Di sana resesi
di sini resepsi, begitulah kalimat favorit orang-orang Manado saat menggelar
pesta. Yang artinya kalimat ini sering
sekali diucapkan, karena mereka sangat hobi berpesta. Pemilik kantin di sekolah-sekolah
agak sulit untuk meraup keuntungan maksimal, karena kalender pendidikan di sana
pendek, mengingat banyaknya hari libur yang digelar. Libur natal dan tahun baru
paling cepat biasanya sebulan. Pesta natal digelar di rumah-rumah mulai awal
November hingga 31 Januari. Apalagi yang namanya pesta pengucapan syukur untuk
keperluan panen besar. Bisa makan waktu sampai 4 bulan. Heboh! Belum lagi
kebiasaan mereka menggelar open house untuk pesta apapun, mulai dari pesta
rakyat, keagamaan, atau pesta pribadi macam ulang tahun, acara baptis, dan
sebagainya. Acara makan-makan yang di Jawa umumnya makan waktu sekitar 3-4 jam
pasti bakal jadi bahan tertawaan mereka. Sebab dari pengalaman saya, pintu
mulai dibuka untuk para tamu sekitar jam 10 pagi dan baru ditutup sekitar jam
2-3 malam. Tak perlu takut kehabisan makanan, sebab orang Manado sangat militan
dalam menggelar pesta. Semakin banyak hidangan digelar semakin tinggi gengsi tuan rumah terangkat. Mau tinggal di sana dari
pagi sampai subuh? Terserah. Mau makan sampai 20 kali selama di pesta? Tidak
ada yang ambil pusing. Mau makan dulu, dansa-dansi, terus makan lagi, demikian
seterusnya sampai pagi? Jangan minder, banyak temannya. Yang punya niat mulia
merampingkan badan lebih baik lekas-lekas hengkang dan cari tiket ke Jawa.
Penampilan saya waktu tinggal di sana agak-agak mengingatkan siapapun pada bola.
Dituduh hamil lagi adalah hal yang biasa dan tak lagi mencabik perasaan saya. Tinggal
di Manado dan tetap ramping bisa dibilang a whole life achievement, dan saya
sama sekali tidak mengada-ada. Kehidupan di sana benar-benar seakan dipayungi
awan pesta dan keriaan semata. Semua orang saling kunjung dengan sukaria.
Benar-benar sebuah negeri utopia.
Pertanyaannya:
dengan semangat menggelar pesta yang demikian membara, apakah berarti semua
orang Minahasa kaya raya? Jawabnya: tidak juga. Banyak juga yang ekonominya
biasa-biasa saja. Tapi ada satu perkara: cari orang miskin di Manado luar biasa
sulitnya.
Begini, saya
bukan ahli ekonomi, bukan sosiolog, antropolog atau apalah. Saya juga tidak
tahu urusan perimbangan pendapatan asli daerah dan tetek bengeknya. Saya ini
cuma perempuan biasa, yang di luar profesi sebagai penulis dan ibu rumah tangga,
tidak jelas kapasitasnya sebagai apa. Tapi bagaimanapun tidak jelasnya saya,
tetap saja saya punya hati dan mata. Dan inilah hasil pengamatan saya selama
tinggal di Manado: orang-orang ini begitu murah hati, begitu gampang iba. Saking
rapuhnya hati mereka, mereka selalu mengucap ‘kasihan’ untuk segala hal. Waktu
mendengar berita sedih, mereka bilang, “O do doe kasiaaannnnn…” dengan ekspresi
penuh simpati. Sebaliknya, ketika mendengar berita gembira merekapun berseru,
“Oh kasiaaannnn…” dengan wajah ceria dan berseri-seri. Dalam suka maupun duka,
kapanpun hati terharu , mereka selalu berucap, “Kasiaaannnn….”. Sebab di balik
suara mereka yang menggeledek bagai guntur dan karakter yang temperamental,
hati mereka sangat lembut dan begitu mudah tersentuh. Mereka jatuh kasihan
secepat mereka menyikat makanan yang terhidang di meja-meja pesta.
Sedang di Manado dan butuh naik-turun angkutan
umum seharian penuh sementara tak ada
uang sepeserpun di kantong? Jangan sungkan untuk berkata terus-terang dengan
nada baik-baik pada si sopir, niscaya ia akan membukakan pintu angkot dan
berkata, ”Mari, jo, kasiaaan..”
Keadaan begitu
mendesak, perut lapar dua hari tak terisi namun tak ada uang dan beras
sebutirpun? Jika anda kuat mental, datangilah warung terdekat sambil membawa
piring kosong dan dengan nada baik-baik berkata pada pemilik warung, “Tante,
boleh tolong akang nasi sayur satu piring dang?”. Si tante dengan wajah terharu
akan berkata, “Boleh, no, kasiaaan…”. Dan anda akan mendapatkan bukan hanya
nasi sayur, melainkan lengkap dengan protein hewani yang anda butuhkan.
