Senin, 15 Oktober 2012

Jenius Berkaki Pecah-pecah Itu Adalah Mak Tiwar



Mak Tiwar tidak pernah bersekolah formal. Tidak pernah ikut kelompok diskusi apapun untuk merumuskan semua masalah di Indonesia. Tidak pernah main FB atau twitter dan protes soal ini itu, wong pakai hape saja belum tentu bisa. Ia juga tidak pernah ikut organisasi apapun. Kartu perpustakaan juga tidak punya, sebab baca tulis belum tentu mampu. Pokoknya Mak Tiwar adalah orang yang sangat tidak up dated. Segala akses informasi ia tak punya; paling bagus adalah berita dari kelurahan yang biasanya disampaikan pada kumpulan warga atau petugas PKK dan Pos Yandu. Jadi tak heran kalau Mak Tiwar sama sekali tak tahu bahwa di luar sana orang-orang sedang panik karena urusan krisis pangan. Mak Tiwar juga tak tahu bahwa kabarnya pada tahun 20013 nanti sedikitnya 7 juta orang Amerika bakal mengalami krisis pangan. Boro-boro mengerti apa yang bakal menimpa atau menghilang dari meja makan orang-orang Amerika, sedangkan istilah krisis pangan saja Mak Tiwar belum tentu mengerti. Yang jelas seumur-umur Mak Tiwar tidak pernah kekurangan pangan. Dan saya duga sampai ajal menjemput Mak Tiwar bakal tetap begitu.

Jangan salah terka, Mak Tiwar bukan orang berduit yang bisa membangun bunker khusus untuk menyetok makanan a la acara Doomsday Prepper di sebuah tivi kabel. Mak Tiwar juga bukan perempuan karir yang menenteng gadget canggih ke mana-mana dengan penghasilan sekian digit. Ia cuma Mak Tiwar, perempuan desa tua yang saya dengar dari Tante saya, waktu beliau masih jadi agen minyak tanah Pertamina. Sebagai agen minyak tanah kala itu Tante saya sering turne ke desa untuk melihat kondisi pangkalan-pangkalan. Di sanalah suatu hari, saat menunaikan pekerjaan sambil jalan-jalan menikmati pemandangan alam dari atas bukit sejauh pandang dilepaskan, Tante saya mengenal Mak Tiwar. Dan beliaupun terpesona dibuatnya.

Mak Tiwar hidup bersama suami dan seorang cucunya, karena orang tua si cucu, yakni anak dan mantu Mak Tiwar, mengadu nasib di kota. Suami Mak Tiwar kalau tak salah tukang kayu, sedangkan Mak Tiwar tinggal di rumah mengurus rumah dan cucu. Merasa ada kelebihan waktu, Mak Tiwar lirik kiri-kanan. Lalu ia melihat lahan milik tetangganya cukup luas (untuk ukuran Mak Tiwar) dan dibiarkan tertidur lama begitu saja. Maka Mak Tiwar meminta ijin pada si empunya untuk mengolah tanah tersebut. Entah ada pembagian hasil atau pemilik tanah menyerahkan hasilnya begitu saja pada Mak Tiwar, Tante saya tak bertanya. Yang jelas mulailah Mak Tiwar bertekun dengan tanah seluas sekitar beberapa ratus meter persegi tersebut. Pertama, sebagian ia sebari bibit padi. Lalu sebagian lagi ia sebari bibit palawija dengan sistim tumpang sari atau apa saya lupa, wong saya bukan petani, hihihi… Pokoknya kalau bulan ini ia menanam itu, lalu bulan itu ia menanam ini sesuai masa panen masing-masing bibit yang beda musim tersebut. Kemudian sepetak lain ia gunakan untuk menanam sayur-sayuran bakal masak sehari-hari. Ada terong, bayam, sawi, cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya. Jumlahnya secukupnya wong cuma buat konsumsi sendiri, kalau ada lebih baru ia titipkan ke warung-warung terdekat. Itupun tak selalu, karena kebanyakan ia bagi-bagi begitu saja ke tetangga sekitar.
Lalu ia minta tolong suaminya untuk membuat dua buah lubang: satu untuk diisi air kemudian disebari benih-benih ikan air tawar. Lubang sisanya untuk menampung sampah dedaunan, sebab MAK TIWAR TAK PERNAH MEMBAKAR SAMPAH. Bibit ikannya juga tak heboh-heboh amat, secukupnya saja. Prinsip Mak Tiwar: sing penting ora perlu tuku, weteng ora ngelih (yang penting tak perlu beli, perut tak lapar). Hanya tempe tahu dan minyak goreng yang ia beli, sebab ia tak mau repot-repot membuatnya. Mak Tiwar juga tak pernah resah jika harga cabe, bawang merah putih, dll, naik. Kalau hidup di kota pastilah Mak Tiwar melakukan sistem tabulampot atau tanaman dan buah dalam pot. Maka jadilah Mak Tiwar sosok yang sangat self sufficient. Tiap hari ia menikmati menu makanan yang penuh gizi dari hasil kebun (pinjaman)nya sendiri. Ia juga tak takut tabung gas meleduk, karena masak pakai kayu bakar yang banyak terhampar di pinggiran hutan kampung. Dan makanan yang dimasak dengan kayu tentu saja hasilnya lebih sedap ketimbang yang dimasak pakai kompor modern. “Waktu di sana Mak Tiwar masak mujahir goreng, tempe tahu, tumis sawi hijau, dan sambal korek. Sedap sekali! Sssst…Tante sampai tambah, lho. Sebetulnya pengin tambah dua kali, tapi malu,” kata Tante saya penuh penyesalan. “Tapi tak apalah, soalnya setelah itu Mak Tiwar bikin verkedel jagung dan singkong goreng. Minumannya kopi tubruk ndesa. Hmmmm….,” kata Tante saya dengan raut wajah jauh lebih cerah. 

