Kamis, 27 September 2012

“Orang mana ngana, Yuanita?”


 Kali ini orang Minahasa atau Manado benar-benar membuat saya patah hati. Meskipun hanya beberapa namun rasanya tetap saja seperti dikhianati. Jadi ceritanya begini: sebagai orang yang gaptek dan malas pula, maka satu-satunya jejaring sosial yang saya gunakan adalah Face Book, karena boro-boro pakai Twitter dan sebagainya, sedangkan YM-an dan skype saja ini hari bisa besok kembali lupa. Dan karena sejak mengelola www.indonesiasaja.com mendadak banyak orang yang tertarik mengajak saya berteman, maka sebagai dampaknya banyak dari antara mereka yang menjebloskan saya ke grup ini atau itu. Mau tak mau saya ikuti semuanya dengan tekun dan seringkali penuh dedikasi, biasanya karena postingan yang menarik dan alasan selebihnya adalah karena saya tak tau bagaimana cara keluar dari grup. Anda boleh tertawa, tapi saya sama sekali tidak berdusta. Dari sekian grup ini yang paling banyak adalah grup orang-orang Sulawesi Utara (mungkin karena saya sering menggembar-gemborkan pesona Minahasa di web yang saya kelola).

Beberapa bulan lalu, di awal-awal saya mengikuti sebuah grup kumpulan orang Minahasa, saya mengikuti sebuah diskusi di mana saya melontarkan pendapat yang sama sekali melawan arus. Reaksi anggota grup lain kontan saja heboh dan saya mendapat serangan dari kiri kanan, yang mana sama sekali tidak saya pusingkan, karena berbeda pendapat toh biasa saja dalam sebuah Negara demokratis, lagipula mereka juga menyerang saya dengan kata-kata yang sopan. Jadi sejauh itu tak ada masalah, kendati perdebatan kian sengit. Tiba-tiba munculah seseorang (dengan menyamarkan nama dan identitas diri, yang sama sekali tidak saya hargai) bertanya: “Orang mana ngana, Yuanita?”. Saya tidak segera membalas, karena terus terang tidak tahu maksudnya apa. Apa hubungannya dengan topik yang sedang dibahas? batin saya sambil menjawab komen-komen dari orang lain dan menganggap sepi pertanyaan aneh tersebut. Dicuekin rupanya membuat orang tersebut jadi sebel, dan ia kembali mengungkit soal ‘orang mana’. Bahkan lebih jauh ia mengolok-olok nama saya dan blablabla. Karena tidak mau merendahkan harga diri dengan bersilat lidah a la kaum patah pinsil alias tak makan sekolahan macam yang ia tawarkan, maka saya katakan saya tidak sudi menanggapi omongan tak bermutu dan mendiskreditkan semacam itu, dan saya tetap teguh dengan pendirian hingga akhirnya ia bosan sendiri. Kisah berakhir begitu saja dan dengan segera saya melupakannya.

Tapi takdir membawa saya untuk membawa kisah tersebut kembali ke permukaan ingatan. Sekali lagi dalam sebuah diskusi saya mengajukan pendapat yang sungguh menentang arus utama, dan kali ini bukan hanya seorang, namun beberapa mengajukan pertanyaan sama: “Orang mana ngana, Yuanita?”. Itupun masih mending, karena ada pula yang begini, “Yuanita ini pasti dari tanah seberang, blablaba,” dengan intensitas sinisme primordialis kian berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah peserta diskusi.  Pilihan kata yang mereka ambil pun sama sekali tidak pantas untuk dipergunakan dalam ranah publik, entah dalam ranah nyata maupun maya. Saya protes keras. Saya tangguhkan topik diskusi semula dan hanya fokus pada rasa kedaerahan yang sempit. Namun rupa-rupanya saya menghadapi kepala-kepala yang sangat keras dan mata yang tidak mampu melihat lebih jauh dari ujung hidungnya sendiri. Perdebatan berakhir nanggung.

Sudah usai? Belum. Kali ini saya mengamati sebuah postingan, di mana seorang anggota hendak menggelar acara budaya di Sulawesi Utara, yang mana merupakan tindakan yang sangat terpuji dan layak mendapat dukungan penuh dari pihak manapun. Namun insan Minahasa yang berbudi luhur karena sangat peduli dengan kelestarian budaya ini, pada akhirnya–sangat disayangkan- mencederai dirinya sendiri. Sebab ketika ia gagal menemui seorang yang memiliki kapasitas penting, ia berkata kira-kira, “Maklumlah kalau tak peduli, ia kan orang tanah seberang.” LHAH, APA HUBUNGANNYA???? Sedangkan menemui ketua RW saja perlu pakai janji, apalagi kepala instansi itu atau ini. Boleh saja langsung datang tanpa ada janji temu, tapi kalau di tempat tidak mendapati orang yang dicari ya jangan marah-marah. Apalagi etnis dibawa-bawa. Kenapa tidak sekalian saja bawa-bawa agama, almamater tempat ia menuntut ilmu, guru-gurunya, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, golongan darahnya, kata-kata mutiara favoritnya, dan sebagainya?

