Saya –dan sebagian besar keluarga besar saya- punya dua
kepribadian khas yang sangat bertolak belakang: temperamental di satu sisi dan
gampang jatuh iba di sisi lain. Waktu masih muda dan berangasan (padahal
sekarang beranjak tuapun masih iya), kalau ada orang cari gara-gara
pasti saya akan melawannya. Seringkali dengan lidah saya yang sangat tajam plus
suara menggelegar, dan kalau perlu pakai fisik . Saya pernah mencekik leher
teman sekelas saya waktu SD gara-gara dia meledek bapak teman yang lain hanya
karena beliau tukang sapu. Itulah kali pertama saya kena sidang dan terancam di
skors , hingga kemudian emak saya –si biang preman- tidak
terima dan ‘mengobrak-abrik’ sekolah karena menurutnya saya melakukan tindak
kekerasan atas dasar perikemanusiaan. Hihihi. Saya juga pernah menjotos ulu hati
seorang kakak kelas karena menjebret tali beha saya di depan umum, kemudian menjadi
cheerleaders ketika teman-teman cowok saya yang tidak terima mengeroyok kakak
kelas busuk tersebut. Terakhir saya (yang waktu itu sudah punya satu anak
balita) menendang –maaf- kemaluan seorang cowok di jalan yang berusaha meremas
pantat saya (padahal apanya yang mau diremas wong bodi saya rata? Menurut hemat
saya, cowok itu tak hanya bodoh tapi pasti juga buta), lalu ketika dia rubuh saya
injak-injak terus alat vitalnya tanpa ampun. Itu yang terakhir, yang lain-lainnya
nggak parah-parah amat dan detilnya sebagian besar saya lupa –mungkin saking
banyaknya. Paling-paling hanya melibatkan pintu yang ditendang hingga terhempas
keras, kursi yang terjungkir, meja tertunggang-balik dengan segala yang
di atasnya bertemperasan ke mana-mana, barang-barang beterbangan, dan hal-hal
macam itu. Demikianlah kebrutalan saya, yang mana akan membuat siapapun sama
sekali tidak akan percaya bahwa saya orang Jawa. Dan semua korban jahiliyah
saya adalah cowok. Giliran ada cewek memusuhi saya, sedzalim apapun, biarpun
mendidih pada akhirnya saya mengalah. Setiap dimusuhi sesama kaum saya memang
selalu berubah jadi Jawa total, hehehe…
Seiring dengan berjalannya waktu, dengan semakin banyak
tempaan dan ujian dalam hidup, sedikit demi sedikit saya berubah. Kalau dulu
ada masalah saya sontak gumbrang-gumbreng, sekarang –biarpun susah payah- saya
selalu berusaha ‘whooosaaaa….’ a la Michael Lawrence dalam film Bad Boys II.
Semakin luas pergaulan, semakin pula saya banyak belajar dari kekurangan dan
kelebihan orang lain, termasuk kemampuan dan ketidakmampuan mereka mengelola
emosi dan menghadapi masalah. Belajar dari mereka, kemampuan sayapun meningkat
dalam mengontrol emosi dan memilih kosa kata untuk mengungkapkan kemarahan,
sekalipun sebenarnya saya masih sama mudah tersulut emosinya seperti dulu.
Derajat ‘darah panas’ Yuanita Maya masih sama seperti dulu, bedanya dia
sekarang lebih fasih dalam mengelolanya.
Lalu sisi kebalikannya, yakni mudah jatuh iba. Saya ini orang
yang paling tidak bisa melihat orang lain susah. Sendholim apapun seseorang pada
saya, jika saya tahu sisi hidupnya yang agak-agak gimanaaa… gitu, saya pasti
berkata pada diri sendiri, “Halah, sutralah.” Lalu saya biarkan dia berbuat
semau-maunya, yang mana justru membuatnya kian ndholim. Sekarang tidak
demikian. Saya hadapi kendholimannya dengan emosi terukur dan rasa iba yang
tertata, sehingga dengan demikian oknum tersebut menghentikan kendholimannya
(yang mana baik bagi kami berdua). Demikian juga menghadapi orang-orang yang
hidup didesak kemiskinan. Apalagi saya hidup di tengah lingkungan keluarga
besar yang serba kecukupan dengan tangan sangat terbuka. ‘Pelit’ mungkin adalah
kata yang punya makna sekeras ‘zinah’ bagi keluarga besar saya. Tapi setelah digojlok dalam
berbagai masalah – termasuk masalah finansial- yang banyak mengubah sikap
mental, tangan saya kini tidak terulur secepat dulu. Tidak semudah masa lalu,
ketika tiap orang datang mengeluh ini-itu saya langsung bergerak secara reflek.
