Betapa
terperanjatnya saya ketika setelah beberapa waktu tinggal di Manado saya
mengetahui bahwa orang-orang sana yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah
Jawa, menganggap bahwa Jawa melulu berisi orang-orang miskin, gelandangan,
pencopet, dan pelacur. Yang kaya cuma pejabat, pengusaha, dan artis. Well, oke,
memang kaum miskin dan lain-lain tersebut di atas ada di mana-mana di pulau
Jawa. Tapi melulu? Wow, tunggu dulu. Saat saya melakukan investigasi
kecil-kecilan benarkah itu yang mereka percayai, seratus persen jawabnya
begini: “Torang lihat begitu no di berita (yang kami lihat di berita begitu).” Dan
orang-orang Kristen di sana selalu membangga-banggakan betapa muslim di tanah
Minahasa begitu baik hati, tidak seperti muslim di Jawa yang keji dan haus
darah. Ganti mereka yang terperanjat waktu saya berkata bahwa orang-orang
Kristen juga bisa beribadah dengan tenang di Pulau Jawa. “Torang tau dong
muslim bakar itu gereja samua (setahu kami orang-orang muslim membakar semua
gereja).” Begitu sederhananya mereka sampai-sampai percaya bahwa SEMUA muslim
membakar SEMUA gereja. Ketika saya berkata bahwa itu hanya segelintir,
benar-benar segelintir, ganti mereka yang tidak percaya, bahkan ada beberapa
yang ternganga. Begitu polosnya mereka sampai-sampai menganggap apapun yang
dikatakan media massa adalah kebenaran mutlak. Begitu lugunya mereka
sampai-sampai percaya bahwa media massa seratus persen bisa dipercaya.
Mungkin benar
bahwa apa yang mereka tangkap dari media itu fakta, sejelas fakta bahwa
beberapa gereja memang dibakar. Tapi mereka tidak tahu bahwa ada ribuan fakta
indah mengenai kerukunan beragama, seperti misalnya seumur hidup saya tidak
pernah pergi beribadah dengan dihadang front pembela ini atau itu. Tidak juga
saudara-saudara saya, tidak pula teman-teman saya. Media massa alergi
memberitakan kesatuan antar umat lain agama yang saya dan sekian banyak orang
lain di Indonesia rasakan, dalam berbagai bentuk . Sama alerginya dengan
menggembar-gemborkan desa-desa di pulau Jawa yang maju berkat home industri atau
hal-hal lain. Sebab tentu saja hal-hal baik itu sama sekali tidak seksi. Jauh
lebih menguntungkan jika menayangkan berita tentang PKL yang dibongkar satpol
PP, di mana si pedagang menangis dan menjerit-jerit histeris, dengan latar
narasi yang berat sebelah. Menayangkan feature tentang problematika satpol PP
sendiri baik secara politis, fisik, maupun psikologis jelas tidak bombastis. Atau
betapa para pedagang kaki lima tersebut juga telah merampas hak pengguna jalan
yang lain. Atau betapa sebenarnya banyak dari mereka yang lebih dari mampu
untuk menyewa kios permanen hingga tak perlu lagi mencederai para pembayar
pajak yang lain, yang berhak menikmati kota yang bersih dan rapih. Bahwa banyak
dari para pedagang tersebut yang selalu memakai tameng kemiskinan untuk
melegalisir ketidak pedulian mereka akan hak orang lain. Segala sesuatu yang
jauh dari unsur sensasi adalah syarat utama kalau mau iklan sepi.
Sinis? Hmmm,
mungkin juga. Karena nyatanya banyak juga program menarik dan terutama mendidik
yang sekarang bermunculan di televisi. Misalnya acara kuliner, petualangan ini
itu, jalan-jalan ke sini-situ, program-program tentang budaya yang dikemas
secara menarik, dan sebagainya. Dengan rendah hati dan kagum saya mengakui itu
semua. Tapi itu tidak mengaburkan fakta bahwa media massa, terutama televisi
yang jauh lebih menarik untuk disimak ketimbang koran karena mengandung gambar
hidup, seringkali lebay.
