Lomar Dasika, pemilik blog cantik Indahnya Indonesia yang
juga penggemar berat blog ini (cihuyyyyy….), membuyarkan rencana yang telah
saya susun rapi. Saya sebelumnya sudah menyiapkan dua artikel sebagai terusan
dari posting yang kemarin, ketika tiba-tiba ia memberi komentar yang memberi
saya ide baru, yakni posting yang sedang and abaca ini. Akibatnya, selain 2
artikel yang sudah saya siapkan jadi mundur, saya juga terpaksa membuat
beberapa perubahan, karena beberapa kalimat sepertinya lebih cocok dipakai di
tulisan kali ini. Walhasil 2 artikel siap turun tersebut jadi ‘botak’ sebagian.
Duh Lomar, kau pasti membenciku…..
Komentar Lomar yang bikin rencana saya berantakan itu
kira-kira begini: Teman saya dari Wlingi, Blitar, berkomentar, “Di Indonesia
sebetulnya tidak ada orang miskin. Yang ada orang yang malasnya minta ampun. Di
desa semua ada dan berlimpah. Jadi kalau masih ada orang yang kelaparan apalagi
sampai busung lapar, berarti malasnya nggak ketolongan.”
Perkara busung lapar sendiri sudah pernah saya muat dalam
posting yang berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’ dan ‘KITA INI BANGSA
TEMPE!!!!’. Yang menarik perhatian saya di sini justru kalimat, “Tidak ada
orang miskin, yang ada orang yang malasnya minta ampun.” Begini, di satu sisi
saya sepakat bahwa kemalasan memang cenderung berujung pada kemiskinan. Tapi
dari pengalaman pribadi –mungkin anda juga- saya banyak menjumpai orang-orang
dari kalangan bawah yang terus terikat dalam kemiskinan konstan padahal mereka
bekerja keras luar biasa dari pagi sampai petang. Beberapa orang yang saya
temui bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari, bayangkan! Tapi nyatanya mereka
masih terbelit dalam masalah kemiskinan. Berhadapan dengan orang-orang seperti
ini kita –minimal saya- tentu tak bisa dengan mudah menggunakan kalimat, “Tidak
ada orang miskin, yang ada orang yang malasnya nggak ketulungan.” Nyatanya
orang-orang malang tersebut telah bekerja keras, bahkan jauh lebih keras
ketimbang yang lain.
Beberapa waktu terakhir ini –setidaknya sejak setahun lalu-
saya banyak mengamati formula para pekerja keras yang beroleh sukses, para
pekerja keras yang tetap miskin, dan mereka yang beroleh sukses padahal tidak
bekerja keras. Hmmmm… tampaknya hidup tidak adil, ya? Namun, setelah saya amati
dan pelajari dengan sungguh-sungguh, justru di sinilah kita bisa melihat
keadilan hidup. Saya boleh dan bahkan berani berdebat dengan siapapun dari pagi
hingga pagi lagi (asal siapkan sesajen untuk saya dua bungkus, hehehe….)
mengenai siapakah yang sesungguhnya bersalah dalam perkara kemiskinan dan siapa
yang sesungguhnya berjasa dalam perkara kekayaan. Untuk itu sebelumnya saya
akan berikan perbandingan dari contoh-contoh yang semuanya saya lihat secara
pribadi. Silakan simak:
1.
Ingat ibu tukang ngomel yang saya ceritakan pada
posting berjudul ‘Pribadi Bangsaku Tidak Majuuuu….Majuuuuu….’?. Dia sedih dan
miskin permanen karena hati dan mulutnya tidak pernah berhenti mengeluh. Ketika
saya dengan konsisten mulai berani ‘mencuci’ mentalnya, kami berdua melihat
bahwa dalam banyak hal dia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Sikap ibu
itu bisa dibandingkan dengan sikap saya seperti yang tertulis dalam posting
berjudul ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah kesaksian’. Kemudian bandingkan dengan
tokoh fenomenal bernama Pak Slamet yang saya angkat dalam posting berjudul
‘Diam-diam Jadi Kaya’.
2.
