Dalam sebuah acara semi
formal yang saya ikuti waktu pertama-tama tinggal di Manado, ada seorang tante
bercerita, bahwa dia adalah orang yang sangat tidak bisa tampil ke depan dalam
urusan apapun. Baca UUD waktu upacara bendera, kata sambutan waktu ada acara di
kantor atau kampung, berdoa di muka umum, dll. Pasti keringatnya keluar
sebiji-biji jagung dan yang ada ia gemetaran luar biasa. Kebiasaan buruknya ini
sudah sangat populer, termasuk di kalangan gereja. Suatu hari si tante
mengikuti sebuah ibadah yang digelar di rumah seorang anggota jemaah, di mana
si pengkhotbah kebetulan adalah pendeta undangan dari gereja lain. Waktu acara
hendak dimulai, si pendeta main tunjuk seseorang untuk berdoa dan tante demam
panggung ini kena ‘sabetan selendang’. Si tante berkelit sedaya
upaya, sementara jemaah memandangnya penuh iba tapi tak kuasa menolongnya.
Pendeta tamu terus membujuk (sebab dia kan tidak tau penderitaan si tante
itu). Si tante akhirnya tak kuasa menolak setelah pendeta bilang begini,”Ibu,
jangan takut. Minta jo hikmat pada Tuhan, supaya dengan demikian segala ketidak
percayaan diri ibu bisa hilang. Mari ibu, minta hikmat pada Tuhan.”
Dengan peluh mengucur
dan tubuh gemetar, si tantepun berdoa dengan suara bergetar: “Ya Tuhan, kiranya
Engkau berkenan memberikan hambamu ini hikmat, dan kebijaksanaan dalam
permusyarawatan perwakilaaannnn….”
Sumpe, waktu dengar
cerita ini saya langsung terbahak-bahak di depan khalayak ramai tanpa malu,
lupa bahwa selama itu saya masih jaim dan sok halus a la Jawa di depan semua
orang kecuali suami saya. Soalnya si tante bercerita dengan wajah polos, suara
menggelegar khas orang Manado, dan logat yang waktu itu di kuping saya masih
terdengar lucu. Tante ini benar-benar berkepribadian Pancasila sejati, batin
saya dalam hati. Berdoa dengan gugup saja masih ingat sila ke-4 Pancasila:).
Itu tadi cuma intermezzo
saja, daripada puyeng mikir negara (lagian salah sendiri cuma mikir, kalau
langsung berbuat sesuatu kan belum tentu puyeng. Bisa jadi pecah kepala,
hehe…). Bicara soal kepribadian bangsa Indonesia sekarang ini memang agak-agak
membuat kita mengelus dada. Paling tidak pasca lengsernya Suharto, yang mana
rakyat kian brutal, kekerasan di mana-mana, sedikit-sedikit baku hantam,
kerusuhan, dll. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini dampak reformasi
kebablasan? Atau jangan-jangan sesungguhnya memang bangsa ini dari dulu begitu,
cuma karena takut dikenai pasal subversif (yang sangat ‘luwes’ itu) saja jadi
waktu era Suharto semua tampak alim dan santun?
Contoh sederhana adalah
dinamika dalam dunia maya. Saya aktif dalam beberapa grup di FB. Ada grup
alumni, kedaerahan, politik, dan agama (di mana saya jadi adminnya dalam grup
terakhir). Grup yang paling saya hargai adalah grup politik, karena para
anggotanya menunjukkan kualitas dalam berdiskusi, selebar dan sedalam apapun
jurang perbedaan mereka. Yang kadang bikin gerah adalah sebuah grup kedaerahan.
Saya pernah mengeluarkan pendapat yang tidak sama dengan paham mereka. Di luar
dugaan, seorang anggota tiba-tiba mengata-ngatai saya tanpa alasan jelas,
bahkan nama sayapun jadi korban. Padahal apa hubungannya? Oknum ini sama sekali
tidak saya tanggapi, sampai akhrinya dia bosan sendiri. Namun dalam beberapa
posting saya lihat beberapa orang bersilang pendapat menggunakan kata-kata kasar,
makian, dan diksi-diksi mengerikan lainnya, padahal nyata-nyata mereka adalah
lulusan perguruan tinggi. Bahkan ada yang S2 dan punya kedudukan tinggi di
kantor mereka masing-masing. Saya bertanya-tanya, lalu apa gunanya ya, latar
belakang pendidikan dan posisi mereka?
Namun tidak ada yang
lebih membuat prihatin ketimbang grup terakhir, yakni grup diskusi antar agama
(Kristen dan Islam). Semangat para anggota dalam mencemooh, mengolok-olok,
bahkan seringkali masuk dalam level hujat begitu luar biasa dan layak diacungi
jempol. Sebagai admin yang berperan sebagai ‘penjaga kesehatan’ grup sekaligus
peace maker, saya benar-benar kerepotan mengurus grup yang satu ini.
