Selasa, 20 November 2012

Di Sini dan Di sana




Menyelesaikan kisah-kasih Bapak saya dan Pancasila, sebaiknya saya langsung saja. Urusan melaksanakan sila ke lima, Bapak saya biangnya. Beliau adalah pekerja keras dan jujur. Mengenai ini saya dengar dari beberapa teman Bapak yang sering bertandang ke rumah kami, begini, ”Meskipun posisinya lumayan, tapi sampai sekarang Pak-mu itu masih jadi orang paling miskin se-kantor Pertamina.” Waktu saya konfrontir, beliau senyum-senyum dan berkata, “Kalau mau korupsi ya Bapak sudah kaya. Tapi buat apa?” Sambil cengengesan saya bilang, “Ya buat anak-anaknya, dong, Bapak.” Bapak mendengus, “Kaya tapi masuk neraka.” Saya tambah kurang ajar, berkata, “Kan yang korupsi Bapak, jadi yang masuk neraka ya cuma Bapak. Tak masalah.” Lalu beliau menjulek kepala saya sambil berkata, “Putra gemblung! (anak sinting).” Hehehe….

Untuk urusan sila ke lima ini, beliau juga menghabiskan tahun-tahun dengan membantu banyak orang untuk berdikari. Di sini saya akan mulai memasukkan sosok emak saya. Meskipun sejak kecil saya lebih dekat dengan Bapak ketimbang Ibu (plus beliau sudah meninggal 18 tahun lalu), bukan berarti beliau tak mewariskan nilai hidup apa-apa pada saya. Dalam urusan membantu orang lain untuk berdiri sendiri secara ekonomi, Ibu adalah partner Bapak yang sempurna. Bahu-membahu mereka memberikan bantuan modal uang, barang, nasehat, dorongan semangat, dan blablabla pada orang-orang yang membutuhkan di sekeliling kami. Tukang becak-tukang becak langganan pembantu kami di pasar, para tetangga di desa Bapak, teman sepermainan Ibu yang hidupnya kurang beruntung, tetangga di perkampungan belakang kompleks yang hidupnya serba kekurangan, adalah beberapa dari sekian banyak orang yang merasakan bagaimana orang tua saya menerapkan butir ke-5 sila V Pancasila (suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri), walaupun besar kemungkinan mereka tak hapal.

Sebagai perempuan, Ibu juga tak pernah melibatkan dirinya dengan fashion dan segala tetek-bengeknya. Bukannya naik sedan halus dengan jambul tertata serta alis melengkung yang bakal membuat wajahnya nampak senantiasa terkejut, Ibu lebih suka menyetir Hardtop dengan ban radial-nya sendiri, serta berkostum kebangsaan celana pendek dan kaos oblong yang biasanya belel. Dengan gayanya yang koboi, Ibu sangat populer di kampung Bapak. Itu karena Ibu selalu bersikap baik, rendah hati, dan ramah pada semua orang, tak peduli itu penjual daun jati di pasar yang stratanya paling rendah di sana sekalipun. Saya ingat sebuah peristiwa, di mana suatu hari menjelang ulang tahun saya meminta ibu untuk merayakannya, yang mana wajar untuk anak SD, apalagi belum pernah merasakannya. Tanpa banyak bicara, Ibu mengajak saya pergi berdua saja tanpa saudara yang lain. Ia kemudian membawa saya ke sebuah tempat, yang ternyata adalah panti asuhan. Kami tinggal di sana selama beberapa jam, menemui pengurus dan bermain-main serta bergaul dengan anak-anak penghuni panti. Di mobil waktu pulang, Ibu –tanpa nasehat panjang lebar- bertanya, “Masih ingin dibuatkan pesta ulang tahun?”. Saya menjawab, “Minta uang saja, mau Maya belikan keperluan sekolah dan mainan buat mereka.” Ibu tersenyum, mengucak rambut saya sambil berkata, “Anak Ibu pintar,” dan tanpa banyak cing-cong memenuhi permintaan saya. Sampai sekarang saya tak pernah tahu bagaimana rasanya ulang tahun dipestakan, karena saya tak pernah lagi ingin tahu sejak peristiwa itu. Dan di sini kiranya masuk sila ke-5 butir tujuh, yakni tak suka hidup mewah dan boros-borosan.

Untuk urusan altruisme, Ibu saya malah lebih ‘parah’ ketimbang Bapak. Ibu mungkin lebih memilih untuk dipotong lidahnya, ketimbang mengucapkan kalimat ‘Lainnya saja’ sebagai senjata ampuh untuk menolak peminta-minta. Untuk para pengemis, Ibu merasa memberi uang saja tak cukup. Ia juga memberikan makanan yang ditata dengan baik di kardus, dengan nasi dan lauk sebanyak-banyaknya, lalu dibekali berbagai baju dan barang lain. Saya ingat betul waktu itu saya masih SMP, di mana pada suatu siang nan terik datang seorang pengemis tua yang matanya sebelah buta ke rumah kami. Tak hanya memberi uang, makanan, dan barang seperti biasa, Ibu meminta nenek tua itu untuk masuk. Kemudian Ibu menyilakan simbah pengemis untuk mandi, menyiapkan baju bekas yang pantas, dan sesudahnya membuatkan teh untuk simbah tersebut dengan tangannya sendiri (tidak suruhan pembantu). Setelah menemani simbah tersebut makan dan mengobrol, Ibu menyilakan simbah untuk tidur di kamar belakang. Dan ketika simbah pengemis bangun hendak ngider lagi, Ibu membekalinya dengan makanan yang disiapkannya sendiri, pakaian-pakaian bekas pantas, dan sejumlah uang yang kata Ibu, “Cukuplah kalau Simbah mau pulang kampung dan jualan pecel atau bubur sumsum.” Saya ingat ketika Ibu tersenyum pada saya saat melepas nenek peminta-minta tersebut seraya berkata, “Mbah Kakungmu kalau bisa melihat pasti bangga sekali pada Ibu.” Demikianlah saya tahu bahwa sifat Ibu yang menjunjung harkat manusia lain dan gemar memberi pertolongan yang terbaik yang bisa ia lakukan, adalah sesuatu yang ia dapatkan dari orangtuanya. Ah, mengapa tiba-tiba saya sangat merindukan ibu saya?