Satu orang lagi hendak saya angkat di sini, hanya sayang
saya tak bisa mengungkap jati dirinya. Usianya sekitar 50 sekian tahun, dan
bersama suaminya dikenal sebagai pekerja keras yang rajin beribadah dan sangat
baik serta murah hati. Namun dari tahun ke tahun kehidupannya cuma gitu-gitu
doang. Seakan kerja keras dan hal-hal baik yang mereka tabur tidak membawa
pengaruh apapun jua secara materi (dalam hal-hal lain mereka sangat diberkati,
namun dalam materi tidak). Suatu hari, sekitar 8 tahun lalu, dia bilang pada
saya, “Kalau nanti ada persekutuan doa di rumah saya jangan kaget ya, Mbak May.
Rumah saya keciiiiilllll….sekali. Jelek pula.” Sebelum saya sempat membalas
penuh basa-basi, dia sudah meneruskan,
“Ini gara-gara saya punya sikap iman yang salah selama bertahun-tahun (sampai
di sini saya menjungkitkan alis). Dulu saya minta pada Tuhan untuk diberi
rumah. Belum-belum saya sudah bilang ‘Kecil juga nggak apa-apa, Tuhan. Yang
penting rumah.” Akhirnya ya rumah kecillah yang saya dapat. Bertahun-tahun saya
dan suami bersikap seperti itu. Kami tidak berani meminta banyak. Sekarang baru
saya tahu bahwa sikap seperti itu membatasi Tuhan. Kami sudah merubah sikap
mental kami, dan percaya bahwa sebentar lagi kami mendapat upahnya.” Saya hanya
manggut-manggut dengan wajah penuh simpati, karena terus terang saya sama
sekali tidak tahu harus berkomentar apa. Tapi diam-diam saya bandingkan
sikapnya dengan Bu Tutuk, tante saya si pemuja Bunda Maria (silakan tengok
posting ‘Ya Mesthiiii…..Agamamu!!!’). Suatu malam, sekitar berapa bulan lalu ia
curhat mengenai masa lalunya. Pada tahun 1996, ia terlilit hutang yang sangat
besar (sekarang ini berbilang milyar). Habislah segala, hingga makan dan bayar
sekolah anak-anakpun sulit. Lalu ia mulai berdoa, termasuk doa Novena (sampai
di sini saya memotong dengan nada lugu sambil susah payah menyembunyikan cengiran,
“Di depan patung Bunda Maria seperti para penyembah berhala?”. Emosi Bu Tutuk
nyaris tersulut, tapi pengalaman membuatnya tegar:)).
Begini yang ia minta pada Tuhan, “Tuhan, berikan aku 10 ton minyak
tanah” (saya kembali tergelitik, dan menukas, “Berdoa pada Tuhan atau Bunda
Maria? Yang tegas, jangan musryik.”. Sampai di sini habis kesabaran Bu Tutuk.
Ia mengumpat lalu meninggalkan saya begitu saja. Saya terpaksa membujuk-bujuknya
supaya mau kembali duduk dan mendongeng, sambil tak lupa menyanjung-nyanjung
Bunda Maria:)). Demikian doa yang ia panjatkan hari lepas hari, waktu lepas
waktu. Menurut pengakuannya, tak terbersit sedikitpun keraguan bahwa Tuhan
tidak akan mengabulkan permintaannya. Ia juga begitu yakin bahwa Tuhan akan
memberinya 10 ton minyak tanah seperti yang ia minta, tak kurang setetespun. Setahun
kemudian, doanya terjawab. Tuhan memberinya tepat 10 ton minyak tanah, dan
bukan hanya hutangnya yang segajah itu terbayar, namun usaha-usahanya akhirnya pulih
kembali. Di akhir cerita dia berkata,”Sebab itu, Maya, kalau meminta pada Tuhan
mintalah yang banyak. Yang besar. Sebab Tuhan kita punya banyak. Tuhan kita
sangat besar.”
Dan sejauh saya mengenal tante saya di atas, kendati dia
adalah perempuan pebisnis yang tangguh, saya tak pernah melihatnya membanting
tulang. Kerja keras tak kenal waktu dan ini atau itu. Ia malah punya filosofi
yang sedapat mungkin saya tiru: “Kalau bisa dikerjakan orang lain, kenapa harus
dikerjakan sendiri? Kerjakan sesuatu yang tak bisa dikerjakan orang lain.”
Jadilah beliau sosok yang sangat gemar main perintah, seperti kebanyakan
anggota keluarga besar saya:). Ia punya banyak rumus menuju sukses, di antaranya
bersyukur, berbagi, dan sebagainya. Dan menurutnya sendiri, berani meminta
besar pada Tuhan adalah salah satu rumus yang paling penting.
