Rabu, 04 Januari 2012

Diam-diam Jadi Kaya


Di tulisan ini Bu Puji alias Bu Tutuk, tante saya, lagi-lagi muncul, walaupun bukan bintangnya. Beliau adalah seorang agen minyak tanah waktu masih jaya-jayanya. Ia menyetor ke pangkalan dan penjual eceran yang disebut bakul. Pada suatu kesempatan ia bercerita tentang seorang bakulnya bernama Pak Slamet yang dalam beberapa tahun telah menjelma dari PSS (Pria Sangat Sederhana) menjadi kaya raya. Namun demikian ia tetap rendah hati dan tidak sombong, bahkan merasa bahwa kekayaannya ini adalah berkat uluran tangan Bu Tutuk.
“Saestu, Bu Tutuk, sungguh, saya juga tidak paham, tidak sepenuhnya sadar, kenapa kok saya bisa jadi kaya seperti ini. Yang saya ingat semua ini berawal dari tiga tong minyak tanah tiap minggu jatah dari Bu Tutuk.”
Bu Tutuk –seperti pengakuannya pada saya- ngeles (meskipun saya yakin dengan hidung kembang-kempis), demikian: “Ah, ya ndhak to Mas Slamet. Kalau 3 tong itu tidak dikembangkan kan ya tidak mungkin jadi seperti ini. Ini semua berkat kerja keras njenengan (anda)”.
“Wah ya ndhak, Bu! Kalau kerja keras ya pasti terasa. Wong saya ndhak merasakan capek atau apa, kok. Pokoknya ini semua berkat njenengan.” Lalu mereka eyel-eyelan, bersikukuh bahwa pihak lainlah yang benar.
Orang-orang yang aneh, komentar saya dalam hati.
Beberapa waktu sesudahnya, saya mengobrol dengan anak bungsu Bu Tutuk yang bernama Titan. Rupa-rupanya ia cukup akrab juga dengan Pak Slamet, sebab waktu punya masalah dengan bisnisnya bela-belain curhat pada laki-laki ndesa yang kabarnya lulus SMP saja tidak tersebut. Menghadapi seribu keluh-kesah Titan, dengan sederhana Pak Slamet menjawab begini, “Mas, njenengan itu kalau berdoa sebaiknya bersyukur saja. Sudah, ndhak pake tetek-bengek lain.”
Titan ngeyel demikian: “Lagi seneng mengucap syukur itu wajib. Lha tapi kalau lagi susah ya apanya yang disyukuri?”
Pak Slamet menangkis, “Lha ini, salahnya njenengan ya di sini ini, Mas. Karena kejadian seburuk apapun itu pasti ada maksud baiknya, ya maksud baik dari Gusti Allah itu. Dan sesusah apapun pasti jadinya senang kalau didasari rasa syukur pada segala kemurahan Gusti Allah Swt.”
Demikianlah pria lugu ini berhasil memukau dan memampukan saya melakukan perombakan sikap besar-besaran. Jika cerita yang saya dengar mengenai segala jenis usaha dan asetnya adalah benar, maka ia boleh dibilang milyarder. Prestasi yang spektakuler untuk ukuran orang desa, terlebih yang mengawali emporium bisnisnya sebagai asisten kernet (biasa disebut tuyul, kasihan banget) tangki minyak tanah. Dan sementara orang menganggap itu adalah buah dari kerja kerasnya, ia malah bersikuat bahwa bukan itu penyebabnya. Dus, baginya kekayaan itu datang begitu saja tanpa sama sekali ia mengusahakannya. Saya, sebagai pihak yang sama sekali tak punya urusan dengannyalah yang justru bisa menarik benang merahnya, tepat seperti yang dibilang oleh pepatah Jawa: orang lainlah yang bisa melihat tengkuk kita dengan jelas tanpa pertolongan dua buah cermin.
Pertama, ia adalah manusia yang diliputi rasa syukur. Jika hati diliputi rasa syukur, niscaya hidupnyapun diliputi suka cita. Sukacita internal yang bersifat ilahi akan mematahkan semua masalah, tekanan, dan hal-hal buruk apapun dari luar. Karena dari dalam indah, maka mata dan hati akan memandang memandang hal-hal diluar dari sudut keindahan dan kebaikannya saja. Karena segala sesuatu indah, maka kerja sekeras apapun, masalah seberat apapun tidak akan terasa. Demikian konklusi saya.
Kedua, wajar saja kalau Pak Slamet tak sadar bahwa dirinya sudah jadi kaya. Setelah tidak merasakan bentuk kerja keras karena semua ia lakukan dengan penuh syukur dan suka cita, ada satu faktor yang merupakan jawaban dari misteri besar kekayaannya: sebab rasa syukur adalah bentuk penghormatan yang sangat tinggi pada Tuhan. Dengan bersyukur berarti kita memercayakan sepenuhnya segala aspek dalam kehidupan kita pada kemurahan dan kebijaksanaanNya.
Aspek apa saja? Apa saja. Suami, istri, anak-anak, tetangga, dan orang-orang di sekeliling kita tak peduli bagaimanapun solah tingkah mereka. Pekerjaan, tiadanya pekerjaan, tampang cakep atau remuk, cuaca, bencana alam, ketua RT yang becus, ketua RW yang tidak becus, harga bensin, sandang, pangan, dan lain-lain saat mahal atau murah, dan sebagainya. Dan siapa bilang Tuhan tidak ada urusan dengan cabe dan tempe? Bukankah sebagai orang mengaku beriman kita percaya bahwa tidak ada sebuah perkara, sekecil apapun, yang luput dari penglihatan dan ijin Allah? Dan siapa bilang Tuhan tidak ada berperkara dengan pemerintahan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya? Siapa yang berani bilang bahwa mereka –seberapapun buruk faktanya atau anggapan kita- adalah orang-orang yang telah diijinkan Tuhan untuk menduduki posisi masing-masing? Dan siapakah kita yang merasa punya hak untuk menggugat keputusanNya?
Pak Slamet jelas sosok yang jauh dari menggugat Allah. Apapun keputusan Allah dalam hidup dan hal-hal yang mengitarinya, ia syukuri dengan segenap kesadaran. Itulah sikap rendah hati yang sangat menyukakan hati Allah. Maka tak heran jika Allah sendirilah yang bekerja untuk Pak Slamet. Sekarang terbongkarlah rahasia mengapa ia diam-diam jadi kaya. Memang ia bekerja keras dalam mengembangkan usaha kecilnya, tapi bukan kerja keras manusia, melainkan kemurahan Tuhanlah yang menjadikan umat-Nya kaya. Jadi kerja keras kita hanyalah entry point. Selebihnya adalah kemurahan Tuhan. Dan Allah mana yang tidak akan bermurah hati pada mereka yang bersyukur dan menghormati segala keputusan dan pemberian-Nya? Itu, secara kontradiktif, menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak orang yang sekian lama terikat dalam kemiskinan konstan meskipun ia telah bekerja demikian keras sepanjang umurnya.
Allah yang milik semua umat itu tetap sama tak peduli ada berapa banyak kitab suci dengan sudut pandang berbeda untuk menggambarkanNya: Ia adalah Allah lemah lembut dan murah hati yang menghargai setiap detil ucapan syukur kita.
Jika saja setiap individu di negeri ini mampu mengucap syukur atas segala perkara, maka sesulit apa bagi Allah untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia? Dalam perspektif Pak Slamet yang bening ini, tak ada seorangpun yang punya hak untuk mengunggahkan keluh. Sebab seburuk apapun situasi yang tengah seseorang hadapi, maka pasti Allah punya maksud baik atasnya. Saya bayangkan jika Pak Slamet jadi seorang motivator macam Om Mario Teguh, maka kemungkinan besar ia akan membuat kata-kata mutiara macam ini: sebanyak-banyaknya kita mengucap syukur, adalah sebanyak-banyaknya berkat yang akan kita dapat (yang mana tentu saja bohong karena ini adalah karangan saya sendiri, hehe…). Kalau saja semua individu di negeri ini punya sikap mental seperti Pak Slamet, maka dengan mudah Indonesia bisa mengucap selamat tinggal pada kemiskinan.
Pak Slamet yang lugu tidak sadar bahwa sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan-lah yang membuatnya kaya, jadi kita tidak bisa berharap ia akan membagikan ‘ilmu’nya tersebut secara terencana. Maka sayalah yang akan melakukannya. Saya bagikan rahasia kecil yang membuat laki-laki tak berpendidikan formal ini menjadi demikian besar, baik secara materi maupun rohani. Dan jika anda sepakat dengan saya, maka tolong bagikan pula rahasia ini pada siapapun yang anda kenal. Supaya semakin banyak orang seperti Pak Slamet di negeri ini. Dengan semakin banyak orang yang merendahkan diri di hadapan Allah dan menghormati setiap keputusanNyadan bukannya mengeluh dan menggerutu untuk segala hal; cabe, bensin, polisi, tentara, dan sebagainya- semakin cepat pula kemiskinan hengkang dari Indonesia.
Karena kemiskinan seringkali tidak ada urusan dengan apapun dan siapapun di luar diri kita. Dalam banyak hal kemiskinan adalah urusan mental kita secara pribadi.
Mari kita jadikan diri kita dan orang-orang di sekeliling kita sebagai Pak Slamet-Pak Slamet berikutnya (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).