Ibu saya juga seorang premanwati nan tak sungkan melabrak orang yang dianggapnya merugikan orang lain. Ingat satu posting yang menceritakan adegan saya berantem fisik dengan teman, gara-gara ia menghina pekerjaan orang tua teman yang lain? Saya terancam diskors dan Ibu mencak-mencak di sekolah, memberi khotbah sekeras guntur pada para guru serta kepala sekolah sambil bawa-bawa ‘menegakkan keadilan, membela mereka yang lemah, kemanusiaan’, dan jargon-jargon heroik lainnya. Lalu Ibu mengakhiri kehebohan itu dengan berseru, “Sekolah Kristen macam apa ini, yang hendak menskors murid yang berusaha membela yang lemah???!!!” sambil menggebrak meja. Hihihi… Walaupun sempat malu dengan kegemparan tersebut, saya akhirnya belajar bahwa  selama saya membela kebenaran, maka tak ada yang perlu saya takutkan. Dan satu lagi pelajaran, ketika di rumah Ibu berkata, ”Jadi, Ndhuk, kalau kamu membela kebenaran, jangan takut pada apapun, karena PASTI TUHAN SEDIAKAN PASUKAN UNTUK MEMBELAMU!!!!!!”. Dan memang sampai di sini suara Ibu menggelegar, jadi tulisannya pakai huruf besar dan saya tambahi tanda pentung banyak sekali :).

Si premanwati yang sekarang sudah tenang di ‘sana’ itu bagi saya adalah Pancasila yang hidup. Ia yang cantik jelita (saya tampak agak-agak kayak anak gelandangan kalau mengambil posisi di dekatnya :) ), dari keluarga ningrat dan kaya raya, ibunya berdarah Belanda kelas atas pula (bagi sebagian orang ini merupakan hal yang sangat hebat), menikah dengan Bapak yang berasal dari desa terpencil dan secara sosial bisa dibilang sama sekali tidak sederajat. Tapi bibit bagi Ibu saya di sini bukanlah kelas sosial orangtua Bapak saya, melainkan kejujuran dan kerja keras yang telah mereka contohkan pada Bapak saya. Bebet bukanlah banyaknya harta yang berhasil ditumpuk Bapak, melainkan kebaikan dan tindak-tindak kemanusiaan yang Bapak saya lakukan selama itu. Bobot bukanlah tubuh yang gagah perkasa, melainkan karakter Bapak saya yang teguh sekaligus teduh, dan berbagai sifat baik lainnya. Jadi, dalam urusan cintapun Ibu melaksanakan berbagai butir dari sila ke dua.

Dan pernahkah anda menemukan seorang perempuan yang dalam hal keyakinan begitu kesepian seperti Ibu saya? Suaminya Muslim, dan tak seorangpun dari tujuh anaknya memilih agama Katholik seperti yang diimaninya. Tetapi karena Ibu tahu benar sila pertama berikut segala butirnya, maka ia sama sekali tak pernah meributkan hal itu. Dengan hati selembut kapas dan kemampuan toleransi begitu besar ini, tak heran saat beliau terbaring karena kanker, para pemimpin dari berbagai agama datang secara khusus mendoakannya dengan keyakinan mereka masing-masing. Saya tak tahu dari mana saja datangnya orang-orang ini dan saya tidak merasa perlu tahu. Catatan hidup Ibu sudah menjawab semuanya. Dan saat beliau wafat, para pelayat terpaksa harus parkir mobil jauh dari wilayah parkir rumah sakit saking banyaknya. Begitu melimpah ruah, sampai-sampai orang-orang mengira bahwa yang meninggal adalah pejabat atau orang terkenal lainnya. Padahal beberapa tahun menjelang akhir hidupnya beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan di antara tak terhitung mobil tersebut, terselip juga truk-truk yang mengangkut orang-orang desa entah siapa, yang jelas bukan kerabat atau tetangga Bapak di kampung sana. Mereka rela berdiri berjejal-jejal di bak belakang truk terbuka, tak tahu dari mana datangnya, tak tahu dari mana dengar kabar kematian Ibu saya, mengingat tahun 1994 belum ada program telepon genggam masuk desa. Dan kiranya saya tidak perlu terheran-heran. Kebaikan serta nilai-nilai kemanusiaan Ibu saya selama hidup telah menjawab semua pertanyaan dengan sendirinya.

