Maaf para pembaca, saya lalai mengeposkan tulisan hari Kamis
lalu. Saya sedang sibuk bergumul dengan diri sendiri, jadi saya memutuskan
untuk berdiam, karena berbuat sesuatupun juga nggak mampu. Maklum, galau:). Sebenarnya sekarang juga masih
galau tapi kalau kelamaan mengucilkan diri kan jadi nggak imut lagi kesannya,
jadi saya sudahi saja retreatnya. So, here we go:
Rafiki says to Simba: “The past may hurt. But what I can see
from it, you can either run or learn from it.”
But Yuanita Maya says to anybody wants to listen to her (I
wonder who, heheeeh…): “There is third option, you can live in it and got blind
then.”
Tahu Rafiki? Itu lho, penyanyi bersuara lembut yang pernah
jadi pasangan duet Harvey Malaiholo, Rafiki Dura. Hehehe….lucu, ya:). Rafiki adalah monyet aneh yang jadi
semacam penasihat spiritual dalam film Lion King. Iya, saya memang senang
sekali film ini. Sejak jaman anak pertama saya (sekarang sudah remaja 17
tahunan) masih piyik dan belum sekolah, dan diturunkan ke adiknya yang juga
masih belum sekolah. Jadi, itulah yang dia bilang pada Simba yang berusaha lari
dari masa lalunya yang menyakitkan: “Masa lalu bisa menyakitkan. Tapi dari apa
yang kulihat, kau bisa lari atau belajar darinya.” Kalau saya jadi tim penulis
skenarionya, saya akan tambahkan: “Kau juga bisa hidup di dalamnya. Lalu jadi
buta.”
Karena memang itulah yang banyak terjadi; orang-orang hidup
di masa lalu. Paling tidak, menjadikan masa lalu sebagai patokan dalam melihat
berbagai masalah. Kenapa tiba-tiba saya bicara seperti ini? Karena memang
tiba-tiba saja saya tercerahkan, bahwa banyak ‘kebutaan’ mental, sosial, dan struktural
yang eksis sampai sekarang karena banyak orang hidup dalam masa lalu. Celakanya
mereka tidak sadar kalau buta. Walhasil saat berjalan mereka terantuk-antuk dan
nabrak-nabrak, lalu membuat benjol baik diri sendiri dan terlebih orang lain.
Mau tahu contohnya? Banyak, saya sebut beberapa ya. Ini dia di antaranya:
·
Beberapa orang yang suka ribut perkara agama suka
sekali mengungkit-ungkit kerusuhan Ambon sampai sekarang. Ya, sampai sekarang.
Kalau ketemu orang macam ini, biasanya saya dengan gigih dan sabar menjelaskan
jebakan politik yang dengan lihai menggunakan sentimen agama sebagai drive-nya.
Tapi mereka tak kalah gigihnya dengan saya, hehe… Segala dalil, data, argumen,
dan tetek-bengek saya sigap mereka patahkan. Himbauan saya yang standart namun
bijaksana yakni: “Karena ini pada akhirnya jelas masalah politik dan kekuasaan,
maka mari sebagai umat kita mencerdaskan diri dan berkonsolidasi. Lalu belajar
dari pengalaman di masa lalu supaya kita bukan hanya tidak lagi menjadi
bulan-bulanan, melainkan juga semakin kuat,” biasanya dibalas dengan debat
kusir yang berputar-putar dan membuat saya ingin sekali berseru, “Capek
deeeehhh,” sambil menempelkan tangan ke jidat a la anak alay. Beberapa dari
mereka malah suka mengungkit-ungkit perang salib. Umat yang lain gemar sekali
mengungkit kesalahan gereja Katholik jaman jebot banget seperti penjualan kartu
penebusan dosa, inkuisisi, dll. Saya sampai mengelus dada, karena itu kan
ratusan tahun lalu gitu, loh, please deh!!! Penjelasan sesederhana atau
secanggih apapun biasanya mental di jidat orang-orang macam ini, lalu dengan ‘kebutaannya’,
mereka kemudian berjalan ke sana-ke mari sambil menabrak orang-orang lain,
sehingga para korban tersebut dalam derajat yang paling sial jadi sama butanya
dengan mereka.
