Kamis, 01 Maret 2012

“Pribadi bangsaku tidak majuuuu….. majuuuu…..”. Saya Percaya Tidak Selamanya Begitu.

Bagian terakhir dari empat tulisan

Saya –dan sebagian besar keluarga besar saya- punya dua kepribadian khas yang sangat bertolak belakang: temperamental di satu sisi dan gampang jatuh iba di sisi lain. Waktu masih muda dan berangasan (padahal sekarang beranjak tuapun masih iya), kalau ada orang cari gara-gara pasti saya akan melawannya. Seringkali dengan lidah saya yang sangat tajam plus suara menggelegar, dan kalau perlu pakai fisik . Saya pernah mencekik leher teman sekelas saya waktu SD gara-gara dia meledek bapak teman yang lain hanya karena beliau tukang sapu. Itulah kali pertama saya kena sidang dan terancam di skors , hingga kemudian emak saya –si biang preman- tidak terima dan ‘mengobrak-abrik’ sekolah karena menurutnya saya melakukan tindak kekerasan atas dasar perikemanusiaan. Hihihi. Saya juga pernah menjotos ulu hati seorang kakak kelas karena menjebret tali beha saya di depan umum, kemudian menjadi cheerleaders ketika teman-teman cowok saya yang tidak terima mengeroyok kakak kelas busuk tersebut. Terakhir saya (yang waktu itu sudah punya satu anak balita) menendang –maaf- kemaluan seorang cowok di jalan yang berusaha meremas pantat saya (padahal apanya yang mau diremas wong bodi saya rata? Menurut hemat saya, cowok itu tak hanya bodoh tapi pasti juga buta), lalu ketika dia rubuh saya injak-injak terus alat vitalnya tanpa ampun. Itu yang terakhir, yang lain-lainnya nggak parah-parah amat dan detilnya sebagian besar saya lupa –mungkin saking banyaknya. Paling-paling hanya melibatkan pintu yang ditendang hingga terhempas keras, kursi yang terjungkir, meja tertunggang-balik dengan segala yang di atasnya bertemperasan ke mana-mana, barang-barang beterbangan, dan hal-hal macam itu. Demikianlah kebrutalan saya, yang mana akan membuat siapapun sama sekali tidak akan percaya bahwa saya orang Jawa. Dan semua korban jahiliyah saya adalah cowok. Giliran ada cewek memusuhi saya, sedzalim apapun, biarpun mendidih pada akhirnya saya mengalah. Setiap dimusuhi sesama kaum saya memang selalu berubah jadi Jawa total, hehehe…

Seiring dengan berjalannya waktu, dengan semakin banyak tempaan dan ujian dalam hidup, sedikit demi sedikit saya berubah. Kalau dulu ada masalah saya sontak gumbrang-gumbreng, sekarang –biarpun susah payah- saya selalu berusaha ‘whooosaaaa….’ a la Michael Lawrence dalam film Bad Boys II. Semakin luas pergaulan, semakin pula saya banyak belajar dari kekurangan dan kelebihan orang lain, termasuk kemampuan dan ketidakmampuan mereka mengelola emosi dan menghadapi masalah. Belajar dari mereka, kemampuan sayapun meningkat dalam mengontrol emosi dan memilih kosa kata untuk mengungkapkan kemarahan, sekalipun sebenarnya saya masih sama mudah tersulut emosinya seperti dulu. Derajat ‘darah panas’ Yuanita Maya masih sama seperti dulu, bedanya dia sekarang lebih fasih dalam mengelolanya.

Lalu sisi kebalikannya, yakni mudah jatuh iba. Saya ini orang yang paling tidak bisa melihat orang lain susah. Sendholim apapun seseorang pada saya, jika saya tahu sisi hidupnya yang agak-agak gimanaaa… gitu, saya pasti berkata pada diri sendiri, “Halah, sutralah.” Lalu saya biarkan dia berbuat semau-maunya, yang mana justru membuatnya kian ndholim. Sekarang tidak demikian. Saya hadapi kendholimannya dengan emosi terukur dan rasa iba yang tertata, sehingga dengan demikian oknum tersebut menghentikan kendholimannya (yang mana baik bagi kami berdua). Demikian juga menghadapi orang-orang yang hidup didesak kemiskinan. Apalagi saya hidup di tengah lingkungan keluarga besar yang serba kecukupan dengan tangan sangat terbuka. ‘Pelit’ mungkin adalah kata yang punya makna sekeras ‘zinah’ bagi keluarga besar saya. Tapi setelah digojlok dalam berbagai masalah – termasuk masalah finansial- yang banyak mengubah sikap mental, tangan saya kini tidak terulur secepat dulu. Tidak semudah masa lalu, ketika tiap orang datang mengeluh ini-itu saya langsung bergerak secara reflek. Merenungkan pengalaman pribadi dan melihat pengalaman orang lain –baik mereka yang miskin permanen maupun yang berhasil dalam jihad melawan kemiskinan- plus rumusan-rumusan tentang hidup yang dilimpahi berkah hasil merenungkan ayat-ayat Alkitab, sayapun tidak lagi senaif Yuanita Maya yang dulu. Bahkan saya pernah lho, membuat quote yang bagus: ‘Seseorang tidak akan sadar bahwa kemiskinan bukanlah salah siapa-siapa melainkan kesalahannya sendiri, sampai dia berhasil dalam jihad melawan kemiskinan tersebut’. Begitu indahnya sampai-sampai saya terkagum-kagum pada diri sendiri :).

