Senin, 12 Maret 2012

Mereka –Atau Kita- Mungkin Berkhayal Jadi Highlanders.

Maaf para pembaca, saya lalai mengeposkan tulisan hari Kamis lalu. Saya sedang sibuk bergumul dengan diri sendiri, jadi saya memutuskan untuk berdiam, karena berbuat sesuatupun juga nggak mampu. Maklum, galau:). Sebenarnya sekarang juga masih galau tapi kalau kelamaan mengucilkan diri kan jadi nggak imut lagi kesannya, jadi saya sudahi saja retreatnya. So, here we go:

Rafiki says to Simba: “The past may hurt. But what I can see from it, you can either run or learn from it.”
But Yuanita Maya says to anybody wants to listen to her (I wonder who, heheeeh…): “There is third option, you can live in it and got blind then.”

Tahu Rafiki? Itu lho, penyanyi bersuara lembut yang pernah jadi pasangan duet Harvey Malaiholo, Rafiki Dura. Hehehe….lucu, ya:). Rafiki adalah monyet aneh yang jadi semacam penasihat spiritual dalam film Lion King. Iya, saya memang senang sekali film ini. Sejak jaman anak pertama saya (sekarang sudah remaja 17 tahunan) masih piyik dan belum sekolah, dan diturunkan ke adiknya yang juga masih belum sekolah. Jadi, itulah yang dia bilang pada Simba yang berusaha lari dari masa lalunya yang menyakitkan: “Masa lalu bisa menyakitkan. Tapi dari apa yang kulihat, kau bisa lari atau belajar darinya.” Kalau saya jadi tim penulis skenarionya, saya akan tambahkan: “Kau juga bisa hidup di dalamnya. Lalu jadi buta.”

Karena memang itulah yang banyak terjadi; orang-orang hidup di masa lalu. Paling tidak, menjadikan masa lalu sebagai patokan dalam melihat berbagai masalah. Kenapa tiba-tiba saya bicara seperti ini? Karena memang tiba-tiba saja saya tercerahkan, bahwa banyak ‘kebutaan’ mental, sosial, dan struktural yang eksis sampai sekarang karena banyak orang hidup dalam masa lalu. Celakanya mereka tidak sadar kalau buta. Walhasil saat berjalan mereka terantuk-antuk dan nabrak-nabrak, lalu membuat benjol baik diri sendiri dan terlebih orang lain. Mau tahu contohnya? Banyak, saya sebut beberapa ya. Ini dia di antaranya:

·        Beberapa orang yang suka ribut perkara agama suka sekali mengungkit-ungkit kerusuhan Ambon sampai sekarang. Ya, sampai sekarang. Kalau ketemu orang macam ini, biasanya saya dengan gigih dan sabar menjelaskan jebakan politik yang dengan lihai menggunakan sentimen agama sebagai drive-nya. Tapi mereka tak kalah gigihnya dengan saya, hehe… Segala dalil, data, argumen, dan tetek-bengek saya sigap mereka patahkan. Himbauan saya yang standart namun bijaksana yakni: “Karena ini pada akhirnya jelas masalah politik dan kekuasaan, maka mari sebagai umat kita mencerdaskan diri dan berkonsolidasi. Lalu belajar dari pengalaman di masa lalu supaya kita bukan hanya tidak lagi menjadi bulan-bulanan, melainkan juga semakin kuat,” biasanya dibalas dengan debat kusir yang berputar-putar dan membuat saya ingin sekali berseru, “Capek deeeehhh,” sambil menempelkan tangan ke jidat a la anak alay. Beberapa dari mereka malah suka mengungkit-ungkit perang salib. Umat yang lain gemar sekali mengungkit kesalahan gereja Katholik jaman jebot banget seperti penjualan kartu penebusan dosa, inkuisisi, dll. Saya sampai mengelus dada, karena itu kan ratusan tahun lalu gitu, loh, please deh!!! Penjelasan sesederhana atau secanggih apapun biasanya mental di jidat orang-orang macam ini, lalu dengan ‘kebutaannya’, mereka kemudian berjalan ke sana-ke mari sambil menabrak orang-orang lain, sehingga para korban tersebut dalam derajat yang paling sial jadi sama butanya dengan mereka.