Sekali lagi, ini bukan web khusus orang Kristen, dengan
demikian saya persilakan anda kembali ada keyakinan dan apa yang sudah tersurat
dalam kitab masing-masing. Dari sekian banyak agama dan aliran kepercayaan yang
eksis di Indonesia, saya percaya satu hal: semua punya rumusan untuk menjadi
kaya (perlu saya camkan bahwa posting ini khusus membahas kekayaan materi, dan
khusus yang didapat dari jalan Tuhan yang sah dan halal. Kekayaan yang
lain-lain akan saya bahas nanti, kalau dapat ide:)). Ada satu ayat dari saudara saya
umat Muslim yang saya gemari (tolong koreksi bila saya salah): Allah tidak akan
merubah nasih hambanya jika hamba itu sendiri tidak mau merubah nasibnya). Dalam
Kristen juga ada yang kira-kira sama: Tidur di siang hari, kemalasan menyergap
di malam hari (intinya seperti itu, tepatnya saya tidak tau, sebab saya bukan
penghapal ayat yang baik:)). Kemudian sebagai imbangan ada ayat lagi yang berbunyi
‘Bukan kerja kerasmu, melainkan kemurahan Tuhanlah yang membuatmu kaya.” Jelas
dalam hal ini butuh kerja sama antara manusia dan Tuhan, sebab saya percaya
Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pion-pion dungu yang digeser-geser ke
manapun iya iya saja. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling
sempurna, dengan segala macam kemampuan dan talenta. Jika Ia telah begitu murah
hati memberikan segala yang diperlukan manusia untuk menjadi pemenang, wajar
bila Ia ‘bete’ dan menutup pintu berkat pada manusia-manusia yang malas. Sekali
lagi, di sini jelas siapa yang patut dijadikan kambing hitam dalam kasus
kemiskinan yang membelit seseorang.
Bukan Tuhan, bukan pemerintah, bukan tetangga, a’ak, teteh, umi, dan
sebagainya, melainkan si manusia itu sendiri.
Kedua, lalu kenapa ada orang yang tetap miskin meskipun telah
banting tulang? Begini, kita tentu tidak bisa mengasumsikan Tuhan sebagai Sosok
minimalis yang memberi satu tantangan pada kita kemudian sudah. Ingat, kita
adalah mahluk sempurna. Dalam kitab manapun diajarkan kewajiban untuk berbagi, entah
itu zakat, perpuluhan, derma bagi orang-orang miskin atau sakit, anak yatim, dan
sebagainya. Dalam agama saya lebih tegas lagi, “Kalau kamu memberi dari
kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya, menunggu kaya baru peduli pada sesama dalam
agama saya adalah basi. Belum lagi urusan keikhlasan yang merupakan satu paket
dalam perkara berbagi. Lebih dalam silakan anda lihat posting berjudul ‘Berpesta
dan Berbagi, Jo, Kasiaaaannn….’.
Ketiga, lalu kenapa masih miskin meski telah kerja keras dan
berderma, bahkan saat masih kekurangan sekalipun. Nah, ini ilmunya lebih
tinggi. Saya tidak perlu capek-capek menulis ulang, sebab itu semua sudah saya
jabarkan tuntas dalam posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan ‘Diam-diam Jadi
Kaya’. Serta –tentu saja- ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’ *narcol –narsis
colongan*.
Terakhir, berani meminta. Begini, saya berikan saja
ilustrasi. Bayangkan sepasang orang tua yang kaya raya luar biasa, baik hati,
penyayang, adil, bijaksana, berkuasa, dan sebagainya. Lalu anak mereka berkata
begini: ‘Pap, Mam, kalau lulus SMA nanti aku kuliah ke Inggris kira-kira ada
nggak biayanya?” Papa Mama menjawab,”Please deh, Nak, belasan tahun jadi anak
kami apa masih kurang bukti kalau kamu ini anak milyarder? Lagipula kamu anak
rajin dan pintar, tentu kami sanggupi keinginanmu sekolah di mana saja. Terlebih
lagi kamu adalah anak kesayangan kami.”. Balas si anak, “Tapi Pap, Mam, ini Inggris
gitu, loh. Bayarnya pake pondsterling. Kuat nggak Papa Mama bayarin sampai aku
selesai?” Sampai di sini si Papa agak jengkel, menjawab, “Nak, kamu mau kuliah
di 5 benua sekaligus kalau kamu mampu saja pasti kami biayai. Ingat, sekali
lagi ingat, kami ini kaya raya. Duit kami nggak habis sampai tujuh turunan. Dan
kamu baru keturunan ke 2, bukan ke 8.” Si anak masih ngeyel, ”Iya, sih, tapi
nasib orang kan siapa tahu? Gini aja deh, Pap, Mam, kalau kira-kira nggak
sanggup, kuliah yang dekat-dekat sini juga nggak apa-apa, deh. Kualitas
rendahan juga nggak masalah, yang penting sekolah.” Papa-Mama
berpandang-pandangan, lalu malamnya saat berduaan di kamar mereka saling curhat,
”Padahal kurang kaya dan baik hati apa kita ya, Mam, kok anak kita masih nggak
percaya?” Jawab Mama, “Iya, Pap, kayak kita belum pernah membuktikan kemampuan
dan kasih sayang kita padanya aja.” Timpal Papa, “Menurut Papa dia sedang memandang
rendah kita, deh. Menurut Mama?”. Balas Mama, “Iya, Pap, Mama juga jadi jengkel
sama dia. Kita sudah berikan apa saja, eh, dia masih meragukan kemampuan dan
kasih sayang kita.” Papa mendengus dan berkata kesal, “Dia pandang rendah kita banget
tuh, sampai minta disekolahin yang dekat-dekat aja, bahkan yang rendahan
mutunya juga nggak apa-apa. Gimana kalau kita kasih pelajaran, Ma, kita berikan
saja apa yang ia percaya? Ia tidak percaya kita mampu menyekolahkannya ke
Inggris. Dia percaya kita hanya mampu menyekolahkannya ke universitas murahan.
So, what he believes is what he will get. Gimana, Mam?”. Jawab Mama sambil
menggelayut manja, “Mama sih apa kata Papa aja. Apa sih yang nggak buat Papa?”
Demikianlah Mama-Papa kaya raya dan penuh kasih sayang itu
dibikin sebel oleh anaknya yang memandang rendah mereka. Padahal mereka hanya
manusia, yang bahkan yakin hartanya akan habis pada keturunan ke tujuh. Apalagi
Tuhan Sang Penguasa langit dan bumi, yang memiliki segala emas, minyak,
batubara, dan sebagainya, dan Menguasai lautan dengan segala mutiara, hasil
laut dan segalanya. Bukan hanya itu, Ia bisa menciptakan serta memberikan apa
saja yang kita minta semudah kita menjemur handuk. Belum terhitung sifatnya
yang maha pengasih dan penyayang, panjang sabar, setia, murah hati, tak pernah
ingkar janji, dan segala yang baik yang bisa kita bayangkan. Apa yang kira-kira
Ia akan rasakan bila kita tidak yakin bahwa Ia cukup kaya dan murah hati untuk
menyejahterakan umat-Nya? Pedih. Yang jelas tercabik harga diri-Nya. Sebab percaya
bukan hanya sesederhana mengimani bahwa Ia ada. Namun lebih dari itu, percaya
adalah benar-benar tak ada keraguan sebersitpun bahwa kita bisa menggantungkan
hidup kita pada-Nya dalam segala aspek. What we believe is what we get. Pada saat
kita percaya Ia hanya mampu memberikan receh, maka kehormatan-Nya telah kita
pandang remeh. Pada saat kita percaya bahwa Ia hanya mau memberikan remah, kita
telah membuang kehormatan-Nya ke tempat sampah. Tak peduli kita sudah
membanting tulang sekeras apapun dan melakukan semua petunjuk yang Ia berikan
untuk berjihad melawan kemiskinan, sia-sialah semuanya bila pada saat yang sama
kita pandang kehormatan-Nya sebagai sesuatu yang kacangan.
Bila empat rumus di atas –cukup 4 itu saja- kita laksanakan
secara tawakal dan dengan segenap kerendah hatian, apa sulitnya bagi tiap-tiap
rakyat Indonesia jadi kaya raya tak terukurkan? Sebab kemiskinan bukan salah
siapa-siapa melainkan diri sendiri. Dan kemiskinan absolut akan jadi makanan di
Indonesia sehari-hari, bila menghormati Dia saja kita tidak sudi.