Tentu saja saya tidak lantas tutup mata melihat orang susah yang meminta tolong, sebab di atas segalanya itu juga kewajiban saya sebagai orang Kristen. Namun rasa iba tersebut saya kelola dengan bijaksana, hingga tidak menyebabkan si peminta tolong tersebut jadi semakin lemah mentalnya. Contohnya, ada seorang perempuan yang secara berkala saya bantu meskipun saat ini keadaan finansial saya masih mepet (bukannya sok ‘y’, saya hanya berusaha menjalankan firman Tuhan yang bunyinya begini: “Kalau kau memberi dari kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya kalau mau berbagi nggak perlu nunggu kaya. Iya kalau setelah kaya murah hati, kalau ternyata tambah sayang sama duit dan kian pelit? Dan nggak usah takut bakal makin kekurangan terus main itung-itungan, karena TUHAN sendiri yang akan memperhitungkan upahnya (ada di ayat terusannya tapi saya lupa, hehehe…). Namun setelah saya perhatikan, tiap kali kami bertemu si ibu ini selalu bersikap bak drama queen dengan membeberkan seribu satu penderitaannya. Seakan-akan hidupnya senantiasa dipayungi awan pekat. Padahal saya saja bisa melihat betapa si ibu ini dilimpahi banyak berkat, yang sayangnya tidak terlihat oleh mata dan hatinya yang tak mampu mengucap syukur. Ya jelas aja dia miskin dan sedih permanen. Gimana mau kaya dan bahagia secara materi dan rohani kalau mulut dan hati selalu berkeluh-kesah? (silakan tengok posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan ‘Diam-diam Jadi Kaya’ sebagai referensi).

Nah, setelah meminta hikmat Tuhan supaya mampu menegur si ibu yang sensi itu dengan bijak, mulailah saya ‘cuci’ mentalnya habis-habisan. Dan yakinlah wahai para pembaca, berhadapan dengan orang semacam itu benar-benar bagaikan menghadapi Ksatria Pembela Pembenaran yang sulit untuk ditumbangkan. Ia pandai sekali ngeyel, di antaranya, “Ya mesthiii, Mbak Maya bisa ngomong seperti itu karena ndhak ngalami. Dari dulu hidup enak, segala kecukupan, keluarganya juga sugih-sugih, dan sebagainya, blablabla…..”. Waktu saya bilang hidup itu ‘wang sinawang’ (tak seperti apa yang kita lihat, karena sebenarnya keadaan finansial dan ini-itu saya juga masih parah. Cuma kan dia nggak ngerti karena saya nggak pernah ngember soal masalah-masalah yang membelit kehidupan saya), eh, dia malah bilang begini, “Kalau nggak mau bantu ya sudah, mbak, nggak usah ngapusi (bohong).” Lho, piye to iki?.Kok malah dibolak-balik pasalnya. Tapi karena waktu SD saya pernah jadi ketua kelompok  dalam ekskul Praja Muda Karana, maka menghadapi si ibu ngeyelan mrengutan (tukang cemberut) ini saya pun benar-benar pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Hasilnya lumayan, ibu itu kini bukan lagi pakar mengeluh (seenggaknya tidak di depan saya. Mungkin pikirnya timbang ngeluh malah dikhotbahi, nggak dapat duit lagi. Lho, kok malah saya jadi suudzon?). Di titik ini saya merasa bangga pada diri sendiri (ujung-ujungnya memang narsis, hehehe…).

