Selasa, 14 Mei 2013

Only the Good Die Young……


Saya benar-benar terhenyak mendengar kabar kepergian Ustadz Jeffry Al Buchori. Yang membawa berita duka itu adalah suami saya yang hari itu pulang menjelang subuh. Ia menyampaikannya dengan suara yang terdengar sangat jauh dan ekspresi nyaris hampa. Saya nyaris tak percaya dan kemudian berkata dengan suara gemetar,”Ya Tuhan, padahal orangnya baik sekali. Dan sebagai suami Uje benar-benar patut dijadikan suri tauladan.” Kemudian dengan air mata berlelehan di pipi saya bergumam,”Kenapa musti Uje yang dipanggil pulang? Dia masih muda, teladan yang baik di antara begitu banyak teladan yang buruk, dan sangat humanis. Mengapa bukan mereka yang khotbah-khotbahnya diwarnai ajakan untuk membenci orang lain saja yang mati? Kenapa orang-orang yang berhati buram justru dibiarkan hidup sampai tua?”

Lalu saya terduduk lemas mengenang khotbah-khotbahnya. Meskipun seorang Kristen, tapi saya gemar mendengarkan ceramahnya. Paling tidak beberapa tahun lalu, waktu program beliau  masih ditayangkan secara teratur di sebuah televisi dan otak saya masih cukup mampu untuk mengingat jadwal siaran tersebut. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan, mengingat secara pribadi saya cenderung sangat menghindari televisi. Namun tidak bagi Ustadz Jeffry. Dan walau sepatahpun tidak mengerti artinya, namun saya sangat suka bila di sela dakwahnya mendadak Uje melantunkan ayat-ayat Al Qur’an dengan nada-nada tinggi yang merdu. Terdengar sangat liris di telinga dan di hati, dan kalau seorang Muslim, saya pasti melelehkan air mata karena terharu mendengar lantunan ayat yang demikian indah tersebut. Materi dakwahnya, selain segar dan lucu, juga seringkali bersifat universal dan berlaku umum untuk semua orang yang percaya Tuhan, tak peduli agamanya apa.

Selanjutnya saya tahu bahwa jenazah Uje dihantar ke peristirahatan terakhir oleh manusia-manusia yang menyemut karena begitu banyaknya. Dan saya sama sekali tidak heran. Mengapa saya harus terkejut jika seseorang yang begitu banyak menyebarkan kebaikan, pulang dengan diantar oleh begitu banyak manusia? Satu kalipun Uje tidak pernah melontarkan kata-kata yang merendahkan keyakinan orang lain. Uje mengajak para penyembah Allah dan pengikut Nabi Muhammad untuk hidup sesuai tuntunan agama, itu saja. Untuk menunjukkan kebaikan Islam, Uje sama sekali tidak merasa perlu mencari-cari keburukan agama lain. Untuk mengangkat kemuliaan Nabinya, Uje tidak merasakan manfaat menghujat Nabi orang lain. Untuk mengajak umat Islam mencintai Junjungan dan Kitab mereka, Uje tidak melihat pentingnya menghasut mereka untuk membenci Junjungan dan Nabi orang lain.

Diberkatilah para pemimpin umat seperti Ustadz Jeffry. Sebab di luar sana, banyak sekali dari mereka yang menyampaikan pesan dengan cara sebaliknya. Mencari-cari kesalahan Kitab orang lain supaya Kitabnya terlihat benar. Menjelek-jelekkan Nabi orang lain supaya Nabinya kelihatan baik. Menghujat Tuhan orang lain gadungan dan sebagainya supaya Tuhan-Nya kelihatan ajaib dan penuh kuasa. Dalam hal ini saya merasa Uje mengenal betul paradoks ini: ketika kau merendahkan orang lain, maka kau justru merendahkan dirimu sendiri. Ya, sebab sebaik apapun seseorang, ketika ia sudah mengata-ngatai orang lain, maka saat itulah keburukannya terangkat ke permukaan. Sayangnya, banyak sekali pemimpin umat yang buta mengenai paradoks ini. Lebih disayangkan lagi, pemimpin-pemimpin semacam itu tidak hanya mewakili satu agama. Dan sebagai akibatnya, banyak umat yang percaya begitu saja. Usai mendengar khotbah yang diwarnai kebencian dan hujatan pada agama orang lain dengan segala aspeknya, umat tersebut pulang dengan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan. Dan ia akan mulai mengejawantahkan keniscayaan tersebut. Di rumah, di kantor, di jalanan, di jejaring sosial dengan kemampuan kecepatan penyebaran berita dan penggiringan opini yang luar biasa, di manapun ia berada. Itu menjawab pertanyaan mengapa pertikaian antar umat beragama tidak pernah surut, bahkan cenderung kian meresahkan hari demi hari.

Tidak tahu dengan anda, namun saya pribadi berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin umat seperti Ustadz Jeffry. Ini sekali lagi membuat saya bertanya-tanya, mengapa justru Ustadz macam ini yang lebih dulu dipanggil pulang, di usia yang masih begitu timur? Mengapa mereka yang gemar menebar kebencian justru bertahan hidup sampai uzur? Saya bukan orang bijaksana, apalagi Tuhan yang Maha Kuasa, jadi saya hanya bisa menerka-nerka. Mungkin saja Sang Maha Mengetahui mengerti, bahwa bila diberi umur lebih panjang, bisa jadi Uje berubah pikiran dan dalam tiap khotbahnya mulai menyisipkan unsur-unsur dan ajakan untuk membenci. Ya, bisa jadi, sebab hidup ini siapalah yang bisa mengerti, kecuali Sang Pencipta Hidup sendiri? Bila diberi kesempatan berumur panjang, bisa jadi Uje justru akan mengambil jalan menyimpang. Sebab memertahankan kewarasan di tengah popularitas memang bukan perkara gampang. Dan apa jadinya bila Ustadz yang dicintai dan dipercaya oleh jutaan manusia ini, pada suatu waktu berbalik arah dan mengajak mereka untuk membenci umat lain? Tidakkah para pembenci itu akan bertambah tak terkendali, dan menggoyahkan sendi-sendi bangsa ini? Jadi, cukuplah rentang masa ini bagi Ustadz Jeffry. Biarlah saya, seorang non muslim, mengenangnya dengan segenap rasa hormat dan terima kasih, karena dalam hidupnya yang singkat ini beliau telah mengajarkan pada jutaan umat segala hal yang baik saja. Seorang yang baik adalah ia yang dianggap kekasih oleh Tuhan-nya. Jadi, sekalipun air mata saya bercucuran dan dada saya terasa sakit saat menulis artikel ini, saya tak perlu menyesali kepergiannya yang begitu cepat. Sebab hanya yang terkasih sajalah yang diharapkan lekas pulang…..

Selamat jalan Ustadz Jeffry, Indonesia berterima kasih dan Tuhan memberkati………