·
Beberapa orang masih menyimpan luka akibat perang
Bubat. What??!! Perang Bubat jaman Majapahit itu??!! Iya, benar saudara-saudara
yang mulia, Perang Bubat jaman Majapahit. Kurang jadul apa, coba? Gara-gara
kepahitan yang berbilang abad tersebut, beberapa orang Jawa melarang anaknya
kawin dengan suku Sunda, demikian sebaliknya. Ajaib? Memang, namun itulah
faktanya. Lebih ajaib lagi mereka tidak sadar akan hal itu, lalu menurunkannya
pada anak cucu, persis seperti orang buta yang tak sadar akan kebutaannya dan
membuat benjol banyak orang, lalu anak cucu tersebut tumbuh sama buta dan tidak
sadarnya seperti mereka.
·
Beberapa orang menyalahkan penjajah Belanda sebagai
pewaris kebiasaan korupsi. Teman saya, pemilik blog cakep ‘Indahnya Indonesia’,
Lomar Dasika, punya pendapat menarik: “Emang para koruptor jaman sekarang
pernah dijajah Belanda, apa?” Ya, benar. Belanda kan hengkang puluhan tahun
lalu. Asumsikan benar bahwa korupsi adalah warisan mereka, lalu kenapa kita mau
begitu saja diwarisi yang begituan? Selemah itukah mental kita sampai-sampai
tidak bisa menghilangkan penyakit ‘turunan’ ini? Atau jangan-jangan karena
hidup dalam ‘warisan korupsi’ memang sedap, apalagi kalau ada orang Belanda
sebagai kambing hitam? Belanda memang banyak dijadikan kambing hitam, misalnya
mewariskan kebiasaan tak mau antri, kirim upeti, sampai urusan Gang Dolly. Iya,
Gang Dolly yang pasti merupakan taman bunga raksasa karena banyak kupu-kupu
malamnya itu:). Padahal pendirinya (yang memang orang Belanda) sudah
puluhan tahun jadi kerangka. Karena gemar hidup di masa lampau itulah maka kita
(atau mereka) yang buta berhenti pada kalimat ‘gara-gara Belanda’ dan sarang
maksiat tersebut menggurita tak terkira, hingga ujung-ujungnya malah
dimanfaatkan bagi pemasukan kas Pemda.
·
Beberapa orang sibuk menyalahkan Pak Harto atas
keruntuhan sendi-sendi bangsa ini, kadang-kadang saking ekstrimnya pakai
kata-kata kasar, lupa kalau bagaimanapun beliau adalah orang tua, sudah tiada
pula. Dan meskipun saya sepakat dengan peran Pak Harto atas keruntuhan
sendi-sendi bangsa ini, so what gitu loh? Sebab bukankah Rafiki bilang bahwa
sekalipun masa lalu bisa jadi menyakitkan, bahkan sangat menyakitkan, kita bisa
belajar darinya? Dan guru apakah yang lebih baik ketimbang pengalaman, terutama
yang buruk? Pengalaman yang buruk biasanya berkaitan dengan kejatuhan, entah
kejatuhan moral, mental, ekonomi, sosial, apapun. Dan perhatikanlah
saudara-saudara, saya yang kian hari kian bijak ini (sekali narsis tetap narsis:)) beberapa waktu lalu menciptakan
ungkapan yang (menurut saya) indah: ‘Mengapa jatuh sedalam dan sesakit apapun
tak mampu membuatku mengumpat? Karena darinya aku belajar bangkit dan menjadi
lebih kuat’. Betapa indah dan bijaksananya. Kalau anda menganggapnya tidak
berarti anda punya sentimen pribadi dengan saya:). Para ahli, pengamat sosial,
akademisi, dan orang-orang pintar itu terlalu sibuk menyalahkan Pak Pak Harto
dan orang-orang kepercayaannya yang punya posisi strategis dalam pemerintahan
dan perencanaan. Begitu sibuknya mereka –dan mungkin juga kita- berkutat di
waktu lampau dan bukannya membuat peta atas kesalahan di masa lalu dan formula
untuk mengatasinya, hingga pilar-pilar bangsa ini kian runtuh tanpa kita sadari
karena kebutaan membuat kita jalan di tempat, kalau bukan tersandung.
