereka, yang lain indekos.

Dalam banyak hal umat narsis juga pelupa, contohnya saat mereka mengklaim diri sebagai pembela Tuhan. Begitu narsisnya mereka hingga lupa bahwa Tuhan begitu Kuat dan Maha Kuasa, sehingga tidak memerlukan pembelaan  dari siapapun, terlebih dari umat yang diciptakan-Nya dari debu tanah. Mereka juga lupa bahwa Tuhan mencintai semua umat ciptaan-Nya, sehingga dengan enteng mereka memporak-porandakan, menghancurkan, bahkan meledakkan rumah ibadah umat agama lain. Mereka lupa bahwa Tuhan itu penuh cinta kasih, sehingga mereka anggap tindakan bar-bar terhadap umat Tuhan yang lain adalah tindakan yang bisa menyenangkan hati-Nya. Mereka juga lupa bahwa Tuhan menciptakan negeri ini untuk semua rakyat Indonesia tak peduli dengan latar belakang agama apa, hingga seringkali mereka kebakaran jenggot jika ada umat lain berencana mendirikan rumah ibadah. Narsisme juga membuat mereka lupa bahwa kemajemukan sudah disadari oleh bapak-bapak bangsa kita saat membuat rumusan dasar negara Pancasila, dengan menghilangkan frasa ‘…dan kewajiban menjalankan syariah-syariah Islam bagi pemeluknya’. Yah, narsisme memang membuat mereka mudah melupakan begitu banyak perkara esensial.

Oke, cukuplah mengenai umat narsis. Bukannya saya hendak menyiram bensin di atas api, namun sebagai orang yang beragama Kristen saya hanya berusaha jujur pada diri sendiri, bahwa saya sama sekali tidak bangga dengan perilaku sebagian kecil saudara-saudara saya seiman, yang dalam istilah saya Kristen lebay. Namanya juga kaum lebay, maka kegemaran mereka adalah membesar-besarkan masalah. Kalau perlu, nggak ada masalahpun dicari-cari juga. Contoh paling sederhana, saat ada gereja dihambat dalam urusan ijin pembangunan, mereka sontak heboh dan berteriak-teriak: jangankan gereja besar, gereja kecil saja mereka tindas! Komentar saya tandas: Gereja besar dan kecil yang mana? Gereja besar dan kecil yang segelintir itu? Mereka yang mana? Mereka yang cuma segelintir itu? Kalau benar semua gereja besar dan kecil ditindas oleh mereka semua, lalu apa kabar gereja-gereja yang eksis di jalanan baik jalan protokol maupun perumahan?

Dan sebagai umat lebay, ada banyak hal yang bisa membuat mereka sensi dan nyolot lebih cepat daripada mereka mengucapkan “Dalam nama Yesus, amin.” Kalau ada masalah sedikit saja, mereka mengata-ngatai pemerintah dan menuduh pemerintah menganak-tirikan kami. Tepat seperti kaum narsis, kaum lebay juga mengidap penyakit amnesia parah. Mereka lupa bahwa jumlah kami di bumi pertiwi ini hanya kurang dari 20 persen, itupun masih harus bagi-bagi potongan kue dengan kaum agama sisanya yang diakui oleh pemerintah. Mereka lupa bahwa sebagai umat minoritas, hak kami di sini bukan hanya dijamin oleh pemerintah, namun juga dihormati oleh umat mayoritas. Mereka lupa bahwa hanya di Indonesia sajalah umat yang minoritas bisa merayakan hari-hari raya dengan heboh dan riang gembira diliputi suasana pesta. Mereka lupa bahwa hal semacam ini tidak mungkin kami rasakan di negara lain, Cina, misalnya. Mereka lupa bahwa di Indonesia terdapat wilayah-wilayah yang disebut kantong kekristenan karena umat Kristen merupakan mayoritas di sana, sedangkan Indonesia adalah negeri yang dihuni oleh lebih dari seratus lima puluh juta jiwa kaum Muslim! Luput dari pandangan mereka bahwa kami begitu eksis, sehingga kita bisa melihat berbagai ekspresi kami sebagai orang Kristen pada stiker-stiker, kaus, dan sebagainya di jalanan dan di mana saja. Mereka lupa bahwa kami tetap bisa dengan bangga menuliskan ‘I Love Jesus’, ‘Jesus, one and only King,’ dan segala Jesus ini atau Jesus itu lainnya, sekalipun jumlah kami begitu minornya.
Mereka lupa bahwa sekalipun umat Muslim di negeri ini jumlahnya begitu fantastis dan terpilih sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, toh tetap Indonesia sama sekali bukan negara Islam. Mereka lupa bahwa pada saat perumusan Pancasila, beberapa wilayah di Nusantara siap melepaskan diri jika sila pertama tetap mengandung frasa ‘…dan menjalankan syariah-syariah Islam bagi pemeluknya’, hingga perombakan pun dilakukan selekasnya. Kaum lebay lupa pada pengorbanan sekian juta umat Islam yang lebih memilih persatuan Indonesia ketimbang sila yang berat sebelah namun sesungguhnya menguntungkan mereka. Kaum lebay lupa pada kerinduan jutaan umat Islam yang menginginkan bumi pertiwi ini menjadi tanah yang menjanjikan keadilan dan kesetaraan bagi semua anaknya.
Terpujilah Tuhan, karena kaum narsis dan lebay jumlahnya hanya sedikit. Namun demikian ada satu hal pasti, yakni mereka diikat oleh benang merah yang sama: militansi. Mereka begitu giat mengampanyekan pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dalam berbagai cara, lewat berbagai media. Dan mengingat enerji serta vitalitas mereka patut diacungi jempol, maka kita tidak bisa mengasumsikan bahwa jumlah mereka akan tetap segelintir dari waktu ke waktu. Ibarat bola salju yang terus membesar dan meraksasa dari waktu ke waktu mereka meluncur ke bawah. Dan bola salju juga melibas apapun yang ada di dekatnya dalam luncuran tersebut. Maka kehancuran adalah hal berikut yang akan ditemui Indonesia jika dua kaum ini dibiarkan beraksi seenak perut mereka sendiri. Jadi, marilah kita lawan militansi mereka dengan keteguhan yang sama pula. Setidaknya dengan mengungkapkan fakta-fakta yang saya cantumkan dalam artikel ini. Syukur-syukur anda punya fakta yang lebih komprehensif dan mau membagikannya pada saya serta yang lainnya.
Mari kita bergandeng tangan, menggalang kekuatan dalam kebenaran dan rasa takut serta hormat akan Tuhan untuk lestarinya Indonesia. Sebab Indonesia milik kita semua, hancur atau lestarinya Indonesia salah satunya juga ditentukan oleh ketidak pedulian atau kepedulian kita.
Tuhan memberkati Indonesia!