Saya berikan
saja dua contoh, karena jari saya dijamin akan kram kalau saya tuliskan
semuanya. Suatu hari saya melihat sebuah sekmen dalam acara berita di sebuah
televisi swasta yang khusus menyorot orang-orang terpinggirkan (terpinggirkan
oleh siapa juga saya tidak tahu, karena tidak dijelaskan di situ). Tersebutlah
sekelompok kaum etnis tertentu yang tinggal di lingkungan benteng di perbatasan
Jakarta selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi. Singkat kata, mereka
hidup dicekam kemiskinan selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi pula.
Kamera dengan cermat menggambarkan sudut-sudut yang masing-masingnya jelas
memancarkan kemiskinan. Narasinya dikemas secara puitis, yang jika didengarkan
oleh yang sedang galau pasti akan memancing air mata.
Setelah gambar
dan narasi yang memilukan tersebut, narator mengecam pemerintah ini dan itu,
blablabla dan blublublu. Sebagai akibatnya, sebagian orang akan menelan
mentah-mentah semua narasi yang agitatif tersebut, lalu memaki-maki pemerintah
dengan penuh semangat, lupa pada fakta bahwa jika sekelompok orang beranak-cucu
dan selamanya miskin, tak peduli seberapa banyak pemerintahan berganti, berarti
mereka sendirilah yang memilih menjadi miskin. Lupa juga pada fakta bahwa ada
banyak orang yang memilih melawan kemiskinan dan berhasil dalam hanya dalam
beberapa tahun, karena mereka memang bersungguh-sungguh dalam jihad tersebut.
Sayang logika semacam ini sama sekali tidak seksi bagi media yang punya
kepentingan laba. Jadi apapun akan mereka lakukan untuk menutupi fakta yang
menjadi penyeimbang. Obyektifitas yang mustinya jadi kredo jurnalistik memang
seringkali dipencudangi jika sudah berurusan dengan laba.
Contoh kedua,
kembali liputan tentang kemiskinan, yang ujung-ujungnya –mudah ditebak-
mencerca pemerintah dari timur sampai barat. Kamera menyorot sebuah keluarga
melarat yang tengah berkumpul untuk makan siang. Ayah, ibu, serta empat anak
mereka duduk bersila. Di hadapan mereka terhidang sebakul nasi, sepinggan sayur
bayam, secobek sambal terasi, dan sepiring tempe. Jenis lauk yang tentu jauh
lebih saya pilih ketimbang burger atau fried chicken a la bule, sebab lidah
saya memang sangat Indonesia. Dalam adegan makan tersebut narator berkumandang,
dan jelas-jelas mengatakan, “Dengan makanan yang jauh dari nilai gizi tersebut,
bagaimana kita bisa berharap generasi penerus kita akan maju?”.
Saya, setelah
sempat tercekat selama sekitar 5 detik, langsung berseru, “Dengan tim liputan
dan redaksi jauh dari cerdas tersebut, bagaimana kita bisa berharap media massa
tidak hanya akan jadi sampah semata?”
Anak sulung saya,
partner setia dalam nonton berita, berkata kalem, “Biar aja mereka ngomong apa
aja, Mam, namanya juga orang cari makan.”
Ini poin pertama
kemarahan saya: makanan utama dan lauk pauk yang disantap oleh keluarga
tersebut sudah mencukupi kebutuhan gizi, meskipun belum sempurna. Bisa jadi
semua tim redaksi dalam acara tersebut tidak lulus SD, karena saya ingat betul
hapalan kandungan vitamin dan tetek
bengek yang terkandung dalam berbagai bahan makanan adalah muatan pelajaran IPA
kelas V. Atau bisa jadi semua anggota tim redaksi tersebut membolos pelajaran bab
kandungan gizi, lalu membayar teman mereka untuk mengerjakan ulangan, jadi
mereka tetap bisa naik kelas. Dan setelah sukses menempuh pendidikan yang lebih
tinggi, pasti mereka begitu kuper sehingga ketinggalan berita bahwa tempe telah
dinobatkan oleh WHO (kalau tidak salah. Kalau salah ya berarti badan PBB yang lain)
sebagai MAKANAN PADAT TERBAIK NOMOR SATU DI DUNIA. Dan yang pasti stasiun televisi yang namanya
saya rahasiakan tersebut pasti punya sistem rekrutmen yang begitu kacau-balau,
sehingga segerombolan orang yang tidak menguasai materi pelajaran IPA kelas V
SD bisa terpilih sebagai tim redaksi. Parahnya, orang-orang payah tersebut
mendadak jadi ahli dalam urusan memelintir fakta dan menghujat-hujat pihak lain
dengan tameng tempe dan bayam, yang ironisnya justru jadi senjata makan tuan
bagi mereka.
