Senin, 16 Januari 2012

Subyektifitas Media Memblingerkan Massa


Setelah saya perhatikan, salah satu obyek favorit untuk dijadikan alat pemutarbalikan logika nan cantik oleh media massa adalah perkara gizi buruk. Dengan sedih saya mengakui bahwa gambar-gambar hidup korban malnutrisi itu memang menyayat hati. Dan memang sejujurnya saya tersayat-sayat, terlebih jika membanding-bandingkan mereka dengan anak-anak dalam keluarga saya dari generasi ke generasi yang terus-menerus mendapatkan gizi berkecukupan. Alhamdulilah secara turun-temurun entah sejak kapan keluarga besar saya hidup tercukupi, umumnya terlebihi. Jeleknya, kelebihan bertemu dengan selera makan yang tak kenal ukuran menghasilkan penyakit mematikan. Jadilah keluarga saya punya catatan mati di usia jauh dari tua gara-gara berbagai penyakit yang umum dikenal ‘penyakitnya orang yang suka makan enak’. Saya pribadi lebih suka menyebutnya ‘penyakitnya orang rakus’. Sutralah, kok malah curhat?
Kembali pada balita-balita bergizi buruk. Sangat tidak etis jika saya menggambarkan secara tertulis kondisi mereka, karena toh saya yakin anda semua sudah mengetahuinya. Fakta tersebut dapat ditangkap dengan mudah. Tapi rasa tercekat karena melihat kondisi bayi-bayi mengenaskan tersebut seringkali membuat mata kita jadi kabur, dan luput melihat bahwa umumnya bayi-bayi tersebut dipangku atau digendong oleh orang-orang dewasa, biasanya orang tua mereka, yang tampak sama sekali tak kurang suatu apa. Dalam arti, mereka seperti orang-orang yang kita lihat di mana-mana, di pasar atau di jalan, di pertokoan atau perkantoran. Sama seperti kita atau orang-orang biasa yang lain di manapun juga. Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa baik-baik saja sedangkan bayi-bayi tersebut hampir mati karena tidak mendapatkan apa-apa? Apa saja dan sebanyak apa yang masuk ke perut si dewasa, sedangkan bayi-bayi tersebut hanya mendapatkan sisa-sisa, yang membuat mereka hidup dengan kulit membungkus kerangka?
Bagi anda pertanyaan di atas mungkin sadis. Saya sependapat, meskipun saya sendiri yang bertanya. Tapi saya tak dapat menyangkal diri bahwa pertanyaan tersebut sangat logis. Sebab setahu saya, dimanapun orang tua akan memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Ia akan menahan keinginan jika dihadapkan pada dua pilihan: diri sendiri atau si buah hati. Orang Jawa punya istilah indah: anak kui di anak-anakke. Anak itu diada-adakan. Artinya, buat anak, yang tidak adapun akan selalu diusahakan ada. Lebih jauh lagi adalah mengenai ibu atau istilah ndesanya simbok. Simbok kudu wani tombok. Simbok harus berani nombok. Artinya, seorang ibu harus berani memberi lebih untuk anak-anaknya. Kalau perlu mengambil dari jatahnya, sekalipun itu berarti ia musti menahan lapar. Sebab memang begitulah hakekat orang tua; memberi. Sebab tak ada seorang anakpun yang secara khusus meminta pada orang tua untuk dilahirkan. Orangtua yang memutuskan mereka hadir di dunia, sehingga menjadi aneh jika mereka menjalani tahun-tahun pertama mereka sebagai kerangka bernyawa, sementara si orangtua justru tak kurang suatu apa.
Dan sekalipun si orang tua telah memberikan segalanya namun toh tetap awan gizi buruk memayungi mereka, bukankah masih ada sanak keluarga, atau setidaknya para tetangga di kiri-kanan mereka? Dan jika kita membuat asumsi SELURUH sanak keluarga dan para tetangga tersebut sama miskinnya, bagaimana dengan sistem jimpitan? Jimpitan terbukti bukan hanya digdaya dalam menopang secara materi mereka yang membutuhkan, namun juga sama sekali tak memberatkan. Jauh di atas segalanya, jimpitan adalah tali tipis yang menggambarkan kekuatan kekerabatan dan rasa senasib sepenanggungan. Jika hal yang sesederhana jimpitan saja sudah ditinggalkan, terlebih lagi yang lebih menuntut energi dan dedikasi, seperti mengunjungi tetangga di belakang gang.
Atau mungkin di sinikah letak permasalahannya, yakni sudah semakin tipisnya tali kekerabatan dan kepedulian pada bangsa ini, sehingga kasus gizi buruk masih terjadi? Sebab gizi buruk membutuhkan proses sekian lama, dan tidak terjadi semalam atau secepat kita mengedipkan mata. Andaikan masing-masing dari kita yang hidup dalam satu RT aktif secara bergiliran mengunjungi satu sama lain, mungkinkah kasus seperti ini terjadi? Sebab dari satu visitasi kita bisa mengumpulkan informasi, dan dari satu informasi kita bisa menyatukan hati. Lalu pikiran dan energi. Kemudian materi.
Tetapi melakukan itu semua memang tidak mudah. Jauh lebih mudah berpihak pada media massa masa kini yang kian tegas menjunjung azas subyektifitas. Jauh lebih mudah menonton televisi yang memberitakan kasus gizi buruk, yang dari awal sampai akhir hanya menuding pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang musti bertanggung jawab atas tragedi ini. Seakan hanya pemerintah yang tinggal di Indonesia. Seakan tidak ada apa yang disebut rakyat Indonesia. Seakan di sekeliling si miskin tak ada tetangga atau sanak saudara. Memang lebih mudah untuk percaya dan mengamini apapun kata media, terlebih yang memberi peluang bagi kita untuk berkelit. Berkelit dari tanggung jawab bahwa sebagai manusia yang beragama kita wajib berbagi pada sesama. Berbagi perhatian, materi, waktu, tenaga, apa saja.  Jauh lebih mudah menudingkan satu jari pada pemerintah, sambil di saat yang sama lupa bahwa tiga jari lainnya menuding pada diri kita sendiri.
Gambar dan narasi media yang begitu cantik dan lirik telah berhasil mengaburkan distorsi mereka. Untuk kemudian berhasil membuat kita keblinger. Tinggallah saya bingung, harus memberi ucapan selamat pada media yang berhasil membodohi massa atau bersimpati pada massa yang dengan ikhlas bersedia dibodohi media (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).









