Kamis, 12 Januari 2012

Fakta Memang Tak Pernah Memihak, Tapi Media Belum Tentu Tidak


Betapa terperanjatnya saya ketika setelah beberapa waktu tinggal di Manado saya mengetahui bahwa orang-orang sana yang belum pernah menginjakkan kaki di tanah Jawa, menganggap bahwa Jawa melulu berisi orang-orang miskin, gelandangan, pencopet, dan pelacur. Yang kaya cuma pejabat, pengusaha, dan artis. Well, oke, memang kaum miskin dan lain-lain tersebut di atas ada di mana-mana di pulau Jawa. Tapi melulu? Wow, tunggu dulu. Saat saya melakukan investigasi kecil-kecilan benarkah itu yang mereka percayai, seratus persen jawabnya begini: “Torang lihat begitu no di berita (yang kami lihat di berita begitu).” Dan orang-orang Kristen di sana selalu membangga-banggakan betapa muslim di tanah Minahasa begitu baik hati, tidak seperti muslim di Jawa yang keji dan haus darah. Ganti mereka yang terperanjat waktu saya berkata bahwa orang-orang Kristen juga bisa beribadah dengan tenang di Pulau Jawa. “Torang tau dong muslim bakar itu gereja samua (setahu kami orang-orang muslim membakar semua gereja).” Begitu sederhananya mereka sampai-sampai percaya bahwa SEMUA muslim membakar SEMUA gereja. Ketika saya berkata bahwa itu hanya segelintir, benar-benar segelintir, ganti mereka yang tidak percaya, bahkan ada beberapa yang ternganga. Begitu polosnya mereka sampai-sampai menganggap apapun yang dikatakan media massa adalah kebenaran mutlak. Begitu lugunya mereka sampai-sampai percaya bahwa media massa seratus persen bisa dipercaya.
Mungkin benar bahwa apa yang mereka tangkap dari media itu fakta, sejelas fakta bahwa beberapa gereja memang dibakar. Tapi mereka tidak tahu bahwa ada ribuan fakta indah mengenai kerukunan beragama, seperti misalnya seumur hidup saya tidak pernah pergi beribadah dengan dihadang front pembela ini atau itu. Tidak juga saudara-saudara saya, tidak pula teman-teman saya. Media massa alergi memberitakan kesatuan antar umat lain agama yang saya dan sekian banyak orang lain di Indonesia rasakan, dalam berbagai bentuk . Sama alerginya dengan menggembar-gemborkan desa-desa di pulau Jawa yang maju berkat home industri atau hal-hal lain. Sebab tentu saja hal-hal baik itu sama sekali tidak seksi. Jauh lebih menguntungkan jika menayangkan berita tentang PKL yang dibongkar satpol PP, di mana si pedagang menangis dan menjerit-jerit histeris, dengan latar narasi yang berat sebelah. Menayangkan feature tentang problematika satpol PP sendiri baik secara politis, fisik, maupun psikologis jelas tidak bombastis. Atau betapa para pedagang kaki lima tersebut juga telah merampas hak pengguna jalan yang lain. Atau betapa sebenarnya banyak dari mereka yang lebih dari mampu untuk menyewa kios permanen hingga tak perlu lagi mencederai para pembayar pajak yang lain, yang berhak menikmati kota yang bersih dan rapih. Bahwa banyak dari para pedagang tersebut yang selalu memakai tameng kemiskinan untuk melegalisir ketidak pedulian mereka akan hak orang lain. Segala sesuatu yang jauh dari unsur sensasi adalah syarat utama kalau mau iklan sepi.
