Posting ini harusnya jadi bagian
ke 2 ‘reportase’ dari bangsal D RS WOlter Monginsidi, Manado, setelah posting
berjudul ‘Kopral Jono’ yang kemudian terputus gara-gara saya keasyikan ngoceh
soal prajurit:).
Jadi, baiklah, kembali ke reportase.
Sebetulnya, pada pagi hari kedua
saya dapat kabar bahwa sudah ada kamar private kosong lengkap dengan tivi, ac,
kamar mandi kering, kasur yang ada remotenya, seperangkat sofa serta balkon
segala, dan blablabla. Dalam hati saya bersorak girang. Saking girangnya, saya
jadi bego dan lupa betapa tidak kooperatifnya Kinasih sebagai pasien, di mana
kemunculan seorang perawat di ujung pintu nun di seberang sanapun bisa
membuatnya histeris sampai berdarah-darah. Girang sekaligus khawatir kamar
keburu diserobot orang lain, saya terburu-buru mengangkatnya (barang-barang
urusan nanti). Walhasil Kinasihpun menyemburkan darah dari mulutnya, takut
disuntik atau apa, terlebih karena saya sendiripun memang pecicilan. Jadilah
kami tetap terpuruk di tempat semula, sementara saya tak henti mengutuki diri
sendiri. Namun pada pertengahan hari ke-4 kabar gembira kembali berhembus dan
kali ini saya lebih pintar ketimbang 2 hari sebelumnya. Saya bujuk si kecil
yang kondisinya sangat mengenaskan tersebut dengan nada semanis madu. Saya
bahkan membesar-besarkan fasilitas kamar tersebut dengan gaya bombastis yang
bakal membuat salesman kelas wahid manapun merasa rendah diri. Kinasih
berbinar-binar, karena ia memang sangat merindukan kamar yang tenang dan sejuk.
Tapi saat saya mulai berbenah, mendadak ia bertanya, “Teman-temanku gimana,
Mak? Ikut?”. Saya menjawab lugu tanpa prasangka, “Tidak, dong. Kan kamarnya
nanti cuma buat Adek Kinasih dan Mamak. Dan Papak kalau sudah pulang kerja.”
Tanpa diduga ia menjerit sekuat paru-parunya, “NGGAK MAUUUU!!!!! AKU MAU SAMA
TEMAN-TEMANKUUU!!!!”. Saya terperanjat dan kelimpungan. Setelah pulih dari syok,
saya baru sadar bahwa kali ini benar-benar pupuslah harapan terakhir untuk
merenda hari yang jauh lebih baik di rumah sakit ini. Tapi mengapa pula Kinasih
sampai menolak sesuatu yang sangat dirindukannya, dan justru lebih memilih
bersama teman-temannya di kamar panas dan gaduh dengan aroma campur aduk tersebut?
Kisah-kisah di bawah ini akan menjawab misteri di atas.
Pertama-tama, saya akan bercerita
soal para perawat. Anda pernah mendengar kisah-kisah horor mengenai pelayanan
di kamar kelas bangsal? Saya sering, terutama waktu tinggal di Jawa. Dan tak
satupun dari kisah-kisah seram tersebut yang tak membuat bulu kuduk saya
meremang. Tapi sekarang saya hendak menceritakan para perawat di RS Tentara
Manado yang akan membuat persepsi anda tentang bangsal berubah selamanya.
Mereka semua sabar, ramah, telaten, murah senyum, dan saya paling suka melihat
bagaimana mereka membujuk anak-anak balita yang rewel, dengan cara yang sangat
khas Manado. Karena Kinasih juara memberontak, maka biasanya ia ditangani
sedikitnya 3 perawat. Namun mereka tetap tenang dalam usaha mencobloskan jarum yang
derajat kesulitannya tentu sangat sulit diukur mengingat betapa brutalnya putri
saya, sambil salah seorang berkata dengan nada sangat sungguh-sungguh, “Oh,
awas kakak, e! Adek ada sadap bastrik kakak cucu deng jarum! Kita mau bage pa
kakak, e! Kong ta mo isi di karung, kong ta buang akang jo pa kakak di kuala,
ne!” (Awas kakak, ya! Adek lagi enak-enak setrika ditusuk pakai jarum. Kupukul
kakak, lalu kumasukkan ke karung kemudian kubuang di sungai!). Lalu yang lain
dengan cepat menyahut secara sangat natural, “Enggak, kakak sayang kok sama
adek. Ini kan sedang menyembuhkan, supaya adek bisa bermain lagi, ya kan,
kakak?”, pada kakak yang terancam digebuki, dimasukkan ke karung untuk akhirnya
dibuang ke sungai tersebut. Sementara itu yang bersangkutan telah menunaikan
tugas menyedot darah dengan gemilang. Puja-puji bernada sayangpun berhamburan
untuk Kinasih, yang menatap dendam dan penuh sakit hati pada kakak perawat
martir tersebut.
