Kali ini orang Minahasa atau
Manado benar-benar membuat saya patah hati. Meskipun hanya beberapa namun
rasanya tetap saja seperti dikhianati. Jadi ceritanya begini: sebagai orang
yang gaptek dan malas pula, maka satu-satunya jejaring sosial yang saya gunakan
adalah Face Book, karena boro-boro pakai Twitter dan sebagainya, sedangkan
YM-an dan skype saja ini hari bisa besok kembali lupa. Dan karena sejak
mengelola www.indonesiasaja.com
mendadak banyak orang yang tertarik mengajak saya berteman, maka sebagai
dampaknya banyak dari antara mereka yang menjebloskan saya ke grup ini atau
itu. Mau tak mau saya ikuti semuanya dengan tekun dan seringkali penuh
dedikasi, biasanya karena postingan yang menarik dan alasan selebihnya adalah
karena saya tak tau bagaimana cara keluar dari grup. Anda boleh tertawa, tapi
saya sama sekali tidak berdusta. Dari sekian grup ini yang paling banyak adalah
grup orang-orang Sulawesi Utara (mungkin karena saya sering
menggembar-gemborkan pesona Minahasa di web yang saya kelola).
Beberapa bulan lalu, di awal-awal
saya mengikuti sebuah grup kumpulan orang Minahasa, saya mengikuti sebuah
diskusi di mana saya melontarkan pendapat yang sama sekali melawan arus. Reaksi
anggota grup lain kontan saja heboh dan saya mendapat serangan dari kiri kanan,
yang mana sama sekali tidak saya pusingkan, karena berbeda pendapat toh biasa
saja dalam sebuah Negara demokratis, lagipula mereka juga menyerang saya dengan
kata-kata yang sopan. Jadi sejauh itu tak ada masalah, kendati perdebatan kian
sengit. Tiba-tiba munculah seseorang (dengan menyamarkan nama dan identitas
diri, yang sama sekali tidak saya hargai) bertanya: “Orang mana ngana,
Yuanita?”. Saya tidak segera membalas, karena terus terang tidak tahu maksudnya
apa. Apa hubungannya dengan topik yang sedang dibahas? batin saya sambil
menjawab komen-komen dari orang lain dan menganggap sepi pertanyaan aneh
tersebut. Dicuekin rupanya membuat orang tersebut jadi sebel, dan ia kembali
mengungkit soal ‘orang mana’. Bahkan lebih jauh ia mengolok-olok nama saya dan
blablabla. Karena tidak mau merendahkan harga diri dengan bersilat lidah a la kaum
patah pinsil alias tak makan sekolahan macam yang ia tawarkan, maka saya katakan
saya tidak sudi menanggapi omongan tak bermutu dan mendiskreditkan semacam itu,
dan saya tetap teguh dengan pendirian hingga akhirnya ia bosan sendiri. Kisah
berakhir begitu saja dan dengan segera saya melupakannya.
Tapi takdir membawa saya untuk
membawa kisah tersebut kembali ke permukaan ingatan. Sekali lagi dalam sebuah
diskusi saya mengajukan pendapat yang sungguh menentang arus utama, dan kali
ini bukan hanya seorang, namun beberapa mengajukan pertanyaan sama: “Orang mana
ngana, Yuanita?”. Itupun masih mending, karena ada pula yang begini, “Yuanita
ini pasti dari tanah seberang, blablaba,” dengan intensitas sinisme
primordialis kian berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah peserta diskusi.
Pilihan kata yang mereka ambil pun sama
sekali tidak pantas untuk dipergunakan dalam ranah publik, entah dalam ranah
nyata maupun maya. Saya protes keras. Saya tangguhkan topik diskusi semula dan
hanya fokus pada rasa kedaerahan yang sempit. Namun rupa-rupanya saya
menghadapi kepala-kepala yang sangat keras dan mata yang tidak mampu melihat
lebih jauh dari ujung hidungnya sendiri. Perdebatan berakhir nanggung.