Ah, sekali lagi mata saya membasah merindukan Ibu, padahal beliau telah pergi begitu lama. Ibu saya pergi tanpa meninggalkan warisan yang berarti. Andai beliau mewariskan banyak harta benda sekalipun, bisa jadi sekarang sudah habis saya hambur-hamburkan. Tapi Ibu, dengan segala kekurangannya sebagai manusia, telah meninggalkan warisan nilai-nilai hidup dan kemanusiaan yang tak akan bisa ditukar oleh gunung emas tertinggi di manapun. Ibu meninggalkan warisan yang begitu besar bagi saya sebagai orang Indonesia, bahwa Pancasila sama sekali bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dan bahwa mengamalkan hal-hal baik dalam Pancasila akan membuat kita berguna bagi banyak orang, serta membuat nama kita dikenang selamanya. Sebab harimau mati meninggalkan belang, sedangkan manusia mati meninggalkan nama. Ibu saya mati meninggalkan nama, dan di balik nama itu ada jejak-jejak kebaikan untuk dikenang dan ditiru oleh semua yang pernah menerima atau setidaknya melihatnya. Di sini, di sana, dan di mana-mana. Saya pula yakin, ketika Bapak saya meninggalkan dunia suatu saat kelak, beliau akan mewariskan hal-hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Ibu. Semoga besok ketika mati, itu pula yang akan saya wariskan pada anak-anak saya: warisan kebaikan Indonesia yang digali dari landasan hidup kita sebagai manusia Indonesia, Pancasila. Entah mereka tetap tinggal di sini atau merantau di tanah seberang nun jauh di sana. Apakah anda, sebagai orang tua atau calon orang tua anak Indonesia, menginginkannya juga? Tuhan memberkati bibit Pancasila yang kita semaikan pada anak-anak Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia!

Rabu, 14 November 2012

Ada di Sini



Apa kabar, saudara? Ada baik? Syukurlah kalau ada. Baiklah, kali ini tanpa banyak cingcong saya akan bicara soal sebab musabab menghilangnya Pancasila. Mau tak mau saya musti menuding Alm. Presiden Soeharto sebagai aktor utamanya, walaupun sesungguhnya saya tak ingin membicarakan kekurangan orang yang sudah tiada. Namun tak ada pilihan lain, jadi beginilah kisahnya: 1. Bung Karno, Bung Hatta dan rekan-rekan merumuskan Pancasila dan meletakkannya sebagai dasar kita berbangsa. 2. Pasca merdeka suasana negeri masih koyak-moyak baik secara fisik maupun psikis, baik rakyat maupun Negara. Jadi konsentrasi bangsa adalah ke arah bangkitnya Negara dan rakyat dari dampak dan trauma pasca perang dan penjajahan. Urusan penanaman nilai-nilai Pancasila menjadi tidak fokus. 3. Singkat kata Bung Karno dikudeta, dan pada awal-awal pemerintahannya Pak Harto boleh dibilang punya kredibilitas dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat dan kebangsaan. Namun belakangan, terutama setelah segala konglomerasi itu masuk dalam jubah PMA (titik baliknya adalah ketika anak-anak Pak Harto beranjak dewasa), urusan jadi lain. 4. Dalam pada melanggengkan keperluan politik dan kekuasaan, Pak Harto menjadikan Pancasila sebagai alat. UU anti subversi dan tetek-bengek yang sangat represif itu semuanya didasarkan dari Pancasila (tentu saja diselewengkan kiri-kanan). 5. Hasilnya rakyat tertekan, dan taunya ini semua gara-gara Pancasila. 5. Rakyat jadi jeri terhadap Pancasila. Segala sesuatu yang berbau Pancasila selalu dikait-kaitkan dengan otoritarianisme Soeharto dan kenikmatan hidup para kroninya. Plus organisasi-organisasi kepemudaan yang pakai stempel Pancasila ini atau ini, yang padahal semua orang tahu adalah premanisme yang dilegalkan. 6. Era reformasi, semua yang berbau Soeharto dijauhi dengan rasa takut kalau tak bisa dibilang jijik. Tak ubahnya Pancasila. Singkat kata, Pancasila kena getahnya.

Itulah kenapa kemarin saya bilang Pancasila menghilang selama belakangan tahun ini, ditandai dengan politisi yang tambah tak tahu malu dan rakyat yang makin rusuh. Pula saya bilang tak tahu ke mana hilangnya Pancasila. Oke, sekarang saya ralat, ya, bahwa sebenarnya Pancasila itu ternyata tidak hilang-hilang amat, kok. Karena ternyata banyak dari tokoh yang kita kenal ternyata memiliki Pancasila dan menjalankannya dalam setiap aspek kehidupan mereka. Contohnya Gus Dur, Romo Mangunwijaya, Bubby Chen, Mak Tiwar berkaki pecah dengan kuku kaki pada jepat kebanggaan saya, dan banyak lagi. Dan setelah saya telaah, ternyata ada banyak Pancasilais dalam kehidupan sehari-hari saya, hanya saja saya nggak ngeh. Ada dua orang terdekat dalam kehidupan saya yang sangat Pancasilais. Dan mereka sangaaaat… terkenal, di….kalangan keluarga dan teman-teman terdekat. Hihihi…, ya mesthiiiii.... :). 