Bukan cuma itu, bahkan ketika
suatu hari Kinasih merengek minta dibelikan buku, mereka dengan ramah
menawarkan diri untuk menjaganya. Jadilah saya bebas keluyuran di toko buku,
bahkan sempat singgah makan bubur manado dan membawa pulang es kacang merah
buat mereka. Ketika pulang saya dapati Kinasih hanya menoleh sekilas pada saya,
karena ia sedang asyik mewarnai gambar bersama para perawat dan kerumunan
pasien lain yang sudah boleh jalan-jalan. Mereka semua tampak ceria, terlebih
karena berhasil membuat mainan berserakan di mana-mana. Kiranya tak berlebihan
jika saya mengatakan bahwa mereka semua bersikap seakan-akan tengah ditempatkan
di ruang VVIP. Mereka benar-benar membuat para perawat di kelas bangsal RS-RS
pemerintah di pulau Jawa terdengar seperti penjahat kemanusiaan, dan saya sama
sekali tak bisa menyalahkan mereka.
Selain para perawat, masih ada
para orangtua pasien yang saling memperhatikan satu sama lain. Mengecek kondisi
infus anak-anak lain yang orangtuanya sedang tidur, memanggilkan perawat jika
ada apa-apa tanpa membangunkan si orangtua, menjaga anak lain saat orang tuanya
butuh keluar atau apa, dan sebagainya. Dan mereka terbiasa spontan membujuk
anak-anak yang tak mau minum obat dan memuji-muji mereka yang pintar. Pula
mengajak anak-anak tersebut mengobrol atau apapun untuk membuat mereka senang.
Contohnya suatu kali Kinasih mendapat set setrikaan dari mamak tua alias
budhe-nya. Lalu ia pun jadi sibuk dengan ‘bisnis laundry’ dadakan. Bahkan
papaknya dapat ‘job’ membuat tali jemuran di atas boxnya. Jadilah baju-baju
centang-perenang di tali jemuran dan berserakan di box, sementara Kinasih sibuk
menyelesaikan ‘order’ dengan tubuh lemah dan selang infus bergelantungan. Para
ortu spontan dan kompak memberinya order seakan ia pengusaha betulan, dan
menghamburkan pujian atas semangat tinggi dan ‘hasil kerjanya yang memuaskan’.
Tapi untuk anak-anak yang lebih
besar dan masih bertingkah mereka punya pendekatan lain. Ada pasien umur
sekitar enam tahun yang begitu sulit minum obat dan rupanya takut pada polisi.
Jadilah tiap kali acara minum obat, semua orang sibuk memanggil polisi imajiner
untuk membuatnya gentar. Satu kali saat jam besuk datanglah seorang tentara
lengkap dengan seragam dorengnya, dan salah seorang ortu mengancam anak malang
ini sekeras halilintar, “He, polisi!!! Tangkap dia!!!”. Sudah tau tentara nekad
dibilang polisiJ. Ada
lagi pasien yang takut pada semua pria berseragam. Maka tiap kali dia berulah,
satu zaal serentak memanggil aparat dari tiap pasukan. “He komandan! He polisi!
He jendral! He tentara! He CPM!” dan sebagainya. Saya berteriak dari sudut, “Kurang
Kopassus deng Pasukan Garuda!!!” (maksudnya cuma Kopassus dan Pasukan Garuda
yang belum disebut). Semua cekikikan, termasuk ortu si pasien korban bullying
yang saat itu masih melolong-lolong pilu.
Namun di antara semua keceriaan
yang heboh tersebut, tak ada satupun yang bisa mengalahkan kegemparan yang
ditimbulkan oleh duet remaja tanggung yang datang belakangan. Jose, si pasien,
baru masuk SMP, datang karena diare parah. Ryan, sepupu yang bertugas
menjaganya baru naik kelas III SMP. Orang tua anak-anak tampan ini masing-masing
bertugas di Nabire dan satunya mana, lupa. Di Manado mereka dititipkan pada Mak
Tua yang mereka panggil Mami, seorang wanita paruh baya bersuamikan tentara berbadan
tinggi besar yang mereka panggil Papi. Jose dan Ryan ini sangat cerewet dan
suka mengolok-olok satu sama lain. Mereka juga sangat ribut hingga sempat
menimbulkan kecurigaan dalam benak kami: sungguhkan Jose sakit?. Mereka paling
senang bilang gini, “Ah, ngana terlalu kamse!” “Kamseupay betul ngana ini dia
do e.” Yang begini bisa terdengar dua kali dalam semenit, hingga tiba-tiba
salah satu ortu memanggil Ryan, “Hey, Kamse!”. Semenjak itu resmilah Ryan
menjadi Kamse dan Jose Upay-nya.
Kehebohan pertama terjadi ketiba
tiba saat Upay minum obat, yang ternyata merupakan seni yang sama sekali tak
dikuasainya. Adegannya luar biasa lucu, dan sementara kami para penghuni dan
pengunjung zaal D terpingkal-pingkal oleh lawakan gratis paling natural sedunia
tersebut, Papi sibuk memaki-maki Upay dengan suaranya yang sekeras letusan
gunung Lokon, sementara Mami membuat keadaan kian buruk bagi Upay dengan
dampratannya yang tak kalah nyaring. “Dorong dengan air!” gelegar Papi
berulang-ulang. Tapi tiap kali Papi membuka paksa rahang Upay, obat tersebut
masih nempel di lidah. “Ngana pe bodok! (Goblok kamu!),” umpat Papi sambil
menjulek kepala Upay kuat-kuat, memancing kembali gemuruhnya tawa. Setelah
gelas atau bahkan botol yang kesekian, akhirnya Papi tak lagi menemukan obat di
lidah Upay. Semua bersorak girang dan bertepuk tangan, sampai tiba-tiba Kamse
memekik, “He, napa dang di atas!”. Ternyata obat tersebut menempel di
langit-langit mulut, yang kembali memicu pecahnya tawa. Kali ini Upay merah
padam karena malu dan kembung. “Coba pisang!” seru salah seorang, dan pisang
berdatangan dari berbagai penjuru. Beberapa pisang kandas, dan obat masih
bertahan di tempat semula. Si Papi nyaris meledak karena frustrasi. Saya
mengusulkan agar diletakkan di pangkal lidah supaya lebih mudah. Tapi Papi
membalas dengan ketus, ”Oh, nggak tau sudah berapa kali. Tapi si pandir ini
memang benar-benar bodoh! Ini coba lihat,” sambil praktek dan membuat Upay
tampak seperti anak yang tak pernah diharapkan kehadirannya. Maka ketika obat
tersebut benar-benar berhasil melewati kerongkongan Upay dengan selamat
sentosa, kami sungguh-sungguh bersorak-sorak bergembira bergembira semua. Upay
cengengesan saat menerima uluran tangan yang tulus dari banyak simpatisan.
Puas mempermalukan keponakan
tersayang, Mami-Papi pulang begitu saja. Kamse dan Upay menghabiskan waktu
dengan berkeliaran di kamar, mengobrol dengan semua orang atau bermain-main
dengan pasien-pasien cilik. Bosan, mereka keluyuran di luar (beberapa kali
petugas medis harus kelimpungan mencari dan menyeret mereka kembali ke kamar).
Malamnya, si Mami kembali datang dengan kalimat pembuka yang tentu saja berupa
omelan karena Upay belum juga tidur (sebetulnya Upay tak bisa terlalu
disalahkan, mengingat Kamse sama sekali tak bisa dipercaya sebagai penjaga dan
justru lebih sering memprovokasi Upay untuk berbuat yang tidak-tidak). Upay
ngeyel sekuat tenaga. Mami akhirnya emosi dan membentak menyuruhnya diam.