Selain berpesta,
memberi memang adalah hobi utama orang Manado. Mereka memberi tanpa berpikir
panjang. Mereka membuka hati tanpa mempertimbangkan untung rugi. Mereka membagi
apa saja yang mereka punya tanpa melihat siapa yang memintanya. Itu mungkin
sebabnya orang Manado tidak pernah punya istilah ‘paroan’ kalau ingin membagi
sesuatu. Karena dalam kata ‘diparuh’ ada batasan. Mereka menggunakan kata
‘berbagi’, sebab berbagi bisa jadi lebih dari separuh. Saya sangat senang jika
mendengar ada orang Manado berkata, “Berbagi, jo.” Selain berpesta, berbagi
adalah spirit yang paling kentara dalam kehidupan orang Minahasa. Semua orang
hidup dalam semangat saling tolong yang sangat besar. Benar-benar damai dan
sejahtera. Sekali lagi, inilah negeri utopia. Hanya saja ini nyata. Saya
teringat Karl Marx dan diam-diam meniupkan ciuman iba padanya di manapun ia
kini berada.
Cukup lama saya
terpesona dengan kesenangan mereka untuk memberi tersebut. Perilaku mereka sedikit banyak mengobati kerinduan (waktu itu) pada sanak famili saya di Jawa, sebab saya memang tumbuh dewasa di lingkungan keluarga besar yang sangat gemar memberi dan berbagi. Setelah pulih dari
kesima tersebut, sayapun bertanya pada siapapun yang saya lihat dengan mata
kepala saya sendiri mengapa mereka membagi sesuatu dengan begitu mudahnya pada
orang lain. Dan ternyata inilah dasar utama dari perilaku memberi atau berbagi
mereka: orang yang datang untuk meminta tolong berarti sudah membuang malu. Dan
orang yang sudah susah-payah menebalkan muka membuang malu tak perlu diberi
rasa malu tambahan berupa penolakan. Itulah sesuatu yang oleh Rasul Paulus,
rasul besarnya orang Kristen disebut: bertolong-tolonganlah dalam segala
perkara. Dan saya percaya rasul atau nabi-nabi dalam agama lain juga punya
pesan yang indah serta kuat semacam ini. Yang jadi perkara hanyalah apakah
umatnya mau melaksanakannya atau tidak.
Dan memang butuh
kepolosan serta keluguan seperti orang-orang Minahasalah untuk bisa dengan
mudah melakukan pesan rasul atau nabi. Begitu mudahnya mereka merasa kasihan, maka
tidak heran Tuhan juga mudah merasa kasihan pada mereka. Begitu gampangnya
mereka berbagi rejeki, maka tak heran pula rejeki selalu diturunkan dari surga bagi
mereka tiada henti. Saya ingat nasehat seseorang (sayangnya saya lupa siapa,
kalau enggak salah sih emak saya yang memang terkenal sangat murah hati
meskipun tidak pernah tinggal di Minahasa): rejeki itu ibarat bak mandi yang jika
airnya tak pernah diambil, maka kita juga tidak akan membuka kran air. Tapi
jika air di bak tersebut terus-menerus diambil, maka kran akan terus-menerus
dibuka pula. Dan bicara soal rejeki surgawi, Tuhan adalah Allah pemurah yang
tidak pernah memberi setengah-setengah. Hemat adalah kata yang kemungkinan
besar tidak disukai Allah. Jika kita menutup kran saat bak sudah penuh, saya
percaya Allah tidak. Ia akan membuka kran rejeki kita sampai berlimpah-ruah,
jika Ia tahu persis kita membagi air di
bak rejeki kita pada sesama tanpa putus.
Itulah konklusi
sederhana saya mengapa sulit sekali bagi kita menemukan orang miskin di
Minahasa. Rejeki mudah sekali mereka dapat, semudah mereka membagi rejeki pada
orang lain. Dan rejeki tak perlu mereka dapatkan dengan cara membanting tulang
tanpa ukuran, selain fakta bahwa mereka gemar sekali mengisi hidup dengan
bercanda dan mengobrol riang-ria. Selain orang miskin, wajah butek yang seakan
memanggul banyak beban adalah hal kedua yang paling sulit kita jumpai di
Manado. Saya belum pernah melihat orang Minahasa bekerja keras bagaikan kuda.
Yang ada adalah mereka bekerja secukupnya, lalu mengobrol, bercanda, dan
berpesta sebisa-bisanya. Nyatanya selalu saja ada cara bagi mereka untuk
menikmati hidup yang sedemikian nikmatnya, tanpa perlu tertekan oleh beban
hidup yang menggila. Penyebabnya, demikianlah kecurigaan saya, adalah karena
hati mereka begitu pemurah. Selebar mereka membuka tangan bagi sesama,
sedemikian lebar, bahkan lebih lebar lagilah Allah membuka pintu rejeki bagi
mereka.
Kalau saja
manusia-manusia seantero Indonesia juga seperti saudara-saudara kita di Minahasa
sana, bisa jadi kemiskinan di Indonesia tinggal nama. Kalau saja kita berpikir
ulang untuk menghamburkan uang demi gadget terbaru, barang-barang bermerek,
nongkrong di coffe shop atau tempat-tempat fansi lain yang sekali duduk saja
butuh uang ratusan ribu, dan hal-hal semacam itu lainnya, bisa jadi kemiskinan
benar-benar tinggal kenangan lama. Kalau saja setiap insan dari kelas menengah
dan mapan di Indonesia yang jumlahnya sekian puluh juta bisa semurah hati dan
selebar tangan orang Minahasa, pasti tak akan ada lagi siapapun dari kita yang
bikin status di FB –lewat gadget seharga jutaan rupiah: ‘Kemiskinan di
mana-mana padahal negeri ini kaya-raya. Salah siapa?’. Tidak akan lagi ada yang
berkata: “Soal kemiskinan, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”. Atau
hujatan-hujatan pada pihak lain, seakan kita yang mengaku percaya Tuhan dan
bukan bagian dari pemerintahan sama sekali tidak ada urusan dengan kemiskinan.
Tidak akan ada lagi orang-orang sok pintar dan akademisi gadungan yang mengatas
namakan kemiskinan untuk mencari nama, yang bisanya cuma menjadi pembicara
seminar atau di duduk depan kamera memberi komentar. Yang kemampuan terhebatnya
adalah mengakhiri semua hasil pengamatan hebat mereka dengan konklusi yang
sangat hebat: ‘Ini semua adalah salah pemerintah’, lalu pulang sambil
mengantongi honor yang mereka dapat dari menjual kemiskinan.
Kalau saja semua
orang Indonesia mau menduplikasi perilaku dan hati orang Manado yang begitu
mudah jatuh kasihan, maka bukan hanya kemiskinan, namun kemunafikan juga akan
lari secepat kita membuka tangan bagi yang membutuhkan.
“Oh kasiaaannnn…” (sembari wajahku ceria dan berseri-seri.lho May)
BalasHapusyaaaahhh....kalimat yang mau kupake untuk komen sudah dipake juga wakakakaka
BalasHapus"Oh kasihaaaaannnn....." Non May, gaya bertuturmu, analisamu, dan pemikiranmu sungguh ingin menjadikan saya :
1. secepatnya beli tiket jakarta - Manado dan tinggal di Kotamobagu untuk merasakan hawa Minahasa
2. bercermin, apakah saya bukan salah satu orang yang dibicarakan tersebut...oh kasiaaaannn.... :D
quote favorit saya di post ini "susah mencari orang miskin di Manado, sama susah mencari orang yang mukanya bermuram durja, gundah gulana, diam seribu bahasa di Manado" :D
@Bekisarnet: *ekspresi hampa* Iyo, kasiaaannn... (reaksi yang salah).
BalasHapus@Lomar:
BalasHapusPertama,cita-citamu sungguh mulia dan tentu akan kudukung dalam harapan dan doa. Kedua, kamu ahli banget ya, menangkap hal-hal yang bahkan saya sendiri enggak menyadarinya, misalnya: menganggap cara menulis saya kadang puitik, yang membuat saya membaca ulang semua tulisan saya sampai pusing dan pada akhirnya tetap saja bertanya-tanya, di mana sih letak puitikalnya? Kali ini menemukan quote favorit, yang mana menurut saya sama sekali nggak ada istimewanya. Ketiga, saya jadi pengin mengumpulkan untuk beli tiket dan menemui anda. Hehe....
hahaha...Bulan Mei saya ada rencana ke Dieng koq Mbak. mudah2an kita bisa bertemu yach :D
BalasHapusmm...saya bilang tentang puitik? hihihi....
Cuma Dieng? Banyak lho spot-spot bagus yang lain *bersikap seakan-akan tau*. Iya, mudah-mudahan bisa ketemu. Tertarik dengan hal-hal di luar pemandangan alam? Akan saya hubungkan dengan teman-teman saya.
BalasHapusJangan sok amnesia soal puitik, deh. Sumpe, mata saya sampe hampir juling membaca ulang, berulang-ulang, tulisan-tulisan saya. Emang enak?
itulah SULUT. semua warga di SULUT disebut juga orang Manado. Orang Manado asal Cina, Orang Manado asal Jawa, orang Manado asal Ambon, orang Manado asal Batak dst. BUKAN orang Cina di Manado, orang Jawa di Manado, orang Ambon di Manado, atau orang Batak di Manado, dst. Jadi, wajarlah dijadikan PANUTAN bangsa Indonesia yang PLURAL ini. Maklumlah, SULUT SULIT DISULUT .....!
BalasHapusJempolunima, komen anda benar-benar mengena. Dan untuk membuat kita makin bangga pada tanah Minahasa, saya akan kembali mengangkatnya dalam posting saya hari Kamis minggu depan. Bravo Sulut!
BalasHapusBagi saya, Maya layak disebut sosiolog.
BalasHapus*ngejeblak saking kepalanya jadi besar*
BalasHapus