Senin, 15 Oktober 2012

Jenius Berkaki Pecah-pecah Itu Adalah Mak Tiwar



Mak Tiwar tidak pernah bersekolah formal. Tidak pernah ikut kelompok diskusi apapun untuk merumuskan semua masalah di Indonesia. Tidak pernah main FB atau twitter dan protes soal ini itu, wong pakai hape saja belum tentu bisa. Ia juga tidak pernah ikut organisasi apapun. Kartu perpustakaan juga tidak punya, sebab baca tulis belum tentu mampu. Pokoknya Mak Tiwar adalah orang yang sangat tidak up dated. Segala akses informasi ia tak punya; paling bagus adalah berita dari kelurahan yang biasanya disampaikan pada kumpulan warga atau petugas PKK dan Pos Yandu. Jadi tak heran kalau Mak Tiwar sama sekali tak tahu bahwa di luar sana orang-orang sedang panik karena urusan krisis pangan. Mak Tiwar juga tak tahu bahwa kabarnya pada tahun 20013 nanti sedikitnya 7 juta orang Amerika bakal mengalami krisis pangan. Boro-boro mengerti apa yang bakal menimpa atau menghilang dari meja makan orang-orang Amerika, sedangkan istilah krisis pangan saja Mak Tiwar belum tentu mengerti. Yang jelas seumur-umur Mak Tiwar tidak pernah kekurangan pangan. Dan saya duga sampai ajal menjemput Mak Tiwar bakal tetap begitu.

Jangan salah terka, Mak Tiwar bukan orang berduit yang bisa membangun bunker khusus untuk menyetok makanan a la acara Doomsday Prepper di sebuah tivi kabel. Mak Tiwar juga bukan perempuan karir yang menenteng gadget canggih ke mana-mana dengan penghasilan sekian digit. Ia cuma Mak Tiwar, perempuan desa tua yang saya dengar dari Tante saya, waktu beliau masih jadi agen minyak tanah Pertamina. Sebagai agen minyak tanah kala itu Tante saya sering turne ke desa untuk melihat kondisi pangkalan-pangkalan. Di sanalah suatu hari, saat menunaikan pekerjaan sambil jalan-jalan menikmati pemandangan alam dari atas bukit sejauh pandang dilepaskan, Tante saya mengenal Mak Tiwar. Dan beliaupun terpesona dibuatnya.

Mak Tiwar hidup bersama suami dan seorang cucunya, karena orang tua si cucu, yakni anak dan mantu Mak Tiwar, mengadu nasib di kota. Suami Mak Tiwar kalau tak salah tukang kayu, sedangkan Mak Tiwar tinggal di rumah mengurus rumah dan cucu. Merasa ada kelebihan waktu, Mak Tiwar lirik kiri-kanan. Lalu ia melihat lahan milik tetangganya cukup luas (untuk ukuran Mak Tiwar) dan dibiarkan tertidur lama begitu saja. Maka Mak Tiwar meminta ijin pada si empunya untuk mengolah tanah tersebut. Entah ada pembagian hasil atau pemilik tanah menyerahkan hasilnya begitu saja pada Mak Tiwar, Tante saya tak bertanya. Yang jelas mulailah Mak Tiwar bertekun dengan tanah seluas sekitar beberapa ratus meter persegi tersebut. Pertama, sebagian ia sebari bibit padi. Lalu sebagian lagi ia sebari bibit palawija dengan sistim tumpang sari atau apa saya lupa, wong saya bukan petani, hihihi… Pokoknya kalau bulan ini ia menanam itu, lalu bulan itu ia menanam ini sesuai masa panen masing-masing bibit yang beda musim tersebut. Kemudian sepetak lain ia gunakan untuk menanam sayur-sayuran bakal masak sehari-hari. Ada terong, bayam, sawi, cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya. Jumlahnya secukupnya wong cuma buat konsumsi sendiri, kalau ada lebih baru ia titipkan ke warung-warung terdekat. Itupun tak selalu, karena kebanyakan ia bagi-bagi begitu saja ke tetangga sekitar.
Lalu ia minta tolong suaminya untuk membuat dua buah lubang: satu untuk diisi air kemudian disebari benih-benih ikan air tawar. Lubang sisanya untuk menampung sampah dedaunan, sebab MAK TIWAR TAK PERNAH MEMBAKAR SAMPAH. Bibit ikannya juga tak heboh-heboh amat, secukupnya saja. Prinsip Mak Tiwar: sing penting ora perlu tuku, weteng ora ngelih (yang penting tak perlu beli, perut tak lapar). Hanya tempe tahu dan minyak goreng yang ia beli, sebab ia tak mau repot-repot membuatnya. Mak Tiwar juga tak pernah resah jika harga cabe, bawang merah putih, dll, naik. Kalau hidup di kota pastilah Mak Tiwar melakukan sistem tabulampot atau tanaman dan buah dalam pot. Maka jadilah Mak Tiwar sosok yang sangat self sufficient. Tiap hari ia menikmati menu makanan yang penuh gizi dari hasil kebun (pinjaman)nya sendiri. Ia juga tak takut tabung gas meleduk, karena masak pakai kayu bakar yang banyak terhampar di pinggiran hutan kampung. Dan makanan yang dimasak dengan kayu tentu saja hasilnya lebih sedap ketimbang yang dimasak pakai kompor modern. “Waktu di sana Mak Tiwar masak mujahir goreng, tempe tahu, tumis sawi hijau, dan sambal korek. Sedap sekali! Sssst…Tante sampai tambah, lho. Sebetulnya pengin tambah dua kali, tapi malu,” kata Tante saya penuh penyesalan. “Tapi tak apalah, soalnya setelah itu Mak Tiwar bikin verkedel jagung dan singkong goreng. Minumannya kopi tubruk ndesa. Hmmmm….,” kata Tante saya dengan raut wajah jauh lebih cerah. 