“Badiang jo ngana! Pake jo tu pampers (maksudnya diaper)!”. Langit-langit kamar
rasanya hendak runtuh dan kami pasti dapat medali emas di kejuaraan Bangsal
Ceria. Tak terkira betapa lama dan kejinya kami mengejek Upay, sementara Mami
memaksanya memakai diaper tanpa hasil. Satu cemoohan hanya memancing cemoohan lain
yang lebih menjatuhkan mental dan seterusnya, sementara Upay pura-pura tidur
dan akhirnya ketiduran betul. Sebagai pukulan terakhir sebelum Upay benar-benar
lelap, Kamse dengan gaya dramatis bahkan nyaris terkesan slow motion,
mengeluarkan verlaak plastik dari lemari, dan dengan nada tenang yang sangat
licik berkata, “Biar saja Mami, kan masih ada verlaak.” Tak dinyana oleh Kamse,
dengan nada jauh lebih licik yang hanya bisa diperoleh lewat pengalaman, Mami
membalas, “Kamu saja yang pakai. Siapa tahu ngompol lagi, kan baru beberapa
bulan berhenti.” Kegemparan yang meledak setelah itu tak bisa dilukiskan dengan
kata-kata, dan hanya bisa ditandingi keesokan harinya, ketika Upay hendak
diambil darahnya.
Fakta bahwa Upay masih pakai
diaper adalah topik yang bagaikan theme song mengiringi adegan penyedotan darahnya.
Semua orang –pasien yang sudah boleh jalan-jalan, para ortu, dan pengunjung-
mengerumuni kasurnya begitu rapat sambil melontarkan segala ledekan. Tak ada
satu tenaga medispun yang menegur tingkah polah mereka dan sebaliknya tampak
turut menikmati betapa Upay dijadikan bahan bulan-bulanan massa. Dari sudut
saya memurukkan diri (saya tidak cukup beruntung karena Kinasih tak mau saya
tinggal untuk menonton Upay) saya turut berseru-seru meledek sambil
membayangkan ekspresi memelas Upay di bawah tatapan belasan pasang mata kejam
tak punya hati nurani. Seribu satu ledekan berlompatan dari tiap mulut, tapi
gemuruh tawa paling dahsyat dihasilkan oleh yang satu ini, “He, co ass, kenapa
ambil darah dari tangan? Sekalian dari penis (maaf) dan ‘telurnya’ (sekali lagi
maaf), supaya tidak ngompol lagi.” Dan catat bahwa kalimat di atas diucapkan
dalam dialeg Menado yang meningkatkan derajat kelucuannya hingga sekian kali
lipat. Kami –termasuk para co ass dan perawat- terpingkal-pingkal tak
terkendali, dan ibu cuek yang menyerukan kalimat orisinil tadi tampak sangat
bangga dengan pencapaiannya.
Tapi nampaknya Upay tak perlu
menanggung derita itu seorang diri. Masih ada Kamse yang –tanpa alas an jelas-
dibongkar-bongkar aibnya oleh si Mami dan Papi. Misalnya, saat Kamse sedang
sibuk berceloteh menghibur pasien-pasien cilik, Mami berbisik-bisik menebar
gossip bahwa baru beberapa waktu terakhir ini Kamse berhenti main
Barbie-barbie-an lengkap dengan set baju dan alat make up serta perlengkapan
dapur. Kamse baru berhenti ‘jadi banci’ ketika ayahnya datang menengok dengan
geram dan nyaris menghajarnya betul-betul dengan kayu. “Tapi, ssst, jangan
bilang siapa-siapa, ya, kasihan Kamse nanti malu,” bisik Mami sama sekali tidak
bersungguh-sungguh, karena ia bergosip di tengah kerumunan sedikitnya 3 ibu-ibu
yang jelas sama sekali tak bisa dipercaya. Hanya perlu sekitar 5 menit untuk
membuat berita ini tersebar sampai ke ruang perawat dan dokter.
Ini semua tentu melawan teori
pendidikan berbasis gender yang mengatakan bahwa tiap anak berhak memilih mainan
apapun tanpa dibatasi sekat seks. Dan betapa perawat satu mengancam memukuli
perawat lain yang menyuntik seorang anak akan menuai komentar kritis pakar
pendidikan anak, “Itu akan mengajarkan seorang anak untuk menyalahkan pihak
lain. Seperti bila anak jatuh karena tidak hati-hati lalu kita memarahi dan
memukul lantainya.” Bahwa semua aparat keamanan dan abdi Negara harus dipanggil
supaya anak mau minum obat juga akan, “Membuat anak melakukan hal tersebut di
bawah tekanan dan bukan dari inisiatifnya sendiri, yang selain berpengaruh bagi
kemandiriannya juga akan membentuknya menjadi penakut.” Lalu betapa Upay
diolok-olok dan dijadikan bulan-bulanan oleh semua orang dengan pemicu justru
Mami-Papinya sendiri, serta bagaimana ia dimaki-maki bodok (bodoh), biongo
(pandir), bogo-bogo (tolol), dan sebagainya, pasti akan, “Membuatnya rendah
diri dan tumbuh menjadi jiwa yang kerdil.” Kalau versi orang Kristen malah
lebih canggih, “Menciptakan akar kepahitan yang akan terus mengganggu hidupnya,
bahkan membuat mereka membenci orang tua dan baru bisa dihilangkan oleh
pelepasan roh.”