Sudah usai? Belum. Kali ini saya mengamati sebuah postingan, di mana seorang anggota hendak menggelar acara budaya di Sulawesi Utara, yang mana merupakan tindakan yang sangat terpuji dan layak mendapat dukungan penuh dari pihak manapun. Namun insan Minahasa yang berbudi luhur karena sangat peduli dengan kelestarian budaya ini, pada akhirnya–sangat disayangkan- mencederai dirinya sendiri. Sebab ketika ia gagal menemui seorang yang memiliki kapasitas penting, ia berkata kira-kira, “Maklumlah kalau tak peduli, ia kan orang tanah seberang.” LHAH, APA HUBUNGANNYA???? Sedangkan menemui ketua RW saja perlu pakai janji, apalagi kepala instansi itu atau ini. Boleh saja langsung datang tanpa ada janji temu, tapi kalau di tempat tidak mendapati orang yang dicari ya jangan marah-marah. Apalagi etnis dibawa-bawa. Kenapa tidak sekalian saja bawa-bawa agama, almamater tempat ia menuntut ilmu, guru-gurunya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, golongan darahnya, kata-kata mutiara favoritnya, dan sebagainya?
Cukup sampai di sini? Belum sama
sekali, bahkan yang ini lebih parah lagi. Suatu hari saya membuat posting soal
superioritas tempe dan betapa pentingnya kita menghidangkan tempe di meja makan
sesering mungkin. Kalau ada di antara anda pembaca yang menebak adanya komentar,
“Tempe itu buatan orang Jawa, orang tanah seberang, jadi ngapainlah blablabla,”
maka berarti anda soulmate sayaJ.
Karena memang demikianlah yang terjadi, dan saya sama sekali tidak berdusta. Pertama,
seseorang mengatakan bahwa tanah Minahasa dikaruniai keragaman kuliner,
diantaranya tinutuan (bubur Manado) yang penuh gizi dan lezat. Saya sama sekali
tidak mempertentangkan hal ini, apalagi faktanya tiga hari saja tidak makan
tinutuan saya bakal sakruan (sakit karena rindu tinutuan)J. Saya adalah warga
Negara Indonesia yang sangat bangga dengan derajat keragaman kuliner kita yang
tak bisa ditandingi Negara manapun, dan saat mendapat kesempatan pesiar ke
suatu daerah saya sama sekali tidak sudi makan makanan Jawa atau negara lain
dan hanya mau makan makanan setempat, baik hidangan utama maupun kudapannya.
Namun kampanye mengenai tempe ini tentu adalah perkara yang sama sekali lain
dengan kekayaan kuliner lokal. Ada dua komentar yang membuat saya demikian
sedih sampai rasanya teriris-iris. Yang pertama demikian intinya: “Kenapa pula
kita mau dijajah oleh orang-orang dari tanah seberang? Kita makan dagangan
mereka, kita yang keluar duit, mereka jadi kaya, daerah mereka yang jadi maju,
sementara kita begini-begini saja.” (Dalam hal ini ada perkara yang meresahkan
banyak orang, termasuk saya, yakni penggunaan kedelai import. Saya akan
membahasnya dalam posting lain bila data yang saya perlukan sudah mencukupi). Komentar
di atas demikian ajaibnya sehingga saya saat ini sama sekali tak tahu harus
menuliskan apa.
Yang kedua tak kalah mengiris,
demikian kira-kira,”Makanan Minahasa enak dan tak kalah bergizi. Lalu kenapa
kalau tempe dipilih jadi makanan terbaik versi WHO? Terus gua harus bilang wow,
gitu?”. Saya menanggapinya demikian, kira-kira: ”Kenapa kita harus
mempermasalahkan siapa yang menciptakan tempe? Tak peduli Jawa atau manapun, bukankah mereka juga bagian dari
Indonesia? Apakah ketika Borobudur dimasukkan sebagai salah satu dari 7
keajaiban dunia, anda sekalian merasa bangga atau justru berkata, ”Ah, itu kan
buatan orang Jawa. Terus gua harus bilang wow, geto?””. Sampai di sini tak ada
yang menanggapi kalimat pedas saya. Dan syukurlah, karena saya benar-benar
telah murka. Amarah tidak akan begitu mengganggu perasaan seandainya saya tak
merasa sedih. Dan sayangnya justru perasaan itulah yang lebih menguasai diri
saya. Pertama, saya sangat mencintai Minahasa (atau Manado atau Sulawesi Utara,
terserahlah anda menyebutnya) dengan segala isinya. Jadi sangat menyakitkan
ketika saya berbeda pendapat kemudian etnis saya dibawa-bawa. Kedua, apakah
kita hanya punya hak untuk mencintai segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan
etnis kita? Apakah jika kita berbeda etnis maka kita tak berhak berbeda
pendapat? Apakah kita tak boleh memakan, menggunakan, mengonsumsi, atau apapun
yang merupakan kreasi etnis lain? Apakah kita harus menyediakan diri selama 1x24jamx365harixseumurhidup
untuk orang-orang dari etnis lain, jika tak ingin dikatai, “Maklumlah kalau
nggak peduli, toh dia dari tanah seberang.”? Apakah kita musti menyediakan diri
untuk dicemooh dan dihina karena etnis kita berbeda? Lalu apa bedanya itu semua
dengan mempersiapkan diri menjadi bulan-bulanan Roma Irama? Lhooo??? Salah:). Itu baru etnis,
karena agama juga sering dibawa-bawa oleh beberapa orang Minahasa sempit
pikiran ini.
