Mak Tiwar tidak pernah bersekolah
formal. Tidak pernah ikut kelompok diskusi apapun untuk merumuskan semua
masalah di Indonesia. Tidak pernah main FB atau twitter dan protes soal ini
itu, wong pakai hape saja belum tentu bisa. Ia juga tidak pernah ikut
organisasi apapun. Kartu perpustakaan juga tidak punya, sebab baca tulis belum tentu mampu. Pokoknya Mak Tiwar adalah orang yang sangat tidak up dated.
Segala akses informasi ia tak punya; paling bagus adalah berita dari kelurahan
yang biasanya disampaikan pada kumpulan warga atau petugas PKK dan Pos Yandu.
Jadi tak heran kalau Mak Tiwar sama sekali tak tahu bahwa di luar sana
orang-orang sedang panik karena urusan krisis pangan. Mak Tiwar juga
tak tahu bahwa kabarnya pada tahun 20013 nanti sedikitnya 7 juta orang Amerika
bakal mengalami krisis pangan. Boro-boro mengerti apa yang bakal menimpa atau
menghilang dari meja makan orang-orang Amerika, sedangkan istilah krisis pangan
saja Mak Tiwar belum tentu mengerti. Yang jelas seumur-umur Mak Tiwar tidak
pernah kekurangan pangan. Dan saya duga sampai ajal menjemput Mak Tiwar bakal
tetap begitu.
Jangan salah terka, Mak Tiwar
bukan orang berduit yang bisa membangun bunker khusus untuk menyetok makanan a
la acara Doomsday Prepper di sebuah tivi kabel. Mak Tiwar juga bukan perempuan
karir yang menenteng gadget canggih ke mana-mana dengan penghasilan sekian
digit. Ia cuma Mak Tiwar, perempuan desa tua yang saya dengar dari Tante saya,
waktu beliau masih jadi agen minyak tanah Pertamina. Sebagai agen minyak tanah
kala itu Tante saya sering turne ke desa untuk melihat kondisi
pangkalan-pangkalan. Di sanalah suatu hari, saat menunaikan pekerjaan sambil
jalan-jalan menikmati pemandangan alam dari atas bukit sejauh pandang
dilepaskan, Tante saya mengenal Mak Tiwar. Dan beliaupun terpesona dibuatnya.
Mak Tiwar hidup bersama suami dan
seorang cucunya, karena orang tua si cucu, yakni anak dan mantu Mak Tiwar, mengadu
nasib di kota. Suami Mak Tiwar kalau tak salah tukang kayu, sedangkan Mak Tiwar
tinggal di rumah mengurus rumah dan cucu. Merasa ada kelebihan waktu, Mak Tiwar
lirik kiri-kanan. Lalu ia melihat lahan milik tetangganya cukup luas (untuk
ukuran Mak Tiwar) dan dibiarkan tertidur lama begitu saja. Maka Mak Tiwar
meminta ijin pada si empunya untuk mengolah tanah tersebut. Entah ada pembagian
hasil atau pemilik tanah menyerahkan hasilnya begitu saja pada Mak Tiwar, Tante
saya tak bertanya. Yang jelas mulailah Mak Tiwar bertekun dengan tanah seluas
sekitar beberapa ratus meter persegi tersebut. Pertama, sebagian ia sebari
bibit padi. Lalu sebagian lagi ia sebari bibit palawija dengan sistim tumpang
sari atau apa saya lupa, wong saya bukan petani, hihihi… Pokoknya kalau bulan ini ia menanam itu, lalu
bulan itu ia menanam ini sesuai masa panen masing-masing bibit yang beda musim tersebut.
Kemudian sepetak lain ia gunakan untuk menanam sayur-sayuran bakal masak
sehari-hari. Ada terong, bayam, sawi, cabai, tomat, bawang merah, bawang putih,
dan sebagainya. Jumlahnya secukupnya wong cuma buat konsumsi sendiri, kalau ada
lebih baru ia titipkan ke warung-warung terdekat. Itupun tak selalu, karena
kebanyakan ia bagi-bagi begitu saja ke tetangga sekitar.
Lalu ia minta tolong suaminya
untuk membuat dua buah lubang: satu untuk diisi air kemudian disebari benih-benih ikan air tawar. Lubang sisanya untuk menampung sampah dedaunan, sebab MAK TIWAR TAK PERNAH
MEMBAKAR SAMPAH. Bibit ikannya juga tak heboh-heboh amat, secukupnya saja.
Prinsip Mak Tiwar: sing penting ora perlu tuku, weteng ora ngelih (yang penting
tak perlu beli, perut tak lapar). Hanya tempe tahu dan minyak goreng yang ia
beli, sebab ia tak mau repot-repot membuatnya. Mak Tiwar juga tak pernah resah
jika harga cabe, bawang merah putih, dll, naik. Kalau hidup di kota pastilah
Mak Tiwar melakukan sistem tabulampot atau tanaman dan buah dalam pot. Maka
jadilah Mak Tiwar sosok yang sangat self sufficient. Tiap hari ia menikmati
menu makanan yang penuh gizi dari hasil kebun (pinjaman)nya sendiri. Ia juga
tak takut tabung gas meleduk, karena masak pakai kayu bakar yang banyak terhampar
di pinggiran hutan kampung. Dan makanan yang dimasak dengan kayu tentu saja
hasilnya lebih sedap ketimbang yang dimasak pakai kompor modern. “Waktu di sana
Mak Tiwar masak mujahir goreng, tempe tahu, tumis sawi hijau, dan sambal korek.