Cukup sampai di sini? Belum sama sekali, bahkan yang ini lebih parah lagi. Suatu hari saya membuat posting soal superioritas tempe dan betapa pentingnya kita menghidangkan tempe di meja makan sesering mungkin. Kalau ada di antara anda pembaca yang menebak adanya komentar, “Tempe itu buatan orang Jawa, orang tanah seberang, jadi ngapainlah blablabla,” maka berarti anda soulmate sayaJ. Karena memang demikianlah yang terjadi, dan saya sama sekali tidak berdusta. Pertama, seseorang mengatakan bahwa tanah Minahasa dikaruniai keragaman kuliner, diantaranya tinutuan (bubur Manado) yang penuh gizi dan lezat. Saya sama sekali tidak mempertentangkan hal ini, apalagi faktanya tiga hari saja tidak makan tinutuan saya bakal sakruan (sakit karena rindu tinutuan)J. Saya adalah warga Negara Indonesia yang sangat bangga dengan derajat keragaman kuliner kita yang tak bisa ditandingi Negara manapun, dan saat mendapat kesempatan pesiar ke suatu daerah saya sama sekali tidak sudi makan makanan Jawa atau negara lain dan hanya mau makan makanan setempat, baik hidangan utama maupun kudapannya. Namun kampanye mengenai tempe ini tentu adalah perkara yang sama sekali lain dengan kekayaan kuliner lokal. Ada dua komentar yang membuat saya demikian sedih sampai rasanya teriris-iris. Yang pertama demikian intinya: “Kenapa pula kita mau dijajah oleh orang-orang dari tanah seberang? Kita makan dagangan mereka, kita yang keluar duit, mereka jadi kaya, daerah mereka yang jadi maju, sementara kita begini-begini saja.” (Dalam hal ini ada perkara yang meresahkan banyak orang, termasuk saya, yakni penggunaan kedelai import. Saya akan membahasnya dalam posting lain bila data yang saya perlukan sudah mencukupi). Komentar di atas demikian ajaibnya sehingga saya saat ini sama sekali tak tahu harus menuliskan apa.  

Yang kedua tak kalah mengiris, demikian kira-kira,”Makanan Minahasa enak dan tak kalah bergizi. Lalu kenapa kalau tempe dipilih jadi makanan terbaik versi WHO? Terus gua harus bilang wow, gitu?”. Saya menanggapinya demikian, kira-kira: ”Kenapa kita harus mempermasalahkan siapa yang menciptakan tempe? Tak peduli Jawa atau  manapun, bukankah mereka juga bagian dari Indonesia? Apakah ketika Borobudur dimasukkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia, anda sekalian merasa bangga atau justru berkata, ”Ah, itu kan buatan orang Jawa. Terus gua harus bilang wow, geto?””. Sampai di sini tak ada yang menanggapi kalimat pedas saya. Dan syukurlah, karena saya benar-benar telah murka. Amarah tidak akan begitu mengganggu perasaan seandainya saya tak merasa sedih. Dan sayangnya justru perasaan itulah yang lebih menguasai diri saya. Pertama, saya sangat mencintai Minahasa (atau Manado atau Sulawesi Utara, terserahlah anda menyebutnya) dengan segala isinya. Jadi sangat menyakitkan ketika saya berbeda pendapat kemudian etnis saya dibawa-bawa. Kedua, apakah kita hanya punya hak untuk mencintai segala sesuatu yang hanya berkaitan dengan etnis kita? Apakah jika kita berbeda etnis maka kita tak berhak berbeda pendapat? Apakah kita tak boleh memakan, menggunakan, mengonsumsi, atau apapun yang merupakan kreasi etnis lain? Apakah kita harus menyediakan diri selama 1x24jamx365harixseumurhidup untuk orang-orang dari etnis lain, jika tak ingin dikatai, “Maklumlah kalau nggak peduli, toh dia dari tanah seberang.”? Apakah kita musti menyediakan diri untuk dicemooh dan dihina karena etnis kita berbeda? Lalu apa bedanya itu semua dengan mempersiapkan diri menjadi bulan-bulanan Roma Irama? Lhooo??? Salah:). Itu baru etnis, karena agama juga sering dibawa-bawa oleh beberapa orang Minahasa sempit pikiran ini.