“Pasti Mak Tiwar tubuhnya kuat berotot seperti GI Jane,” kata saya, membayangkan Mak Tiwar mengayunkan cangkul. Ternyata kata Tante saya tidak. Ia tampak seperti mbah-mbah di kampung-kampung Jawa pada umumnya. Bertubuh kecil cenderung kurus, pakai baju seadanya (betul-betul seadanya), rambut diundel biasa semi awut-awutan dan sudah penuh uban, urat sudah mulai bertonjolan di tangannya menandakan umur yang sudah cukup panjang, dan, yang paling tipikal, kaki pecah-pecah dengan jari-jemari jempol semua. Iya, soalnya kalau macul dan itu ini kan Mak Tiwar selalu nyeker (dan bukan hanya ketika turun dari mobil di depan para wartawan seperti yang yang dilakukan oleh seorang menteri, hehehe….), jadi wajarlah kalau jari-jemari kakinya gambreng. Tiba-tiba saya teringat sesuatu, “Lhah, cucunya apa kabar? Siapa yang ngurus sementara Mak Tiwar sibuk ini itu?”. Dalam hal ini ternyata Mak Tiwar santai. Pagi cucunya dimandikan, diberi makan, lalu dibawa ke kebun dengan dibekali mainan dan cemilan secukupnya. Mak Tiwar macul dengan tenang di bawah terik matahari, sementara cucunya mainan sendiri di gubuk kecil yang dibuatkan kakeknya sebagai tempat berteduh. Agak siang Mak Tiwar masak lalu memberi makan suami dan cucu sambil istirahat sebentar. Lalu cucunya ditidurkan dan ia sibuk lagi. Cucunya bangun dibawa ke kebun lagi. Lalu pulang dan Mak Tiwar mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Sore hari kalau tidak pengajian ya ngobrol sama suami atau apalah, lalu tidur. Sesederhana itu. Besoknya begitu lagi. Dan kalau istirahat sehari saja biasanya Mak Tiwar malah linu-linu. Flu tulang, Ndara Ayu, demikian kata Mak Tiwar pada tante saya, entah paham atau tidak makna flu tulang.
 
Dan saya bisa memahami mengapa Tante saya terpesona pada sosok ini. Pertama, Mak Tiwar pasti bisa dijadikan bahan kajian menarik bagi mereka yang bergerak di bidang keseteraan gender dengan judul ‘Perempuan Perkasa’. Atau judulnya diganti ‘Wanita Perkasa’ kalau si penulis tidak mempermasalahkan mana yang secara etimologis nilainya lebih rendah, diksi perempuan atau wanita, hehehe… Nyaris semua kebutuhan keluarga ia yang penuhi sendiri (bandingkan dengan saya yang kalau lihat suami bawaannya lihat ‘duit belanja’, hihihi…). Dan ia tidak banyak cingcong lalu cari-cari rumusan dalam perspektif gender dll (bandingkan dengan saya yang suka ribut dengan masalah konsepsi, dan sementara itu meninggalkan baju-baju belum disterika numpuk berhari-hari :)). Kedua, ia merawat cucunya dengan penuh devosi di tengah segala kesibukan belum dihitung usianya yang sudah senja (bandingkan dengan saya yang kalau bangun pagi untuk ngurus si kecil kadang berseru kesal pada suami, “Kenapa harus selalu aku, siiiiih???!!!!”, lalu tidur lagi, meninggalkan suami kelimpungan mengurus si kecil seorang diri :)). Ketiga , Mak Tiwar berjalan selaras dengan alam. Ia masak dengan kayu bakar (di sini saya tidak bisa membandingkan dengan diri sendiri, soalnya kalau mau seperti Mak Tiwar berarti saya musti nebang pohon rambutan di halaman atau pohon peneduh di jalanan yang ditanam sesuai juklak Pemda :)). Dan patut kita catat bahwa selain tak pernah membakar sampah, Mak Tiwar juga mengasihi tanah dengan menjauhkannya dari pupuk pabrikan berbahan kimia dan hanya memberinya pupuk alami hasil timbunan sampah daun itu. Emang enak bikin pupuk? Dan catatan dengan huruf besar semua adalah: MAK TIWAR TELAH MEMBUAT SUMUR RESAPAN ALAMI. Entah sadar entah tidak, yang jelas Mak Tiwar telah melakukan langkah terbaik yang bisa dilakukan seorang individu untuk menangkal ancaman krisis air global yang sudah mengintip di balik pintu. Bandingkan dengan banyak orang bersekolah tinggi (yang bisa jadi termasuk anda dan saya), yang boro-boro bikin sumur resapan sederhana, yang ada malah rumahnya disemen semua. Dan Mak Tiwar tak pernah menyalakan pompa air untuk menyiram tanaman, sebab itu semua ia dapat dari air kolam yang berfungsi sekaligus sebagai penampung air hujan. Mak Tiwar tak pernah ngomel di FB atau twitter: “Air macet terus, bagaimana ini PLN? Udah bayar mahal-mahal”. Mak Tiwar jauh lebih cerdas dan gagah berani. Ia diam dalam gerak, dan bergerak dalam diam.  Boro-boro mengubah daerah resapan jadi hunian, sebaliknya Mak Tiwar dengan sedaya mampunya menjadikan setiap peluang sebagai rekening simpanan air tanah.  

Dan jika para pengamat sosial dan para sosiolog selama ini gelisah dengan sistem lumbung padi yang kabarnya sudah punah, maka Mak Tiwar sama sekali tidak. Ia jauh lebih cerdas dan tangkas daripada mereka semua, karena ia SELALU PUNYA LUMBUNG PADI. Bukan cuma padi, bahkan jagung dan macam-macam sumber karbohidrat lainnya. Singkong yang tak awet ia keringkan, tumbuk, lalu simpan. Demikian pula jagung dan umbi-umbian lain. Kalau acara Doomsday Preper dibikin versi Indonesia dan ada kontesnya, pasti Mak Tiwar meraih suara terbanyak dalam voting via sms. Mak Tiwar yang mungkin sama sekali tak pernah ikut penataran P4 itu jelas-jelas sudah melaksanakan –minimal- sila ke-5 Pancasila. Sebab bukan hanya mensejahterakan diri sendiri dan keluarga, ia juga mensejahterakan tetangga kiri kanannya. Soalnya Mak Tiwar kan hanya tinggal bertiga, jadi surplus hasil kebunnya selain ia simpan di lumbung ia bagi juga pada para tetangga. Mak Tiwar sekeluarga kenyang, tetangga-tetangganya juga. Susah deh jadi miskin kalau semua orang modelnya seperti Mak Tiwar. Semua mandiri dan mau berbagi.

Kalau saja kita yang mengeluh soal air macet dan banjir, cabe mahal, dll, mau mengadopsi nilai-nilai dan contoh praktis yang telah diberikan Mak Tiwar –paling tidak satu atau dua saja- pasti hidup kita secara kolektif juga akan berubah. Dan menjadi lebih mudah. Dan kalau Oprah Winfrey kenal Mak Tiwar mungkin hidup sekian juta umat manusia di dunia akan berubah, karena penonton Oprah kan lintas benua dan banyak sekali. Saya bayangkan mereka semua terkagum-kagum, karena di sebuah titik di sebuah desa Pulau Jawa di Indonesia, ada seorang perempuan tua yang menerapkan betul semua konsep ketahananan pangan level paling dasar, padahal istilah ketahanan pangan saja ia tak tahu. Orang-orang bakal berpikir, “Kalau semua individu juga seperti Mak Tiwar, maka ketahanan pangan skala nasional dan internasional bisa tercapai, sebab semua individu sudah terlibat aktif. Kalaupun toh ada isu iklim, setidaknya bisa tertanggulangi sebagian. Dan individu-individu dalam satu komunitas bisa saling berbagi. Yang punya itu berbagi pada yang tak punya itu, yang punya ini berbagi pada yang tak punya ini. Hhhhhmmmm..... sederhana dan canggih pada saat yang sama.”

