Kamis, 22 Maret 2012

Ayo, Ayo, Hormati DIA, Yo!

Lomar Dasika, pemilik blog cantik Indahnya Indonesia yang juga penggemar berat blog ini (cihuyyyyy….), membuyarkan rencana yang telah saya susun rapi. Saya sebelumnya sudah menyiapkan dua artikel sebagai terusan dari posting yang kemarin, ketika tiba-tiba ia memberi komentar yang memberi saya ide baru, yakni posting yang sedang and abaca ini. Akibatnya, selain 2 artikel yang sudah saya siapkan jadi mundur, saya juga terpaksa membuat beberapa perubahan, karena beberapa kalimat sepertinya lebih cocok dipakai di tulisan kali ini. Walhasil 2 artikel siap turun tersebut jadi ‘botak’ sebagian. Duh Lomar, kau pasti membenciku…..

Komentar Lomar yang bikin rencana saya berantakan itu kira-kira begini: Teman saya dari Wlingi, Blitar, berkomentar, “Di Indonesia sebetulnya tidak ada orang miskin. Yang ada orang yang malasnya minta ampun. Di desa semua ada dan berlimpah. Jadi kalau masih ada orang yang kelaparan apalagi sampai busung lapar, berarti malasnya nggak ketolongan.”
                                                    
Perkara busung lapar sendiri sudah pernah saya muat dalam posting yang berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’ dan ‘KITA INI BANGSA TEMPE!!!!’. Yang menarik perhatian saya di sini justru kalimat, “Tidak ada orang miskin, yang ada orang yang malasnya minta ampun.” Begini, di satu sisi saya sepakat bahwa kemalasan memang cenderung berujung pada kemiskinan. Tapi dari pengalaman pribadi –mungkin anda juga- saya banyak menjumpai orang-orang dari kalangan bawah yang terus terikat dalam kemiskinan konstan padahal mereka bekerja keras luar biasa dari pagi sampai petang. Beberapa orang yang saya temui bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari, bayangkan! Tapi nyatanya mereka masih terbelit dalam masalah kemiskinan. Berhadapan dengan orang-orang seperti ini kita –minimal saya- tentu tak bisa dengan mudah menggunakan kalimat, “Tidak ada orang miskin, yang ada orang yang malasnya nggak ketulungan.” Nyatanya orang-orang malang tersebut telah bekerja keras, bahkan jauh lebih keras ketimbang yang lain.