·        Beberapa orang masih menyimpan luka akibat perang Bubat. What??!! Perang Bubat jaman Majapahit itu??!! Iya, benar saudara-saudara yang mulia, Perang Bubat jaman Majapahit. Kurang jadul apa, coba? Gara-gara kepahitan yang berbilang abad tersebut, beberapa orang Jawa melarang anaknya kawin dengan suku Sunda, demikian sebaliknya. Ajaib? Memang, namun itulah faktanya. Lebih ajaib lagi mereka tidak sadar akan hal itu, lalu menurunkannya pada anak cucu, persis seperti orang buta yang tak sadar akan kebutaannya dan membuat benjol banyak orang, lalu anak cucu tersebut tumbuh sama buta dan tidak sadarnya seperti mereka.

·        Beberapa orang menyalahkan penjajah Belanda sebagai pewaris kebiasaan korupsi. Teman saya, pemilik blog cakep ‘Indahnya Indonesia’, Lomar Dasika, punya pendapat menarik: “Emang para koruptor jaman sekarang pernah dijajah Belanda, apa?” Ya, benar. Belanda kan hengkang puluhan tahun lalu. Asumsikan benar bahwa korupsi adalah warisan mereka, lalu kenapa kita mau begitu saja diwarisi yang begituan? Selemah itukah mental kita sampai-sampai tidak bisa menghilangkan penyakit ‘turunan’ ini? Atau jangan-jangan karena hidup dalam ‘warisan korupsi’ memang sedap, apalagi kalau ada orang Belanda sebagai kambing hitam? Belanda memang banyak dijadikan kambing hitam, misalnya mewariskan kebiasaan tak mau antri, kirim upeti, sampai urusan Gang Dolly. Iya, Gang Dolly yang pasti merupakan taman bunga raksasa karena banyak kupu-kupu malamnya itu:). Padahal pendirinya (yang memang orang Belanda) sudah puluhan tahun jadi kerangka. Karena gemar hidup di masa lampau itulah maka kita (atau mereka) yang buta berhenti pada kalimat ‘gara-gara Belanda’ dan sarang maksiat tersebut menggurita tak terkira, hingga ujung-ujungnya malah dimanfaatkan bagi pemasukan kas Pemda.

·        Beberapa orang sibuk menyalahkan Pak Harto atas keruntuhan sendi-sendi bangsa ini, kadang-kadang saking ekstrimnya pakai kata-kata kasar, lupa kalau bagaimanapun beliau adalah orang tua, sudah tiada pula. Dan meskipun saya sepakat dengan peran Pak Harto atas keruntuhan sendi-sendi bangsa ini, so what gitu loh? Sebab bukankah Rafiki bilang bahwa sekalipun masa lalu bisa jadi menyakitkan, bahkan sangat menyakitkan, kita bisa belajar darinya? Dan guru apakah yang lebih baik ketimbang pengalaman, terutama yang buruk? Pengalaman yang buruk biasanya berkaitan dengan kejatuhan, entah kejatuhan moral, mental, ekonomi, sosial, apapun. Dan perhatikanlah saudara-saudara, saya yang kian hari kian bijak ini (sekali narsis tetap narsis:)) beberapa waktu lalu menciptakan ungkapan yang (menurut saya) indah: ‘Mengapa jatuh sedalam dan sesakit apapun tak mampu membuatku mengumpat? Karena darinya aku belajar bangkit dan menjadi lebih kuat’. Betapa indah dan bijaksananya. Kalau anda menganggapnya tidak berarti anda punya sentimen pribadi dengan saya:). Para ahli, pengamat sosial, akademisi, dan orang-orang pintar itu terlalu sibuk menyalahkan Pak Pak Harto dan orang-orang kepercayaannya yang punya posisi strategis dalam pemerintahan dan perencanaan. Begitu sibuknya mereka –dan mungkin juga kita- berkutat di waktu lampau dan bukannya membuat peta atas kesalahan di masa lalu dan formula untuk mengatasinya, hingga pilar-pilar bangsa ini kian runtuh tanpa kita sadari karena kebutaan membuat kita jalan di tempat, kalau bukan tersandung.  