Sesungguhnya, saya sempat mengalami dilema ketika memikirkan isi posting kali ini. Di satu sisi saya sama sekali tidak ingin membuka kekurangan teman-teman saya dari Minahasa (memang tidak semua dan sejauh ini hanya beberapa gelintir), terlebih karena selama ini saya mengenal mereka sebagai orang-orang yang sangat terbuka, ramah tamah, tak memandang sekat dan sebagainya, seperti yang telah saya angkat dalam beberapa artikel saya dalam web ini. Namun di sisi lain saya bisa mengendus adanya gunung es di daratan Minahasa. Dan ini sangat berbahaya. Oleh sebab itu saya menegarkan diri dan bertekad menurunkan tulisan ini, apapun resikonya. Bagi mereka yang gemar membawa-bawa perbedaan etnis dan agama (orang manapun anda), saya katakan: Anda boleh menuduh dan membenci saya sesukanya, dan saya sama sekali tak akan ambil pusing. Bagi saya tak ada yang lebih penting ketimbang mengungkapkan kebenaran, sekalipun itu menyakitkan bagi saya dan lainnya.
Dan kebenarannya adalah:
1.      Kita semua adalah manusia yang terhimpun di tanah dan air yang disebut Indonesia. Dan Indonesia memiliki ribuan suku yang tersebar secara sporadis di tiap jengkal tanah serta airnya. Indonesia pula adalah Negara yang memiliki ratusan agama dan adat istiadat. Singkatnya, Indonesia adalah negeri dengan seribu perbedaan yang tidak dimiliki Negara manapun di dunia ini. Lalu apa yang harus kita jadikan benang merah sebagai pengikat? Tak lain tak bukan adalah rasa Indonesia. Ketika menghadapi perbedaan, baiklah kita mengingat ke-Indonesiaan kita.
2.      Primordialisme sesungguhnya bagaikan pedang bermata dua. Primordialisme yang bijak akan membuat keragaman ini menjadi kekuatan. Sebagai contoh sederhana: kelebihan etnis yang satu menutupi kekurangan etnis lainnya. Hasil alam daerah satu bisa menutupi kekurangan alam wilayah lainnya. Dan sebagainya. Namun jika primordialisme digunakan secara sempit, maka ujung-ujungnya hanyalah sentiment negatif etnikal yang ujung-ujungnya membawa perpecahan. Jauhlah kiranya perpecahan di negeri kita, milik anda dan saya! Setengah mati para pejuang kita berkorban segala rupa dari harta sampai nyawa untuk memerdekakan dan menyatukan Indonesia, sampai hatikah kita merusaknya dengan mencerai-beraikan diri sendiri? Dan apalah artinya Indonesia tanpa anda dan saya, tanpa sekalian rakyatnya? Apalah artinya rakyat jika tak saling bersatu mengisi kekurangan satu sama lain dan justru saling tuding menghujat etnis yang lainnya?
3.      Sebagai bangsa dari sebuah Negara dengan tak terhitung etnis, sudah kewajiban kita untuk mempromosikan atau setidaknya mendukung kreasi dari etnis lain, terlebih jika dilihat dari konteks kebangsaan. Lepas dari urusan impor kedelai yang menjengkelkan itu, marilah kita sedikit mengambil waktu untuk membuat gambaran: di dunia ini ada jutaan keunggulan nabati natural atau olahan. Dan dari waktu ke waktu WHO terus memperbaharui hasil nabati tersebut demi kemaslahatan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Sehingga tempelah yang dipilih di antara jutaan tersebut mustinya menggetarkan sukma kita semua. Sehingga sebuah risalah sains internasional mengatakan ‘Tempe is the most extraordinary gift Indonesia has given to the world’ mustinya membuat jiwa kita gemetar karena bangga. Apakah jadinya jika salah satu dari antara mereka yang menghargai karya spektakuler nenek moyang kita tersebut beretniskan Minahasa dan kebetulan sempit cara pandangnya? Sudah pasti ia akan menggagalkan promosi tersebut dengan mengatakan, “Itu kan buatan orang Jawa. Jadi lo nggak perlu bilang wow, deh.” Apa jadinya jika semua ilmuwan dan para pengambil kebijakan tersebut meributkan kebangsaan dan sub etnis? Orang Amerika akan menjegal keunggulan orang Rusia, orang Indonesia akan menjegal keunggulan produk Belanda, dan seterusnya, dan seterusnya. Namun untunglah mereka orang-orang yang bijak dan luas wawasan dan hanya memusatkan perhatian pada kebaikan umat manusia. Kita orang Indonesia mustinya malu pada mereka, yang jauh lebih tahu menghargai karya orang Indonesia ketimbang kita sendiri!!! (sumpe loh, saya sampai gemetar seakan kena penyakit tremor ketika menuliskan kalimat terakhir di atas saking malu dan geramnya).
4.      Dan ini poin yang menurut saya paling ‘menggigit’: Tanah Minahasa adalah jengkal kecil Indonesia yang sangat terkenal karena kedamaian dan toleransinya, baik toleransi atas keragaman etnis, ras, budaya, agama, dan lainnya. Dan untuk urusan di atas Sulawesi Utaralah tolok ukur Indonesia. Banyak orang bilang, kalau Manado buyar maka buyarlah seluruh Indonesia. Jadi, sekarang kita bisa melihat gambarnya secara jelas, bukan? Kalau di wilayah yang menjadi standart ukuran toleransi dan perdamaian saja masih ada primordialisme picik macam ini, lalu apa kabar daerah-daerah lain di Indonesia, terutama yang selama ini menyimpan bara pertikaian etnis, agama, dan sebagainya? Mungkin ada yang berkomentar. “Ah, jangan lebay do e ngana, Yuanita. Ndhak semua orang Minahasa seperti itu, kasian.” Tapi justru di situlah letak masalahnya! Dalam skema fenomena gunung es, bukankah yang tampak di atas cuma ujung kecil yang tak ada apa-apanya dibanding dengan yang tak tampak di bawah? Maka suka tak suka memang kita semua musti berantas bahaya laten perpecahan ini sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling sederhana tentu dengan dialog. Kedua dengan kampanye. Ketiga dengan pendidikan mental pada diri sendiri dan anak-anak, keponakan, cucu, dan lain-lain. Saya bukan orang yang paling kreatif di dunia, jadi ide saya mengenai pemberantasan bahaya laten di atas ya cuma tiga di atas itu tadi. Selebihnya saya lemparkan pada anda sekalian. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, kasiaaannnn….