Kadang-kadang darah saya nyaris mendidih menghadapi ketegaran mereka yang tak
kenal lelah dalam upaya untuk melecehkan umat yang lain, meskipun berbagai
macam cara saya coba untuk menuntun mereka ke jalan yang baik dan benar
(halah). Untunglah -sekali lagi- dulu saya pernah jadi ketua Pramuka, jadi saya
benar-benar pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Walhasil,
sekarang mereka sudah agak ‘jinak’, hehe… (paling tidak kalau saya eksis dalam
sebuah posting). Dalam hal ini saya salut pada kerendahan hati mereka dalam
menerima teguran dan juga kesabaran saya dalam membimbing mereka (tetap saja,
kan, ujung-ujungnya narsis? Hihihi…).
Kepribadian kita memang
seringkali bisa terlihat dari cara kita bertutur kata, meskipun tidak selalu.
Saya jadi ingat pada perkara yang sedang membelit Angelina Sondakh. Meskipun
kening saya berkerut dengan dusta yang diumbarnya, namun ada hal yang makin
membuat saya terkejut, yakni ketika pengacara lawannya mengangkat perkara
gugatan cerai Angie pada almarhum suaminya sebelum meninggal. Berdusta adalah
satu hal tapi mengangkat isu pribadi untuk menjatuhkan lawan adalah hal yang
sangat norak menurut hemat saya. Sebab biasanya itu adalah langkah yang
dilakukan oleh anak-anak alay yang galau karena rebutan pacar atau ibu-ibu
kalangan menengah bawah, saat adu mulut gara-gara jemuran atau ayam tetangga
yang buang kotoran sembarangan. Tapi kalau ini dilakukan oleh pengacara dengan
bayaran wah dan ngakunya pintar, saya jadi sama sekali tidak bisa mengerti.
Ternyata pendidikan, nama besar, kesuksesan, dan apapun, seringkali tidak punya
kekuatan sama sekali dalam kemampuan seseorang mengontrol kata-kata dan atau
perbuatannya. Masih ingat pengacara dengan rambut dikucir dan dulu sempat tenar
juga sebagai pemain sinetron? Kurang kaya dan berpendidikan apa, coba? Tapi
solah-tingkah dan kata-katanya terutama dalam panggung politik benar-benar
membuat ngilu yang melihat dan mendengarnya. Kalau yang sukses, kaya,
berpendidikan, dan public figure saja tingkahnya pada seperti ini, lalu yang di
bawah apa kabar, ya?
Saya jadi ingat pada
pendeta saya. Beberapa tahun lalu, dalam salah satu khotbahnya beliau berkata
begini: “Sebetulnya nggak usah jauh-jauh agama, deh, kalau semua orang
Indonesia benar-benar menjiwai dan melaksanakan Pancasila dan semua butrinya,
pasti Indonesia akan benar-benar jadi negara yang damai dan sejahtera, secara
materiil maupun moril.” Saya pikir-pikir benar
juga. Dalam posting berjudul ‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaannn…?’ bagian ketiga
saya bicara soal hasil jika butir-butir dalam tiap sila Pancasila dilaksanakan
dengan sempurna. Tapi nggak usah seribet itu, deh, karena baru-baru ini –sekali
lagi- saya dibuat terpesona oleh Pancasila. Kali ini adalah butir ke dua sila
pertama yang membuat dada saya kemudian berderap: Manusia percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang membuat saya
terpesona adalah, setelah saya renungkan dan resapi tiap patah katanya, butir
kedua sila pertama ini ternyata sudah mencakup semua butir yang ada pada semua
sila. Percaya pada Tuhan adalah pernyataan sikap kerendahan hati seorang mahluk
ciptaan terhadap Sang Pencipta. Takwa kepada Tuhan jelas merupakan wujud
kepatuhan manusia (dalam hal ini manusia Indonesia) kepada Tuhan baik secara
iman maupun dalam pelaksanaan isi kitab dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi
jika kemudian dikombinasikan dengan kalimat terakhir yakni menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya tidak tahu dengan kitab anda, karena
tidak mungkin saya membuat pengandaian bahwa semua pembaca beragama Kristen,
namun hubungan manusia-manusia dan manusia-Tuhan sudah diatur secara detil dan
sempurna dalam kitab yang saya percayai. Bahkan termasuk urusan bayar pajak dan
mengambil sikap pribadi terhadap pemerintah sekalipun.
Jadi seandainya kita
malas membaca apalagi merenungkan butir-butir yang lain dalam Pancasila secara
utuh, renungkan saja butir yang ini, karena di sini secara tersurat kita
dituntut untuk kembali ke kitab masing-masing. Sekali lagi saya tidak tahu
dengan kitab anda, tapi saya contohkan hal-hal apa saja mengenai kehidupan
sehari-hari yang termaktub dalam kitab saya. Hormat pada orang tua, mengasihi
anak kecil, kehidupan rumah tangga, sikap orang tua terhadap anak, tuntunan
bagaimana mengisi waktu dengan baik dan benar serta produktif, peran dan bakti
kita terhadap lingkungan, sikap terhadap mereka yang tidak sepaham, etos kerja,
tips-tips alkitabiah untuk menjadi kaya secara materiil dan non materiil,
bagaimana merasakan kebahagiaan hakiki dan sukacita internal, kuat dan teguh
dalam menghadapi segala masalah, melepaskan diri dari kungkungan stress dan
depresi, mengembangkan bakat, mengatur dan mengelola aset yang kita miliki baik
yang fisik maupun non fisik, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan jika ditelaah
lebih lanjut, maka itu semua adalah materi pembentukan karakter yang luar
biasa. Dan apakah cuma kitab saya saja yang mengandung materi semacam itu? Ya
enggaklah, gila aja. Semua kitab, saya percaya, punya kualitas baik yang sama.
Benar atau tidaknya sajalah yang tergantung persepsi masing-masing umat.
Singkatnya, butir kedua
sila Pertama Pancasila mengajak kita kembali ke kitab masing-masing kemudian
mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana sekali, ya? Iya.
Coba kalau separuh saja rakyat Indonesia kembali ke kitab dan benar-benar
konsisten melaksanakannya, maka tidak akan ada lagi pembeberan aib rumah tangga
seorang Angelina Sondakh (itupun belum tentu benar karena suaminya kan sudah
meninggal jadi tidak bisa di cross check), tidak ada artis saling cakar, kasus
bunuh diri gara-gara tekanan ekonomi, orang lompat dari gedung entah gara-gara
apa, baku hujat antar umat beragama, saling maki kalau ada perbedaan pendapat,
anak minggat gara-gara dimarahi orang tua, suami selingkuh gara-gara isteri
cerewet, dan sebagainya. Yang ada kita semua benar-benar saling mengasihi,
menghormati, dan menyayangi. Saling tolong. Saling menebar simpati, memberikan
waktu untuk mendengarkan curahan hati seorang tetangga yang tertekan karena
punya anak segudang tapi nggak punya pembokat, mengajak ngobrol penjaga
lintasan kereta api atau penyapu jalananan, dan hal-hal kecil seperti itu.
Sedikit saja kita memberi perhatian dan menebar rasa simpati, secara konsisten,
maka kita akan terkejut melihat hasilnya.
Itu kalau kita mau
kembali ke kitab dan setia melaksakan isinya. Pribadi bangsa ini memang hanya
akan kuat bila kita semua kembali menghormati Tuhan. Indonesia yang teguh dan
teduh hanya akan bisa dicapai oleh pondasi pribadi rakyatnya yang mendasari
segala tutur kata dan perbuatannya berdasarkan tuntutan agama.
TUHAN memberkati
kepribadian rakyat Indonesia! TUHAN memberkati Indonesia!
Saya suka banget sama quote yang ini mbak "Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini dampak reformasi kebablasan? Atau jangan-jangan sesungguhnya memang bangsa ini dari dulu begitu, cuma karena takut dikenai pasal subversif (yang sangat ‘luwes’ itu) saja jadi waktu era Suharto semua tampak alim dan santun?"
BalasHapusterus terang, saya pernah berpikir hal yang sama, saking sedang negatifnya sama Bangsa ini. Apa iya, semua senyuman itu hanya topeng belaka saja? aslinya kita ini memang suka yang kisruh-kisruh? duh, sedih saya mikirnya....