4 komentar:

  1. Terima kasih ya Tuhan, bahwa saya punya teman, seorang Ibu Rumah Tangga dan Penulis Lepas dengan inisial YM, yang sudah menyadarkan saya tentang arti pentingnya bersyukur dengan Pak Slamet sebagai role modelnya. Saya bersyukur masih diberi nafas hari ini, cukup makan, cukup tidur, cukup minum, dan bisa bercengkrama dengan keluarga dan teman, dan bisa tertawa hari ini. Oh satu lagi, saya bisa membaca postingan blog ini. Amiiinnnn O:-)

    BalasHapus
  2. Bersyukur bahwa penggemar setia saya, Lomar Dasika si Pemuda Harapan Bangsa semakin fanatik pada blog saya, bersyukur bisa menikmati Indonesia secara gretongan dalam blog Indahnya Indonesia, bersyukur bahwa saya diberi kemampuan untuk mengadopsi sikap mental Pak Slamet, bersyukur bahwa saya mampu menyebarluaskan keindahan budi Pak Slamet; itulah syukur tambahan saya untuk hari ini.

    BalasHapus
  3. mantap may,, tetap bersyukur u/ segala hal.. aku jg lg belajar lebih bersyukur lg..lanjutkan ..mana puisinya...

    BalasHapus
  4. Aduuuhhh...puisiku belum layak baca. Jadi pengin malu *memasang ekspresi tersipu-sipu yang dibuat-dibuat*. Tolong share-kan sikap mental Pak Slamet, ya, supaya semakin banyak lagi manusia-manusia rendah hati yang disayang Tuhan seperti beliau di negeri kita. Tuhan memberkati Indonesia.

    BalasHapus