Yang pertama adalah bapak saya. Karena saya cenderung terobsesi pada apa yang tidak saya miliki, maka adalah hal wajar bila Bapak yang introvertlah yang lebih berperan sentral dalam kehidupan saya, ketimbang Ibu yang meletup-letup dan sama sekali nggak ada bedanya dengan saya itu. Bapak saya ini orangnya halus minta ampun. Beliau tak pernah memerintah orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri. Kalau ingin dibuatkan teh, bukannya berkata, “Tolong buatkan teh untuk Bapak,” beliau hanya bertanya, “Di dapur masih ada teh?”. Di sini beliau telah menerapkan sila ke dua butir ke lima, yakni mengembangkan sikap tidak semena-mena pada orang lain. Dan anak-anaknya langsung paham, lalu baku rampas untuk membuatkan. Waktu saya ceritakan hal itu pada mami mertua saya, beliau sambil senyum-senyum bilang, ”Kalau anak Manado ditanya seperti itu pasti cuma menjawab, “Ada.” Sudah sopan itu, yang lain mungkin malah bilang,”Papak lihat sendiri kwa di dapur.”” Hihihi… Dalam hal ini secara tak langsung Bapak saya juga telah mengajarkan kepekaan dalam diri kami anak-anaknya. Masuklah sila ke dua butir ke enam, sebab bukankah kepekaan termasuk nilai kemanusiaan? Beliau juga mengajarkan kami (serta memberi contoh) untuk bersikap baik pada semua orang tak pandang derajat serta latar belakang sosial, agama, suku bangsa, blablabla.

Maka tak heran beliau sama sekali tak mengernyitkan kening saat suami saya si pria Manado dengan penampilan rocker itu, datang ke rumah untuk pertama kali. Kiranya perlu saya ceritakan latar belakangnya, supaya pembaca tahu kontras antara budi bahasa dan pekerti Bapak dengan betapa ajaibnya laki-laki yang kepadanya saya kemudian ‘terjebak’ tersebut :). Antara saya dengan dia dulu hanya berkomunikasi jarak jauh lewat telpon (saya di Semarang dia kelilingan). Lalu dia ngajak pacaran dan saya tolak dengan alasan, ngapain? Buang waktu. Tak tahunya dia sudah merancang rencana sendiri, dan pas keluarga besarnya ada rencana datang ke Jakarta ia menantang saya: “Berani nggak aku kenalin ke Mami sebagai calon istri? Terus kita langsung tunangan atau kalau perlu nikah sekalian.” Saya kaget. Tapi lantaran tak mau ketahuan maka saya justru balik tantang: “Berani nggak datang ke Bapakku langsung minta aku jadi istri?”. Dia tidak telpon selama tiga hari hari. Ternyata dia cuma berpenampilan gahar tapi bermental seempuk tahu, batin saya waktu itu, lalu saya cuekin. Eh, tak tahunya tiga hari kemudian dia telpon dan bilang: “Bapakmu ada? Satu jam lagi aku sampai di Semarang. Mau minta kamu baik-baik ke Jakarta, kukenalkan dengan Mami dan keluarga besarku.” Saya langsung petakilan gila-gilaan :). Untung waktu itu hari Sabtu dan Bapak sedang di rumah. Waktu saya sampaikan proposal gemblung tersebut, Bapak terlihat syok tapi seperti tersihir dan hanya mengangguk linglung:). Sambil menunggu kedatangan si preman yang ternyata punya nyali tersebut, Bapak mengadakan ‘litsus’ tentang bibit-bebet-bobot dan apakah saya sudah menyelidiki semuanya baik-baik. Saya jawab, “Sudah, Bapak. Tapi keputusan di tangan Bapak. Kalau menurut terawangan Bapak tidak baik, ya tidak usah.” Perlu dicatat bahwa saya adalah anak Jawa yang percaya bahwa orang tua itu ‘ngerti sak durunge winarah’ atau bisa merasakan hal baik atau buruk yang belum terjadi. Maka di sini saya melakukan bagian saya dan sisanya saya percayakan pada mata batin Bapak sebagai orang tua.

Jadi demikianlah, dia datang satu jam kemudian dengan kostum celana belel sobek di beberapa bagian, kaus kutung, rambut gondrong sepunggung bekas gimbal yang mekar bagaikan bunga bangkai di taman (belum terhitung ancaman kutu, hihihi…) dan tangan dari atas sampai bawah full tato. Bapak menerima Si Kumuh dengan sangat baik, dan di akhir pertemuan pertama tersebut beliau berbisik pada saya, “Tidak masalah penampilannya seperti itu. Bapak bisa lihat dia dari keluarga baik-baik, hatinya baik, dan penyayang serta bertanggung jawab pada keluarga.” Malam itu juga saya langsung ‘digondol’ ke Jakarta untuk diperkenalkan pada keluarga besarnya (di sini tampak jelas betapa murahannya saya :)). Masuklah sila ke dua butir satu (mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME) dan dua (mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban azasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya) di sini. Kalau Bapak hanya semata orang Jawa feodal dan blablabla yang tak paham makna Pancasila, mana mungkin beliau bisa menerima semua ini?