Merenungkan pengalaman pribadi dan melihat pengalaman orang lain –baik mereka
yang miskin permanen maupun yang berhasil dalam jihad melawan kemiskinan- plus
rumusan-rumusan tentang hidup yang dilimpahi berkah hasil merenungkan ayat-ayat
Alkitab, sayapun tidak lagi senaif Yuanita Maya yang dulu. Bahkan saya pernah
lho, membuat quote yang bagus: ‘Seseorang tidak akan sadar bahwa kemiskinan
bukanlah salah siapa-siapa melainkan kesalahannya sendiri, sampai dia berhasil
dalam jihad melawan kemiskinan tersebut’. Begitu indahnya sampai-sampai saya
terkagum-kagum pada diri sendiri :).
Tentu saja saya tidak lantas tutup mata melihat orang susah
yang meminta tolong, sebab di atas segalanya itu juga kewajiban saya sebagai
orang Kristen. Namun rasa iba tersebut saya kelola dengan bijaksana, hingga
tidak menyebabkan si peminta tolong tersebut jadi semakin lemah mentalnya.
Contohnya, ada seorang perempuan yang secara berkala saya bantu meskipun saat
ini keadaan finansial saya masih mepet (bukannya sok ‘y’, saya hanya berusaha
menjalankan firman Tuhan yang bunyinya begini: “Kalau kau memberi dari
kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya kalau mau berbagi nggak perlu nunggu kaya.
Iya kalau setelah kaya murah hati, kalau ternyata tambah sayang sama duit dan
kian pelit? Dan nggak usah takut bakal makin kekurangan terus main
itung-itungan, karena TUHAN sendiri yang akan memperhitungkan upahnya (ada di
ayat terusannya tapi saya lupa, hehehe…). Namun setelah saya perhatikan, tiap
kali kami bertemu si ibu ini selalu bersikap bak drama queen dengan membeberkan
seribu satu penderitaannya. Seakan-akan hidupnya senantiasa dipayungi awan
pekat. Padahal saya saja bisa melihat betapa si ibu ini dilimpahi banyak
berkat, yang sayangnya tidak terlihat oleh mata dan hatinya yang tak mampu
mengucap syukur. Ya jelas aja dia miskin dan sedih permanen. Gimana mau kaya
dan bahagia secara materi dan rohani kalau mulut dan hati selalu
berkeluh-kesah? (silakan tengok posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan
‘Diam-diam Jadi Kaya’ sebagai referensi).
Nah, setelah meminta hikmat Tuhan supaya mampu menegur si ibu
yang sensi itu dengan bijak, mulailah saya ‘cuci’ mentalnya habis-habisan. Dan
yakinlah wahai para pembaca, berhadapan dengan orang semacam itu benar-benar
bagaikan menghadapi Ksatria Pembela Pembenaran yang sulit untuk ditumbangkan. Ia
pandai sekali ngeyel, di antaranya, “Ya mesthiii, Mbak Maya bisa ngomong
seperti itu karena ndhak ngalami. Dari dulu hidup enak, segala kecukupan, keluarganya
juga sugih-sugih, dan sebagainya, blablabla…..”. Waktu saya bilang hidup itu ‘wang
sinawang’ (tak seperti apa yang kita lihat, karena sebenarnya keadaan finansial
dan ini-itu saya juga masih parah. Cuma kan dia nggak ngerti karena saya nggak
pernah ngember soal masalah-masalah yang membelit kehidupan saya), eh, dia
malah bilang begini, “Kalau nggak mau bantu ya sudah, mbak, nggak usah ngapusi
(bohong).” Lho, piye to iki?.Kok malah dibolak-balik pasalnya. Tapi karena
waktu SD saya pernah jadi ketua kelompok
dalam ekskul Praja Muda Karana, maka menghadapi si ibu ngeyelan mrengutan
(tukang cemberut) ini saya pun benar-benar pantang menyerah dan tak kenal putus
asa. Hasilnya lumayan, ibu itu kini bukan lagi pakar mengeluh (seenggaknya
tidak di depan saya. Mungkin pikirnya timbang ngeluh malah dikhotbahi, nggak
dapat duit lagi. Lho, kok malah saya jadi suudzon?). Di titik ini saya merasa
bangga pada diri sendiri (ujung-ujungnya memang narsis, hehehe…).