Beberapa waktu terakhir ini –setidaknya sejak setahun lalu- saya banyak mengamati formula para pekerja keras yang beroleh sukses, para pekerja keras yang tetap miskin, dan mereka yang beroleh sukses padahal tidak bekerja keras. Hmmmm… tampaknya hidup tidak adil, ya? Namun, setelah saya amati dan pelajari dengan sungguh-sungguh, justru di sinilah kita bisa melihat keadilan hidup. Saya boleh dan bahkan berani berdebat dengan siapapun dari pagi hingga pagi lagi (asal siapkan sesajen untuk saya dua bungkus, hehehe….) mengenai siapakah yang sesungguhnya bersalah dalam perkara kemiskinan dan siapa yang sesungguhnya berjasa dalam perkara kekayaan. Untuk itu sebelumnya saya akan berikan perbandingan dari contoh-contoh yang semuanya saya lihat secara pribadi. Silakan simak:
1.     Ingat ibu tukang ngomel yang saya ceritakan pada posting berjudul ‘Pribadi Bangsaku Tidak Majuuuu….Majuuuuu….’?. Dia sedih dan miskin permanen karena hati dan mulutnya tidak pernah berhenti mengeluh. Ketika saya dengan konsisten mulai berani ‘mencuci’ mentalnya, kami berdua melihat bahwa dalam banyak hal dia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Sikap ibu itu bisa dibandingkan dengan sikap saya seperti yang tertulis dalam posting berjudul ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah kesaksian’. Kemudian bandingkan dengan tokoh fenomenal bernama Pak Slamet yang saya angkat dalam posting berjudul ‘Diam-diam Jadi Kaya’.
2.     Satu orang lagi hendak saya angkat di sini, hanya sayang saya tak bisa mengungkap jati dirinya. Usianya sekitar 50 sekian tahun, dan bersama suaminya dikenal sebagai pekerja keras yang rajin beribadah dan sangat baik serta murah hati. Namun dari tahun ke tahun kehidupannya cuma gitu-gitu doang. Seakan kerja keras dan hal-hal baik yang mereka tabur tidak membawa pengaruh apapun jua secara materi (dalam hal-hal lain mereka sangat diberkati, namun dalam materi tidak). Suatu hari, sekitar 8 tahun lalu, dia bilang pada saya, “Kalau nanti ada persekutuan doa di rumah saya jangan kaget ya, Mbak May. Rumah saya keciiiiilllll….sekali. Jelek pula.” Sebelum saya sempat membalas penuh  basa-basi, dia sudah meneruskan, “Ini gara-gara saya punya sikap iman yang salah selama bertahun-tahun (sampai di sini saya menjungkitkan alis). Dulu saya minta pada Tuhan untuk diberi rumah. Belum-belum saya sudah bilang ‘Kecil juga nggak apa-apa, Tuhan. Yang penting rumah.” Akhirnya ya rumah kecillah yang saya dapat. Bertahun-tahun saya dan suami bersikap seperti itu. Kami tidak berani meminta banyak. Sekarang baru saya tahu bahwa sikap seperti itu membatasi Tuhan. Kami sudah merubah sikap mental kami, dan percaya bahwa sebentar lagi kami mendapat upahnya.” Saya hanya manggut-manggut dengan wajah penuh simpati, karena terus terang saya sama sekali tidak tahu harus berkomentar apa. Tapi diam-diam saya bandingkan sikapnya dengan Bu Tutuk, tante saya si pemuja Bunda Maria (silakan tengok posting ‘Ya Mesthiiii…..Agamamu!!!’).  Suatu malam, sekitar berapa bulan lalu ia curhat mengenai masa lalunya. Pada tahun 1996, ia terlilit hutang yang sangat besar (sekarang ini berbilang milyar). Habislah segala, hingga makan dan bayar sekolah anak-anakpun sulit. Lalu ia mulai berdoa, termasuk doa Novena (sampai di sini saya memotong dengan nada lugu sambil susah payah menyembunyikan cengiran, “Di depan patung Bunda Maria seperti para penyembah berhala?”. Emosi Bu Tutuk nyaris tersulut, tapi pengalaman membuatnya tegar:)).  Begini yang ia minta pada Tuhan, “Tuhan, berikan aku 10 ton minyak tanah” (saya kembali tergelitik, dan menukas, “Berdoa pada Tuhan atau Bunda Maria? Yang tegas, jangan musryik.”. Sampai di sini habis kesabaran Bu Tutuk. Ia mengumpat lalu meninggalkan saya begitu saja. Saya terpaksa membujuk-bujuknya supaya mau kembali duduk dan mendongeng, sambil tak lupa menyanjung-nyanjung Bunda Maria:)). Demikian doa yang ia panjatkan hari lepas hari, waktu lepas waktu. Menurut pengakuannya, tak terbersit sedikitpun keraguan bahwa Tuhan tidak akan mengabulkan permintaannya. Ia juga begitu yakin bahwa Tuhan akan memberinya 10 ton minyak tanah seperti yang ia minta, tak kurang setetespun. Setahun kemudian, doanya terjawab. Tuhan memberinya tepat 10 ton minyak tanah, dan bukan hanya hutangnya yang segajah itu terbayar, namun usaha-usahanya akhirnya pulih kembali. Di akhir cerita dia berkata,”Sebab itu, Maya, kalau meminta pada Tuhan mintalah yang banyak. Yang besar. Sebab Tuhan kita punya banyak. Tuhan kita sangat besar.”

Dan sejauh saya mengenal tante saya di atas, kendati dia adalah perempuan pebisnis yang tangguh, saya tak pernah melihatnya membanting tulang. Kerja keras tak kenal waktu dan ini atau itu. Ia malah punya filosofi yang sedapat mungkin saya tiru: “Kalau bisa dikerjakan orang lain, kenapa harus dikerjakan sendiri? Kerjakan sesuatu yang tak bisa dikerjakan orang lain.” Jadilah beliau sosok yang sangat gemar main perintah, seperti kebanyakan anggota keluarga besar saya:). Ia punya banyak rumus menuju sukses, di antaranya bersyukur, berbagi, dan sebagainya. Dan menurutnya sendiri, berani meminta besar pada Tuhan adalah salah satu rumus yang paling penting.