*Posting selanjutnya pada hari Senin adalah artikel dengan judul ‘Pemimpin Umat yang Galau’.
                                                                                                                                            




  


7 komentar:

  1. ...kontras banget sebenarnya para Umat Narsis yg sebenarnya "TIDAK DIAKUI" oleh kaumnya secara luas. Kemajemukan dan kehangatan kaum kami "TERNODAI" Umat Narsis tersebut yang membuat para pemuka "KAUM" kami kalang kabut dalam menyikapi segala tetek bengek kelakuan yang bertolak belakang dengan pola pikir modern sekarang ini. Ternyata eh ternyata.... kemungkinan para umat tersebut masih menganut metode pada jaman Jahiliyah yang jelas2 selalu mengedepankan kekerasan. Kenapa Timur Tengah menjadi patokan para umat tersebut? Mereka kan punya konsep dan latar belakang sendiri terhadap permasalahan TOLERANSI tersebut? Lha kok kabupaten Endonesa pengen meniru, menjiplak, ngeblat mentah2 dari Timur Tengah (misal Israel Palestina, yg membawa2 dendam lama mereka sendiri ketika jaman baheula). Kabupaten Endonesa kan sudah memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan yang semakin berkembang secara berkelanjutan dan bertubi2.
    Tapi kok para Umat memposisikan dirinya pada pribadi2 yang "Pura2 Waras"....hahahaha....

    BalasHapus
  2. Memang kasihan sekali umat yang tidak narsis dan tidak lebay, karena mereka jadi kena abu hangat umat narsis dan umat lebay di atas. Jadi umat tak narsis dan tak lebay sebaiknyalah lekas-lekas bergandengan tangan, supaya yang cuma segelintir itu tidak jadi 'segelontor'. Karena kalau dibiarkan mereka jadi kepede-an. Maunya ngritik dan menghujat orang lain, tapi giliran dikritik marah, entah yang ngritik orang lain atau sesama anggota sendiri.
    Mari kita bersama-sama belajar dan berjuang menjadi umat yang sabar, bijak, dan tidak congkak. Jadi ingat ucapan Din Syamsudin "Jangan jadi Islam Arab, tapi jadilah Islam Indonesia". Nampaknya bisa diterapkan juga untuk kaum saya, jangan jadi Kristen barat, sana, sini, atau situ. Jadilah Kristen Indonesia, Kristen yang fasih akan toleransi, kemajemukan, dan tahu mensyukuri segala nikmat yang sudah dirasakan di negeri ini. Tuhan memberkati.