sebenarnya ya mbak, Baik Pancasila maupun Agama, itu landasannya udah bener. Nggak perlu semuanya diamalkan, cukup satu saja, seminimal minimalnya, rakyat Indonesia sudah bisa menjadi bangsa yang lebih baik lagi. Narsis kayaknya biang persoalannya deh. semua penganut agama tampaknya punya narsisme berlebihan terhadap agamanya sendiri yang entah mereka peroleh darimana, atau mungkin diajarkan oleh seorang pemimpin agama yang katanya suci itu tapi nyatanya menularkan cara berpikir yang nggak sehat kepada umatnya. Coba deh mbak, kalau masyarakat kita NGGA berpikir bahwa agamanya yang paling bener, NGGA berpikir bahwa cuma agamanya yang bisa membawanya ke surga, NGGA berpikir bahwa Tuhan saya lebih hebat dari Tuhan situ (ya elah...emang Tuhan ada berapa sih?). Mereka cuma mengaplikasikan : "Kasihilah sesamamu, demikian juga musuhmu". Selesai! Habis perkara! mau agamanya A, B, C, sampai Z pun orang nggak akan peduli. Karena itu bukan big deal. Lebih penting adalah mengasihi, bukan pentingnya ritual belaka, kamu pakai bahasa apa, kamu caranya gimana, kamu Tuhannya wujudnya apa, cara sembahnya gimana, dan hal hal ga penting lainnya. Saya suka banget sama quote Pendeta-nya Mbak May. We need more of him, more of Yuanita Maya too, Romo Mangun, dan banyak orang-orang yang membuat Indonesia ini menjadi lebih baik tanpa peduli sama warna kulit, bentuk mata, jenis rambut, dan agama serta harta kekayaan.
"Saya jadi ingat pada pendeta saya. Beberapa tahun lalu, dalam salah satu khotbahnya beliau berkata begini: “Sebetulnya nggak usah jauh-jauh agama, deh, kalau semua orang Indonesia benar-benar menjiwai dan melaksanakan Pancasila dan semua butrinya, pasti Indonesia akan benar-benar jadi negara yang damai dan sejahtera, secara materiil maupun moril.”"
Ada lelucon begini: dalam sebuah pertandingan sepakbola dengan suporter sangat fanatik dari kedua belah tim, terdapat penonton yang sangat cool. Ia tidak berteriak-teriak, menghentak-hentakkan kaki, apalagi mengumpat. Semula para penonton di sekitarnya sama sekali tidak memperhatikannya, karena mereka sibuk heboh sendiri. Lama-lama, para penonton tersebut jadi tertarik. Kalau tim mereka dapat bola, penonton cool tersebut bertepuk tangan dan senyum-senyum. Sebaliknya, kalau tim lawan dapat bola, ia juga bertepuk tangan dengan wajah riang. Lama-lama penonton sebel, dan salah satu bertanya, "Hei, Bung, kamu ini apa-apaan, sih? Mau bela siapa? Yang tegas, dong! Masa kita dapat bola kamu tepuk tangan, lawan dapat bola kamu kelihatan senang. Jangan plin-plan!" Si Bung menjawab, "Habis, musti gimana? Dua-duanya sama-sama minta tolong diberi kemenangan." Para penonton di sekeliling si Bung jadi lupa pada pertandingan dan semua memperhatikannya dengan penasaran. "Emang kamu siapa, Bung, kok sampai dua-duanya minta tolong?" Jawab Si Bung, "Oh, bukan siapa-siapa. Cuma Tuhan." Hehehe.... Itulah Tuhan yang Maha Adil, di mana umat-Nya mengaku mereka yang paling benar, sedangkan yang diinginkan-Nya hanyalah mereka semua saling mengasihi.
BalasHapusMemang benar, kalau kita bisa menghilangkan semua fanatisme apapun, hidup jadi lebih enteng. Pintu kesempatan terbuka jauh lebih lebar, seiring dengan kita membuka pintu hati kita bagi orang lain. Semakin luas pergaulan kita, semakin matang pula pengalaman hidup dan kepribadian kita. Tapi bagaimana kita bisa bergaul luas dan diterima semua pihak, jika kita menganggap diri kita, paham kita, dan apa-apa kita adalah yang paling benar? Dalam satu posting saya pernah menulis bahwa memang sepatutnya kita menganggap keyakinan kita sebagai yang paling baik dan benar, tapi itu tidak berarti kita punya hak untuk menganggap yang lain lebih buruk. Karena kebenaran tidak pernah bersifat obyektif, it's just a matter of the way we percieve on something. Justru dari perbedaan tersebut kita membangun kekuatan, saling memberi dan melengkapi. Indahnya ya, kalau ideal tersebut bisa tercapai? Dan saya jadi terperangah karena disama-samakan dengan Romo Mangun. Sumpe, telinga saya sampai panas saking malunya (padahal biasanya telinga terasa panas kalau dengar fitnahm dan yang busuk-busuk, ya?:)). Tapi sebelutnya semua orang memang punya potensi untuk menjadi sehebat Romo MGus Dur, Cak Nun, dan Romo Sandya, dan orang-orang hebat itu. Tidak perlu secanggih mereka, sedikiiit...saja, kalau ditularkan pasti jadi besar. Jadi baik untuk Indonesia, untuk Indonesia yang baik. Tuhan memberkati Lomar, Tuhan memberkati Indonesia.