Itulah semua hal tentang Mak Tiwar yang membuat Tante saya terpesona. Saya lebih lagi, karena Mak Tiwar sama sekali tak pernah sekolah atau bergaul dengan orang-orang yang terdidik secara formal. Seandainya saya tanya apakah Mak Tiwar tahu apa itu information sharing, besar kemungkinan ia malah balik tanya, “Apa itu, Ndara Ajeng? Sejenis thiwul?”.  Dan puncak kegemilangan Mak Tiwar bagi saya adalah: ia cerdas oleh dirinya sendiri. Ia cerdas oleh alam. Tidaklah berlebihan kiranya jika saya berkata: Mak Tiwar yang berkaki pecah-pecah dengan jari jempol semua itu adalah jenius natural. Diberkatilah Mak Tiwar dengan segala kecerdasaan, keperkasaan, dan kepekaannya! Diberkatilah kita semua yang mau belajar darinya! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Kamis, 11 Oktober 2012

WENDESKRENDESKRINDESKRUNINDESUIMINGPULWESRUIMASREIATDEMARKET #biarbingungasalbritis.



Si pemuda bermaksud romantis dengan menggubah sebuah lagu untuk gadisnya, sebagai teman menemani tidur lelap si gadis malam nanti. Harapannya, sang gadis bisa bermimpi tentang mereka sedang mesra-mesraan. Atau tentang bintang, bulan, dan matahari. Si gadis, bukannya memekik unyu, “Oooo….co cwiiiitttt….,” malah ngamuk-ngamuk sebab lagu itu nggak fungky karena liriknya domestik bukannya Amrik. Lalu si pemuda bilang, ya terang aja seleramu berubah, mungkin terlalu banyak gaul sama turis. Jadi hobinya denger yang Inggris Inggris, biar bingung asal Britis. Check it out, yo!Yo!Yo!Yo!Yo! Di akhir lagu tegas sang pemuda berkata:  Sebelum bubar balikin saja kasetnya untukku lagi, biar kusimpan tuk kujadikan  mas kawin kalau ku merit. Gedumbranggedumbrenggedubraggedubrug!!! YEAAH!! YEAAAH!!! YEAAAAAH!!!! Di En.

Demikian lagu ‘Asal Britis’ oleh grup Jamrud, salah satu grup Indonesia favorit saya. Lagu itu adalah sebuah lagu yang sangat funky dan nge-beat sekaligus –menurut istilah saya sendiri- sandal alias santai tapi dalem:). Baiklah, bukannya mau menjelek-jelekkan kampung halaman saya kedua, Manado. Tapi memang banyak sekali bahan untuk dijadikan studi di sini –sekaligus otokritik untuk perbaikan diri- salah satunya ‘asal Britis’ itu tadi. Inilah kisah yang pertama: bagi anda yang belum tahu, saya hendak jelaskan bahwa dalam tubuh saya tercampur baur sekian banyak darah yang membuat saya jadi nggak begitu jelas:). Ada Jawa, Belanda, sekian persen Persia, sejumput Yahudi, dan seiprit Cina. Dari bauran tersebut jadilah saya yang sipit, berkulit terang, rambut sempat agak coklat kemerahan (entah natural entah dulu kebanyakan main layangan :)), dan jauh sekali dari gambaran orang Jawa pada umumnya. Namun karena budaya dan filosofi Jawa adalah yang paling kuat dalam keluarga besar tempat saya bertumbuh dan berakar (plus prosentase darahnya memang paling banyak), maka ketika ditanya orang apakah saya, saya selalu menjawab, “Orang Jawa.” Setiap kali diajak keluarga besar suami ke sana ke mari, saya selalu memperkenalkan diri dengan bangga, “Saya orang Jawa.” 

Namun suatu hari Mami mertua saya berkisah bahwa ia berpapasan dengan tetangga yang berkata, “Anak mantunya cantik sekali (ehemmm..). Orang mana?”. Dengan penuh harga diri dan kharisma Mami menjawab, “Indo Belanda.” Demi mendengar itu keruan saya berseru, “WHATZZZZ???!!!”. Demikian kagetnya sampai keselak-selak karena kebetulan saya sedang menikmati sepacul nasi hangat, dabu-dabu manta, dan segunung kecil rica roa (sambal yang terbuat dari ikan roa asap yang sama sekali terlarang untuk mereka yang sedang diet dan menghemat anggaran beras :)).  Setelah reda saya protes keras, “Kita orang Jawa, Mami!”. Mami mertua ngeyel, “Hih, salah sendiri. Tampang begitu ngaku-ngaku Jawa, mana ada yang percaya?”. Saya tak mau kalah, “Mami jelaskan, dong, kalau gitu. Jangan asal ngaku-ngaku kita Indo Belanda. ” Mami masih membalas, sok gaul pula, “Ih, kok gue, sih?”. Saya nyengir diam-diam dan kali ini membantah tegas dengan penuh wibawa, “Mam, kita ini tidak ada urusan dengan orang Belanda! Kalau boleh pilih kita lebih suka jadi seratus persen inlander keturunan kuli ketimbang keturunan Belanda biar sedikitpun! Blablablabliblibliblublublu!!!”. Demikian pledoi dalam ‘Yuanita Menggugat’ yang saya sampaikan dengan berapi-api, sesuai semangat yang diwariskan oleh Bung Karno. Namun Mami mengeluarkan senjata pamungkas yang dilontarkannya dengan ketus, “Ngana musti bangga jadi keturunan Belanda!” sambil berlalu begitu saja, meninggalkan saya sendiri dalam keadaan bingo yaki (bingung a la monyet sambil celingukan kiri kanan dengan tampang bego).

Urusan nama juga begitu. Sulit sekali bagi anda untuk menemukan orang Minahasa dengan nama Minahasa. Yang ada hanya nama-nama bule. Kalaupun ada yang pakai nama asli hanya segelintir, itupun biasanya yang lahir sebelum NKRI berdiri. Bahkan sebelum NKRI berdiripun nama bule sudah eksis. Saya bisa memahami kalau itu diambil dari Alkitab, karena di sini kan mayoritas Kristen. Tapi seiring dengan perkembangan jaman, Alkitab atau tidak tak penting, yang penting nama bule. Ada kisah lucu ketika saya melahirkan Sing Kinasih Wohing Ati (Yang Terkasih Buah Hati), anak bungsu perempuan saya. Mereka semua mengusulkan Manado, yang saya sambut dengan gembira. Ternyata semua nama yang diusulkan adalah nama bule, sampai saya bengong dan berkata, “Lho, itu kan nama-nama bule. Di mana Menadonya?”. Dengan cuek mereka ngeles, “Iya, tapi itu semua sudah jadi nama Manado.” Ketika saya mendesak usulan nama asli Minahasa, tak ada satupun yang angkat suara. Saya curiga mereka sendiri bahkan sudah lupa atau malah tidak tahu nama-nama asli Minahasa selain Toar-Lumimuut :).