Sesungguhnya, saya sempat
mengalami dilema ketika memikirkan isi posting kali ini. Di satu sisi saya sama
sekali tidak ingin membuka kekurangan teman-teman saya dari Minahasa (memang
tidak semua dan sejauh ini hanya beberapa gelintir), terlebih karena selama ini
saya mengenal mereka sebagai orang-orang yang sangat terbuka, ramah tamah, tak
memandang sekat dan sebagainya, seperti yang telah saya angkat dalam beberapa
artikel saya dalam web ini. Namun di sisi lain saya bisa mengendus adanya
gunung es di daratan Minahasa. Dan ini sangat berbahaya. Oleh sebab itu saya
menegarkan diri dan bertekad menurunkan tulisan ini, apapun resikonya. Bagi
mereka yang gemar membawa-bawa perbedaan etnis dan agama (orang manapun anda),
saya katakan: Anda boleh menuduh dan membenci saya sesukanya, dan saya sama
sekali tak akan ambil pusing. Bagi saya tak ada yang lebih penting ketimbang
mengungkapkan kebenaran, sekalipun itu menyakitkan bagi saya dan lainnya.
Dan kebenarannya adalah:
1. Kita
semua adalah manusia yang terhimpun di tanah dan air yang disebut Indonesia.
Dan Indonesia memiliki ribuan suku yang tersebar secara sporadis di tiap
jengkal tanah serta airnya. Indonesia pula adalah Negara yang memiliki ratusan
agama dan adat istiadat. Singkatnya, Indonesia adalah negeri dengan seribu
perbedaan yang tidak dimiliki Negara manapun di dunia ini. Lalu apa yang harus
kita jadikan benang merah sebagai pengikat? Tak lain tak bukan adalah rasa
Indonesia. Ketika menghadapi perbedaan, baiklah kita mengingat ke-Indonesiaan
kita.
2. Primordialisme
sesungguhnya bagaikan pedang bermata dua. Primordialisme yang bijak akan
membuat keragaman ini menjadi kekuatan. Sebagai contoh sederhana: kelebihan
etnis yang satu menutupi kekurangan etnis lainnya. Hasil alam daerah satu bisa
menutupi kekurangan alam wilayah lainnya. Dan sebagainya. Namun jika
primordialisme digunakan secara sempit, maka ujung-ujungnya hanyalah sentiment
negatif etnikal yang ujung-ujungnya membawa perpecahan. Jauhlah kiranya
perpecahan di negeri kita, milik anda dan saya! Setengah mati para pejuang kita
berkorban segala rupa dari harta sampai nyawa untuk memerdekakan dan menyatukan
Indonesia, sampai hatikah kita merusaknya dengan mencerai-beraikan diri
sendiri? Dan apalah artinya Indonesia tanpa anda dan saya, tanpa sekalian
rakyatnya? Apalah artinya rakyat jika tak saling bersatu mengisi kekurangan
satu sama lain dan justru saling tuding menghujat etnis yang lainnya?
3. Sebagai
bangsa dari sebuah Negara dengan tak terhitung etnis, sudah kewajiban kita
untuk mempromosikan atau setidaknya mendukung kreasi dari etnis lain, terlebih
jika dilihat dari konteks kebangsaan. Lepas dari urusan impor kedelai yang
menjengkelkan itu, marilah kita sedikit mengambil waktu untuk membuat gambaran:
di dunia ini ada jutaan keunggulan nabati natural atau olahan. Dan dari waktu
ke waktu WHO terus memperbaharui hasil nabati tersebut demi kemaslahatan umat manusia
di seluruh penjuru dunia. Sehingga tempelah yang dipilih di antara jutaan
tersebut mustinya menggetarkan sukma kita semua. Sehingga sebuah risalah sains
internasional mengatakan ‘Tempe is the most extraordinary gift Indonesia has
given to the world’ mustinya membuat jiwa kita gemetar karena bangga. Apakah
jadinya jika salah satu dari antara mereka yang menghargai karya spektakuler
nenek moyang kita tersebut beretniskan Minahasa dan kebetulan sempit cara
pandangnya? Sudah pasti ia akan menggagalkan promosi tersebut dengan
mengatakan, “Itu kan buatan orang Jawa. Jadi lo nggak perlu bilang wow, deh.”