Sekali lagi, ini bukan web khusus orang Kristen, dengan demikian saya persilakan anda kembali ada keyakinan dan apa yang sudah tersurat dalam kitab masing-masing. Dari sekian banyak agama dan aliran kepercayaan yang eksis di Indonesia, saya percaya satu hal: semua punya rumusan untuk menjadi kaya (perlu saya camkan bahwa posting ini khusus membahas kekayaan materi, dan khusus yang didapat dari jalan Tuhan yang sah dan halal. Kekayaan yang lain-lain akan saya bahas nanti, kalau dapat ide:)). Ada satu ayat dari saudara saya umat Muslim yang saya gemari (tolong koreksi bila saya salah): Allah tidak akan merubah nasih hambanya jika hamba itu sendiri tidak mau merubah nasibnya). Dalam Kristen juga ada yang kira-kira sama: Tidur di siang hari, kemalasan menyergap di malam hari (intinya seperti itu, tepatnya saya tidak tau, sebab saya bukan penghapal ayat yang baik:)). Kemudian sebagai imbangan ada ayat lagi yang berbunyi ‘Bukan kerja kerasmu, melainkan kemurahan Tuhanlah yang membuatmu kaya.” Jelas dalam hal ini butuh kerja sama antara manusia dan Tuhan, sebab saya percaya Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pion-pion dungu yang digeser-geser ke manapun iya iya saja. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna, dengan segala macam kemampuan dan talenta. Jika Ia telah begitu murah hati memberikan segala yang diperlukan manusia untuk menjadi pemenang, wajar bila Ia ‘bete’ dan menutup pintu berkat pada manusia-manusia yang malas. Sekali lagi, di sini jelas siapa yang patut dijadikan kambing hitam dalam kasus kemiskinan  yang membelit seseorang. Bukan Tuhan, bukan pemerintah, bukan tetangga, a’ak, teteh, umi, dan sebagainya, melainkan si manusia itu sendiri.

Kedua, lalu kenapa ada orang yang tetap miskin meskipun telah banting tulang? Begini, kita tentu tidak bisa mengasumsikan Tuhan sebagai Sosok minimalis yang memberi satu tantangan pada kita kemudian sudah. Ingat, kita adalah mahluk sempurna. Dalam kitab manapun diajarkan kewajiban untuk berbagi, entah itu zakat, perpuluhan, derma bagi orang-orang miskin atau sakit, anak yatim, dan sebagainya. Dalam agama saya lebih tegas lagi, “Kalau kamu memberi dari kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya, menunggu kaya baru peduli pada sesama dalam agama saya adalah basi. Belum lagi urusan keikhlasan yang merupakan satu paket dalam perkara berbagi. Lebih dalam silakan anda lihat posting berjudul ‘Berpesta dan Berbagi, Jo, Kasiaaaannn….’.

Ketiga, lalu kenapa masih miskin meski telah kerja keras dan berderma, bahkan saat masih kekurangan sekalipun. Nah, ini ilmunya lebih tinggi. Saya tidak perlu capek-capek menulis ulang, sebab itu semua sudah saya jabarkan tuntas dalam posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan ‘Diam-diam Jadi Kaya’. Serta –tentu saja- ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’ *narcol –narsis colongan*.