Peristiwa selanjutnya terjadi ketika saya mengajari putri kecil saya (ketika itu dua setengah tahun) makan dengan tangan saja tanpa sendok. Itu karena saya tidak ingin ia hanya fasih menggunakan sendok tapi tidak tahu nikmatnya makan dengan tangan telanjang. Mami mertua protes dan berkata, “Kenapa ngana kasih ajar makan Adek dengan tangan? Rupa orang kampung, jo.” Saya mengoreksi halus, “Rupa orang Indonesia, Mam, bukan rupa orang kampung. Kampung, kota, miskin, kaya, makan sekolahan atau patah pinsil, bukan orang Indonesia kalau tidak bisa makan dengan tangan saja.” Lalu seseorang yang lain, saya lupa siapa, membela Mami dan berkata, “Begitu no cara torang mendidik anak-anak, dengan cara Belanda.” Mendengar kata ‘Belanda’ disebut-sebut saya langsung sensi :). “Sekalian saja rombongan pada pindah ke Belanda, ketimbang makan hidup enak di Indonesia tapi tidak mau jadi Indonesia. Tinggal lihat apa Belanda mau menerima. Kalau kita lebih baik mati ketimbang mendidik anak-anak bukan dengan cara Indonesia,” demikian sanggah saya lumayan ketus. Demikianlah saya yang akan ngeyel dengan cara apapun, sejauh itu menyangkut ke-Indonesiaan saya dan anak keturunan saya. 

Intinya, mereka bahagia dan bangga luar biasa dengan apa-apa yang berbau bule, minimal Belanda. Padahal peribahasa Tondano mengatakan, tradisi harus menjadi batu pijakan bagi masa depan. Oke, mungkin itu skala keluarga dan sedikit ekstrim. Tapi di luar sana ada banyak hal yang mengusik hati saya, di antaranya: sekian tahun saya tinggal di sini dan menghadiri sekian banyak acara orang kawin, belum pernah saya mendapati satupun yang digelar dengan cara adat, biarpun cuma sekedar baju atau menyisipkan lagu daerah. Yang ada semua pengantin dan prosesi digelar dengan cara dan detil yang sangat barat. Dan sejauh saya mengenal anak-anak Manado, tak ada satupun di antara mereka yang pernah mendengar kisah rakyat dan tak ada satupun orang tua yang mendongengkannya bagi mereka. Bahasa daerah juga hanya dipergunakan oleh mereka yang tinggal di kampung, sedangkan anak-anak dan generasi muda di kota Manado sama sekali tak tahu apa-apa soal bahasa leluhur mereka. Kalaupun ada bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya mau menggunakan dialek Manado baik dalam pergaulan maupun lingkup formal seperti sekolah, kantor, dll. Tak ada bahasa daerah, tak ada bahasa Indonesia. Yang lebih menarik, saya perhatikan mereka kesulitan berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Suatu hari saya menunggu di bandara dan di sekitar saya ada anak-anak dari sebuah sekolah menengah di Manado. Rupanya bahasa pengantar mereka bahasa Inggris dan mereka cukup fasih menggunakannya, paling tidak untuk anak seumuran itu. Demikian pula mereka sangat antusias mengajak saya ngobrol dengan bahasa Inggris. Tapi giliran saya ajak bicara dengan bahasa Indonesia, mereka tersendat-sendat menjawab. Besar kecurigaan saya bahwa mereka belajar bahasa Indonesia dari sinetron dan dubbing drama Korea, hihihi…..

Saya tidak tahu dengan anda dan keluarga anda, tapi keluarga tempat saya dibesarkan hanya memperbolehkan kami, anak-anak, bicara hanya bahasa Jawa halus di rumah dan bahasa Jawa kelas rendah dengan teman-teman bermain, hingga kami sekolah. Dengan demikian kami punya cukup waktu untuk mengenal bahasa ibu kami sendiri. Setelah masuk sekolah barulah kami diperbolehkan menggunakan bahasa Indonesia, dan setelah kami cukup menguasai kedua bahasa ibu ini, barulah kami dipersilakan belajar bahasa asing lain. Bahasa asing, terutama Inggris, memang penting. Tapi tidak pernah lebih penting ketimbang bahasa ibu, sebab bagaimana kita bisa mengenal diri dan orang lain dengan baik jika kita tak lebih dulu mengenal ibu sendiri? Mengenai keteguhan saya mengajarkan pada anak saya akar-akar budaya termasuk sekian jenjang bahasa Jawa yang memang enggak banget itu, saya pernah mendapat kritikan dari seorang rekan kerja yang lebih tua dan sangat saya hormati. Si Mbak ini berkata, “Kamu tidak bisa memaksa anak menjadi ini atau itu, May. Anak-anak pada akhirnya akan bertumbuh. Rupa pohon, cabangnya akan menjulur ke kiri, ke kanan, atau ke mana saja sesuka mereka.” Saya menyanggah dengan sopan, “Akan tetapi, Mbak, bagaimana pohon itu bisa bercabang dan menjulur ke mana-mana kalau ia tidak berakar dengan kuat? Setiap pohon musti punya akar yang kukuh terlebih dahulu, baru cabangnya bertumbuh ke mana ia suka, dan berbuah sebanyak yang ia bisa".

Sebab hanya pohon yang berakar kuatlah yang bisa bertumbuh dan berbuah. Dan generasi yang kuat adalah generasi yang tidak tercerabut dari akarnya. Dan besar syukur saya kepada Tuhan karena memberikan keluarga yang mendidik saya dengan dasar-dasar tradisi dan budaya yang kuat, yang sangat membantu saya dalam menjalani hidup terutama mengatasi berbagai masalah. Akar yang kuat tersebut pula yang membuat saya menjadi orang yang sama sekali tidak goyah oleh pengaruh asing apapun, tak peduli teman saya sudah komplet dari semua benua dan beberapa telah jadi sahabat yang membuat mereka rutin berkunjung ke Indonesia. Dan sebaliknya, tidak ragu-ragu menyerap pengaruh asing bila memang itu baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang saya anut.  Ada dua hal yang sering luput dari perhatian kita, bahwa pada saat kita tidak berakar dengan kuat, maka pendulum kita akan cenderung ekstrim ke kiri atau ke kana. Ekstrim kanan sudah saya sebutkan di atas, yakni begitu bangga dan silau pada orang lain namun justru tak mampu menghormati diri sendiri. Asal britislah, seperti Jamrud bilang di atas. Sisi sebaliknya adalah pendulum ke kiri, yakni kita membenci dan memandang rendah apapun yang berasal dari luar seakan-akan kita adalah yang paling hebat di dunia dan mereka adalah sampah belaka.  