“Pasti Mak Tiwar tubuhnya kuat berotot seperti GI Jane,” kata saya, membayangkan Mak Tiwar mengayunkan cangkul. Ternyata kata Tante saya tidak. Ia tampak seperti mbah-mbah di kampung-kampung Jawa pada umumnya. Bertubuh kecil cenderung kurus, pakai baju seadanya (betul-betul seadanya), rambut diundel biasa semi awut-awutan dan sudah penuh uban, urat sudah mulai bertonjolan di tangannya menandakan umur yang sudah cukup panjang, dan, yang paling tipikal, kaki pecah-pecah dengan jari-jemari jempol semua. Iya, soalnya kalau macul dan itu ini kan Mak Tiwar selalu nyeker (dan bukan hanya ketika turun dari mobil di depan para wartawan seperti yang yang dilakukan oleh seorang menteri, hehehe….), jadi wajarlah kalau jari-jemari kakinya gambreng. Tiba-tiba saya teringat sesuatu, “Lhah, cucunya apa kabar? Siapa yang ngurus sementara Mak Tiwar sibuk ini itu?”. Dalam hal ini ternyata Mak Tiwar santai. Pagi cucunya dimandikan, diberi makan, lalu dibawa ke kebun dengan dibekali mainan dan cemilan secukupnya. Mak Tiwar macul dengan tenang di bawah terik matahari, sementara cucunya mainan sendiri di gubuk kecil yang dibuatkan kakeknya sebagai tempat berteduh. Agak siang Mak Tiwar masak lalu memberi makan suami dan cucu sambil istirahat sebentar. Lalu cucunya ditidurkan dan ia sibuk lagi. Cucunya bangun dibawa ke kebun lagi. Lalu pulang dan Mak Tiwar mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Sore hari kalau tidak pengajian ya ngobrol sama suami atau apalah, lalu tidur. Sesederhana itu. Besoknya begitu lagi. Dan kalau istirahat sehari saja biasanya Mak Tiwar malah linu-linu. Flu tulang, Ndara Ayu, demikian kata Mak Tiwar pada tante saya, entah paham atau tidak makna flu tulang.
 
Dan saya bisa memahami mengapa Tante saya terpesona pada sosok ini. Pertama, Mak Tiwar pasti bisa dijadikan bahan kajian menarik bagi mereka yang bergerak di bidang keseteraan gender dengan judul ‘Perempuan Perkasa’. Atau judulnya diganti ‘Wanita Perkasa’ kalau si penulis tidak mempermasalahkan mana yang secara etimologis nilainya lebih rendah, diksi perempuan atau wanita, hehehe… Nyaris semua kebutuhan keluarga ia yang penuhi sendiri (bandingkan dengan saya yang kalau lihat suami bawaannya lihat ‘duit belanja’, hihihi…). Dan ia tidak banyak cingcong lalu cari-cari rumusan dalam perspektif gender dll (bandingkan dengan saya yang suka ribut dengan masalah konsepsi, dan sementara itu meninggalkan baju-baju belum disterika numpuk berhari-hari :)). Kedua, ia merawat cucunya dengan penuh devosi di tengah segala kesibukan belum dihitung usianya yang sudah senja (bandingkan dengan saya yang kalau bangun pagi untuk ngurus si kecil kadang berseru kesal pada suami, “Kenapa harus selalu aku, siiiiih???!!!!”, lalu tidur lagi, meninggalkan suami kelimpungan mengurus si kecil seorang diri :)). Ketiga , Mak Tiwar berjalan selaras dengan alam. Ia masak dengan kayu bakar (di sini saya tidak bisa membandingkan dengan diri sendiri, soalnya kalau mau seperti Mak Tiwar berarti saya musti nebang pohon rambutan di halaman atau pohon peneduh di jalanan yang ditanam sesuai juklak Pemda :)). Dan patut kita catat bahwa selain tak pernah membakar sampah, Mak Tiwar juga mengasihi tanah dengan menjauhkannya dari pupuk pabrikan berbahan kimia dan hanya memberinya pupuk alami hasil timbunan sampah daun itu. Emang enak bikin pupuk? Dan catatan dengan huruf besar semua adalah: MAK TIWAR TELAH MEMBUAT SUMUR RESAPAN ALAMI. Entah sadar entah tidak, yang jelas Mak Tiwar telah melakukan langkah terbaik yang bisa dilakukan seorang individu untuk menangkal ancaman krisis air global yang sudah mengintip di balik pintu. Bandingkan dengan banyak orang bersekolah tinggi (yang bisa jadi termasuk anda dan saya), yang boro-boro bikin sumur resapan sederhana, yang ada malah rumahnya disemen semua. Dan Mak Tiwar tak pernah menyalakan pompa air untuk menyiram tanaman, sebab itu semua ia dapat dari air kolam yang berfungsi sekaligus sebagai penampung air hujan. Mak Tiwar tak pernah ngomel di FB atau twitter: “Air macet terus, bagaimana ini PLN? Udah bayar mahal-mahal”. Mak Tiwar jauh lebih cerdas dan gagah berani. Ia diam dalam gerak, dan bergerak dalam diam.  Boro-boro mengubah daerah resapan jadi hunian, sebaliknya Mak Tiwar dengan sedaya mampunya menjadikan setiap peluang sebagai rekening simpanan air tanah.  