Dan ini poin
kedua kemarahan saya: seperti anak saya bilang, mereka –tim redaksi acara
tersebut- juga cari makan, jadi biarin aja mereka ngomong apa. Tapi di sinilah
letak permasalahannya. Bisakah seseorang menghalalkan segala cara, termasuk
memelintir fakta, untuk menghasilkan berita yang ‘kritis’, terlebih jika acara
tersebut ditonton oleh jutaan orang? Apakah kita bisa mengasumsikan bahwa
jutaan penonton tersebut sependapat dengan saya? Bagaimana jika mereka
terpengaruh oleh narasi penuh cercaan yang berlandaskan distorsi tersebut? Jumlah manusia yang gemar menghujat bisa
bertambah. Sendi-sendi kekuatan bangsapun jadi goyah. Dan yang tidak kurang
menakutkan, mereka bisa mengalihkan pilihan dari tempe dan bayam yang ‘jauh
dari nilai gizi’ tersebut ke makanan lain yang bisa jadi malah memicu
kolesterol, darah tinggi, dan lain-lain. Terciptalah generasi yang bakal mati
muda gara-gara sekelompok orang sinis berpengetahuan minus yang mengaku-ngaku
sebagai tim kreatif sebuah acara televisi.
Distorsi media
massa sudah melewati batas. Terlebih karena secara hipokrit mereka dengan
bangga melabeli diri sebagai pihak yang berdiri di depan rakyat, membela
kepentingan massa kalangan bawah, dan sebagainya. Dengan distorsi gila-gilaan
yang nyaris sudah tak kenal malu tersebut, wajar jika saya bertanya-tanya,
rakyat dan massa kalangan mana yang mereka bela? Rakyat atau korporasi, yang
dari segi ejaan saja sudah total berbeda? Massa kalangan bawah atau massa
pemegang saham? Karena sejauh ini tidak ada satu konsorsium rakyat jelatapun
yang punya bisnis media.
Saya tidak tahu
dengan anda, tapi saya pribadi sudah sejak lama tidak sudi dijadikan bahan bulan-bulanan
media massa dengan berita-berita mereka yang dikemas begitu cantik dan
meyakinkan, seakan mereka memang benar-benar berpihak pada rakyat, karena sudah
jelas pada siapa mereka berpihak. Semakin bombastis dan ‘kritis’ berita mereka,
semakin besar pula kemungkinan kebohongan mereka. Sudah sejak lama saya
berhati-hati menonton acara televisi, terlebih yang dikendalikan oleh mereka
yang punya jabatan tinggi di partai politik. Apalagi yang sedang sibuk
mencalonkan diri jadi presiden.