Sinis? Hmmm, mungkin juga. Karena nyatanya banyak juga program menarik dan terutama mendidik yang sekarang bermunculan di televisi. Misalnya acara kuliner, petualangan ini itu, jalan-jalan ke sini-situ, program-program tentang budaya yang dikemas secara menarik, dan sebagainya. Dengan rendah hati dan kagum saya mengakui itu semua. Tapi itu tidak mengaburkan fakta bahwa media massa, terutama televisi yang jauh lebih menarik untuk disimak ketimbang koran karena mengandung gambar hidup, seringkali lebay.
Saya berikan saja dua contoh, karena jari saya dijamin akan kram kalau saya tuliskan semuanya. Suatu hari saya melihat sebuah sekmen dalam acara berita di sebuah televisi swasta yang khusus menyorot orang-orang terpinggirkan (terpinggirkan oleh siapa juga saya tidak tahu, karena tidak dijelaskan di situ). Tersebutlah sekelompok kaum etnis tertentu yang tinggal di lingkungan benteng di perbatasan Jakarta selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi. Singkat kata, mereka hidup dicekam kemiskinan selama ratusan tahun, dari generasi ke generasi pula. Kamera dengan cermat menggambarkan sudut-sudut yang masing-masingnya jelas memancarkan kemiskinan. Narasinya dikemas secara puitis, yang jika didengarkan oleh yang sedang galau pasti akan memancing air mata.
Setelah gambar dan narasi yang memilukan tersebut, narator mengecam pemerintah ini dan itu, blablabla dan blublublu. Sebagai akibatnya, sebagian orang akan menelan mentah-mentah semua narasi yang agitatif tersebut, lalu memaki-maki pemerintah dengan penuh semangat, lupa pada fakta bahwa jika sekelompok orang beranak-cucu dan selamanya miskin, tak peduli seberapa banyak pemerintahan berganti, berarti mereka sendirilah yang memilih menjadi miskin. Lupa juga pada fakta bahwa ada banyak orang yang memilih melawan kemiskinan dan berhasil dalam hanya dalam beberapa tahun, karena mereka memang bersungguh-sungguh dalam jihad tersebut. Sayang logika semacam ini sama sekali tidak seksi bagi media yang punya kepentingan laba. Jadi apapun akan mereka lakukan untuk menutupi fakta yang menjadi penyeimbang. Obyektifitas yang mustinya jadi kredo jurnalistik memang seringkali dipencudangi jika sudah berurusan dengan laba.
Contoh kedua, kembali liputan tentang kemiskinan, yang ujung-ujungnya –mudah ditebak- mencerca pemerintah dari timur sampai barat. Kamera menyorot sebuah keluarga melarat yang tengah berkumpul untuk makan siang. Ayah, ibu, serta empat anak mereka duduk bersila. Di hadapan mereka terhidang sebakul nasi, sepinggan sayur bayam, secobek sambal terasi, dan sepiring tempe. Jenis lauk yang tentu jauh lebih saya pilih ketimbang burger atau fried chicken a la bule, sebab lidah saya memang sangat Indonesia. Dalam adegan makan tersebut narator berkumandang, dan jelas-jelas mengatakan, “Dengan makanan yang jauh dari nilai gizi tersebut, bagaimana kita bisa berharap generasi penerus kita akan  maju?”.
Saya, setelah sempat tercekat selama sekitar 5 detik, langsung berseru, “Dengan tim liputan dan redaksi jauh dari cerdas tersebut, bagaimana kita bisa berharap media massa tidak hanya akan jadi sampah semata?”
Anak sulung saya, partner setia dalam nonton berita, berkata kalem, “Biar aja mereka ngomong apa aja, Mam, namanya juga orang cari makan.”