Di sini ada dua kredo psikologi yang paradoksal, yang pertama adalah rasa percaya diri membuat kita mampu percaya pada orang lain dan tetap kuat pada saat yang bersamaan. Dalam aplikasinya pada ranah berbangsa dan bernegara, ini bisa muncul pada tindakan-tindakan sebagai berikut: membuka diri pada pergaulan yang seluas-luasnya dan tidak ragu untuk menyanggah bila ada pihak asing yang merendahkan hal-hal apapun sehubungan dengan bangsa dan Negara kita (tengok posting saya sebelumnya, ‘TEGAKKAN KEPALA DAN LAWAN KITA DAN MEREKA!!!’),  tidak mudah ikut arus dan membeo pada semua yang dianggap baik oleh orang lain padahal belum tentu buat kita, begitu memuja bangsa asing tak peduli yang mereka perbuat bertentangan dengan haluan politik dan berbangsa kita serta melawan kemanusiaan atau tidak (lihat posting ‘Foke dan Jari Tengahnya’), dan sebagainya.

Kredo kedua yang masih sama paradoksalnya adalah: orang yang tidak percaya diri tak akan pernah sanggup untuk percaya pada siapapun. Outputnya adalah sikap yang brutal dan menyerang. Saya gemar sekali nonton acara ‘Dog Whisperer’ yang dipandu oleh Cesar Milan di sebuah stasiun tivi kabel. Anjing-anjing bermasalah yang tak sanggup ditangani oleh siapapun, termasuk yang besok sudah hendak dieksekusi karena sering mencelakai orang lain, tak ada yang tak takluk di tangan Cesar. Dari situ saya tahu bahwa beberapa anjing jadi galak bukan karena dilatih jadi galak, tapi karena mereka merasa tidak aman. Rasa tidak aman tersebut berasal dari rasa tidak percaya diri dan berujung pada rasa tidak percaya pada pihak lain. Sebagai usaha untuk menutupi kelemahan tersebut, si anjing bersikap membela diri sekaligus menyerang. Cesar maupun saya tidak bermaksud menyamakan kita semua dengan anjing, namun sejauh ia menjadi The Dog Whisperer dan saya mengikuti acaranya, terkuak bahwa semua masalah psikologis yang dialami si anjing ia dapat dari manusia, terutama sang empunya. Itu sebabnya, sebelum menangani si anjing ia terlebih dulu ‘menggarap’ si manusia, sang sumber masalah. Maka tepatlah slogannya, “I rehabilitate dogs, I train people.” Singkatnya, saat kita merasa lemah dan tidak percaya, maka kita akan menyerang untuk menutupi kelemahan tersebut. Dan jika para pemilik anjing itu menulari anjing-anjing mereka dengan sikap mental lemah mereka, maka kita akan menulari orang-orang di sekitar kita.
 
Jadi jangan heran kalau ada sebagian dari kita yang panik sekali kalau ada penyanyi ini atau itu hendak konser di sini. Tak heran kalau ada penyanyi dangdut ngebor, ngecor, nyangkul, ngarit atau apapun, sebagian dari kita jadi marah-marah tak jelas dan mengatakan itu adalah pengaruh asing. Lupa bahwa jauh sebelum ada industri musik, para perempuan di Bali sudah biasa telanjang dada ke mana-mana tanpa ada satu laki-lakipun yang otaknya jadi ngeres. Tak heran pula bila ada sekelompok orang yang membenci satu dua atau beberapa Negara secara keseluruhan, dalam arti tak peduli baik atau buruk hal-hal yang dimiliki oleh pemerintahan atau rakyat Negara tersebut. Tak heran bahwa ketika terjadi peristiwa 11 Sepetember ketika ribuan orang tak bersalah mati, saya mendapati banyak orang Indonesia nyukur-nyukurin mereka! Benar, anda boleh tidak percaya. Saat peristiwa itu terjadi, saya sedang ada di kos teman. Mereka pada nonton bareng berita tersebut, dan beberapa malah bersorak-sorai sambil berseru, “F*CK AMERIKA!!!!”. Dan banyak pula di luaran yang bereaksi sama. Betapa tragisnya, bergembira ria atas kematian ribuan orang tak bersalah hanya karena kebencian universal.   

Terus terang saya bukan penggemar no 1 orang-orang barat terlebih Amerika Serikat. Dalam banyak hal kebijakannya saya anggap menghisap manusia lain. Namun itu tidak membuat saya membenci mereka secara brutal atau mengata-ngatai mereka ini itu. Berteman dengan mereka cukup menyenangkan, dan banyak hal positif yang bisa kita serap dari mereka. Bahkan kalau boleh jujur, saya menganggap orang Amerika punya kepribadian yang paling menarik ketimbang orang-orang barat lainnya. Dua hal yang paling membuat saya jatuh hati adalah mereka punya hati yang sangat hangat dan begitu mudah tersentuh. Seekor kucing yang tak bisa turun dari pohon bisa membuat orang satu kampung bingung dan memanggil pemadam kebakaran. Sekelompok masyarakat bisa berkumpul menjadi relawan untuk menyelamatkan ribuan binatang peliharaan yang terjebak di rumah saat badai dan banjir bandang melanda. Seorang tentara berbadan besar bisa melelehkan air mata dan membersit ingus ketika berhasil menolong anak yang terjepit eskalator. Seorang kakek yang kehilangan anjingnya saat banjir bisa menangis tersedu-sedan nyaris histeris, saat si anjing dikembalikan oleh tim penyelamat beberapa bulan berikutnya. Itu tak bakal terjadi di Indonesia, karena si kakek bakal dibilang, “Apaan, sih, Kek! Lebay!” dan walhasil si kakek akan memilih untuk jaim, hehehe…. Dan prajurit Amerika yang badannya pada segede hohah itu adalah para prajurit berhati paling lembut  yang bisa kita temui di belahan dunia manapun. Kehangatan hati semacam itu sangat sulit untuk ditolak. Itu sebabnya saya tidak percaya ada orang yang begitu sampai hati tertawa girang, saat ribuan orang Amerika mati untuk sesuatu yang tidak mereka pahami.      