Terakhir, berani meminta. Begini, saya berikan saja ilustrasi. Bayangkan sepasang orang tua yang kaya raya luar biasa, baik hati, penyayang, adil, bijaksana, berkuasa, dan sebagainya. Lalu anak mereka berkata begini: ‘Pap, Mam, kalau lulus SMA nanti aku kuliah ke Inggris kira-kira ada nggak biayanya?” Papa Mama menjawab,”Please deh, Nak, belasan tahun jadi anak kami apa masih kurang bukti kalau kamu ini anak milyarder? Lagipula kamu anak rajin dan pintar, tentu kami sanggupi keinginanmu sekolah di mana saja. Terlebih lagi kamu adalah anak kesayangan kami.”. Balas si anak, “Tapi Pap, Mam, ini Inggris gitu, loh. Bayarnya pake pondsterling. Kuat nggak Papa Mama bayarin sampai aku selesai?” Sampai di sini si Papa agak jengkel, menjawab, “Nak, kamu mau kuliah di 5 benua sekaligus kalau kamu mampu saja pasti kami biayai. Ingat, sekali lagi ingat, kami ini kaya raya. Duit kami nggak habis sampai tujuh turunan. Dan kamu baru keturunan ke 2, bukan ke 8.” Si anak masih ngeyel, ”Iya, sih, tapi nasib orang kan siapa tahu? Gini aja deh, Pap, Mam, kalau kira-kira nggak sanggup, kuliah yang dekat-dekat sini juga nggak apa-apa, deh. Kualitas rendahan juga nggak masalah, yang penting sekolah.” Papa-Mama berpandang-pandangan, lalu malamnya saat berduaan di kamar mereka saling curhat, ”Padahal kurang kaya dan baik hati apa kita ya, Mam, kok anak kita masih nggak percaya?” Jawab Mama, “Iya, Pap, kayak kita belum pernah membuktikan kemampuan dan kasih sayang kita padanya aja.” Timpal Papa, “Menurut Papa dia sedang memandang rendah kita, deh. Menurut Mama?”. Balas Mama, “Iya, Pap, Mama juga jadi jengkel sama dia. Kita sudah berikan apa saja, eh, dia masih meragukan kemampuan dan kasih sayang kita.” Papa mendengus dan berkata kesal, “Dia pandang rendah kita banget tuh, sampai minta disekolahin yang dekat-dekat aja, bahkan yang rendahan mutunya juga nggak apa-apa. Gimana kalau kita kasih pelajaran, Ma, kita berikan saja apa yang ia percaya? Ia tidak percaya kita mampu menyekolahkannya ke Inggris. Dia percaya kita hanya mampu menyekolahkannya ke universitas murahan. So, what he believes is what he will get. Gimana, Mam?”. Jawab Mama sambil menggelayut manja, “Mama sih apa kata Papa aja. Apa sih yang nggak buat Papa?”

Demikianlah Mama-Papa kaya raya dan penuh kasih sayang itu dibikin sebel oleh anaknya yang memandang rendah mereka. Padahal mereka hanya manusia, yang bahkan yakin hartanya akan habis pada keturunan ke tujuh. Apalagi Tuhan Sang Penguasa langit dan bumi, yang memiliki segala emas, minyak, batubara, dan sebagainya, dan Menguasai lautan dengan segala mutiara, hasil laut dan segalanya. Bukan hanya itu, Ia bisa menciptakan serta memberikan apa saja yang kita minta semudah kita menjemur handuk. Belum terhitung sifatnya yang maha pengasih dan penyayang, panjang sabar, setia, murah hati, tak pernah ingkar janji, dan segala yang baik yang bisa kita bayangkan. Apa yang kira-kira Ia akan rasakan bila kita tidak yakin bahwa Ia cukup kaya dan murah hati untuk menyejahterakan umat-Nya? Pedih. Yang jelas tercabik harga diri-Nya. Sebab percaya bukan hanya sesederhana mengimani bahwa Ia ada. Namun lebih dari itu, percaya adalah benar-benar tak ada keraguan sebersitpun bahwa kita bisa menggantungkan hidup kita pada-Nya dalam segala aspek. What we believe is what we get. Pada saat kita percaya Ia hanya mampu memberikan receh, maka kehormatan-Nya telah kita pandang remeh. Pada saat kita percaya bahwa Ia hanya mau memberikan remah, kita telah membuang kehormatan-Nya ke tempat sampah. Tak peduli kita sudah membanting tulang sekeras apapun dan melakukan semua petunjuk yang Ia berikan untuk berjihad melawan kemiskinan, sia-sialah semuanya bila pada saat yang sama kita pandang kehormatan-Nya sebagai sesuatu yang kacangan.

Bila empat rumus di atas –cukup 4 itu saja- kita laksanakan secara tawakal dan dengan segenap kerendah hatian, apa sulitnya bagi tiap-tiap rakyat Indonesia jadi kaya raya tak terukurkan? Sebab kemiskinan bukan salah siapa-siapa melainkan diri sendiri. Dan kemiskinan absolut akan jadi makanan di Indonesia sehari-hari, bila menghormati Dia saja kita tidak sudi.

Tuhan memperkaya anda dan saya! Tuhan memperkaya Indonesia!