Apa jadinya jika semua ilmuwan dan para pengambil kebijakan tersebut meributkan
kebangsaan dan sub etnis? Orang Amerika akan menjegal keunggulan orang Rusia,
orang Indonesia akan menjegal keunggulan produk Belanda, dan seterusnya, dan
seterusnya. Namun untunglah mereka orang-orang yang bijak dan luas wawasan dan
hanya memusatkan perhatian pada kebaikan umat manusia. Kita orang Indonesia
mustinya malu pada mereka, yang jauh lebih tahu menghargai karya orang
Indonesia ketimbang kita sendiri!!! (sumpe loh, saya sampai gemetar seakan kena
penyakit tremor ketika menuliskan kalimat terakhir di atas saking malu dan
geramnya).
4. Dan
ini poin yang menurut saya paling ‘menggigit’: Tanah Minahasa adalah jengkal
kecil Indonesia yang sangat terkenal karena kedamaian dan toleransinya, baik
toleransi atas keragaman etnis, ras, budaya, agama, dan lainnya. Dan untuk
urusan di atas Sulawesi Utaralah tolok ukur Indonesia. Banyak orang bilang,
kalau Manado buyar maka buyarlah seluruh Indonesia. Jadi, sekarang kita bisa
melihat gambarnya secara jelas, bukan? Kalau di wilayah yang menjadi standart
ukuran toleransi dan perdamaian saja masih ada primordialisme picik macam ini,
lalu apa kabar daerah-daerah lain di Indonesia, terutama yang selama ini
menyimpan bara pertikaian etnis, agama, dan sebagainya? Mungkin ada yang
berkomentar. “Ah, jangan lebay do e ngana, Yuanita. Ndhak semua orang Minahasa
seperti itu, kasian.” Tapi justru di situlah letak masalahnya! Dalam skema
fenomena gunung es, bukankah yang tampak di atas cuma ujung kecil yang tak ada
apa-apanya dibanding dengan yang tak tampak di bawah? Maka suka tak suka memang
kita semua musti berantas bahaya laten perpecahan ini sampai ke akar-akarnya.
Cara yang paling sederhana tentu dengan dialog. Kedua dengan kampanye. Ketiga
dengan pendidikan mental pada diri sendiri dan anak-anak, keponakan, cucu, dan
lain-lain. Saya bukan orang yang paling kreatif di dunia, jadi ide saya
mengenai pemberantasan bahaya laten di atas ya cuma tiga di atas itu tadi.
Selebihnya saya lemparkan pada anda sekalian. Bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh, kasiaaannnn….
Maka jelaslah
sudah, bahwa memelihara dan menjaga Indonesia terutama persatuan dan
kesatuannya bukanlah perkara yang mudah. Itu membutuhkan kerjasama dan dukungan
dari semua pihak, termasuk sekian ratus juta rakyatnya. Dan pintu masuk paling
utama dari hal ini adalah melepaskan semua sentimen negatif mengenai etnis,
agama, ras, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Merujuk pada poin
pertama di atas, yang perlu sekali kita utamakan adalah rasa ke-Indonesiaan
kita. Cita dan rasa Indonesia adalah jurus yang paling ampuh untuk melebur
semua perbedaan. Dan ketika semua perbedaan itu sudah lebur, maka yang tinggal
hanyalah semangat dan kerinduan untuk mencintai Indonesia. Untuk memberi yang
terbaik bagi Indonesia. Untuk menghargai karya-karya anak-anak bangsa
Indonesia. Untuk membuang jauh segala hal yang bisa meruntuhkan sendi-sendi
kekuatan bangsa Indonesia. Kiranya anda, saya, dan kita semua mau melakukannya
demi keutuhan bangsa dan Negara kita. Tuhan memberi hikmat pada anda dan saya,
Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan rakyat yang bijaksana! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).