Jadi, apakah pendulum kita bergerak ekstrim ke kiri atau ke kanan dengan semua dampak yang mengikutinya, itu semua tak akan terjadi bila kita berakar dengan kuat pada tradisi, norma, adat, budaya, filosofi, dan segala tata hidup yang telah diwariskan para pendahulu kita dari generasi ke generasi. Bila kita berakar dengan kuat, maka kita akan berdiri tepat di tengah-tengah. Kita akan mampu bergaul dan memberikan hal-hal baik pada bangsa-bangsa lain di dunia dan sebaliknya tidak memandang dengan curiga pada mereka. Kita bisa mengoreksi kesalahan mereka dengan harga diri yang pantas, sekaligus menyerap hal-hal yang baik dari mereka pada saat bersamaan. Dan bila dalam posting-posting sebelumnya saya telah menjabarkan empat tiang nasionalisme, maka akar kita adalah pondasinya. Sebab tak ada satu tiangpun bisa berdiri kokoh tanpa fondasi yang kuat. Maka kiranya kita semua orangtua Indonesia, tak peduli Minahasa, Papua, Batak, Sunda atau manapun juga, mulai kini memusatkan perhatian pada akar tradisi dan kebangsaan anak-anak kita. Sebab masa depan Indonesia ada pada kita dan generasi berikutnya. Dan anak-anak ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua, bukan tanggung jawab Pak RT, Bu Lurah, para menteri, anggota DPR, Presiden, Jendral Timur Pradopo, Ki Gendheng Pamungkas, Limbad, Trio Macan, Jokowi, semua orang dalam bangku pemerintahan, dan lain-lain. Anak-anak ini -apakah anak kita sendiri atau anak teman atau saudara kita- adalah tanggung tanggung jawab kita para orang tua yang ada di dekat mereka. Mari kita tumbuh kuatkan akar mereka, sebab Indonesia yang kuat adalah Indonesia dengan manusia-manusia yang tak tercerabut dari akarnya. Tuhan memberkati anda semua, para orang tua dan anak-anak Indonesia! Tuhan memberkati akar Indonesia kita! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



Senin, 08 Oktober 2012

TEGAKKAN KEPALA DAN LAWAN DIRI KITA DAN MEREKA!!!



Saya pernah nonton sebuah film Hollywood. Judulnya apa, sutradara dan para pemainnya siapa, settingnya di kota mana, semuanya lupa :). Yang jelas film ini diangkat dari kisah nyata dan berlatar belakang sekitar tahun ’90-an. Jadi nggak kuno-kuno amatlah. Singkat cerita, tersebutlah sekelompok perempuan ekonomi sulit yang berusaha melamar kerja di sebuah perusahaan apa, lagi-lagi lupa :). Pokoknya karyawan perusahaan itu semuanya laki-laki. Tak terperi usaha para perempuan itu untuk bisa masuk ke sana, dan giliran masuk mereka diperlakukan benar-benar hina-dina-nista. Nggak sampai diperkosa, sih, tapi secara esensial mereka menerima perlakuan yang tak kalah menjijikkannya dari perkosaan fisik. Para perempuan tersebut akhirnya bangkit untuk perlawanan dan singkat kata perjuangan mereka berhasil, sebab kalau tidak kan tidak mungkin diangkat jadi film :). Di lain waktu saya pernah membaca buku, yang lagi-lagi judulnya dan penulisnya siapa lupa :). Yang jelas sih pendeta laki-laki. Si pendeta ini menuliskan fakta-fakta ketimpangan gender yang kabarnya hingga kini masih terjadi di banyak tempat di Amerika. Contohnya, masih banyak gereja yang tidak mengijinkan perempuan berkhotbah di atas mimbar. Ketika suatu kali istri si pendeta (yang adalah seorang perempuan pengabar Injil atau evangelis) jadi pengkhotbah tamu di sebuah gereja, para jemaah dan tua-tua gereja dengan kompak melakukan walk out. Kalaupun perempuan boleh mengajar agama hanya dalam skup ibadah rumahan, itupun musti diawasi tua-tua laki-laki.

Saya tidak mau banyak bicara, jadi to the point saja: saudara-saudara, kalau ada orang bule atau Indonesia pro bule atau bekas orang Indonesia pro bule yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia mengalami nasib sebagai warga Negara kelas dua, ceritakan dua hal tersebut di atas pada mereka. Anda boleh menambahkan: di Sulawesi Utara pendeta malah didominasi kaum perempuan. Dan mereka bukan pendeta yang hanya ditempatkan di sebuah gereja sejak ditahbiskan hingga pensiun, tidak. Mereka juga dipindah-pindah tempatkan, dengan suami dan anak-anak mengikuti. Apakah para suami para pendeta tersebut pengangguran? Tidak juga. Lalu bagaimana dengan pekerjaannya? Ya tinggal pindah saja ke instansi tempat istrinya ditugaskan, kalau si suami PNS. Kalau kerja di perusahaan swasta dan ada cabang di sana, maka ke sanalah pula ia ditempatkan. Kalau tidak ada ya tinggal atur bagaimanalah. Singkatnya, semua pihak yang terlibat siap membantu memfasilitasi pendeta dan keluarganya sehubungan dengan pelayanan yang diemban si perempuan pendeta. Hebat, ya? Dengan begini para suami tak merasa tersisih dan ibu pendeta bisa berbakti semaksimal mungkin.

Dan di seluruh wilayah Indonesia, pendeta Kristen perempuan yang memiliki kapasitas boleh berkhotbah di manapun, di atas mimbar kek, panggung sandiwara kek, sesukanya asal khotbahnya bermutu dan tidak menyesatkan umat. Kalau ternyata khotbahnya membosankan dan bertele-tele hingga bikin jemaah ketiduran, ya itu salah si pendeta sendiri, bukan salah sistemnya. Bukan salah Negara atau gereja yang mengelas duakan perempuan. Katakan pula bahwa sejak Indonesia merdeka dan menggelar pemilu pertama, perempuan sudah punya hak pilih. Katakan pula bahwa organisasi-organisasi perempuan sudah ada JAUH SEBELUM INDONESIA merdeka. Kalaupun nasib mereka digencet, yang nggencet juga pemerintah Belanda busuk, dan bukan karena urusan gender segala macam. Dan setelah ratusan tahun merdeka, hingga detik ini Amerika belum juga punya presiden perempuan. Oh, ya sebagai tambahan, walikota Manado yang pertama adalah perempuan dan itu terjadi tak lama setelah Belanda hengkang. Saking sengitnya Ibu Wali yang saya tak tahu namanya itu pada penjajah, sampai-sampai bangunan-bangunan peninggalan Belanda segera ia ambrukkan dengan penuh semangat revolusi. Itu sebabnya kita sulit melakukan wisata sejarah arsitektural Belanda di sini. Sayang, ya? Tapi tak apalah, maklum orang lagi emosi :). 