Nah, itulah dua kepribadian saya yang paling menonjol, selain
doyan ngomong nggak kenal berhenti (eh kalau itu mungkin lebih tepat dibilang
kebiasaan, ya? *berdalih*). Bicara soal kepribadian, saya jadi ingat ada
pepatah Jawa yang bilang begini, “Watuk isa ditambani, watak marine nek wis
mati”. Batuk bisa diobati, watak sembuhnya jika sudah mati. Memang benar,
kepribadian akan kita bawa ke mana saja, kapan saja, hingga maut memanggil
kita. Tapi gila aja kalau itu kita jadikan alasan, kemudian bila berbuat salah sehubungan
watak kita yang buruk dan kena tegur terus ngeyel, “Begitulah diriku. Aku
tetaplah aku.” Celaka kalau begitu, terus kapan mau maju? Seperti halnya
keberangasan dan hati rapuh yang tetap saya miliki dan tidak berkurang
derajatnya sedikitpun hingga kini, tetaplah tidak bisa saya jadikan alasan
untuk ngeyel dengan cara apapun. Kalau keberingasan itu tidak saya kontrol
sejak kini –sesulit apapun usaha yang harus saya tempuh-, apa kabar anak-anak
dan keponakan-keponakan saya, dan lain-lain yang melihat ‘premanisme’ saya?
Bukankah mereka akan belajar darinya? Kemudian kelak di kemudian hari mereka
juga akan menularkan pribadi berangasan tak terkontrol itu pada keturunan dan
orang-orang di sekitar mereka? Maka sikap beringas tersebut akan lestari dan terus
menular ke mana-mana, hingga generasi berikutnya, lalu buyarlah Indonesia. Demikian
juga bila kelemahan hati saya tidak saya tata. Jika sampai kini tiap kali lihat
orang susah saya buru-buru ingin membantu tidak peduli latar belakang mereka seperti
apa, bukankah akan semakin memupuk sikap mental menye-menye orang-orang
tersebut? Maka yang lain akan melihat dan berpikir, “Oh, jadi berkeluh-kesah
itu nggak salah, malah enak dapat pertolongan tanpa susah-payah.” Celaka yang
kedua. Sikap cengeng akan menular, kalau ditegur sekaligus dikuatkan malah
berkelit dan menyalahkan orang lain dengan pintar. Kemiskinan dan kesusahan
menyebar dan kian besar, lalu Indonesia bubar.
Jadi demikianlah
konklusi saya soal kepribadian, yang memang kita dapatkan secara natural dari
Tuhan. Kepribadian kita –sejelek apapun- akan terus abadi hingga kita mati.
Namun itu bukan alasan bagi kita untuk berbangga apalagi bersikap tegar tengkuk,
kemudian menjadikannya sebagai alasan untuk memertahankan dan mempertontonkan
kepribadian kita yang buruk. Kepribadian yang buruk boleh abadi, namun semakin
dewasa kita harus makin mampu untuk mengelolanya dengan hati-hati. Seiring
dengan itu kita tonjolkan kepribadian kita yang baik, lalu kita tularkan kepada
mereka yang ada di sekeliling kita hingga menjadi ‘virus’ yang mampu membuat
Indonesia tetap tegar sekaligus teduh dalam menghadapi berbagai persoalan
pelik. Dengan demikian suatu hari nanti kita bisa berseru, “Pribadi bangsaku
sudah majuuuu!!!!”. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Wah, ngebacane sampe gak pake berkedip. Ya, memang begitulah kenyataan yg ada, kepribadian yg "garang" dan gak mau kalah bila dikontrol kearah positif akan menghasilkan buah yg manis pada ujungnya. Kemaren awal February saya mengikuti reunian bekas SMP saya,... apa yg dialami mbak Yuanita sangat klop dgn realita (setidaknya) di lingkungan sohib-sohib ku. Yg dulunya suka ugal-ugalan, ngeyel, nyontek, bla..bla..bla,.. eeehhhh, ... ternyata skrg justeru mereka bisa jadi "orang" (padahal sejak dulu juga emang sudah orang, ...cuman kelakuannya aja yg kayak ... gitu deh!)... Makaciii buat mbak Preman, ups sorry mbak Yuanita... see you on your next post.
BalasHapusJohn Angkouw
Sekarang saya sudah jadi orang ato masih kambing ya?:). Akhirnya bisa masuk juga ya, komennya. Ada adagium yang berkata begini: mending waktu muda ugal-ugalan sampai puas, setelah tua insyaf dan alim. Ketimbang waktu masih muda alim setelah tua jadi bengal karena nggak pernah merasakan enaknya. Eh, nggak gitu juga kali, ya? Intinya semakin ke sini memang kita harus semakin tau kekurangan dan kelebihan kita. Yang jelek dikurangin, yang bagus ditambahin. Kalau tiap pribadi di Indonesia mengambil sikap demikian maka pastilah pribadi bangsa ini benar-benar akan maju. Terima kasih, Bung John, Tuhan memberkati!
BalasHapus