KITA INI BANGSA TEMPE!!!!
Saya bukan pemuja Bung Karno, karena
sesungguhnya saya memang belum pernah memuja siapapun. Tapi bukan berarti saya
tidak mengagumi kecerdasan dan sumbangsih serta perjuangannya yang begitu luar
biasa bagi lahirnya negara ini. Tapi sehebat dan secerdas apapun Bung Karno,
beliau tetaplah manusia. Yang bisa saja silap kata, entah murni karena
kesalahan atau karena kurangnya informasi. Maklum, jaman beliau kan belum ada
apa-apa. Boro-boro internet dan sebagainya, untuk telponpun kabarnya masih
harus diengkol lebih dulu. Jadi saya bisa memaklumi jika dalam pidato-pidatonya
nan bergelora Bung yang gagah perkasa satu ini seringkali berseru, “Kita ini
bukan bangsa tempe!!!”. Maksudnya baik, sih, karena beliau menjadikan tempe
sebagai simbol kelemahan dan kelembekan (yang bisa dimaklumi mengingat harga
dan penampilan tempe yang memang sangat jelata), dus, sebagai bangsa yang bukan
tempe maka bangsa Indonesia pastilah tegar dan tangguh, bermartabat, dan
sebagainya.
Tapi sebaik apapun maksud Bung Karno,
tetap saja beliau salah. Karena tempe sama sekali bukan materi yang lemah. Tidak
pula murahan, sekalipun harganya luar biasa murah. Sebaliknya, tempe adalah
bukti nyata betapa Tuhan begitu murah hati memberikan berkat kecerdasan luar biasa
bagi nenek moyang bangsa ini. Salah satu risalah ilmiah menyebutkan tempe
sebagai ‘an extraordinary gift Indonesia has given to the world’. Persembahan
luar biasa Indonesia bagi dunia. Betapa gagahnya! Eksistensi tempe diketahui
dari serat Centini tahun 1800 sekian, prasasti, transkip-transkrip di daun
lontar, dan sebagainya. Bahkan ditengarai sudah ada sejak sekitar 2000 tahun
lalu, sebelum bangsa Cina pertama kali membuat tahu.
Well, silakan para ahli sejarah yang
memutuskan. Yang jelas imajinasi saya melayang pada jaman di mana pepohonan
masih sebesar bentangan tangan sedikitnya dua orang dewasa, malam pekat hanya
dikerlipi sedikit cahaya pelita, kesunyian yang mengungkung hingga otomatis sarana
hiburan yang paling menyenangkan hanyalah bercinta –itupun enggak asyik-asyik
amat karena harus sepelan mungkin sebab ranjang paling banter terbuat dari kayu
atau bambu yang digoyang sedikit saja bunyinya bikin drop, dan alat-alat
laboratorium yang paling top terbuat dari tembikar. Ditambah tiadanya
perpustakaan wilayah dan sharing informasi lewat BBM, hingga entah mulai dari
mana dan dengan cara apa nenek moyang kita mereka-reka percobaan pembuatan
tempe. Di tengah kekosongan dan kelengangan itulah tempe tercipta. Segenap
hormat, bangga, dan cinta untuk nenek moyang kita.
Tempe pulalah salah satu faktor utama
yang membuat kita saat ini ada. Pernahkah anda bayangkan semenderita apa nenek
moyang kita yang selama ratusan tahun hidup di bawah ketengikan si penjajah
serakah-oportunis-arogan-pendek pikiran-tak tahu malu bangsa Belanda? Memang kaum
ningrat dan pedagang selalu hidup senang dan kenyang, tapi berapa persenkah
mereka dari total populasi rakyat Nusantara ketika itu? Yang terbanyak tentulah
kaum kuli, kaum yang bisa jadi adalah nenek moyang anda atau saya, strata
rendah inlander yang penyebutannya selalu diliputi nada cemooh. Mungkin ada
masa-masa di mana kaum kuli tersebut hanya punya pelepah pisang sebagai
satu-satunya bahan yang bisa dimakan. Tapi di antara masa-masa dengan kengerian
tak terbayangkan tersebut, selalu ada tempe. Sebab studi membuktikan bahwa
tempe ada bahkan di area yang paling terpencil sekalipun. Tempe, makanan padat
terbaik nomor satu di dunia, itulah yang membuat bangsa kita berhasil bertahan
hidup dalam derajat yang paling rendah sekalipun. Dan lestari bahkan membengkak
tak terhingga saat ini.
Tempe pulalah yang secara ilmiah
telah terbukti berpengaruh besar pada kecerdasan nenek moyang kita yang
terbentang dalam berbagai aspek, baik arsitektur, budaya, medika, kuliner, dan
sebagainya, sehingga meninggalkan artefak-artefak adiluhung seperti Serat
Centini, jejamuan dan obat-obat tradisional yang telah terbukti khasiatnya
selama entah berapa dekade, serat La Galigo, Borobudur, batik, keris, berbagai
rumusan kehidupan dari yang fisik hingga adikodrati, dan segala rupa, tak
terkira.