Maka jelaslah sudah, bahwa memelihara dan menjaga Indonesia terutama persatuan dan kesatuannya bukanlah perkara yang mudah. Itu membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, termasuk sekian ratus juta rakyatnya. Dan pintu masuk paling utama dari hal ini adalah melepaskan semua sentimen negatif mengenai etnis, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Merujuk pada poin pertama di atas, yang perlu sekali kita utamakan adalah rasa ke-Indonesiaan kita. Cita dan rasa Indonesia adalah jurus yang paling ampuh untuk melebur semua perbedaan. Dan ketika semua perbedaan itu sudah lebur, maka yang tinggal hanyalah semangat dan kerinduan untuk mencintai Indonesia. Untuk memberi yang terbaik bagi Indonesia. Untuk menghargai karya-karya anak-anak bangsa Indonesia. Untuk membuang jauh segala hal yang bisa meruntuhkan sendi-sendi kekuatan bangsa Indonesia. Kiranya anda, saya, dan kita semua mau melakukannya demi keutuhan bangsa dan Negara kita. Tuhan memberi hikmat pada anda dan saya, Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan rakyat yang bijaksana! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Kamis, 06 September 2012

KAMSE DAN UPAY




Posting ini harusnya jadi bagian ke 2 ‘reportase’ dari bangsal D RS WOlter Monginsidi, Manado, setelah posting berjudul ‘Kopral Jono’ yang kemudian terputus gara-gara saya keasyikan ngoceh soal prajurit:). Jadi, baiklah, kembali ke reportase.

Sebetulnya, pada pagi hari kedua saya dapat kabar bahwa sudah ada kamar private kosong lengkap dengan tivi, ac, kamar mandi kering, kasur yang ada remotenya, seperangkat sofa serta balkon segala, dan blablabla. Dalam hati saya bersorak girang. Saking girangnya, saya jadi bego dan lupa betapa tidak kooperatifnya Kinasih sebagai pasien, di mana kemunculan seorang perawat di ujung pintu nun di seberang sanapun bisa membuatnya histeris sampai berdarah-darah. Girang sekaligus khawatir kamar keburu diserobot orang lain, saya terburu-buru mengangkatnya (barang-barang urusan nanti). Walhasil Kinasihpun menyemburkan darah dari mulutnya, takut disuntik atau apa, terlebih karena saya sendiripun memang pecicilan. Jadilah kami tetap terpuruk di tempat semula, sementara saya tak henti mengutuki diri sendiri. Namun pada pertengahan hari ke-4 kabar gembira kembali berhembus dan kali ini saya lebih pintar ketimbang 2 hari sebelumnya. Saya bujuk si kecil yang kondisinya sangat mengenaskan tersebut dengan nada semanis madu. Saya bahkan membesar-besarkan fasilitas kamar tersebut dengan gaya bombastis yang bakal membuat salesman kelas wahid manapun merasa rendah diri. Kinasih berbinar-binar, karena ia memang sangat merindukan kamar yang tenang dan sejuk. Tapi saat saya mulai berbenah, mendadak ia bertanya, “Teman-temanku gimana, Mak? Ikut?”. Saya menjawab lugu tanpa prasangka, “Tidak, dong. Kan kamarnya nanti cuma buat Adek Kinasih dan Mamak. Dan Papak kalau sudah pulang kerja.” Tanpa diduga ia menjerit sekuat paru-parunya, “NGGAK MAUUUU!!!!! AKU MAU SAMA TEMAN-TEMANKUUU!!!!”. Saya terperanjat dan kelimpungan. Setelah pulih dari syok, saya baru sadar bahwa kali ini benar-benar pupuslah harapan terakhir untuk merenda hari yang jauh lebih baik di rumah sakit ini. Tapi mengapa pula Kinasih sampai menolak sesuatu yang sangat dirindukannya, dan justru lebih memilih bersama teman-temannya di kamar panas dan gaduh dengan aroma campur aduk tersebut? Kisah-kisah di bawah ini akan menjawab misteri di atas.

Pertama-tama, saya akan bercerita soal para perawat. Anda pernah mendengar kisah-kisah horor mengenai pelayanan di kamar kelas bangsal? Saya sering, terutama waktu tinggal di Jawa. Dan tak satupun dari kisah-kisah seram tersebut yang tak membuat bulu kuduk saya meremang. Tapi sekarang saya hendak menceritakan para perawat di RS Tentara Manado yang akan membuat persepsi anda tentang bangsal berubah selamanya. Mereka semua sabar, ramah, telaten, murah senyum, dan saya paling suka melihat bagaimana mereka membujuk anak-anak balita yang rewel, dengan cara yang sangat khas Manado. Karena Kinasih juara memberontak, maka biasanya ia ditangani sedikitnya 3 perawat. Namun mereka tetap tenang dalam usaha mencobloskan jarum yang derajat kesulitannya tentu sangat sulit diukur mengingat betapa brutalnya putri saya, sambil salah seorang berkata dengan nada sangat sungguh-sungguh, “Oh, awas kakak, e! Adek ada sadap bastrik kakak cucu deng jarum! Kita mau bage pa kakak, e! Kong ta mo isi di karung, kong ta buang akang jo pa kakak di kuala, ne!” (Awas kakak, ya! Adek lagi enak-enak setrika ditusuk pakai jarum. Kupukul kakak, lalu kumasukkan ke karung kemudian kubuang di sungai!). Lalu yang lain dengan cepat menyahut secara sangat natural, “Enggak, kakak sayang kok sama adek. Ini kan sedang menyembuhkan, supaya adek bisa bermain lagi, ya kan, kakak?”, pada kakak yang terancam digebuki, dimasukkan ke karung untuk akhirnya dibuang ke sungai tersebut. Sementara itu yang bersangkutan telah menunaikan tugas menyedot darah dengan gemilang. Puja-puji bernada sayangpun berhamburan untuk Kinasih, yang menatap dendam dan penuh sakit hati pada kakak perawat martir tersebut.

Bukan cuma itu, bahkan ketika suatu hari Kinasih merengek minta dibelikan buku, mereka dengan ramah menawarkan diri untuk menjaganya. Jadilah saya bebas keluyuran di toko buku, bahkan sempat singgah makan bubur manado dan membawa pulang es kacang merah buat mereka. Ketika pulang saya dapati Kinasih hanya menoleh sekilas pada saya, karena ia sedang asyik mewarnai gambar bersama para perawat dan kerumunan pasien lain yang sudah boleh jalan-jalan. Mereka semua tampak ceria, terlebih karena berhasil membuat mainan berserakan di mana-mana. Kiranya tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa mereka semua bersikap seakan-akan tengah ditempatkan di ruang VVIP. Mereka benar-benar membuat para perawat di kelas bangsal RS-RS pemerintah di pulau Jawa terdengar seperti penjahat kemanusiaan, dan saya sama sekali tak bisa menyalahkan mereka. 

Selain para perawat, masih ada para orangtua pasien yang saling memperhatikan satu sama lain. Mengecek kondisi infus anak-anak lain yang orangtuanya sedang tidur, memanggilkan perawat jika ada apa-apa tanpa membangunkan si orangtua, menjaga anak lain saat orang tuanya butuh keluar atau apa, dan sebagainya. Dan mereka terbiasa spontan membujuk anak-anak yang tak mau minum obat dan memuji-muji mereka yang pintar. Pula mengajak anak-anak tersebut mengobrol atau apapun untuk membuat mereka senang. Contohnya suatu kali Kinasih mendapat set setrikaan dari mamak tua alias budhe-nya. Lalu ia pun jadi sibuk dengan ‘bisnis laundry’ dadakan. Bahkan papaknya dapat ‘job’ membuat tali jemuran di atas boxnya. Jadilah baju-baju centang-perenang di tali jemuran dan berserakan di box, sementara Kinasih sibuk menyelesaikan ‘order’ dengan tubuh lemah dan selang infus bergelantungan. Para ortu spontan dan kompak memberinya order seakan ia pengusaha betulan, dan menghamburkan pujian atas semangat tinggi dan ‘hasil kerjanya yang memuaskan’. 