Dan jika para pengamat sosial dan para sosiolog selama ini gelisah dengan sistem lumbung padi yang kabarnya sudah punah, maka Mak Tiwar sama sekali tidak. Ia jauh lebih cerdas dan tangkas daripada mereka semua, karena ia SELALU PUNYA LUMBUNG PADI. Bukan cuma padi, bahkan jagung dan macam-macam sumber karbohidrat lainnya. Singkong yang tak awet ia keringkan, tumbuk, lalu simpan. Demikian pula jagung dan umbi-umbian lain. Kalau acara Doomsday Preper dibikin versi Indonesia dan ada kontesnya, pasti Mak Tiwar meraih suara terbanyak dalam voting via sms. Mak Tiwar yang mungkin sama sekali tak pernah ikut penataran P4 itu jelas-jelas sudah melaksanakan –minimal- sila ke-5 Pancasila. Sebab bukan hanya mensejahterakan diri sendiri dan keluarga, ia juga mensejahterakan tetangga kiri kanannya. Soalnya Mak Tiwar kan hanya tinggal bertiga, jadi surplus hasil kebunnya selain ia simpan di lumbung ia bagi juga pada para tetangga. Mak Tiwar sekeluarga kenyang, tetangga-tetangganya juga. Susah deh jadi miskin kalau semua orang modelnya seperti Mak Tiwar. Semua mandiri dan mau berbagi.

Kalau saja kita yang mengeluh soal air macet dan banjir, cabe mahal, dll, mau mengadopsi nilai-nilai dan contoh praktis yang telah diberikan Mak Tiwar –paling tidak satu atau dua saja- pasti hidup kita secara kolektif juga akan berubah. Dan menjadi lebih mudah. Dan kalau Oprah Winfrey kenal Mak Tiwar mungkin hidup sekian juta umat manusia di dunia akan berubah, karena penonton Oprah kan lintas benua dan banyak sekali. Saya bayangkan mereka semua terkagum-kagum, karena di sebuah titik di sebuah desa Pulau Jawa di Indonesia, ada seorang perempuan tua yang menerapkan betul semua konsep ketahananan pangan level paling dasar, padahal istilah ketahanan pangan saja ia tak tahu. Orang-orang bakal berpikir, “Kalau semua individu juga seperti Mak Tiwar, maka ketahanan pangan skala nasional dan internasional bisa tercapai, sebab semua individu sudah terlibat aktif. Kalaupun toh ada isu iklim, setidaknya bisa tertanggulangi sebagian. Dan individu-individu dalam satu komunitas bisa saling berbagi. Yang punya itu berbagi pada yang tak punya itu, yang punya ini berbagi pada yang tak punya ini. Hhhhhmmmm..... sederhana dan canggih pada saat yang sama.”

Itulah semua hal tentang Mak Tiwar yang membuat Tante saya terpesona. Saya lebih lagi, karena Mak Tiwar sama sekali tak pernah sekolah atau bergaul dengan orang-orang yang terdidik secara formal. Seandainya saya tanya apakah Mak Tiwar tahu apa itu information sharing, besar kemungkinan ia malah balik tanya, “Apa itu, Ndara Ajeng? Sejenis thiwul?”.  Dan puncak kegemilangan Mak Tiwar bagi saya adalah: ia cerdas oleh dirinya sendiri. Ia cerdas oleh alam. Tidaklah berlebihan kiranya jika saya berkata: Mak Tiwar yang berkaki pecah-pecah dengan jari jempol semua itu adalah jenius natural. Diberkatilah Mak Tiwar dengan segala kecerdasaan, keperkasaan, dan kepekaannya! Diberkatilah kita semua yang mau belajar darinya! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar