Di tulisan ini Bu
Puji alias Bu Tutuk, tante saya, lagi-lagi muncul, walaupun bukan bintangnya.
Beliau adalah seorang agen minyak tanah waktu masih jaya-jayanya. Ia menyetor
ke pangkalan dan penjual eceran yang disebut bakul. Pada suatu kesempatan ia
bercerita tentang seorang bakulnya bernama Pak Slamet yang dalam beberapa tahun
telah menjelma dari PSS (Pria Sangat Sederhana) menjadi kaya raya. Namun
demikian ia tetap rendah hati dan tidak sombong, bahkan merasa bahwa
kekayaannya ini adalah berkat uluran tangan Bu Tutuk.
“Saestu, Bu
Tutuk, sungguh, saya juga tidak paham, tidak sepenuhnya sadar, kenapa kok saya
bisa jadi kaya seperti ini. Yang saya ingat semua ini berawal dari tiga tong
minyak tanah tiap minggu jatah dari Bu Tutuk.”
Bu Tutuk
–seperti pengakuannya pada saya- ngeles (meskipun saya yakin dengan hidung
kembang-kempis), demikian: “Ah, ya ndhak to Mas Slamet. Kalau 3 tong itu tidak
dikembangkan kan ya tidak mungkin jadi seperti ini. Ini semua berkat kerja
keras njenengan (anda)”.
“Wah ya ndhak, Bu!
Kalau kerja keras ya pasti terasa. Wong saya ndhak merasakan capek atau apa,
kok. Pokoknya ini semua berkat njenengan.” Lalu mereka eyel-eyelan, bersikukuh
bahwa pihak lainlah yang benar.
Orang-orang yang
aneh, komentar saya dalam hati.
Beberapa waktu
sesudahnya, saya mengobrol dengan anak bungsu Bu Tutuk yang bernama Titan.
Rupa-rupanya ia cukup akrab juga dengan Pak Slamet, sebab waktu punya masalah dengan
bisnisnya bela-belain curhat pada laki-laki ndesa yang kabarnya lulus SMP saja
tidak tersebut. Menghadapi seribu keluh-kesah Titan, dengan sederhana Pak
Slamet menjawab begini, “Mas, njenengan itu kalau berdoa sebaiknya bersyukur
saja. Sudah, ndhak pake tetek-bengek lain.”
Titan ngeyel
demikian: “Lagi seneng mengucap syukur itu wajib. Lha tapi kalau lagi susah ya
apanya yang disyukuri?”
Pak Slamet
menangkis, “Lha ini, salahnya njenengan ya di sini ini, Mas. Karena kejadian
seburuk apapun itu pasti ada maksud baiknya, ya maksud baik dari Gusti Allah
itu. Dan sesusah apapun pasti jadinya senang kalau didasari rasa syukur pada
segala kemurahan Gusti Allah Swt.”
Demikianlah pria
lugu ini berhasil memukau dan memampukan saya melakukan perombakan sikap
besar-besaran. Jika cerita yang saya dengar mengenai segala jenis usaha dan
asetnya adalah benar, maka ia boleh dibilang milyarder. Prestasi yang
spektakuler untuk ukuran orang desa, terlebih yang mengawali emporium bisnisnya
sebagai asisten kernet (biasa disebut tuyul, kasihan banget) tangki minyak
tanah. Dan sementara orang menganggap itu adalah buah dari kerja kerasnya, ia
malah bersikuat bahwa bukan itu penyebabnya. Dus, baginya kekayaan itu datang
begitu saja tanpa sama sekali ia mengusahakannya. Saya, sebagai pihak yang sama
sekali tak punya urusan dengannyalah yang justru bisa menarik benang merahnya,
tepat seperti yang dibilang oleh pepatah Jawa: orang lainlah yang bisa melihat
tengkuk kita dengan jelas tanpa pertolongan dua buah cermin.
Pertama, ia
adalah manusia yang diliputi rasa syukur. Jika hati diliputi rasa syukur,
niscaya hidupnyapun diliputi suka cita. Sukacita internal yang bersifat ilahi
akan mematahkan semua masalah, tekanan, dan hal-hal buruk apapun dari luar.
Karena dari dalam indah, maka mata dan hati akan memandang memandang hal-hal
diluar dari sudut keindahan dan kebaikannya saja. Karena segala sesuatu indah,
maka kerja sekeras apapun, masalah seberat apapun tidak akan terasa. Demikian
konklusi saya.
Kedua, wajar saja
kalau Pak Slamet tak sadar bahwa dirinya sudah jadi kaya. Setelah tidak
merasakan bentuk kerja keras karena semua ia lakukan dengan penuh syukur dan
suka cita, ada satu faktor yang merupakan jawaban dari misteri besar
kekayaannya: sebab rasa syukur adalah bentuk penghormatan yang sangat tinggi
pada Tuhan. Dengan bersyukur berarti kita memercayakan sepenuhnya segala aspek
dalam kehidupan kita pada kemurahan dan kebijaksanaanNya.
Aspek apa saja?
Apa saja. Suami, istri, anak-anak, tetangga, dan orang-orang di sekeliling kita
tak peduli bagaimanapun solah tingkah mereka. Pekerjaan, tiadanya pekerjaan,
tampang cakep atau remuk, cuaca, bencana alam, ketua RT yang becus, ketua RW
yang tidak becus, harga bensin, sandang, pangan, dan lain-lain saat mahal atau
murah, dan sebagainya. Dan siapa bilang Tuhan tidak ada urusan dengan cabe dan
tempe? Bukankah sebagai orang mengaku beriman kita percaya bahwa tidak ada sebuah
perkara, sekecil apapun, yang luput dari penglihatan dan ijin Allah? Dan siapa
bilang Tuhan tidak ada berperkara dengan pemerintahan dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya? Siapa yang berani bilang bahwa mereka –seberapapun buruk
faktanya atau anggapan kita- adalah orang-orang yang telah diijinkan Tuhan
untuk menduduki posisi masing-masing? Dan siapakah kita yang merasa punya hak
untuk menggugat keputusanNya?