3 komentar:

  1. Para pengunjung yang baik hati dan tidak sombong....
    Tolong dong tinggalkan jejak langkah anda... Masa datang dan pergi tanpa kesan? Saya kan jadi sedih dan merasa kesepian.... (bohong banget). Trima kasih, ya...Hiks....hiks... (tambah bohong).

    BalasHapus
  2. wow! saya tercelikkan matanya. mbak. saya belum pernah punya sudut pandang demikian dalam melihat peristiwa gizi buruk dan busung lapar. bisa dibilang, apa yang mbak May katakan benar. orang tua mereka dalam kondisi yang baik, tetangga-tetangganya baik, apa yang menyebabkan mereka harus mengalami semua ini? padahal, katanya orang kota sudah tipis tali silahturahminya. tapi, kasus gizi buruk kebanyakan terjadi di pedesaan yang jauh dari akses pelayanan kesahatan pusat kan? harusnya tali kekerabatan di desa-desa dan kampung lebih erat, bukan begitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi ge-er nih, sudut pandang saya dibilang lain dari yang lain (emang siapa yang bilang? Hihi...). Yang jadi masalah adalah orang-orang pada sibuk menyalahkan satu pihak, yang dalam hal ini bisa dibaca pemerintah. Terutama tokoh-tokoh politik oposan yang kesannya aja membela rakyat padahal jelas membela kepentingan politiknya sendiri, belum lagi akademisi, pengamat sosial, dan segala 'orang-orang pintar' yang hobi sekali teriak-teriak, ditambah media massa yang distrosif, lebay, tukang kompor dan narasinya agitatif cenderung eror, lengkap sudah semuanya. Kita jadi lupa koreksi diri. Maka marilah kita masing-masing sebelum tidur bertanya pada diri sendiri apa yang bisa kita lakukan untuk lingkungan yang terdekat dengan kita, dan esok pagi-pagi bangun dengan mewujudkan pertanyaan tersebut dalam tindakan nyata (kecuali yang bangunnya siang kayak saya, hehe...)

      Hapus