Lebih lanjut, sebagai seorang muslim dengan istri Katholik dan tujuh putri (enam Kristen satu Islam), beliau sama sekali tak terobsesi untuk mengislamkan kami (padahal saya yakin, di lubuk hatinya yang paling dalam pastilah beliau ingin kami mengikuti ‘jejaknya’). Butir ke enam (mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing) dan ke tujuh (tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa kepada orang lain) sila pertama selama bertahun-tahun beliau amalkan dengan sempurna. Dialog lintas agama selalu beliau bangun di antara kami orang tua dan anak. Menghadiri ibadah keluarga emak saya (bahkan turut serta dalam kebaktian dan bukan sekedar pas makan-makan) bukan perkara luar biasa. Suatu hari ada kebaktian di rumah Pakdhe dan Bapak ikut-ikut menyanyi, kalau tak salah waktu itu lagunya ‘Allah Peduli’. Usai memuji Tuhan, adik saya berbisik, “Mbak May, pasti Bapak nyanyinya gini ya, “Awloh (lafaz ‘Allah’ untuk kaum muslim) mengerti, Awloh peduli….” Saya tersiksa menahan tawa. Lalu kami taruhan :). Sampai rumah kami tanyakan hal itu pada Bapak. Beliau sama sekali tak tersinggung, hanya cengar-cengir sambil berkata, “Bapak cuma mangap-mangap, wong tidak tahu lagunya.” Hehehe… Saya dan adik sayapun kecewa karena tak ada yang menang taruhan :).  Mungkin beliau tak sadar, tapi yang jelas beliau telah mengamalkan sila pertama butir ke tiga yakni mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan YME dan sila ke empat yaitu membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam menyelesaikan masalah antara anak-anaknya beliau bukan hanya memberi nasihat semata, namun juga memakai pendekatan lintas agama. Contohnya, suatu kali terjadilah perselisihan besar antara saya dan seorang kakak. Walaupun sama sekali tak ada tetangga atau orang lain yang tahu, menurut ukuran orang Jawa pertengkaran kami sudah sampai taraf memalukan. Setelah menegur kami berdua, beliau berdialog dengan kami secara terpisah dan memberi wejangan seperti ini kira-kira (dengan nada dan pilihan kata dalam Bahasa Jawa yang sangat halus, dan tak bisa diukur derajatnya dalam bahasa Indonesia), “Kalian ini kan punya junjungan yang sama. Apa menurut kalian Gusti Yesus bangga dengan kelakuan kalian saat ini? Apa ini contoh yang Beliau berikan? Kalau Gusti Yesus ada di sini, di depan Bapak yang muslim dan tidak pernah dicekoki kata kasih ini, pasti Beliau merasa sangat malu.” Seingat saya, belum pernah saya tertunduk begitu dalam dan lama, serta membisu bagai patung merasakan panas yang begitu hebat di wajah karena malu seperti saat itu. Orang lain mungkin menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan agama dan Junjungan kami, lalu memromosikan agamanya sendiri. Tapi Bapak saya tidak, karena ia memahami betul butir ke tujuh sila pertama Pancasila, yakni tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Bapak saya pula adalah personifikasi sila ketiga, yang kalau saya jabarkan pasti bakal makan waktu seharian untuk anda membacanya. Untuk sila ke empat, Bapak saya tahu betul membangun dialog dengan anak-anaknya, melibatkan kami sebagai partner yang setara dalam setiap pengambilan keputusan, mendengarkan masukan-masukan dari tiap-tiap anaknya dengan adil SESUAI HIRARKI kami masing-masing dalam keluarga. Beliau tak pernah bersikap bossy, dan menghormati kebebasan kami dalam berbicara dan menentukan pilihan. Di sinilah beliau membangun dan mencontohkan demokrasi yang sama sekali bukan demokrasi a la Amerika. Kami berhak mengeluarkan pendapat dan membuat pilihan, namun bukan berarti kami boleh menyinggung perasaan orang lain dan mengambil keputusan yang merugikan orang lain. Urusan pasangan hidup, Bapak punya demokrasi ‘Bibit-bebet-bobot’, yakni kami bebas memilih pasangan hidup dengan batasan tersebut di atas. Dan kami sama sekali tak keberatan. Apa jadinya kalau Bapak saya membolehkan kami memilih semau-maunya, tanpa melihat latar belakang keluarga calon pasangan kami (bibit), hal-hal baik dan buruk saja yang telah ia lakukan sepanjang hidup (track record/bebet) dan kualitas atau bobot (karakter, kepribadian, mental, semangat hidup, dan lain-lain) calon pasangan kami? Bisa jadi kami anak-anaknya akan menikahi buaya darat pertama yang berhasil mengelabui kami. Sila ke empat sempurna Bapak saya jalankan, dengan landasan kebangsaan pada butir tiga dan empat sila ke tiga Pancasila. Maka sayapun tumbuh besar dengan belajar dan menikmati indahnya demokrasi Indonesia, jenis demokrasi yang tak akan pernah bisa ditandingi Negara adi kuasa yang mengaku paling jago sekalipun dalam urusan demokrasi di dunia.

Nah, cukup sampai sila ke empat dulu, soalnya kalau diteruskan nanti kepanjangan. Lagi pula, untuk urusan sila ke lima Bapak bantuan sparing partnernya, yaitu istrinya yang mana juga emak saya. Maka saya akan menutupnya dengan kalimat: Pancasila ada di sini, di kehidupan saya, seperti yang telah Bapak saya turunkan kepada kami anak-anaknya. Jadi, sampai di sini dulu teman-temaaaan…Merdeka!!!


Jumat, 09 November 2012

Maka Tak Ada Pilihan Lain: Kembali ke Dasar



Memang tidak mudah membayangkan kondisi di Sulawesi Utara seperti saya sebut di posting sebelumnya. Kalau mau menghayati ya musti tinggal selama beberapa waktu di sana. Itupun tidak hanya semata nyangkul nyari duit, pulang istirahat, kalau ada waktu dugem atau cari hiburan lain, nyangkul lagi, istirahat lagi, dst. Musti banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan masyarakat sekitar, baik etnis asli atau etnis-etnis pendatang. Dan terutama membuka mata hati serta melihat semua dari perspektif positif. Atau boleh juga kalau datang ke Sulut dengan niatan mau bikin penelitian kualitatif, kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman dan disebarluaskan di sana atau di mana-mana. Tapi inipun ada resikonya, yang pertama adalah butuh waktu dan biaya. Resiko kedua (yang jauh lebih berbahaya), yakni kemungkinan besar si peneliti karena terlalu menghayati penelitian kualitatifnya jadi keenakan, terus ogah pulang. Hehehehe… Mungkin, lho, soalnya hidup di Sulut sini memang bak hidup di dunia utopia dambaan Karl Marx. Bila demikian halnya, lalu bagaimana kerukunan antar etnis bisa ditegakkan seantero Indonesia? Kalau memang seruan saya seperti pada posting sebelum ini terlalu ribet dalam pelaksanaannya, maka tak ada pilihan lain selain kembali ke dasar. Dasar apa? Dasar Negara kita Pancasila. Ya, dasar Negara kita Pancasila, bukan “Dasar lu gila!!!” (hehehe...makin lama saya makin garing, ya?). 

Klise? Terserah. Tapi memang benar, jadi saya tak punya pilihan lain selain mengangkat Pancasila ke permukaan. Lhah, memang selama ini Pancasila ke mana? Emmmm….terus terang saya tidak tahu, wong saya bukan Doraemon yang punya pintu ke mana saja. Namun kenapa Pancasila menghilang kira-kira saya tahu sebabnya, hanya saja saya baru akan mengupasnya di posting mendatang supaya yang ini tidak kepanjangan. Baiklah, saya mulai. Saya tidak tahu apakah saya yang terlalu lebay atau bagaimana, namun dengan segenap keluguan sekaligus rasa percaya diri, saya yakin bahwa ada dua perkara di sini:
1.      Semua permasalahan bangsa hanya bisa ditangkal dengan Pancasila.
2.      Cita-cita menjadikan Indonesia bangsa yang jaya hanya bisa dicapai bila segenap elemen bangsa dengan teguh dan penuh rasa Indonesia, mulai mendasari segenap aspek hidupnya dari Pancasila. 

Oke, sampai di sini saya dihadang resiko protes kaum agamis puritan yang biasanya punya dalih: Pancasila adalah berhala. Baiklah, untuk kaum yang satu ini saya akan ngeles dengan mencantumkan ini: ‘Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’. Terdengar familiar? Atau malah belum pernah dengar sama sekali? Hihihi… Itu tadi butir ke dua sila pertama Pancasila. Jadi mau dibilang berhala bagaimana, sedangkan yang tersirat di situ adalah kembali kepada masing-masing kitab? Baiklah, karena saya menulis kata ‘tersirat’ di sini, maka ada kemungkinan saya akan dihadang oleh mereka yang gemar bilang, “Maka tak mungkin Pancasila ditegakkan, karena sifatnya sangat multi tafsir.” Jadi sebagai prolog, ijinkan saya mengupasnya dengan menggunakan pendekatan logika pikir orang barat yang anti tafsir dan timur yang sarat tafsir. Namun pertama-tama, marilah kita semua berasumsi bahwa dikotomi ini bersifat umum, dus bukan berarti seratus persen.

Oke, langsung saja.
1.      Orang barat atau Indonesia berpikiran barat (secara umum) sulit untuk melihat sesuatu di luar warna hitam putih. Semua musti hitam atau putih. Warna lain membuat mereka bingung. Bagi orang barat 1+1 harus sama dengan dua. Aksen membuat mereka tersesat. Contohnya, sulit bagi mereka untuk memahami mengapa seorang gadis dan pemuda mau-maunya dijodohkan oleh orang tua mereka dengan seseorang yang tidak mereka cintai. Sulit bagi orang barat atau siapapun yang berpikiran barat untuk melihat, bahwa ada banyak jenis cinta di luar cinta eros yang punya pengaruh besar dalam sebuah relasi intim. Bagi mereka cinta adalah jika dua orang (entah beda jenis atau tidak) merasakan unsur kimia yang kuat, yang membuat dada bergetar, jantung menggelenyar, dan sebagainya. Unsur hormonal tersebutlah yang bagi mereka MUSTI menjadi satu-satunya pendorong bagi cinta. Sebaliknya, bagi orang Indonesia (secara umum) adalah bodoh memaksakan kehendak hidup bersama dengan orang yang ia cintai secara eros, jika itu berdampak pada menyakiti hati orang tua dan lain-lainnya. Mudah bagi orang Indonesia untuk berkata, “Orang tua tau yang terbaik untuk anaknya. Jadi pilihan mereka pastilah yang terbaik untukku.” Orang barat boleh berpikir sampai jidat mereka keriput, dan saya tidak akan heran kalau mereka berakhir dengan tetap tidak mengerti. Sekali lagi, karena hanya ada dua warna bagi mereka. Karena 1+1 sama dengan harus dua.