Tuhan memperkaya anda dan saya! Tuhan memperkaya Indonesia!
ahhh!!!! saya suka ini! saya sangat suka mengacaukan rencana Mbak May yang sudah tersusun rapih berkat komentar komentar saya yang tegas, tajam, aktual, terpercaya, menggigit, dan bisa diandalkan...hihihi apaan siyyyy :))
BalasHapusnggak bisa lebih setuju lagi akan postingan ini Mbak. Ini sekaligus penegasan bahwa apa yang teman saya dari Blitar itu katakan adalah benar adanya. Memang sich, perkataan tersebut perlu untuk dikaji dan dijabarkan lebih rinci, yakni dengan postingan ini. Wah Mbak May, saya terharu banged baca postingan kali ini. Apa pasal? Mbak May semakin menegaskan bahwa Tuhan kita itu kaya *untuk umat beragama lain, bacanya adalah Tuhan masing-masing yaaaa*. Tuhan kita itu kaya, mau minta apa aja dikasih, asalkan kita memang percaya dan bersungguh-sungguh. Ibu Tutuk mungkin salah satunya. 10 Ton Minyoooakk Toaaanoooaahhhh bukan perkara kecil loh. Buktinya beliau mendapatkannya. Bunga Bakung di Padang dan Burung Pipit yang kecil saja dipelihara, apalagi kita, anakNYA! Sungguh, kita akan dipelihara dan dijaga, diberi kekuatan untuk melewati masa masa terkelam kita, dan keluar sebagai pemenang! duh Mbak, saya merinding waktu saya nulis ini, gemetar sekaligus terharu plus mata agak basah...hehehe...lebay yach?
satu lagi postingan yang layak untuk disebarluaskan, postingan Yuanita Maya!
Waktu Bu Tutuk usai bercerita soal 10 ton minyak tanah dengan ekspresi sangat bangga pada Tuhan, saya berkomentar dingin: "Hmmmm.... pasti sekarang menyesal habis-habisan kenapa hanya meminta 10 ton." Lalu Bu Tutuk memaki dengan kata-kata yang sama sekali tak pantas saya tampilkan di sini:).
BalasHapusKayaknya Lomie sudah pernah ngalamin deh, berangkat dari zero dan oleh Tuhan menjadi hero. Saya belum mengalaminya, tapi saya percaya waktu saya pasti akan tiba. Tapi segalanya memang dimulai dari iman dan percaya. Kalau percayanya jadi pecundang, maka jadilah kita pecundang. SAya percaya bahwa saya sedang dipersiapkan dan sudah dedisain oleh Tuhan untuk jadi pemenang. Jadi, sementara menunggu saat itu tiba, saya nggak mau buang-buang waktu dengan berpikir negatif, pesimis, lalai mengucap syukur, dan menggerutu untuk hal-hal yang tidak saya miliki.
Saya suka ada yang sependapat dengan saya. Apalagi kalau kita sama-sama membagi apa yang kita miliki ini pada siapapun yang kita temui. SUpaya yang bahagia bukan cuma kita berdua:).
Tuhan memberkati!
Kayaknya saya harus baca ulang postingan tentang Bu Tutuk dech. entah mengapa saya menangkap kesan kalau Mbak May ini senang sekali menggodai dan mencobvai #loch Bu Tutuk. Hahaha. Kan sudah bagus tuh dia bersyukur dan menerima limpahan dalam hidupnya. Tapi koq ya mbok digodai sampai beliau mengucapakn kata-kata yang tidak senonooh #upsss... tidak pantas maksudnya itu :D
BalasHapusOh, beliau memang easy target:). Tapi jangan khawatir, dosa itu kupikul bersama anak-anaknya yang jauh lebih ndolim daripada diriku:). Cerita mengenai 'kejahatan' anak-anaknya bisa-bisa membutuhkan sepuluh postingan, saking banyaknya. Kadang-kadang mereka bersekongkol, membuat skenario khusus, semata-mata untuk ngerjain emaknya. Dan biasanya kalau diceritai saya protes, "Kok Mbak May nggak diajak, sih?". Lalu mereka ngakak-ngakak dan berkata pada bu Tutuk, "Gimana kami nggak tumbuh liar kayak gini, coba, Mak? Tuh, Mbak May aja biang iblis. Tapi what do we expect gitu, loch. Dia kan anak kakakmu." lalu Bu Tutuk menyumpah serapahi kami semua dengan kata-kata yang semakin tak pantas disebut di sini:). Kasihan tanteku yang satu itu.....
BalasHapus