Tapi orang tua-orang tua yang
buta psikologi anak tersebut hanyalah orang-orang dewasa yang ketika kecil juga
menerima perlakuan seperti itu. Diledek, ditakut-takuti, dihajar, diolok-olok,
dan sebagainya, dan mereka tumbuh menjadi manusia dewasa yang periang sekaligus
berhati lembut, gemar bercerita serta bercanda, mengulurkan tangan, tangkas,
dan jauh dari karakter yang kerdil, penakut, pembenci orang tua, dan
sebagainya. Mereka sama sekali tak ambil pusing dengan segala ‘kekejian
psikologis’ tersebut saat tumbuh dewasa, dan yang meributkan hal ini
paling-paling cuma para psikolog yang teori mereka biasanya sangat barat dan
jauh dari kultur asli orang Indonesia dalam membesarkan anak-anak.
Saya berani jamin Kamse dan Upay
tidak akan tumbuh dewasa menjadi seperti apa yang ditakutkan para psikolog yang
kebanyakan gaul sama turis itu. Mereka cuma anak-anak Minahasa yang dirawat dan
diperlakukan dengan cara orang tua Minahasa. Sama halnya dengan orang tua, mami
papi, oma opa atau buyut-buyut mereka, Kamse dan Upay paling banter hanya akan
menjadi seperti orang tua mereka –dan umumnya orang dewasa di Minahasa- yang
riang ria, dan punya kemampuan luar biasa untuk mengubah duka menjadi suka.
Mereka memandang enteng hal-hal yang oleh orang-orang tertentu dianggap
‘penyiksaan anak’ karena mereka mengimbanginya dengan cinta dan hati yang
lembut serta terbuka. Dan harap diperhatikan bahwa bisa dibilang bukan orang
Minahasa kalau ia tak menyukai anak kecil. Orang-orang Minahasa sangat toleran
terhadap kelakuan bengal dan keributan anak-anak, tak peduli ia adalah preman
tukang mabuk sekalipun. Saya pernah dengar, hanya orang-orang tulus yang bisa
menerima kehadiran anak kecil dengan hati senang.
Para psikolog boleh mengunyah
teori-teori barat sebanyak yang mereka mau dan mengecam apa yang tidak sesuai
dengan ‘standart barat’ yang mereka dewa-dewakan, tapi saya pikir orang
Minahasa telah berbuat hal yang bijaksana dengan tidak memusingkan omongan
pintar mereka, dan tetap berakar pada apa yang telah diwariskan nenek moyang
mereka berbilang abad. Cara-cara tradisional yang dianggap tidak relevan lagi
dengan perkembangan jaman dan dalam banyak hal dituding mengoyak hak asasi
anak-anak. Saya bersyukur para orang tua Minahasa kebanyakan tak peduli apa
kata ‘orang-orang pintar’ tersebut dan tetap keras kepala membesarkan anak
dengan cara yang mereka tahu, yakni cara Minahasa. Cara yang berhasil membuat
wilayah kecil ini menghasilkan manusia-manusia dewasa yang murah hati,
menggemari anak-anak, periang, gemar membesar-besarkan hal-hal yang
menyenangkan, dan pandai membuat kecil masalah. Orang bisa saja jadi miskin dan
tidak merasa miskin sejauh ia tinggal di
tengah orang-orang Minahasa yang dibesarkan dengan cara-cara kuno yang
‘melanggar hak-hak anak’ tersebut di atas.