2.      Kecenderungan untuk melihat warna hanya hitam dan putih dan 1+1 harus = 2 punya dampak menutup ruang tafsir dan pemahaman. Ini pula menutup kesempatan bagi ruang pengasahan dan pertumbuhan nurani serta rasa. Tidak heran jika saat membuat hukum atau apapun, mereka sibuk dengan batasan kata. Kalau mau bicara ekonomi, musti ada kata ekonomi. Tidak heran pula ketika orang barat (atau timur berpikiran barat) jadi bingung ketika tidak ada kata ekonomi pada sila ke lima. Kata ‘usaha’ dan ‘kerja keras’ yang dengan SANGAT MUDAH dipahami oleh orang Indonesia sebagai bagian dari makna ekonomi secara umum dan khusus, membuat mereka setengah mati berpikir keras. Jadi saya bisa mengerti mengapa kata ‘hikmat’ yang muncul pada sila ke IV membuat mereka jauh lebih kebingungan. Bagaimana tidak, sedangkan kata ekonomi tidak muncul dalam sila ke V saja membuat mereka hilang arah, padahal itu begitu sederhana. Apalagi memaknai ‘hikmat’ yang begitu luas dan dalam sehingga membutuhkan hati dan nurani yang terasah betul untuk memahami, terlebih melaksanakannya? Hal serupa juga mereka alami ketika menemukan kata gotong royong, ke-Tuhanan yang Maha Esa, azas kekeluargaan dan sebagainya. Jika orang Indonesia hanya butuh beberapa lembar kertas untuk menuliskan UUD ’45 dan Pancasila dan itu sudah cukup untuk membuat paham, mereka mungkin butuh berjilid-jilid buku yang bisa jadi lebih banyak ketimbang ensiklopedia Britania Raya. Lha iya, wong tiap patah kata musti dijelaskan secara rinci dengan segala batasan dan contohnya dalam rangka keterbatasan ruang pikir mereka. Untunglah tak semua dari mereka seperti itu. Karena faktanya, para negarawan kelas internasional telah secara aklamatif menobatkan Pancasila sebagai Super Ideology. Dan justru di sinilah letak ironinya: butuh orang-orang sekaliber negarawan International bagi orang barat untuk memahami Pancasila, yang justru dengan demikian mudahnya dimengerti oleh rakyat Indonesia kelas jelata, paling tidak saya.  

Kepanjangan, ya, prolognya? Ya maaf :). Berangkat dari kalimat terakhir pada paragraf di atas, saya merasa sangat bersyukur dilahirkan menjadi orang Timur, Indonesia pula. Dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua, keluarga besar, guru-guru di sekolah, dan siapapun orang baik yang mau mengajari saya atau setidaknya kepada siapa saya pernah mencuri ilmu kehidupan, maka sama sekali tak sulit bagi saya untuk memahami Pancasila. Dan setelah prolog yang panjang sekali tadi, saya hendak kembali pada inti pembicaraan saya, bahwa satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk menegakkan persatuan Indonesia dengan tak terhitung etnis adalah Pancasila. Dan kalau anda menebak saya akan menggeber sila ke tiga persatuan Indonesia, maka anda salah total :). Pendekatan yang paling bagus untuk ini menurut saya justru sila ke dua. Ini, ya, butir-butirnya:
1.      Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan YME.
2.      Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dsb.
3.      Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4.      Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.      Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 

Coba, deh, tak peduli anda datang dari etnis manapun, entah yang terkenal suaranya seperti angin sepoi-sepoi saking halusnya atau yang bikin orang terkaget-kaget saking kerasnya, tak peduli anda dari etnis yang mengedepankan keterusterangan atau sebaliknya kesantunan sehingga setiap pesan musti dibungkus dengan kata-kata berbunga-bunga putar kiri putar kanan, akankah ada peristiwa baku bacok? Tak peduli dari mana dengan agama apa, kalau paham butir ke-4, manalah mungkin kita pelihara babi lalu dibiarkan berkeliaran di jalan sedangkan tetangga ada yang mengharamkan? Kalau paham butir ke-4 dan 5, manalah mungkin kita naik motor ugal-ugalan di kampung atau pasar dan menggeber knalpotnya bagaikan guntur? Jika kita paham itu semua, manalah mungkin bila kita melakukan kesalahan dan mendapat teguran, bukannya merasa bersalah dan meminta maaf justru balik menyerang, bahkan secara fisik? Dan berbagai hal yang berpotensi merugikan orang lain. 

Butir ke-4 ini juga bisa dijadikan penangkal untuk kesalah pahaman etnis. Misalnya, saya orang Jawa yang terbiasa dengan maksud tersirat dalam sebuah kalimat (bahkan kalau marahpun tidak secara langsung melainkan pakai bahasa sindiran), kalau tak paham benar butir ini akan dengan mudahnya mendakwa orang Minahasa yang terbuka sebagai ‘kasar dan tak kenal didikan’. Sebaliknya, orang Minahasa yang tak paham butir ini bisa pula dengan enteng menuduh orang Jawa ‘munafik dan tukang main tikam dari belakang’. Celaka, bukan? Padahal di Indonesia ini ada ratusan etnis dengan tata dan nilai hidup masing-masing (sebagai perbandingan silakan baca posting ‘Bersatu Tetapi Tetap Beda’). Saya suka frasa yang dipakai di sini: tenggang rasa dan tepa slira. Ini bukan sekedar bisa menerima tetangga kita orang Kristen yang beribadah pakai live musik kerasnya minta ampun rupa di kafe, lama pula. Atau semata menerima tetangga Muslim mengumandangkan adzan atau latihan shalawat Nabi dengan rebana pakai toa pas kita enak-enak tidur, dan sebagainya. Lebih dari itu, frasa ini mengandung kemauan untuk benar-benar mengerti, sungguh-sungguh memahami perbedaan. Dan yang lebih penting, bahwa kebutuhan tiap-tiap orang yang pastinya berbeda satu sama lain. Sampai di sini saya benar-benar tersentuh sekaligus bangga memiliki dasar berbangsa yang demikian indah seperti butir Pancasila yang satu ini. 