Dikibuli
distorsi? Basi! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
widiiii...lagi lagi komengtar kritis, menggigit, tajam dan pastinya terpercaya ala Mbak May :D
BalasHapussaya sudah lama meninggalkan televisi sebagai salah satu sarana hiburan di rumah, mbak. Bukannya saya nggak nasionalis ya mbak, tapi saya merasa saya lebih positif kalau tontonan saya di rumah tuh National Geographic dan Vision Comedy. Yang satu bikin tambah pinter, semakin cerdas soal bumi, yang satu lagi bikin hidup saya bahagia karena banyak dipenuhi oleh tawa. Sesekali, saya nonton siaran berita agar tahu, "sedang terjadi apa sih di luar sana?". pilihannya jelas Mbak May bisa tebak donk, si merah dan si biru. hihihi. cuma dua saluran itu aja yang kadang2 ada headline news di jam jam tertentu. Sisa waktu saya lebih suka saya gunakan untuk hal-hal berharga, salah satunya membaca postingan mbak May pastinya #bokisssssssss
saya pernah punya pengalaman yang agak menyebalkan di Desa Niki-Niki, Kecamatan Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Saya pernah menuliskan hal ini di postingan *procol-promo colongan* mengenai mirisnya saya melihat anak-anak di warung bakso yang saya singgahi untuk membeli minum ternyata menonton televisi yang ternyata sedang menyiarkan sinetron, setting Jakarta, rumah mewah, kekayaan berlimpah, menindas orang kecil, ekspresi muka lebay selebay-lebaynya, dan selalu tidak pernah puas, ingin terus membalas dendam *ditambah lagi dengan akting aktris dan aktor yang pas-pasan, dan sekali lagi lebay saat berperan*
-mungkin bener apa kata anak sulung Mbak May, namanya juga orang cari makan-
duh saya sedih banged mbak, Niki-Niki itu terkenal dengan Pasar adatnya yang buka di hari Rabu saja, warga-warganya masih banyak yang berpakaian adat, alamnya indah, plus ada reruntuhan Sonaf (=rumah asli Timor) Kerajaan Nope. Entah mereka menganggap hal tersebut sudah sangat biasa atau bagaimana, sehingga mereka mencari bentuk hiburan lainnya : televisi. Yang lebih miris semiris-mirisnya, mbak, keluarga tersebut asyik dan terpaku menatap layar kaca, seakan-akan itu tontonan yang teramat seru. fiuh. pengen rasanya saya cabut itu steker listrik televisi tapi saya nggak jamin saya nggak diarak trus kemudian disidang secara adat...hihihihi
saya juga teringat salah satu media online kita pernah memberitakan hujan berangin di Jakarta dengan kalimat : Awan gelap menggumpal menggelayut rendah, petir menggelegar dan kilat menyambar-nyambar, langit gelap gulita, kegelapan menyelimuti Kota Jakarta, angin menderu-deru, hujan deras bak dicurahkan dari langit *busyeettt...bacanya aja mau ngakak karena lebay*
ya Mbak May, saya setuju kalau media kita lebay. buktinya sangatlebih dari cukup. maka, untuk kesehatan jiwa kita ke depannya, lebih baik tontonan kita selalu fokus pada Laptop Si Unyil, Si Bolang, Jejak Petualang, dan Jelajah. :D eh, Doraemon juga penting lhooo ^^
Procol lucu banget, muncul mendadak, hehe....
HapusSaya punya cita-cita yang sangat luhur, yakni suatu hari nanti jika nama saya sudah berkibar di angkasa, saya akan menggalang massa untuk melakukan boikot terhadap stasiun-stasiun televisi yang melakukan pengabaian terhadap etika penyiaran dan pembuatan acara dan atau berita. Sebab bukan perkara sulit bagi orang-orang dari kelas kita *wajah congkak* untuk melakukan filter terhadap apa yang layak dan tidak untuk kita tonton. Tapi bagaimana dengan kelas sosial yang lain? Jadi yang cerdas (atau setidaknya mengaku cerdas macam saya) jadi makin cerdas (atau mengaku makin cerdas), sedangkan yang di bawah sana semakin terpuruk karena ketidak tahuan dan ketiadaan empati kelas *mendadak filosofis*
Stasiun televisi paling penting saat ini adalah TVRI. Dan acara paling penting saat ini bagi saya adalah Sponge Bob, terutama kalau Squidworld jadi tokoh utama. Serta Kick Andy, yang sayangnya jarang saya tontong karena nggak pernah hapal jadwalnya (masih penting nggak kalau gini?).
Dan saat ini saya benar-benar iri pada Lomie yang sudah menjelajah ke mana-mana dan menginjakkan kaki ke Niki-Niki. Sementara saya hanya mengenal satu Niki yang mengandung unsur Kiwil, yakni NiKita Willy, ihihihi....