Ini poin pertama kemarahan saya: makanan utama dan lauk pauk yang disantap oleh keluarga tersebut sudah mencukupi kebutuhan gizi, meskipun belum sempurna. Bisa jadi semua tim redaksi dalam acara tersebut tidak lulus SD, karena saya ingat betul hapalan kandungan vitamin  dan tetek bengek yang terkandung dalam berbagai bahan makanan adalah muatan pelajaran IPA kelas V. Atau bisa jadi semua anggota tim redaksi tersebut membolos pelajaran bab kandungan gizi, lalu membayar teman mereka untuk mengerjakan ulangan, jadi mereka tetap bisa naik kelas. Dan setelah sukses menempuh pendidikan yang lebih tinggi, pasti mereka begitu kuper sehingga ketinggalan berita bahwa tempe telah dinobatkan oleh WHO (kalau tidak salah. Kalau salah ya berarti badan PBB yang lain) sebagai MAKANAN PADAT TERBAIK NOMOR SATU DI DUNIA.  Dan yang pasti stasiun televisi yang namanya saya rahasiakan tersebut pasti punya sistem rekrutmen yang begitu kacau-balau, sehingga segerombolan orang yang tidak menguasai materi pelajaran IPA kelas V SD bisa terpilih sebagai tim redaksi. Parahnya, orang-orang payah tersebut mendadak jadi ahli dalam urusan memelintir fakta dan menghujat-hujat pihak lain dengan tameng tempe dan bayam, yang ironisnya justru jadi senjata makan tuan bagi mereka.
Dan ini poin kedua kemarahan saya: seperti anak saya bilang, mereka –tim redaksi acara tersebut- juga cari makan, jadi biarin aja mereka ngomong apa. Tapi di sinilah letak permasalahannya. Bisakah seseorang menghalalkan segala cara, termasuk memelintir fakta, untuk menghasilkan berita yang ‘kritis’, terlebih jika acara tersebut ditonton oleh jutaan orang? Apakah kita bisa mengasumsikan bahwa jutaan penonton tersebut sependapat dengan saya? Bagaimana jika mereka terpengaruh oleh narasi penuh cercaan yang berlandaskan distorsi tersebut?  Jumlah manusia yang gemar menghujat bisa bertambah. Sendi-sendi kekuatan bangsapun jadi goyah. Dan yang tidak kurang menakutkan, mereka bisa mengalihkan pilihan dari tempe dan bayam yang ‘jauh dari nilai gizi’ tersebut ke makanan lain yang bisa jadi malah memicu kolesterol, darah tinggi, dan lain-lain. Terciptalah generasi yang bakal mati muda gara-gara sekelompok orang sinis berpengetahuan minus yang mengaku-ngaku sebagai tim kreatif sebuah acara televisi.
Distorsi media massa sudah melewati batas. Terlebih karena secara hipokrit mereka dengan bangga melabeli diri sebagai pihak yang berdiri di depan rakyat, membela kepentingan massa kalangan bawah, dan sebagainya. Dengan distorsi gila-gilaan yang nyaris sudah tak kenal malu tersebut, wajar jika saya bertanya-tanya, rakyat dan massa kalangan mana yang mereka bela? Rakyat atau korporasi, yang dari segi ejaan saja sudah total berbeda? Massa kalangan bawah atau massa pemegang saham? Karena sejauh ini tidak ada satu konsorsium rakyat jelatapun yang punya bisnis media.
Saya tidak tahu dengan anda, tapi saya pribadi sudah sejak lama tidak sudi dijadikan bahan bulan-bulanan media massa dengan berita-berita mereka yang dikemas begitu cantik dan meyakinkan, seakan mereka memang benar-benar berpihak pada rakyat, karena sudah jelas pada siapa mereka berpihak. Semakin bombastis dan ‘kritis’ berita mereka, semakin besar pula kemungkinan kebohongan mereka. Sudah sejak lama saya berhati-hati menonton acara televisi, terlebih yang dikendalikan oleh mereka yang punya jabatan tinggi di partai politik. Apalagi yang sedang sibuk mencalonkan diri jadi presiden.
Dikibuli distorsi? Basi! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