Betapa bersyukurnya saya tinggal
di tanah ini, yang telah menghasilkan orang-orang yang berhasil membuat Kinasih
menolak mentah-mentah kamar yang nyaman, tenang, dan sejuk, dan memilih hal
yang jauh lebih penting ketimbang materi: hati yang baik dan riang ria, yang terbuka dan punya
kecenderungan untuk menolong dan menghibur orang lain, yang mampu mengubah duka
menjadi suka. Itu menjawab pertanyaan mengapa daerah ini terpilih sebagai
daerah paling aman di Indonesia. Ini juga menguak misteri mengapa para
pendatang yang datang kemari biasanya malas pulang kampung karena kampung yang
baru ini lebih menyenangkan ketimbang yang lama, termasuk juga saya. Kalau saja
semua orang baik hati dan periang seperti orang-orang Minahasa, betapa damainya
Indonesia. Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan Minahasa! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
E do do eeee!!!
BalasHapus1. Nona May, ngana su seperti orang Minahasa saza...hahaha... saya nggak bisa bahasa dan dialek Minahasa, namun membaca tulisan Mbak May kali ini, terus terang saya merasakan pribadi yang benar-benar berbeda. Mungkin dipengaruhi oleh air dan udara disana kali ya? hehehe. Mbak May terkesan sama sekali bukan Orang Jawa. Sangat Minahasan sekali mbak. walaupun masih menerka-nerka bahasa dan istilah yang digunakan, namun bayangan akan bangsal yang menyenangkan telah terbentuk di benak saya saat membaca tulisan Mbak May yang ini
2. Kisah Bangsal yang mbikin mbulu kuduk merinding tuh apa ya Mbak? saya belum pernah denger. share dikit dwonksss...hehehehe
3. Setuju! Saya sangat setuju terhadap para psikolog yang terlalu kebarat-baratan dalam menerapkan ilmu pendidikan anak. Padahal, kalau ngeliat nanny 911, koq kayaknya anak anak disana kalau sudah nakal tuh ya koq nakalnya naazubilahminzaliq alias ga ketolongan loch.... cara terbaik untuk mendidik anak anak emang rasanya paling bener diwariskan dair orang tua kita sendiri. walaupun saya belum memiliki anak, namun rasanya apa yang papa dan mama saya lakukan dengan cara cara tradisionalnya sudah sangat tepat menurut ukuran saya. hehehe. saya bangga jadi anak mereka, walaupun berantem dan adu mulut masih sering terjadi di depan saya. hehehe
someday, saya akan ke Minahasa. Tahun ini saya sudah mencapai 3 tempat baru di Indonesia. tahun depan saya pasti bisa sampai Sulawesi Utara! :D
Hehehe... ada pepatah mengatakan, di mana tanah kau injak, di situ langit dijunjung. Lagipula jadi orang Manado lebih enak, nggak perlu jaim-jaim-an dan bebas cuwawakan, hehehe.... Iya, benar, kalau nonton acara Nanny 911 sebelum anak-anak itu 'diberesin' sama Sang Super Nanny, kadang-kadang saya nyeletuk, "Bener anak manusia nggak, sih? Jangan-jangan The Omen.":). Dan yang jelas, bermasalah atau tidak, waktu remaja mereka kurang ajar minta ampun sama orang tua dan nggak ada pengertiannya sama sekali. Seakan-akan mereka yang jadi bos dan orang tua cuma punya hak untuk mencukupi segala kebutuhan mereka. Orang tua takut menegur anak, karena ditegur dikit si anak jadi sensi dan bla3. Nyebelin banget. Tapi lama-kelamaan anak-anak Indonesia juga bisa kaya gitu, lho. Nyatanya, ada konflik sama orang tua lapor KOMNAS HAM Anak terus malah reality show di tivi, pake wartawan dan segala psikolog terkenal yang seringnya pendapatnya sangat sepihak dan memojokkan orang tua. Do doeeee....kasiaaaannnnnggggg..... susah payah kasih besar itu anak, cuma dilempar kotoran di muka-muka umum. Belum itu orang lain ikut-ikut lempar kotoran. Oh tuhirrr.... (hehe...Menado banget:)).
BalasHapusBtw, sekedar menanggapi adu mulut ortu di depan Lomie, suatu hari dalam kehidupan damai kami, anak saya sulung bertanya,"Mama kok udah hampir sebulan nggak ribut sama Pepe?" Jawab saya filosofis, "Ya baguslah, artinya kami semakin saling mengerti dan memahami." Balasnya tak tau diri, "Bagus buat Mama dan Pepe, nggak bagus buat aku. Boring, tau.":)
Horeee... saya ikut doakan supaya kabul-kabulmu untuk ke Sulut bisa segera tercita:). Nanti jalan bareng, ya:).