4 komentar:

  1. ahhh!!!! saya suka ini! saya sangat suka mengacaukan rencana Mbak May yang sudah tersusun rapih berkat komentar komentar saya yang tegas, tajam, aktual, terpercaya, menggigit, dan bisa diandalkan...hihihi apaan siyyyy :))

    nggak bisa lebih setuju lagi akan postingan ini Mbak. Ini sekaligus penegasan bahwa apa yang teman saya dari Blitar itu katakan adalah benar adanya. Memang sich, perkataan tersebut perlu untuk dikaji dan dijabarkan lebih rinci, yakni dengan postingan ini. Wah Mbak May, saya terharu banged baca postingan kali ini. Apa pasal? Mbak May semakin menegaskan bahwa Tuhan kita itu kaya *untuk umat beragama lain, bacanya adalah Tuhan masing-masing yaaaa*. Tuhan kita itu kaya, mau minta apa aja dikasih, asalkan kita memang percaya dan bersungguh-sungguh. Ibu Tutuk mungkin salah satunya. 10 Ton Minyoooakk Toaaanoooaahhhh bukan perkara kecil loh. Buktinya beliau mendapatkannya. Bunga Bakung di Padang dan Burung Pipit yang kecil saja dipelihara, apalagi kita, anakNYA! Sungguh, kita akan dipelihara dan dijaga, diberi kekuatan untuk melewati masa masa terkelam kita, dan keluar sebagai pemenang! duh Mbak, saya merinding waktu saya nulis ini, gemetar sekaligus terharu plus mata agak basah...hehehe...lebay yach?

    satu lagi postingan yang layak untuk disebarluaskan, postingan Yuanita Maya!

    BalasHapus
  2. Waktu Bu Tutuk usai bercerita soal 10 ton minyak tanah dengan ekspresi sangat bangga pada Tuhan, saya berkomentar dingin: "Hmmmm.... pasti sekarang menyesal habis-habisan kenapa hanya meminta 10 ton." Lalu Bu Tutuk memaki dengan kata-kata yang sama sekali tak pantas saya tampilkan di sini:).
    Kayaknya Lomie sudah pernah ngalamin deh, berangkat dari zero dan oleh Tuhan menjadi hero. Saya belum mengalaminya, tapi saya percaya waktu saya pasti akan tiba. Tapi segalanya memang dimulai dari iman dan percaya. Kalau percayanya jadi pecundang, maka jadilah kita pecundang. SAya percaya bahwa saya sedang dipersiapkan dan sudah dedisain oleh Tuhan untuk jadi pemenang. Jadi, sementara menunggu saat itu tiba, saya nggak mau buang-buang waktu dengan berpikir negatif, pesimis, lalai mengucap syukur, dan menggerutu untuk hal-hal yang tidak saya miliki.
    Saya suka ada yang sependapat dengan saya. Apalagi kalau kita sama-sama membagi apa yang kita miliki ini pada siapapun yang kita temui. SUpaya yang bahagia bukan cuma kita berdua:).
    Tuhan memberkati!

    BalasHapus
  3. Kayaknya saya harus baca ulang postingan tentang Bu Tutuk dech. entah mengapa saya menangkap kesan kalau Mbak May ini senang sekali menggodai dan mencobvai #loch Bu Tutuk. Hahaha. Kan sudah bagus tuh dia bersyukur dan menerima limpahan dalam hidupnya. Tapi koq ya mbok digodai sampai beliau mengucapakn kata-kata yang tidak senonooh #upsss... tidak pantas maksudnya itu :D

    BalasHapus
  4. Oh, beliau memang easy target:). Tapi jangan khawatir, dosa itu kupikul bersama anak-anaknya yang jauh lebih ndolim daripada diriku:). Cerita mengenai 'kejahatan' anak-anaknya bisa-bisa membutuhkan sepuluh postingan, saking banyaknya. Kadang-kadang mereka bersekongkol, membuat skenario khusus, semata-mata untuk ngerjain emaknya. Dan biasanya kalau diceritai saya protes, "Kok Mbak May nggak diajak, sih?". Lalu mereka ngakak-ngakak dan berkata pada bu Tutuk, "Gimana kami nggak tumbuh liar kayak gini, coba, Mak? Tuh, Mbak May aja biang iblis. Tapi what do we expect gitu, loch. Dia kan anak kakakmu." lalu Bu Tutuk menyumpah serapahi kami semua dengan kata-kata yang semakin tak pantas disebut di sini:). Kasihan tanteku yang satu itu.....

    BalasHapus