Tapi untuk anak-anak yang lebih besar dan masih bertingkah mereka punya pendekatan lain. Ada pasien umur sekitar enam tahun yang begitu sulit minum obat dan rupanya takut pada polisi. Jadilah tiap kali acara minum obat, semua orang sibuk memanggil polisi imajiner untuk membuatnya gentar. Satu kali saat jam besuk datanglah seorang tentara lengkap dengan seragam dorengnya, dan salah seorang ortu mengancam anak malang ini sekeras halilintar, “He, polisi!!! Tangkap dia!!!”. Sudah tau tentara nekad dibilang polisiJ. Ada lagi pasien yang takut pada semua pria berseragam. Maka tiap kali dia berulah, satu zaal serentak memanggil aparat dari tiap pasukan. “He komandan! He polisi! He jendral! He tentara! He CPM!” dan sebagainya. Saya berteriak dari sudut, “Kurang Kopassus deng Pasukan Garuda!!!” (maksudnya cuma Kopassus dan Pasukan Garuda yang belum disebut). Semua cekikikan, termasuk ortu si pasien korban bullying yang saat itu masih melolong-lolong pilu. 

Namun di antara semua keceriaan yang heboh tersebut, tak ada satupun yang bisa mengalahkan kegemparan yang ditimbulkan oleh duet remaja tanggung yang datang belakangan. Jose, si pasien, baru masuk SMP, datang karena diare parah. Ryan, sepupu yang bertugas menjaganya baru naik kelas III SMP. Orang tua anak-anak tampan ini masing-masing bertugas di Nabire dan satunya mana, lupa. Di Manado mereka dititipkan pada Mak Tua yang mereka panggil Mami, seorang wanita paruh baya bersuamikan tentara berbadan tinggi besar yang mereka panggil Papi. Jose dan Ryan ini sangat cerewet dan suka mengolok-olok satu sama lain. Mereka juga sangat ribut hingga sempat menimbulkan kecurigaan dalam benak kami: sungguhkan Jose sakit?. Mereka paling senang bilang gini, “Ah, ngana terlalu kamse!” “Kamseupay betul ngana ini dia do e.” Yang begini bisa terdengar dua kali dalam semenit, hingga tiba-tiba salah satu ortu memanggil Ryan, “Hey, Kamse!”. Semenjak itu resmilah Ryan menjadi Kamse dan Jose Upay-nya.

Kehebohan pertama terjadi ketiba tiba saat Upay minum obat, yang ternyata merupakan seni yang sama sekali tak dikuasainya. Adegannya luar biasa lucu, dan sementara kami para penghuni dan pengunjung zaal D terpingkal-pingkal oleh lawakan gratis paling natural sedunia tersebut, Papi sibuk memaki-maki Upay dengan suaranya yang sekeras letusan gunung Lokon, sementara Mami membuat keadaan kian buruk bagi Upay dengan dampratannya yang tak kalah nyaring. “Dorong dengan air!” gelegar Papi berulang-ulang. Tapi tiap kali Papi membuka paksa rahang Upay, obat tersebut masih nempel di lidah. “Ngana pe bodok! (Goblok kamu!),” umpat Papi sambil menjulek kepala Upay kuat-kuat, memancing kembali gemuruhnya tawa. Setelah gelas atau bahkan botol yang kesekian, akhirnya Papi tak lagi menemukan obat di lidah Upay. Semua bersorak girang dan bertepuk tangan, sampai tiba-tiba Kamse memekik, “He, napa dang di atas!”. Ternyata obat tersebut menempel di langit-langit mulut, yang kembali memicu pecahnya tawa. Kali ini Upay merah padam karena malu dan kembung. “Coba pisang!” seru salah seorang, dan pisang berdatangan dari berbagai penjuru. Beberapa pisang kandas, dan obat masih bertahan di tempat semula. Si Papi nyaris meledak karena frustrasi. Saya mengusulkan agar diletakkan di pangkal lidah supaya lebih mudah. Tapi Papi membalas dengan ketus, ”Oh, nggak tau sudah berapa kali. Tapi si pandir ini memang benar-benar bodoh! Ini coba lihat,” sambil praktek dan membuat Upay tampak seperti anak yang tak pernah diharapkan kehadirannya. Maka ketika obat tersebut benar-benar berhasil melewati kerongkongan Upay dengan selamat sentosa, kami sungguh-sungguh bersorak-sorak bergembira bergembira semua. Upay cengengesan saat menerima uluran tangan yang tulus dari banyak simpatisan.