·
Sebagian dari kita begitu bangga dengan batik, tarian,
kekayaan kuliner, dan segala warisan adiluhung itu, seakan-akan waktu tidak
pernah berjalan. Kita jadi lupa, lalu lama-lama buta, dan baru kaget lalu
kelimpungan ketika ada orang luar yang mengaku-ngaku itu semua milik mereka.
·
Kita begitu bangga dengan Candi Borobudur, keris,
perahu Phinisi, dan sebagainya. Begitu bersemangatnya kita hidup di masa
lampau, sampai segala kejeniusan itu benar-benar berhenti di waktu ratusan
tahun lampau, dan lupa mencipta karya-karya jenius yang serupa. Jika ada orang
luar yang bertanya apa saja hal-hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia, kita
kembali ke masa ratusan tahun lalu, lalu melongo ketika ditanya, “Karya yang
dari jaman sekarang apa saja?”
Para pembaca, kalau saya sebutkan
semua kebutaan akibat kegemaran hidup di masa lampau itu, saya berani jamin jari saya pasti
kapalan. Yang jelas, dari yang sedikit itu saja kita bisa melihat betapa
mengerikannya akibat dari hidup di masa lampau. Kita mestinya mengingat bahwa
kita ini bukan Highlander, yang bisa hidup di era kapan saja dan tetap jadi
jagoan tak peduli siapapun musuh kita. Highlander cuma ada di film, tentu saja
dia jagoan. Freddy Mercury dalam theme song-nya bilang ‘I HAVE NO RIVAL, NO ONE
COULD BE MY EQUAL!!!’. Ya mesthiii, mana ada jagoan kalah? Apalagi kalau
bawa-bawa pedang yang berkilat dan berdesing.
Tapi kita bukan Highlander, yang bisa
tetap hidup, melompat ke jaman apa saja, dan selalu jadi pemenang di akhir
episode. Kita cuma manusia biasa, manusia Indonesia. Tidak seperti Highlander
yang tidak punya rival, kita punya. Bahkan banyak. Kemalasan kita. Ketidak pedulian
kita. Pikiran sempit kita. Keenggganan kita untuk mengakui bahwa kita hidup di
negeri yang beragam. Kegemaran kita hidup di bawah kemegahan masa lalu. Atau bersembunyi
di balik topeng masa lalu untuk menutupi ketidak mampuan kita mengatasi segala
permasalahan yang ada hari ini. Dan sederet yang lain.
Kita punya banyak rival, yang harus
kita kalahkan. Dan kita tidak bisa berpura-pura kita adalah Highlander. Kita adalah
prajurit-prajurit biasa, yang harus mati-matian memberikan yang terbaik yang
kita punya untuk kebesaran Indonesia. Dan bisakah kita memberikan sesuatu, lalu
berjuang demi bangsa kita, kalau kita buta di dalam jiwa?
may sampai napas terlepas dari raga kita. kita semua tetap one big happy family dalam naungan negara kesatuan republik indonesia. lepaskan semua olok dan prasangka kepada golongan laen.Selama Kamu benar ribuan malaikat Alloh menjaga kita agar selalu memunajatkan Asmanya(bagamanapun cara kita melakukannya) So tinggalkan yang gak penting penting tetap berkarya . move on forget the past. sakses selalu yo.
BalasHapusAduh, jadi terharu. Trims ya, bro, buat dukungannya. Senangnya ada satu orang lagi yang cinta dan menginginkan yang terbaik buat Indonesia. Btw aku nggak pernah melupakan masa lalu, karena aku banyak belajar dari situ:). Eh, iki ndhak Holiq seka Loyola?
BalasHapus