Sedap sekali! Sssst…Tante sampai tambah, lho. Sebetulnya pengin tambah dua
kali, tapi malu,” kata Tante saya penuh penyesalan. “Tapi tak apalah, soalnya
setelah itu Mak Tiwar bikin verkedel jagung dan singkong goreng. Minumannya kopi
tubruk ndesa. Hmmmm….,” kata Tante saya dengan raut wajah jauh lebih cerah.
“Pasti Mak Tiwar tubuhnya kuat
berotot seperti GI Jane,” kata saya, membayangkan Mak Tiwar mengayunkan cangkul. Ternyata kata Tante
saya tidak. Ia tampak seperti mbah-mbah di kampung-kampung Jawa pada umumnya.
Bertubuh kecil cenderung kurus, pakai baju seadanya (betul-betul seadanya), rambut
diundel biasa semi awut-awutan dan sudah penuh uban, urat sudah mulai
bertonjolan di tangannya menandakan umur yang sudah cukup panjang, dan, yang
paling tipikal, kaki pecah-pecah dengan jari-jemari jempol semua. Iya, soalnya
kalau macul dan itu ini kan Mak Tiwar selalu nyeker (dan bukan hanya ketika
turun dari mobil di depan para wartawan seperti yang yang dilakukan oleh seorang menteri, hehehe….), jadi wajarlah kalau jari-jemari
kakinya gambreng. Tiba-tiba saya teringat sesuatu, “Lhah, cucunya apa
kabar? Siapa yang ngurus sementara Mak Tiwar sibuk ini itu?”. Dalam hal ini
ternyata Mak Tiwar santai. Pagi cucunya dimandikan, diberi makan, lalu dibawa
ke kebun dengan dibekali mainan dan cemilan secukupnya. Mak Tiwar macul dengan
tenang di bawah terik matahari, sementara cucunya mainan sendiri di gubuk kecil
yang dibuatkan kakeknya sebagai tempat berteduh. Agak siang Mak Tiwar masak
lalu memberi makan suami dan cucu sambil istirahat sebentar. Lalu cucunya
ditidurkan dan ia sibuk lagi. Cucunya bangun dibawa ke kebun lagi. Lalu pulang
dan Mak Tiwar mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Sore hari kalau tidak pengajian
ya ngobrol sama suami atau apalah, lalu tidur. Sesederhana itu. Besoknya begitu
lagi. Dan kalau istirahat sehari saja biasanya Mak Tiwar malah linu-linu. Flu tulang, Ndara Ayu, demikian kata Mak Tiwar pada tante saya, entah paham atau tidak makna flu tulang.
Dan saya bisa memahami mengapa Tante
saya terpesona pada sosok ini. Pertama, Mak Tiwar pasti bisa dijadikan bahan
kajian menarik bagi mereka yang bergerak di bidang keseteraan gender dengan
judul ‘Perempuan Perkasa’. Atau judulnya diganti ‘Wanita Perkasa’ kalau si
penulis tidak mempermasalahkan mana yang secara etimologis nilainya lebih rendah,
diksi perempuan atau wanita, hehehe… Nyaris semua kebutuhan keluarga ia yang
penuhi sendiri (bandingkan dengan saya yang kalau lihat suami bawaannya lihat
‘duit belanja’, hihihi…). Dan ia tidak banyak cingcong lalu cari-cari rumusan
dalam perspektif gender dll (bandingkan dengan saya yang suka ribut dengan
masalah konsepsi, dan sementara itu meninggalkan baju-baju belum disterika
numpuk berhari-hari :)).
Kedua, ia merawat cucunya dengan penuh devosi di tengah segala kesibukan belum
dihitung usianya yang sudah senja (bandingkan dengan saya yang kalau bangun
pagi untuk ngurus si kecil kadang berseru kesal pada suami, “Kenapa harus
selalu aku, siiiiih???!!!!”, lalu tidur lagi, meninggalkan suami kelimpungan
mengurus si kecil seorang diri :)).