Nah, itulah dua kepribadian saya yang paling menonjol, selain doyan ngomong nggak kenal berhenti (eh kalau itu mungkin lebih tepat dibilang kebiasaan, ya? *berdalih*). Bicara soal kepribadian, saya jadi ingat ada pepatah Jawa yang bilang begini, “Watuk isa ditambani, watak marine nek wis mati”. Batuk bisa diobati, watak sembuhnya jika sudah mati. Memang benar, kepribadian akan kita bawa ke mana saja, kapan saja, hingga maut memanggil kita. Tapi gila aja kalau itu kita jadikan alasan, kemudian bila berbuat salah sehubungan watak kita yang buruk dan kena tegur terus ngeyel, “Begitulah diriku. Aku tetaplah aku.” Celaka kalau begitu, terus kapan mau maju? Seperti halnya keberangasan dan hati rapuh yang tetap saya miliki dan tidak berkurang derajatnya sedikitpun hingga kini, tetaplah tidak bisa saya jadikan alasan untuk ngeyel dengan cara apapun. Kalau keberingasan itu tidak saya kontrol sejak kini –sesulit apapun usaha yang harus saya tempuh-, apa kabar anak-anak dan keponakan-keponakan saya, dan lain-lain yang melihat ‘premanisme’ saya? Bukankah mereka akan belajar darinya? Kemudian kelak di kemudian hari mereka juga akan menularkan pribadi berangasan tak terkontrol itu pada keturunan dan orang-orang di sekitar mereka? Maka sikap beringas tersebut akan lestari dan terus menular ke mana-mana, hingga generasi berikutnya, lalu buyarlah Indonesia. Demikian juga bila kelemahan hati saya tidak saya tata. Jika sampai kini tiap kali lihat orang susah saya buru-buru ingin membantu tidak peduli latar belakang mereka seperti apa, bukankah akan semakin memupuk sikap mental menye-menye orang-orang tersebut? Maka yang lain akan melihat dan berpikir, “Oh, jadi berkeluh-kesah itu nggak salah, malah enak dapat pertolongan tanpa susah-payah.” Celaka yang kedua. Sikap cengeng akan menular, kalau ditegur sekaligus dikuatkan malah berkelit dan menyalahkan orang lain dengan pintar. Kemiskinan dan kesusahan menyebar dan kian besar, lalu Indonesia bubar.

Jadi demikianlah konklusi saya soal kepribadian, yang memang kita dapatkan secara natural dari Tuhan. Kepribadian kita –sejelek apapun- akan terus abadi hingga kita mati. Namun itu bukan alasan bagi kita untuk berbangga apalagi bersikap tegar tengkuk, kemudian menjadikannya sebagai alasan untuk memertahankan dan mempertontonkan kepribadian kita yang buruk. Kepribadian yang buruk boleh abadi, namun semakin dewasa kita harus makin mampu untuk mengelolanya dengan hati-hati. Seiring dengan itu kita tonjolkan kepribadian kita yang baik, lalu kita tularkan kepada mereka yang ada di sekeliling kita hingga menjadi ‘virus’ yang mampu membuat Indonesia tetap tegar sekaligus teduh dalam menghadapi berbagai persoalan pelik. Dengan demikian suatu hari nanti kita bisa berseru, “Pribadi bangsaku sudah majuuuu!!!!”. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).



2 komentar:

  1. Wah, ngebacane sampe gak pake berkedip. Ya, memang begitulah kenyataan yg ada, kepribadian yg "garang" dan gak mau kalah bila dikontrol kearah positif akan menghasilkan buah yg manis pada ujungnya. Kemaren awal February saya mengikuti reunian bekas SMP saya,... apa yg dialami mbak Yuanita sangat klop dgn realita (setidaknya) di lingkungan sohib-sohib ku. Yg dulunya suka ugal-ugalan, ngeyel, nyontek, bla..bla..bla,.. eeehhhh, ... ternyata skrg justeru mereka bisa jadi "orang" (padahal sejak dulu juga emang sudah orang, ...cuman kelakuannya aja yg kayak ... gitu deh!)... Makaciii buat mbak Preman, ups sorry mbak Yuanita... see you on your next post.
    John Angkouw

    BalasHapus
  2. Sekarang saya sudah jadi orang ato masih kambing ya?:). Akhirnya bisa masuk juga ya, komennya. Ada adagium yang berkata begini: mending waktu muda ugal-ugalan sampai puas, setelah tua insyaf dan alim. Ketimbang waktu masih muda alim setelah tua jadi bengal karena nggak pernah merasakan enaknya. Eh, nggak gitu juga kali, ya? Intinya semakin ke sini memang kita harus semakin tau kekurangan dan kelebihan kita. Yang jelek dikurangin, yang bagus ditambahin. Kalau tiap pribadi di Indonesia mengambil sikap demikian maka pastilah pribadi bangsa ini benar-benar akan maju. Terima kasih, Bung John, Tuhan memberkati!

    BalasHapus