2 komentar:

  1. widiiii...lagi lagi komengtar kritis, menggigit, tajam dan pastinya terpercaya ala Mbak May :D

    saya sudah lama meninggalkan televisi sebagai salah satu sarana hiburan di rumah, mbak. Bukannya saya nggak nasionalis ya mbak, tapi saya merasa saya lebih positif kalau tontonan saya di rumah tuh National Geographic dan Vision Comedy. Yang satu bikin tambah pinter, semakin cerdas soal bumi, yang satu lagi bikin hidup saya bahagia karena banyak dipenuhi oleh tawa. Sesekali, saya nonton siaran berita agar tahu, "sedang terjadi apa sih di luar sana?". pilihannya jelas Mbak May bisa tebak donk, si merah dan si biru. hihihi. cuma dua saluran itu aja yang kadang2 ada headline news di jam jam tertentu. Sisa waktu saya lebih suka saya gunakan untuk hal-hal berharga, salah satunya membaca postingan mbak May pastinya #bokisssssssss

    saya pernah punya pengalaman yang agak menyebalkan di Desa Niki-Niki, Kecamatan Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Saya pernah menuliskan hal ini di postingan *procol-promo colongan* mengenai mirisnya saya melihat anak-anak di warung bakso yang saya singgahi untuk membeli minum ternyata menonton televisi yang ternyata sedang menyiarkan sinetron, setting Jakarta, rumah mewah, kekayaan berlimpah, menindas orang kecil, ekspresi muka lebay selebay-lebaynya, dan selalu tidak pernah puas, ingin terus membalas dendam *ditambah lagi dengan akting aktris dan aktor yang pas-pasan, dan sekali lagi lebay saat berperan*
    -mungkin bener apa kata anak sulung Mbak May, namanya juga orang cari makan-

    duh saya sedih banged mbak, Niki-Niki itu terkenal dengan Pasar adatnya yang buka di hari Rabu saja, warga-warganya masih banyak yang berpakaian adat, alamnya indah, plus ada reruntuhan Sonaf (=rumah asli Timor) Kerajaan Nope. Entah mereka menganggap hal tersebut sudah sangat biasa atau bagaimana, sehingga mereka mencari bentuk hiburan lainnya : televisi. Yang lebih miris semiris-mirisnya, mbak, keluarga tersebut asyik dan terpaku menatap layar kaca, seakan-akan itu tontonan yang teramat seru. fiuh. pengen rasanya saya cabut itu steker listrik televisi tapi saya nggak jamin saya nggak diarak trus kemudian disidang secara adat...hihihihi

    saya juga teringat salah satu media online kita pernah memberitakan hujan berangin di Jakarta dengan kalimat : Awan gelap menggumpal menggelayut rendah, petir menggelegar dan kilat menyambar-nyambar, langit gelap gulita, kegelapan menyelimuti Kota Jakarta, angin menderu-deru, hujan deras bak dicurahkan dari langit *busyeettt...bacanya aja mau ngakak karena lebay*

    ya Mbak May, saya setuju kalau media kita lebay. buktinya sangatlebih dari cukup. maka, untuk kesehatan jiwa kita ke depannya, lebih baik tontonan kita selalu fokus pada Laptop Si Unyil, Si Bolang, Jejak Petualang, dan Jelajah. :D eh, Doraemon juga penting lhooo ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Procol lucu banget, muncul mendadak, hehe....

      Saya punya cita-cita yang sangat luhur, yakni suatu hari nanti jika nama saya sudah berkibar di angkasa, saya akan menggalang massa untuk melakukan boikot terhadap stasiun-stasiun televisi yang melakukan pengabaian terhadap etika penyiaran dan pembuatan acara dan atau berita. Sebab bukan perkara sulit bagi orang-orang dari kelas kita *wajah congkak* untuk melakukan filter terhadap apa yang layak dan tidak untuk kita tonton. Tapi bagaimana dengan kelas sosial yang lain? Jadi yang cerdas (atau setidaknya mengaku cerdas macam saya) jadi makin cerdas (atau mengaku makin cerdas), sedangkan yang di bawah sana semakin terpuruk karena ketidak tahuan dan ketiadaan empati kelas *mendadak filosofis*

      Stasiun televisi paling penting saat ini adalah TVRI. Dan acara paling penting saat ini bagi saya adalah Sponge Bob, terutama kalau Squidworld jadi tokoh utama. Serta Kick Andy, yang sayangnya jarang saya tontong karena nggak pernah hapal jadwalnya (masih penting nggak kalau gini?).

      Dan saat ini saya benar-benar iri pada Lomie yang sudah menjelajah ke mana-mana dan menginjakkan kaki ke Niki-Niki. Sementara saya hanya mengenal satu Niki yang mengandung unsur Kiwil, yakni NiKita Willy, ihihihi....

      Hapus