Ketiga , Mak Tiwar berjalan selaras dengan alam. Ia masak dengan kayu bakar (di
sini saya tidak bisa membandingkan dengan diri sendiri, soalnya kalau mau
seperti Mak Tiwar berarti saya musti nebang pohon rambutan di halaman atau
pohon peneduh di jalanan yang ditanam sesuai juklak Pemda :)). Dan patut kita catat
bahwa selain tak pernah membakar sampah, Mak Tiwar juga mengasihi tanah dengan
menjauhkannya dari pupuk pabrikan berbahan kimia dan hanya memberinya pupuk
alami hasil timbunan sampah daun itu. Emang enak bikin pupuk? Dan catatan dengan
huruf besar semua adalah: MAK TIWAR TELAH MEMBUAT SUMUR RESAPAN ALAMI. Entah
sadar entah tidak, yang jelas Mak Tiwar telah melakukan langkah terbaik yang
bisa dilakukan seorang individu untuk menangkal ancaman krisis air global yang
sudah mengintip di balik pintu. Bandingkan dengan banyak orang bersekolah tinggi (yang bisa jadi termasuk anda dan saya), yang boro-boro
bikin sumur resapan sederhana, yang ada malah rumahnya disemen semua. Dan Mak
Tiwar tak pernah menyalakan pompa air untuk menyiram tanaman, sebab itu semua ia
dapat dari air kolam yang berfungsi sekaligus sebagai penampung air hujan. Mak
Tiwar tak pernah ngomel di FB atau twitter: “Air macet terus, bagaimana ini
PLN? Udah bayar mahal-mahal”. Mak Tiwar jauh lebih cerdas dan gagah berani. Ia
diam dalam gerak, dan bergerak dalam diam.
Boro-boro mengubah daerah resapan jadi hunian, sebaliknya Mak Tiwar dengan sedaya mampunya
menjadikan setiap peluang sebagai rekening simpanan air tanah.
Dan jika para pengamat sosial dan
para sosiolog selama ini gelisah dengan sistem lumbung padi yang kabarnya sudah
punah, maka Mak Tiwar sama sekali tidak. Ia jauh lebih cerdas dan tangkas
daripada mereka semua, karena ia SELALU PUNYA LUMBUNG PADI. Bukan cuma padi,
bahkan jagung dan macam-macam sumber karbohidrat lainnya. Singkong yang tak
awet ia keringkan, tumbuk, lalu simpan. Demikian pula jagung dan umbi-umbian
lain. Kalau acara Doomsday Preper dibikin versi Indonesia dan ada kontesnya,
pasti Mak Tiwar meraih suara terbanyak dalam voting via sms. Mak Tiwar yang
mungkin sama sekali tak pernah ikut penataran P4 itu jelas-jelas sudah melaksanakan
–minimal- sila ke-5 Pancasila. Sebab bukan hanya mensejahterakan diri sendiri
dan keluarga, ia juga mensejahterakan tetangga kiri kanannya. Soalnya Mak Tiwar
kan hanya tinggal bertiga, jadi surplus hasil kebunnya selain ia simpan di
lumbung ia bagi juga pada para tetangga. Mak Tiwar sekeluarga kenyang,
tetangga-tetangganya juga. Susah deh jadi miskin kalau semua orang modelnya
seperti Mak Tiwar. Semua mandiri dan mau berbagi.
Kalau saja kita yang mengeluh
soal air macet dan banjir, cabe mahal, dll, mau mengadopsi nilai-nilai dan
contoh praktis yang telah diberikan Mak Tiwar –paling tidak satu atau dua saja-
pasti hidup kita secara kolektif juga akan berubah. Dan menjadi lebih mudah. Dan kalau
Oprah Winfrey kenal Mak Tiwar mungkin hidup sekian juta umat manusia di dunia
akan berubah, karena penonton Oprah kan lintas benua dan banyak sekali. Saya bayangkan
mereka semua terkagum-kagum, karena di sebuah titik di sebuah desa Pulau Jawa
di Indonesia, ada seorang perempuan tua yang menerapkan betul semua konsep
ketahananan pangan level paling dasar, padahal istilah ketahanan pangan saja ia
tak tahu. Orang-orang bakal berpikir, “Kalau semua individu juga seperti Mak
Tiwar, maka ketahanan pangan skala nasional dan internasional bisa tercapai,
sebab semua individu sudah terlibat aktif. Kalaupun toh ada isu iklim,
setidaknya bisa tertanggulangi sebagian. Dan individu-individu dalam satu komunitas bisa saling berbagi. Yang punya itu berbagi pada yang tak punya itu, yang punya ini berbagi pada yang tak punya ini. Hhhhhmmmm..... sederhana dan canggih pada saat yang sama.”
Itulah semua hal tentang Mak
Tiwar yang membuat Tante saya terpesona. Saya lebih lagi, karena Mak Tiwar sama
sekali tak pernah sekolah atau bergaul dengan orang-orang yang terdidik secara
formal. Seandainya saya tanya apakah Mak Tiwar tahu apa itu information sharing,
besar kemungkinan ia malah balik tanya, “Apa itu, Ndara Ajeng? Sejenis
thiwul?”. Dan puncak kegemilangan Mak Tiwar
bagi saya adalah: ia cerdas oleh dirinya sendiri. Ia cerdas oleh alam. Tidaklah berlebihan
kiranya jika saya berkata: Mak Tiwar yang berkaki pecah-pecah dengan jari
jempol semua itu adalah jenius natural. Diberkatilah Mak Tiwar dengan segala
kecerdasaan, keperkasaan, dan kepekaannya! Diberkatilah kita semua yang mau belajar darinya! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).