Tempe, yang secara tragis disebut
sebagai sesuatu yang jauh dari unsur gizi oleh segerombolan orang
berpengetahuan picisan nan arogan, serta kemungkinan besar tukang bolos
pelajaran IPA (baca posting saya sebelumnya ‘Dikibuli Distorsi? Basi!’). Tempe
yang, dengan segala hormat, karena keterbatasan informasi dan atau kesibukan
mengurus bangsa besar ini untuk merdeka dan bangkit dari keterpurukan akibat
penjajahan selama ratusan tahun, oleh Presiden Sukarno dijadikan sebagai lambang
segala yang lemah dan tak bermartabat.
Bung Karno, bapak bangsa, yang telah
memberikan pengorbanan tak terperi bagi bangsa Indonesia, yang kecerdasannya
melampaui ukuran banyak orang, dengan segenap takzim, kalau anda saat ini masih
ada dan membaca tulisan saya, pasti hari berikut anda akan mengumpulkan berjuta
massa untuk mendengar orasi anda yang penuh karisma, dan berseru penuh bangga,
“KITA INI BANGSA TEMPE!!!”. Dan jutaan massa pengagum anda akan bergemuruh mengamini,
“KAMI BANGSA INDONESIA MEMANG BANGSA TEMPE!!!”. Lalu mereka akan pulang dengan
satu tekad baru: tiada hari tanpa tempe bagi siapapun anggota keluargaku. Maka gizi
burukpun akan bergegas menyingkir dari tubuh balita dan bocah-bocah di negeri
ini (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
"Saya suka tempe". kalimat tersebut kadang (lebih seringnya) dikonotasikan sebagai sebuah selera yang murahan, penganut tempe kadang mendapat perlakuan tidak adil dari penganut ikan bawal atau ayam potong. Tapi buat saya, tempe tetap lebih enak. Menilik dari statement mas Karno (alm), ada benarnya jika yang ia siratkan sejatinya ingin mencungkil bokong para pemalas dan penjilat negeri indah ini, tentu saja tidak berarti beliau mendeskreditkan si tempe sebagai sesuatu yang murahan. Di keseharian kita, tempe memang bukanlah sesuatu yang bergengsi. Sepertinya aneh jika ada ada tamu kantor atau pejabat yang berkunjung lantas disuguhi menu tempe goreng, setidaknya ayam goreng berusia muda, hehe. Buat saya, kembali ke kita masing-masing. Apakah 'siap' menyajikan tempe sebagai jamuan di beberapa special moments. Hm... setidaknya di hari raya sekalipun, tempe bukanlah pilihan.
BalasHapusTempe = murahan?, ia juga sih... namun jika si'murahan' ini dapat dikemas secara cerdas tentu akan membuat takjub semua orang. Jangan hanya digoreng, tempe dapat dikukus atau direbus. Tempe sungguh nikmat jika dipadu dengan santan kelapa atau labu merah. Filosofinya, sesuatu yang murahan dapat menjadi nikmat dan berkilau jika diramu dengan tepat. Ya, Seperti bangsa ini (bangsa murahan) akan dapat berbicara lebih lantang dan tampil menakjubkan jika diramu dengan cara yang benar dan pas.
Salam kenal. Tulisan anda sarat akan opini ilmiah.
Iman Rabinata,
Si penggemar tempe
Dear Iman,
BalasHapusItu sebabnya saya aktif mengampanyekan tempe pada setiap aspek dalam kehidupan saya (halah), termasuk meangangkatnya sebagai tema dalam blog saya. Sejujurnya saya tidak sepakat dengan anda yang menganggap bahwa tempe murahan. Tempe murah namun murahan tidak. Hanya karena sebagian orang menganggap tempe murahan tidak lantas secara otomatis menjadikan tempe menjadi seperti itu. Sebetulnya sudah ada beberapa golongan pecinta seni kuliner yang berupaya keras mengolah tempe menjadi lebih 'elit', misalnya membuatnya menjadi burger, steak, dan sebagainya. Namun dalam seleksi alam (baca:seleksi lidah), tempe yang telah didandanin bule tersebut pada akhirnya tetap kalah dengan tempe penyet, tempe bacem, tumis tempe, sambal goreng tempe, dan sebagainya *mendadak laper*. Bagaimanapun, yang asli Indonesia tetap lebih gurih dan yummy. Itu sebabnya saya lebih suka cowok Indonesia ketimbang bule (kok menyimpang, ya?).
Bicara soal tamu, siapapun tamu yang bersedia makan di rumah saya selalu saya jamu tempe, terutama teman-teman bangsa asing (atau mungkin karena tidak ada persediaan yang lebih mahal di kulkas selain tempe?). Dan rata-rata mereka pulang dengan wajah bahagia dan berseri-seri, karena memang saya adalah juara bikin sambel tempe (ya iyalah, bisanya memang cuma masak itu doang). Kemudian, saya berceloteh soal khasiat tempe yang superior di tengah cucuran keringat dan kepanikan mereka menahan pedas. Benar-benar kampanye di waktu yang tidak tepat.
Btw, bangsa ini juga tidak murahan. Saya begitu mencintai Indonesia dan segala sesuatunya, sedemikian cinta hingga saya bisa dibilang tidak ampil pusing dengan yang jelek-jelek dan hanya fokus pada yang baik-baik *Jring!!! Jadi dapat ide buat artikel baru, entah kapan. Tnx ya...*
Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak, ya, Iman. Btw, kok saya nggak nyadar kalau tulisan saya berbau ilmiah, ya?
Yuanita Maya,
Si Maniak Tempe.