Kalau ada orang barat atau Indonesia atau bekas Indonesia pro barat mengatakan manusia tak ada harganya di Indonesia, dan bawa-bawa korban pembumi hangusan PKI sebagai misal, anda bisa katakan pada mereka: masa di mana anggota KKK membunuh orang negro seenak udel tanpa diadili juga belum berlalu lama. Masa gagal panen kapas yang membuat orang kulit putih wilayah Selatan Amerika Serikat jadi frustrasi dan melampiaskannya pada orang negro pun juga terjadi baru beberapa dekade silam. Yang ini malah nggak perlu menutupi wajah pakai kerudung KKK. Ketika itu orang bisa bangun di pagi hari, membuka pintu dan menemukan pria-pria negro digantung di pohon depan rumah mereka tanpa alasan jelas. Benar-benar tanpa alasan jelas, hanya semata-mata karena orang kulit putih putus asa dengan beratnya kehidupan mereka lalu membunuh orang-orang negro yang sedang sial secara acak, sebagai katarsis dari semua rasa cemas dan tekanan emosi mereka. Semua kebiadaban tersebut terjadi sama sekali tanpa unsur keamanan dan stabilitas Negara atau pemimpin yang haus kekuasaan. Katakan juga bahwa para pelaku kejahatan tersebut adalah orang-orang sipil yang bisa jadi tetangga atau bahkan pakdhe seseorang, dan sama sekali bukan polisi, tentara atau pria berseragam lainnya. Dan sama seperti anggota Ku Klux Klan, setelah membunuh orang-orang tersebut melanjutkan hari mereka seperti biasa, makan dan tidur di tempat yang sama seperti malam sebelumnya. Kalau ada yang bilang aparat di Indonesia tak punya hati nurani, angkat saja kasus penjara Guantanamo ke permukaan. Itu malah masih segar dalam ingatan, dan pasti bikin mereka kelimpungan tak bisa ngeles.

Itu semua terjadi di Amerika, yang sudah merdeka selama DUA RATUS TIGA PULUH ENAM TAHUN dan secara keseluruhan tak pernah diajajah siapapun, jadi tak jelas merdeka dari siapa (menurut saya, sih :)). Yang ada mereka kan para imigran Inggris, ngobrak-ngabrik tanah orang Indian, lalu baku rampas tanah orang dan menghabisi si empunya tanah, setelah itu singkatnya mengklaim diri dijajah Inggris (sampai di titik ini dan detik ini, otak saya yang terbatas ini tak pernah bisa memahami, mengapa para imigran Inggris yang merampas tanah orang tersebut bisa berakhir mengaku dijajah Inggris. Ada yang bisa menjelaskan pada saya?). Mereka tak pernah dijajah selama 350 tahun, tak pernah dimiskinkan secara materi, rohani, mental, spiritual, dipecah belah, dihina, diinjak-injak, dan dinista selama ratusan tahun. Mereka tak pernah perlu memulihkan diri dari trauma fisik maupun non fisik apapun. Dan setelah ratusan tahun punya waktu untuk menata Negara dan menghisap Negara-negara lain, data yang diperoleh Oprah Winfrey mencatat bahwa pada sekitar tahun 2010 (kalau tak salah ingat :)), di kota Newark, SATU DARI DUA ANAK REMAJA MENGALAMI PUTUS SEKOLAH. Itu kalau ada yang mengatakan betapa bobroknya sistem pendidikan di Indonesia dan betapa besarnya jurang kesempatan pendidikan di negeri kita. 

Kalau ada yang bilang Indonesia adalah Negara yang tidak aman, bilang pada mereka bahwa di banyak apartemen kelas bawah di Amerika, seorang perempuan tidak akan berani naik tangga sendirian. Kalau lift mati dan tak ada teman, maka mereka tak punya pilihan selain pasrah pada nasib. Apa pasal? Karena perkosaan di anak tangga bukan perkara asing. Dan pada banyak kasus, saat perkosaan terjadi dan ada orang lain melintasi anak tangga tersebut, maka orang tersebut akan melenggang begitu saja, apalagi kalau pemerkosanya rombongan. Bilang pula pada mereka bahwa di Amerika seorang murid SMA bisa saja stress lalu mengambil senapan milik orang tuanya, lalu kembali ke sekolah dan menembaki siapapun yang dia temui. Dan ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Di Amerika pula anggota gang-gang bisa baku tembak semau mereka, tak peduli tempat dan waktu, dan masih terjadi sampai sekarang setelah dua ratus sekian tahun mereka membangun Negara.

Kok kesannya seakan saya anti Amerika, ya? Padahal sih memang iya. Hehehe, enggak sih, lantaran Amerika kan yang paling populer. Dan yang paling sering diagung-agungkan oleh mereka yang sok bule. Tapi baiklah kita pakai perbandingan lain saja. Sekarang giliran Perancis, yang katanya begitu penuh semangat dalam menegakkan Human Rights dan blablabla. Kalau ada yang mengatakan bahwa Indonesia belum siap berdemokrasi dus sama sekali tak pantas menyebut diri sebagai Negara demokrasi, lain dengan di Eropa dan Amerika atau manapun juga, bilang pada mereka bahwa Perancis melarang warganya memakai atribut agama. Mau jilbab kek, kalung salib kek, apapun itu. Ada yang bilang lantaran awalnya mereka pada parno teroris menyembunyikan bom atau apalah di balik burqa. Setelah mendiskreditkan para hijabers, dengan bangga mereka mengatakan: “Supaya fair maka umat agama lain juga tak boleh memakai atribut agama. Betapa kami menjunjung keadilan dan hak-hak asasi manusia, bukan?”. Anda ngakak membaca ironi tersebut? Kalau iya berarti kita soulmate :). Hipokrisi yang sangat seksi, bukan? Nah, anda bisa bilang pada mereka, bahwa di Indonesia, orang mau pake kalung salib kek, rantai dengan liontin gembok kek, terserah. Mau pake burka dari atas sampai bawah kek, pakai rok karung goni dan hem yang terbuat dari tikar anyaman bambu kek, sesukanya. Burqa tidak pernah dijadikan alasan keamanan. Toh granat bisa disembunyikan di lipatan kondhe simbah-simbah penjual uba rampe selamatan atau jajan pasar. Bom bisa disembunyikan di keranjang pecel Yu Darmi atau gerobak sayur Mang Engkos. Pistol bisa disembunyikan di balik susunan rokok asongan si Otong. Kalau alasannya demikian, sekalian saja semua orang Indonesia dilarang pakai baju dan tidak boleh bawa apa-apa. Jadi ke mana-mana telanjang sambil angkat tangan.

Kalau ada yang bilang orang-orang Indonesia tidak bisa pakai logika, anda bisa mengatakan ini: setakut apapun kami pada terorisme, logika kami tetap jalan dengan mengatakan bahwa hanya karena ulah segelintir teroris, bukan berarti kami punya hak untuk menyamaratakan semua umat Islam dan merampas hak mereka, yang diikuti oleh terampasnya hak umat beragama lain. Itu juga bisa dijadikan bantahan kalau ada yang bilang tak ada toleransi di Indonesia. Kalau ada orang bilang bangsa Indonesia brutal dan emosional, katakan pada mereka bahwa sejauh ini kami masih bersabar menghadapi segala hinaan pada kami, karena logika kami mengatakan bahwa membalas kejahatan hanya membuat kami sama jahatnya dengan mereka yang berlaku jahat pada kami.