Puas mempermalukan keponakan tersayang, Mami-Papi pulang begitu saja. Kamse dan Upay menghabiskan waktu dengan berkeliaran di kamar, mengobrol dengan semua orang atau bermain-main dengan pasien-pasien cilik. Bosan, mereka keluyuran di luar (beberapa kali petugas medis harus kelimpungan mencari dan menyeret mereka kembali ke kamar). Malamnya, si Mami kembali datang dengan kalimat pembuka yang tentu saja berupa omelan karena Upay belum juga tidur (sebetulnya Upay tak bisa terlalu disalahkan, mengingat Kamse sama sekali tak bisa dipercaya sebagai penjaga dan justru lebih sering memprovokasi Upay untuk berbuat yang tidak-tidak). Upay ngeyel sekuat tenaga. Mami akhirnya emosi dan membentak menyuruhnya diam. “Badiang jo ngana! Pake jo tu pampers (maksudnya diaper)!”. Langit-langit kamar rasanya hendak runtuh dan kami pasti dapat medali emas di kejuaraan Bangsal Ceria. Tak terkira betapa lama dan kejinya kami mengejek Upay, sementara Mami memaksanya memakai diaper tanpa hasil. Satu cemoohan hanya memancing cemoohan lain yang lebih menjatuhkan mental dan seterusnya, sementara Upay pura-pura tidur dan akhirnya ketiduran betul. Sebagai pukulan terakhir sebelum Upay benar-benar lelap, Kamse dengan gaya dramatis bahkan nyaris terkesan slow motion, mengeluarkan verlaak plastik dari lemari, dan dengan nada tenang yang sangat licik berkata, “Biar saja Mami, kan masih ada verlaak.” Tak dinyana oleh Kamse, dengan nada jauh lebih licik yang hanya bisa diperoleh lewat pengalaman, Mami membalas, “Kamu saja yang pakai. Siapa tahu ngompol lagi, kan baru beberapa bulan berhenti.” Kegemparan yang meledak setelah itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, dan hanya bisa ditandingi keesokan harinya, ketika Upay hendak diambil darahnya.

Fakta bahwa Upay masih pakai diaper adalah topik yang bagaikan theme song mengiringi adegan penyedotan darahnya. Semua orang –pasien yang sudah boleh jalan-jalan, para ortu, dan pengunjung- mengerumuni kasurnya begitu rapat sambil melontarkan segala ledekan. Tak ada satu tenaga medispun yang menegur tingkah polah mereka dan sebaliknya tampak turut menikmati betapa Upay dijadikan bahan bulan-bulanan massa. Dari sudut saya memurukkan diri (saya tidak cukup beruntung karena Kinasih tak mau saya tinggal untuk menonton Upay) saya turut berseru-seru meledek sambil membayangkan ekspresi memelas Upay di bawah tatapan belasan pasang mata kejam tak punya hati nurani. Seribu satu ledekan berlompatan dari tiap mulut, tapi gemuruh tawa paling dahsyat dihasilkan oleh yang satu ini, “He, co ass, kenapa ambil darah dari tangan? Sekalian dari penis (maaf) dan ‘telurnya’ (sekali lagi maaf), supaya tidak ngompol lagi.” Dan catat bahwa kalimat di atas diucapkan dalam dialeg Menado yang meningkatkan derajat kelucuannya hingga sekian kali lipat. Kami –termasuk para co ass dan perawat- terpingkal-pingkal tak terkendali, dan ibu cuek yang menyerukan kalimat orisinil tadi tampak sangat bangga dengan pencapaiannya. 

Tapi nampaknya Upay tak perlu menanggung derita itu seorang diri. Masih ada Kamse yang –tanpa alas an jelas- dibongkar-bongkar aibnya oleh si Mami dan Papi. Misalnya, saat Kamse sedang sibuk berceloteh menghibur pasien-pasien cilik, Mami berbisik-bisik menebar gossip bahwa baru beberapa waktu terakhir ini Kamse berhenti main Barbie-barbie-an lengkap dengan set baju dan alat make up serta perlengkapan dapur. Kamse baru berhenti ‘jadi banci’ ketika ayahnya datang menengok dengan geram dan nyaris menghajarnya betul-betul dengan kayu. “Tapi, ssst, jangan bilang siapa-siapa, ya, kasihan Kamse nanti malu,” bisik Mami sama sekali tidak bersungguh-sungguh, karena ia bergosip di tengah kerumunan sedikitnya 3 ibu-ibu yang jelas sama sekali tak bisa dipercaya. Hanya perlu sekitar 5 menit untuk membuat berita ini tersebar sampai ke ruang perawat dan dokter.

Ini semua tentu melawan teori pendidikan berbasis gender yang mengatakan bahwa tiap anak berhak memilih mainan apapun tanpa dibatasi sekat seks. Dan betapa perawat satu mengancam memukuli perawat lain yang menyuntik seorang anak akan menuai komentar kritis pakar pendidikan anak, “Itu akan mengajarkan seorang anak untuk menyalahkan pihak lain. Seperti bila anak jatuh karena tidak hati-hati lalu kita memarahi dan memukul lantainya.” Bahwa semua aparat keamanan dan abdi Negara harus dipanggil supaya anak mau minum obat juga akan, “Membuat anak melakukan hal tersebut di bawah tekanan dan bukan dari inisiatifnya sendiri, yang selain berpengaruh bagi kemandiriannya juga akan membentuknya menjadi penakut.” Lalu betapa Upay diolok-olok dan dijadikan bulan-bulanan oleh semua orang dengan pemicu justru Mami-Papinya sendiri, serta bagaimana ia dimaki-maki bodok (bodoh), biongo (pandir), bogo-bogo (tolol), dan sebagainya, pasti akan, “Membuatnya rendah diri dan tumbuh menjadi jiwa yang kerdil.” Kalau versi orang Kristen malah lebih canggih, “Menciptakan akar kepahitan yang akan terus mengganggu hidupnya, bahkan membuat mereka membenci orang tua dan baru bisa dihilangkan oleh pelepasan roh.”  