    BalasHapus
  3. Saya mungkin masuk dalam kategori ekstrim yang lain. Entah saya pernah menuliskan atau ngga, namun saya termasuk salah seorang yang tidak percaya terhadap agama. Buat saya, agama Katolik yang saya anut ini sudah sepantasnya hanya bertumpu pada iman akan Bapa di Surga dan Yesus Kristus saja. Buat saya, agama hanyalah alat buatan manusia, nggak cuma Kristen, namun juga banyak agama di dunia ini. Semua agama adalah buatan manusia. Tuhan tidak pernah membuat agama. Dalam peri kehidupan saya, rasanya saya nggak mau terlalu terjebak pada ritualisme semata, mbak. Merayakan Natal dan Paskah memang perlu. Namun yang lebih penting buat saya sih menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya sudah mewakili itu semua. Yang penting nggak berbuat jahat sama orang lain lah, hidup bener di jalanNya. Dalam pikiran saya, orang-orang harusnya akan lebih adem dan lebih bijaksana dalam menyikapi banyak hal mengenai benturan agama di Indonesia ini kalau mereka memandang agama tidak seperti saat ini mereka memandang agama. Kalau mbak May baca berita apapun di Yahoo mengenai pluralitas, pasti ujung-ujungnya akan mengusap dada, atau justru ketawa terbahak-bahak menlihat kelakuan saudara-saudara kita yang katanya beriman itu. ENtah siapa yang memulai, pasti ada saja satu orang yang mengumpat agama lain dengan cara yang menurut saya kurang beradab. Nah, cacian tersebut dibalas lagi dengan mengatai Tuhan, Nabi atau kitab suci agama lain dengan hinaan yang menurut saya, lebih kasar lagi tingkatannya. Kemudian, dari hujat-hujatan tersebut, ada sekelompok orang yang mencoba menenangkan perdebatan tersebut dan mencoba mengademkan suasana. Saya sih kepikiran, bagaimana kalau orang-orang yang mencoba mengail di air jernih ini (kan tadinya suasana adem ayem) ditampilkan secara offline, melakukan debat terbuka sendirian, dan mencoba untuk mempertahankan pendapat bahwa agamanya lah yang paling bener. Saya yakinnnn 1000%, bahwa orang ini pasti nggak akan berkutik. Pasti diam seribu bahasa. Mereka hanya berani vokal dan menghujat ketika identitas mereka disamarkan dan tidak mudah dideteksi. Beda outputnya kalau mereka ditampilkan di depan publik dan mencoba untuk beragumen sebaik-baiknya tentang agama mereka. Ini terjadi di semua umat beragam di Indonesia, saya rasa. Karena dalam faham saya, semakin tahu dan semakin tinggi penerimaan serta pemahaman seseorang akan suatu hal, biasanya mereka akan semakin diam. Beda halnya kalau mereka tahunya setengah-setengah.

    Sama halnya dengan segerombolan orang yang berbuat anarkis. Coba kalau mereka sendirian saja dan dikasih peralatan parang, gergaji, dan tombak lalu disuruh untuk menghancurkan sesuatu atas nama agama. Saya yakinnnn banget, mereka nggak akan pernah melakukannya. alasannya apa? karena mereka sendirian. Prinsipnya sih sama dengan tawuran. anak SMA itu kalau satu lawan satu mungkin nggak akan berani. mereka berani karena adanya kumpulan massa yang beringas. satu orang saja yang memprovokasi dengan melempar batu, pecahlah tawuran tersebut. pelakunya? tidak akan pernah diketahui.

    dalam kesempatan ini saya juga sedih karena pemerintah menganggap kepercayaan lokal yang berkembang di masyarakat tidak ada. Kalimantan punya Kaharingan, Toraja punya Aluk Todolo, orang Batak punya Parmalim, orang Sumba punya Marapu. Pada praktiknya, mereka diminta (mungkin dipaksa juga) untuk memilih agama yang terdekat dengan agama mereka. Sayang sekali, padahal kepercayaan ini asli Indonesia. kearifan lokal yang sesuai dengan karakteristik budaya Bangsa Indonesia justru banyak bersumber dari kepercayaan lokal ini. Entah, mungkin Animisme dan Dinamisme dianggap primitif dan tidak berkeTuhanan yang maha Esa kali yah? hmm...pada praktiknya, mereka yang mengaku berkeTuhanan yang Maha Esa malah berbuat keji jauh lebih banyak daripada mereka yang masih beranimisme atau berdinamisme ini.