Sinis? Iya. Dan kenapa tidak? Habis, mereka seenak jidat menuding-nuding jari ke muka orang seakan muka mereka yang paling kecakepan, padahal yang paling cakep kan saya, hihihi… Mereka punya banyak kekurangan, dan entah karena malu atau apa, mereka berusaha tutupi kekurangan tersebut dengan cari-cari kekurangan orang lain. Kalau tidak berhasil menemukan kekurangan orang ya akhirnya ngarang-ngarang. Dan tololnya, kita diperlakukan seperti itu kok ya mau-maunya diam saja. Tapi bagaimana mau melawan kalau tidak punya mitraliur? Jadi bagaimana, dong, kita harus berontak dengan memaki-maki mereka? Tenang, para pembaca, tak perlu seperti itu, seakan-akan kita tidak pernah diajari sopan-santun oleh orang tua. Ingat kan Mahatma Gandhi pernah melawan dengan hanya diam seribu bahasa dengan ahimsanya? Memang sih kita tak perlu jadi pendiam dan pemalu seperti itu. Namun intinya, sekali lagi, kita tak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan, karena itu justru membuat kita jadi sama jahatnya dengan mereka. Kita bisa melawan dengan: mencari tahu hal-hal baik tentang Indonesia, ibu pertiwi kita, lalu menggunakannya sebagai senjata untuk mematahkan semua usaha mereka dalam mendiskreditkan kita. Caranya? Ya dengan semua contoh yang sudah saya sebut di atas. Capek deh :).

Tapi ada masalah besar: bagaimana mungkin kita bisa melawan penghinaan mereka, jika kita sendiri juga ikut-ikut menghina ibu pertiwi kita? Kalau kita mau jujur, banyak sekali dari kita yang suka menyumpah serapahi segala hal yang ada di Indonesia, bukan? (hal ini saya pernah saya kupas secara khusus dalam posting berjudul ‘Salah Empat atau Betul Enam Belas?’ dan ‘Ngomel Berjamaah’. Silakan tengok ulang, ketimbang saya capek bikin contoh-contoh lagi:). Jadi ijinkan saya membuat analoginya: anda dan saya punya orang tua, bukan? Berhubung orang tua kita adalah manusia dan bukan Tuhan, maka mereka semua pasti punya kekurangan. Dan apa reaksi kita kalau ada orang yang menghina orang tua kita? Apa kita akan berdiam diri? Saya tidak tahu dengan anda, tapi kalau saya pasti akan melawan dan berkata, “Memang simbokku premanwati yang suka memaki, tapi cuma itu kejelekannya. Yang baik segudang. Dia cantik, lucu, santai, murah hati, mudah jatuh iba, pergaulannya luas, masakannya enak, ramah, kalau ada masalah selalu dibikin enjoy, suka bercanda, dan sebagainya. Cuma karena satu dua kekurangannya kalian mau bilang emakku buruk semata? Bagaimana dengan emakmu sendiri? Manusia sempurna? Dan bagaimana perasaanmu kalau emakmu kuhina-hina? Jadi, kuminta dengan hormat mintalah maaf pada emakku sekarang juga.” Tetapi sebagai perbandingan, ada baiknya saya membuat skenario begini: ada segerombolan orang membicarakan kekurangan emak saya, dan saya menimpali, “Oh, itu belum seberapa! Kalian semua harus tahu, emakku itu pelitnya minta ampun! Dia nggak bakal kasih uang jajan kalau aku belum meratap dan menghiba. Emakku juga koruptor, hobinya mark up duit belanja terus dia pakai buat borong tanaman hias dan guci-guci koleksinya. Kemudian kalo Bapak menegur kenapa duit belanja kandas sebelum waktunya, emakku memfitnah dengan bilang bahwa itu semua gara-gara anak-anaknya yang tujuh orang itu, biarpun perempuan semua tapi kalo makan pada kayak luwak. Dan, hei, kalian pikir emakku cakep banget dengan hidung tinggi runcing, mata belok kecokelatan, alis tebal kayak disulam, dagu belah, bibir tipis, dan blablabla? Tunggu sampai kalian lihat dia tidur mangap sambil ngiler!”. Demikian saya menggosipkan emak saya dengan penuh semangat Malin Kundang, sehingga arena penghujatan terhadap emak saya menjadi kian bergelora dan berletupkan bara.

Sinting? Otomatiiiis….. Untung saya belum durhaka dan tidak akan pernah durhaka. Jadi kalau ada yang menjelekkan emak saya ya pastilah saya bela. Dan seperti saya yang punya hak DAN kewajiban untuk menjunjung tinggi dan membela kehormatan orang tua terlebih ibu yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkan saya, maka saya yakin demikianlah sekalian anda. Dan sama gilanya dengan saya jika justru menghina dan menginjak-injak kehormatan ibu saya, saya yakin demikian pulalah anda. Tetapi di luar sana pasti ada satu dua orang ajaib yang suka menghina orang tuanya sendiri. Dan bila ada di antara kita yang punya penyakit seperti itu, maka kita tak punya pilihan selain melawan penyakit itu. Jika mulut sudah gatal ingin membicarakan keburukan orang tua, kita tak punya pilihan selain mengingat semua kebaikan dan pengorbanan mereka dalam merawat dan membesarkan kita. Kita tak punya pilihan selain terus dan terus melawan penyakit itu, sampai akhirnya penyakit itu takluk dan dengan bangga kita bisa berkata, “Ibukulah yang terbaik di dunia, lepas dari segala kebaikan dan kekurangannya. Dan, hei, kekurangannya tak seberapa, tapi sejuta kebaikannya pasti akan membuatmu terpesona. Mau dengar ceritanya?”

Dan setelah punya rasa hormat yang pantas pada orang tua, kita bisa melawan siapapun yang berani menginjak-injak kehormatan ibu kita. Dan siapakah yang berani berkata bahwa Indonesia bukan ibu pertiwi kita? Jika ada orang Indonesia yang berani berkata Indonesia bukan ibu pertiwinya, maka kita bisa berkata, “Kalau begitu carilah ibu pertiwi lain. Semoga ada yang mau.” Inilah tiang ke empat nasilonalisme hasil rumusan Yuanita Maya, yang jika disatukan dengan tiga sebelumnya akan menghasilkan rasa percaya diri nan proporsional sekaligus menguatkan kita dalam menghadapi tantangan dalam berbangsa. Maka marilah kita semua bangkit dan tegakkan kepala! Adalah hak dan kewajiban kita untuk membela kehormatan ibu pertiwi kita, Indonesia! Adalah hak dan kewajiban kita untuk melawan penyakit diri yang HANYA MAU melihat dan membicarakan kekurangan Indonesia! Adalah hak dan kewajiban kita untuk terus-menerus mencari, mengembangkan, dan  mensyukuri segala kelebihan dan hal-hal baik yang dimiliki Indonesia! Adalah hak dan kewajiban kita untuk melawan siapapun yang berani merendahkan Indonesia, dan menuntut permintaan maaf atas segala hinaannya! Mari, tegakkan kepala dan lawan diri kita dan mereka! Tuhan memberkati keberanian dan kebenaran anda dan saya, Tuhan memberkati kehormatan Indonesia!  (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).