Tapi orang tua-orang tua yang buta psikologi anak tersebut hanyalah orang-orang dewasa yang ketika kecil juga menerima perlakuan seperti itu. Diledek, ditakut-takuti, dihajar, diolok-olok, dan sebagainya, dan mereka tumbuh menjadi manusia dewasa yang periang sekaligus berhati lembut, gemar bercerita serta bercanda, mengulurkan tangan, tangkas, dan jauh dari karakter yang kerdil, penakut, pembenci orang tua, dan sebagainya. Mereka sama sekali tak ambil pusing dengan segala ‘kekejian psikologis’ tersebut saat tumbuh dewasa, dan yang meributkan hal ini paling-paling cuma para psikolog yang teori mereka biasanya sangat barat dan jauh dari kultur asli orang Indonesia dalam membesarkan anak-anak. 

Saya berani jamin Kamse dan Upay tidak akan tumbuh dewasa menjadi seperti apa yang ditakutkan para psikolog yang kebanyakan gaul sama turis itu. Mereka cuma anak-anak Minahasa yang dirawat dan diperlakukan dengan cara orang tua Minahasa. Sama halnya dengan orang tua, mami papi, oma opa atau buyut-buyut mereka, Kamse dan Upay paling banter hanya akan menjadi seperti orang tua mereka –dan umumnya orang dewasa di Minahasa- yang riang ria, dan punya kemampuan luar biasa untuk mengubah duka menjadi suka. Mereka memandang enteng hal-hal yang oleh orang-orang tertentu dianggap ‘penyiksaan anak’ karena mereka mengimbanginya dengan cinta dan hati yang lembut serta terbuka. Dan harap diperhatikan bahwa bisa dibilang bukan orang Minahasa kalau ia tak menyukai anak kecil. Orang-orang Minahasa sangat toleran terhadap kelakuan bengal dan keributan anak-anak, tak peduli ia adalah preman tukang mabuk sekalipun. Saya pernah dengar, hanya orang-orang tulus yang bisa menerima kehadiran anak kecil dengan hati senang. 

Para psikolog boleh mengunyah teori-teori barat sebanyak yang mereka mau dan mengecam apa yang tidak sesuai dengan ‘standart barat’ yang mereka dewa-dewakan, tapi saya pikir orang Minahasa telah berbuat hal yang bijaksana dengan tidak memusingkan omongan pintar mereka, dan tetap berakar pada apa yang telah diwariskan nenek moyang mereka berbilang abad. Cara-cara tradisional yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman dan dalam banyak hal dituding mengoyak hak asasi anak-anak. Saya bersyukur para orang tua Minahasa kebanyakan tak peduli apa kata ‘orang-orang pintar’ tersebut dan tetap keras kepala membesarkan anak dengan cara yang mereka tahu, yakni cara Minahasa. Cara yang berhasil membuat wilayah kecil ini menghasilkan manusia-manusia dewasa yang murah hati, menggemari anak-anak, periang, gemar membesar-besarkan hal-hal yang menyenangkan, dan pandai membuat kecil masalah. Orang bisa saja jadi miskin dan tidak merasa  miskin sejauh ia tinggal di tengah orang-orang Minahasa yang dibesarkan dengan cara-cara kuno yang ‘melanggar hak-hak anak’ tersebut di atas. 

Betapa bersyukurnya saya tinggal di tanah ini, yang telah menghasilkan orang-orang yang berhasil membuat Kinasih menolak mentah-mentah kamar yang nyaman, tenang, dan sejuk, dan memilih hal yang jauh lebih penting ketimbang materi: hati yang  baik dan riang ria, yang terbuka dan punya kecenderungan untuk menolong dan menghibur orang lain, yang mampu mengubah duka menjadi suka. Itu menjawab pertanyaan mengapa daerah ini terpilih sebagai daerah paling aman di Indonesia. Ini juga menguak misteri mengapa para pendatang yang datang kemari biasanya malas pulang kampung karena kampung yang baru ini lebih menyenangkan ketimbang yang lama, termasuk juga saya. Kalau saja semua orang baik hati dan periang seperti orang-orang Minahasa, betapa damainya Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan Minahasa! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).