Pak Slamet jelas
sosok yang jauh dari menggugat Allah. Apapun keputusan Allah dalam hidup dan
hal-hal yang mengitarinya, ia syukuri dengan segenap kesadaran. Itulah sikap
rendah hati yang sangat menyukakan hati Allah. Maka tak heran jika Allah
sendirilah yang bekerja untuk Pak Slamet. Sekarang terbongkarlah rahasia
mengapa ia diam-diam jadi kaya. Memang ia bekerja keras dalam mengembangkan
usaha kecilnya, tapi bukan kerja keras manusia, melainkan kemurahan Tuhanlah
yang menjadikan umat-Nya kaya. Jadi kerja keras kita hanyalah entry point.
Selebihnya adalah kemurahan Tuhan. Dan Allah mana yang tidak akan bermurah hati
pada mereka yang bersyukur dan menghormati segala keputusan dan pemberian-Nya?
Itu, secara kontradiktif, menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak orang
yang sekian lama terikat dalam kemiskinan konstan meskipun ia telah bekerja demikian
keras sepanjang umurnya.
Allah yang milik
semua umat itu tetap sama tak peduli ada berapa banyak kitab suci dengan sudut
pandang berbeda untuk menggambarkanNya: Ia adalah Allah lemah lembut dan murah
hati yang menghargai setiap detil ucapan syukur kita.
Jika saja setiap
individu di negeri ini mampu mengucap syukur atas segala perkara, maka sesulit
apa bagi Allah untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia? Dalam
perspektif Pak Slamet yang bening ini, tak ada seorangpun yang punya hak untuk
mengunggahkan keluh. Sebab seburuk apapun situasi yang tengah seseorang hadapi,
maka pasti Allah punya maksud baik atasnya. Saya bayangkan jika Pak Slamet jadi
seorang motivator macam Om Mario Teguh, maka kemungkinan besar ia akan membuat
kata-kata mutiara macam ini: sebanyak-banyaknya kita mengucap syukur, adalah
sebanyak-banyaknya berkat yang akan kita dapat (yang mana tentu saja bohong
karena ini adalah karangan saya sendiri, hehe…). Kalau saja semua individu di
negeri ini punya sikap mental seperti Pak Slamet, maka dengan mudah Indonesia
bisa mengucap selamat tinggal pada kemiskinan.
Pak Slamet yang
lugu tidak sadar bahwa sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan-lah yang
membuatnya kaya, jadi kita tidak bisa berharap ia akan membagikan ‘ilmu’nya
tersebut secara terencana. Maka sayalah yang akan melakukannya. Saya bagikan
rahasia kecil yang membuat laki-laki tak berpendidikan formal ini menjadi
demikian besar, baik secara materi maupun rohani. Dan jika anda sepakat dengan
saya, maka tolong bagikan pula rahasia ini pada siapapun yang anda kenal.
Supaya semakin banyak orang seperti Pak Slamet di negeri ini. Dengan semakin
banyak orang yang merendahkan diri di hadapan Allah dan menghormati setiap
keputusanNya –dan bukannya mengeluh dan menggerutu untuk segala hal;
cabe, bensin, polisi, tentara, dan sebagainya- semakin cepat pula kemiskinan
hengkang dari Indonesia.
Karena
kemiskinan seringkali tidak ada urusan dengan apapun dan siapapun di luar diri
kita. Dalam banyak hal kemiskinan adalah urusan mental kita secara pribadi.
Mari kita
jadikan diri kita dan orang-orang di sekeliling kita sebagai Pak Slamet-Pak
Slamet berikutnya (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Terima kasih ya Tuhan, bahwa saya punya teman, seorang Ibu Rumah Tangga dan Penulis Lepas dengan inisial YM, yang sudah menyadarkan saya tentang arti pentingnya bersyukur dengan Pak Slamet sebagai role modelnya. Saya bersyukur masih diberi nafas hari ini, cukup makan, cukup tidur, cukup minum, dan bisa bercengkrama dengan keluarga dan teman, dan bisa tertawa hari ini. Oh satu lagi, saya bisa membaca postingan blog ini. Amiiinnnn O:-)
BalasHapusBersyukur bahwa penggemar setia saya, Lomar Dasika si Pemuda Harapan Bangsa semakin fanatik pada blog saya, bersyukur bisa menikmati Indonesia secara gretongan dalam blog Indahnya Indonesia, bersyukur bahwa saya diberi kemampuan untuk mengadopsi sikap mental Pak Slamet, bersyukur bahwa saya mampu menyebarluaskan keindahan budi Pak Slamet; itulah syukur tambahan saya untuk hari ini.
BalasHapusmantap may,, tetap bersyukur u/ segala hal.. aku jg lg belajar lebih bersyukur lg..lanjutkan ..mana puisinya...
BalasHapusAduuuhhh...puisiku belum layak baca. Jadi pengin malu *memasang ekspresi tersipu-sipu yang dibuat-dibuat*. Tolong share-kan sikap mental Pak Slamet, ya, supaya semakin banyak lagi manusia-manusia rendah hati yang disayang Tuhan seperti beliau di negeri kita. Tuhan memberkati Indonesia.
BalasHapus