Jadi bila rasa ketimuran kita yang Indonesia memang terasah betul, kita tak perlu lagi sibuk bertanya-tanya: ukuran tenggang rasa dan tepa slira bagaimana? Tau dari mana sikap yang ini semena-mena dan sikap yang itu tidak? Blablabla, capek deh. Inilah landasan yang musti dipahami betul dalam urusan persatuan Indonesia, sebelum kita melangkah pada sila ke tiga. Dalam urusan menangkal pertikaian antar etnis, saya rasa butir yang paling tepat adalah yang pertama, yakni ‘mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan’. Ambil contoh, saya merasa identitas etnis saya didzolimi oleh seseorang dari etnis B. Bila saya tak ambil pusing dengan Indonesia, maka akan mudah bagi saya untuk pulang, mengumpulkan rekan dan handai taulan, lalu menyerbu dzolimin tersebut. Baku hantam, dzolimin yang kaget dan tak siap lalu kalah, apalagi saya main keroyokan. Lalu dia pulang, mengumpulkan sanak saudara lebih banyak lagi, dst, ujung-ujungnya belasan kepala ditebas dan ratusan orang kehilangan tempat tinggal. Belum terhitung trauma psikologis yang pastinya jauh lebih sulit dipulihkan ketimbang rumah yang tinggal puing. Belum lagi cemarnya nama bangsa, karena jaman sekarang apa sih yang nggak dijadikan berita, link, dan sebagainya? Yang terjadi di Lampung lima menit lalu bisa diketahui orang sejagad lima menit sesudahnya.  

Saya jadi ingat Bapak saya. Beliau orang Jawa yang sungguh Jawa, sedangkan saya…. terserah, deh :). Bagaimana menyebut diri Jawa kalau tidak sungkan ngakak di muka umum? Suatu hari Bapak saya menegur sikap buruk ini. Dengan cara sindiran seperti biasa, beliau bilang, “Teman-teman Maya yang banyak orang bule itu waktu pulang cerita ke keluarganya apa, ya?” Melihat saya cuma melongo dengan wajah bodoh karena tak paham sindirannya, Bapak meneruskan, “Mungkin mereka cerita, “Oh, ternyata orang Indonesia urakan-urakan.”” Rambatannya pelan, lho, saudara-saudara, rasa panas di pipi saya :). Jadilah saya insyaf, kalau ngakak ya di rumah saja pas nggak ada orang saja. Tapi lebih seringnya sih lupa. HAHAHAHAHAHA!!!!!! (Husss!!! Maaf lupa, di hadapan saya ada saudara:)). Jadi begitulah, Bapak saya ini gemar sekali menegur dengan bawa-bawa Indonesia untuk  banyak hal. Ujung-ujungnya nasionalisme dan cinta tanah air dan bangsa bisa jadi penangkal untuk melakukan hal-hal buruk. 

Jadi tak perlulah kita semua menjadi orator kawakan macam Bung Karno untuk menumbuhkan rasa tersebut, karena sebagai orang tua yang bahkan paling kalempun kita bisa menanamkannya pada anak-anak kita. Sederhana, ya? Kalau pengin naik level ya kita bisa membawa muatan ini dalam perkumpulan PKK, pengajian, arisan bapak-bapak, rapat kampung, dll. Mau lebih menantang lagi yang buat saja pertemuan khusus warga demi mengupas Pancasila dan aplikasinya. Sekalian mengembalikan fungsi balai desa, to? Bagus lagi kalau wilayah dengan ragam etnis tersebut melakukan kegiatan bersama antar kampung. Seperti Festival Empat Gunung di Merapi itu, lho. Saya bayangkan kalau kejadian itu ada di Lampung sono pasti keren sekali. Setahun sekali warga dan seniman alam tersebut bertemu dalam satu acara besar, kemudian keunggulan seni budaya tiap etnis ditumpahkan dalam satu wadah. Sosialisasi dilakukan jauh hari, dengan demikian dari awal sudah ada komunikasi intens antar warga dan pentolan-pentolannya. Semakin kenal semakin sayang, bukan? Lalu rembugan bareng, menuangkan ide, nyusun acara, cari dana, blablabla. Jadi tambah dekat dan memahami, kan? Pas hari H undang semua orang, mau pejabat kek, wartawan kek, turis, sanak saudara di lain kecamatan, para pedagang asongan terdekat di kota anda, terserah. Lalu bukannya bacok-bacokan, mereka semua bersatu dalam gerak dan isi kepala menampilkan yang terbaik dari etnis mereka. Indahnyaaaaaaa……

Anda yang tinggal di Lampung sana atau mana saja, ingin mencobanya? Maka, Tuhan memberkati rencana dan kerja anda!