    BalasHapus
  4. Saya sih melihat bahwa kaum narsis dan kaum lebay ini yang paling sering mewarnai bentrokan antar umat beragama di Indonesia ini. Mungkin kalau mereka dikasih kesempatan untuk melihat situasi di negara lain, mereka akan lebih bisa banyak bersyukur dengan kondisi di Indonesia. Sudahlah, agama itu hanya untuk konsumsi masing-masing. nggak usah sesumbar di depan publik. Hahahaha. Kadang-kadang saya malas kalau kumpul keluarga trus ketemu satu atau dua orang yang termasuk kategori "kaum lebay" atau "kaum narsis". FYI, Keluarga saya plural loh mbak, hampir semua agama ada di dalam keluarga besar saya. Orang-orang yang narsis dan lebay ini menggunakan sedikit saja waktu yang tersisa di celah manapun untuk menggurui, ataupun mengeluarkan ceramah khas agama mereka. Pusing kalau sudah begini. Biasanya, saya kalau sudah begini akan mundur teratur dan tiba-tiba menghilang. Saya akan mencari teman ngobrol yang lebih netral. Hihihihi

    BalasHapus
  5. upsss...komentar saya kebanyakan sampai bisa jadi postingan tersendiri tuh :p

    BalasHapus
  6. Bagaimana jika saya nyatakan bahwa kita BERDUA mengelola blog ini BERSAMA-SAMA, dimulai dari komentar Lomie yang memang layak dijadikan postingan tersendiri ini? Hihihi.... Saking banyaknya sampai lupa poin-poin yang hendak saya balas yang mana (kalau ini mah lemot).Dalam hal agama adalah lembaga yang dikreasi oleh manusia saya sepakat seratus persen, sekalipun saya menghormati pihak lain yang percaya bahwa agama adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah dan diturunkan dari surga. Sebab kebenaran seringkali adalah keniscayaan, sehingga biasanya benar bagi siapa yang menganggapnya benar. Namun secara umum tetap kita harus bertolak dari satu pemahaman, bahwa tak ada apapun yang benar jika outputnya merupakan pelanggaran terhadap hak asazi orang lain.
    Dan unyu juga ya kayaknya kalau ada stasiun televisi swasta yang berani merealisasikan ide Lomi, yakni membuat talkshow baku hujat agama antara umat narsis dan lebay. Ada dua kemungkinan: pertama, mereka jadi melu karena ketahuan identitasnya secara publik, lalu diam seribu bahasa, dan karena terlanjur ditonton banyak orang lantas merubah strategi dengan saling memuji pihak yang lain. Pihak yang dipuji merasa bahagia, ganti memuji, pihak satunya lebih bahagia, demikian seterusnya, lalu di akhir acara mereka jadi saling cinta, berdamai, dan pulang dengan tak lagi menjadi umat narsis dan lebay. pada akhirnya jumlah mereka berkurang. Kemungkinan kedua: mereka berpikir, ah, terlanjur basah mandi aja sekalian. Lalu mereka baku hujat bahkan dengan semakin ganasnya, karena prinsip mandi aja sekalian tadi. Ujung-ujungnya mereka saling membinasakan. Pada akhirnya tetap sama, berkuranglah jumlah kaum narsis dan lebay. Horeeee....(eh, salah, ya?).
    Mengenai sikap pemerintah tidak mengakui kepercayaan yang tak mengakui Tuhan, dalam hal ini saya sangat mengerti terutama jika ditilik dari frasa pengakuan adanya satu Tuhan. Justru aneh dan ambivalen jika kita mengakui animisme dan dinamisme sebagai agama pada saat kita mengklain akan adanya hanya satu Tuhan. Namun demikian bagi saya toh tidak ada pengaruhnya, paling tidak tak banyak, karena saudara-saudara kita dengan iman pada warisan leluhur toh tetap eksis di bumi pertiwi, meskipun harus diakui dalam banyak hal mereka banyak mengalami tantangan. Namun bukankah tantangan adalah sesuatu yang logis pada saat kita memilih dan atau mengambil sebuah keputusan, terutama iman?
    Berbeda dengan Lomie, saya justru paling bersemangat jika bertemu dengan umat narsis atau lebay. Saya tidak sudi memberik kesempatan mereka berulah semaunya sendiri, menyatakan statement berat sebelah yang sama sekali tidak menunjukkan penghargaan pada orang lain dan atau jauh dari semangat rasa syukur atas segala kemudahan yang kita peroleh sebagai umat beragama di negeri yang sangat majemuk ini. Saya adalah sosok yang sangat tidak direferensikan untuk 'add friend' bagi dua umat ini, hihihi.....
    Btw, saya juga berasal dari keluarga yang sangat plural. Bapak saya muslim, emak saya Katholik, 1 dari 7 anak perempuan mereka muslim, dan sisanya Kristen. Kasihan emak saya, hahaha... Bahkan ayah dari kakek buyut saya punya pesantren dan mengislamkan sekian banyak manusia di daerah Semarang Barat hingga menghasilkan keturunan jutaan umat Islam saat ini. Jadi tetap sayalah juaranya, hehehe.....
    Dan Lomie, malam ini saya kembali gagal membuka posting-an Lomie yang terakhir. Pasti ada yang salah dengan diriku. Atau pasti blogmu membenciku.


    Salam.

    BalasHapus
  7. terimakasih infonya sangat bermanfaat, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2wy3TDq

    BalasHapus