·        Sebagian dari kita begitu bangga dengan batik, tarian, kekayaan kuliner, dan segala warisan adiluhung itu, seakan-akan waktu tidak pernah berjalan. Kita jadi lupa, lalu lama-lama buta, dan baru kaget lalu kelimpungan ketika ada orang luar yang mengaku-ngaku itu semua milik mereka.

·        Kita begitu bangga dengan Candi Borobudur, keris, perahu Phinisi, dan sebagainya. Begitu bersemangatnya kita hidup di masa lampau, sampai segala kejeniusan itu benar-benar berhenti di waktu ratusan tahun lampau, dan lupa mencipta karya-karya jenius yang serupa. Jika ada orang luar yang bertanya apa saja hal-hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia, kita kembali ke masa ratusan tahun lalu, lalu melongo ketika ditanya, “Karya yang dari jaman sekarang apa saja?”

Para pembaca, kalau saya sebutkan semua kebutaan akibat kegemaran hidup di masa lampau  itu, saya berani jamin jari saya pasti kapalan. Yang jelas, dari yang sedikit itu saja kita bisa melihat betapa mengerikannya akibat dari hidup di masa lampau. Kita mestinya mengingat bahwa kita ini bukan Highlander, yang bisa hidup di era kapan saja dan tetap jadi jagoan tak peduli siapapun musuh kita. Highlander cuma ada di film, tentu saja dia jagoan. Freddy Mercury dalam theme song-nya bilang ‘I HAVE NO RIVAL, NO ONE COULD BE MY EQUAL!!!’. Ya mesthiii, mana ada jagoan kalah? Apalagi kalau bawa-bawa pedang yang berkilat dan berdesing.

Tapi kita bukan Highlander, yang bisa tetap hidup, melompat ke jaman apa saja, dan selalu jadi pemenang di akhir episode. Kita cuma manusia biasa, manusia Indonesia. Tidak seperti Highlander yang tidak punya rival, kita punya. Bahkan banyak. Kemalasan kita. Ketidak pedulian kita. Pikiran sempit kita. Keenggganan kita untuk mengakui bahwa kita hidup di negeri yang beragam. Kegemaran kita hidup di bawah kemegahan masa lalu. Atau bersembunyi di balik topeng masa lalu untuk menutupi ketidak mampuan kita mengatasi segala permasalahan yang ada hari ini. Dan sederet yang lain.

Kita punya banyak rival, yang harus kita kalahkan. Dan kita tidak bisa berpura-pura kita adalah Highlander. Kita adalah prajurit-prajurit biasa, yang harus mati-matian memberikan yang terbaik yang kita punya untuk kebesaran Indonesia. Dan bisakah kita memberikan sesuatu, lalu berjuang demi bangsa kita, kalau kita buta di dalam jiwa?

2 komentar:

  1. may sampai napas terlepas dari raga kita. kita semua tetap one big happy family dalam naungan negara kesatuan republik indonesia. lepaskan semua olok dan prasangka kepada golongan laen.Selama Kamu benar ribuan malaikat Alloh menjaga kita agar selalu memunajatkan Asmanya(bagamanapun cara kita melakukannya) So tinggalkan yang gak penting penting tetap berkarya . move on forget the past. sakses selalu yo.

    BalasHapus
  2. Aduh, jadi terharu. Trims ya, bro, buat dukungannya. Senangnya ada satu orang lagi yang cinta dan menginginkan yang terbaik buat Indonesia. Btw aku nggak pernah melupakan masa lalu, karena aku banyak belajar dari situ:). Eh, iki ndhak Holiq seka Loyola?

    BalasHapus