Saya benar-benar terhenyak
mendengar kabar kepergian Ustadz Jeffry Al Buchori. Yang membawa berita duka
itu adalah suami saya yang hari itu pulang menjelang subuh. Ia menyampaikannya
dengan suara yang terdengar sangat jauh dan ekspresi nyaris hampa. Saya nyaris
tak percaya dan kemudian berkata dengan suara gemetar,”Ya Tuhan, padahal
orangnya baik sekali. Dan sebagai suami Uje benar-benar patut dijadikan suri
tauladan.” Kemudian dengan air mata berlelehan di pipi saya bergumam,”Kenapa
musti Uje yang dipanggil pulang? Dia masih muda, teladan yang baik di antara
begitu banyak teladan yang buruk, dan sangat humanis. Mengapa bukan mereka yang
khotbah-khotbahnya diwarnai ajakan untuk membenci orang lain saja yang mati?
Kenapa orang-orang yang berhati buram justru dibiarkan hidup sampai tua?”
Lalu saya terduduk
lemas mengenang khotbah-khotbahnya. Meskipun seorang Kristen, tapi saya gemar
mendengarkan ceramahnya. Paling tidak beberapa tahun lalu, waktu program beliau masih ditayangkan secara teratur di sebuah
televisi dan otak saya masih cukup mampu untuk mengingat jadwal siaran tersebut.
Ini adalah sebuah bentuk penghargaan, mengingat secara pribadi saya cenderung sangat
menghindari televisi. Namun tidak bagi Ustadz Jeffry. Dan walau sepatahpun
tidak mengerti artinya, namun saya sangat suka bila di sela dakwahnya mendadak
Uje melantunkan ayat-ayat Al Qur’an dengan nada-nada tinggi yang merdu.
Terdengar sangat liris di telinga dan di hati, dan kalau seorang Muslim, saya
pasti melelehkan air mata karena terharu mendengar lantunan ayat yang demikian
indah tersebut. Materi dakwahnya, selain segar dan lucu, juga seringkali
bersifat universal dan berlaku umum untuk semua orang yang percaya Tuhan, tak
peduli agamanya apa.
Selanjutnya saya tahu
bahwa jenazah Uje dihantar ke peristirahatan terakhir oleh manusia-manusia yang
menyemut karena begitu banyaknya. Dan saya sama sekali tidak heran. Mengapa
saya harus terkejut jika seseorang yang begitu banyak menyebarkan kebaikan,
pulang dengan diantar oleh begitu banyak manusia? Satu kalipun Uje tidak pernah
melontarkan kata-kata yang merendahkan keyakinan orang lain. Uje mengajak para
penyembah Allah dan pengikut Nabi Muhammad untuk hidup sesuai tuntunan agama,
itu saja. Untuk menunjukkan kebaikan Islam, Uje sama sekali tidak merasa perlu
mencari-cari keburukan agama lain. Untuk mengangkat kemuliaan Nabinya, Uje tidak
merasakan manfaat menghujat Nabi orang lain. Untuk mengajak umat Islam
mencintai Junjungan dan Kitab mereka, Uje tidak melihat pentingnya menghasut
mereka untuk membenci Junjungan dan Nabi orang lain.
Diberkatilah para
pemimpin umat seperti Ustadz Jeffry. Sebab di luar sana, banyak sekali dari
mereka yang menyampaikan pesan dengan cara sebaliknya. Mencari-cari kesalahan
Kitab orang lain supaya Kitabnya terlihat benar. Menjelek-jelekkan Nabi orang
lain supaya Nabinya kelihatan baik. Menghujat Tuhan orang lain gadungan dan
sebagainya supaya Tuhan-Nya kelihatan ajaib dan penuh kuasa. Dalam hal ini saya
merasa Uje mengenal betul paradoks ini: ketika kau merendahkan orang lain, maka
kau justru merendahkan dirimu sendiri. Ya, sebab sebaik apapun seseorang,
ketika ia sudah mengata-ngatai orang lain, maka saat itulah keburukannya
terangkat ke permukaan. Sayangnya, banyak sekali pemimpin umat yang buta
mengenai paradoks ini. Lebih disayangkan lagi, pemimpin-pemimpin semacam itu
tidak hanya mewakili satu agama. Dan sebagai akibatnya, banyak umat yang
percaya begitu saja. Usai mendengar khotbah yang diwarnai kebencian dan hujatan
pada agama orang lain dengan segala aspeknya, umat tersebut pulang dengan
menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan. Dan ia akan mulai mengejawantahkan
keniscayaan tersebut. Di rumah, di kantor, di jalanan, di jejaring sosial
dengan kemampuan kecepatan penyebaran berita dan penggiringan opini yang luar
biasa, di manapun ia berada. Itu menjawab pertanyaan mengapa pertikaian antar
umat beragama tidak pernah surut, bahkan cenderung kian meresahkan hari demi
hari.
Tidak tahu dengan anda,
namun saya pribadi berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak
pemimpin umat seperti Ustadz Jeffry. Ini sekali lagi membuat saya
bertanya-tanya, mengapa justru Ustadz macam ini yang lebih dulu dipanggil
pulang, di usia yang masih begitu timur? Mengapa mereka yang gemar menebar
kebencian justru bertahan hidup sampai uzur? Saya bukan orang bijaksana,
apalagi Tuhan yang Maha Kuasa, jadi saya hanya bisa menerka-nerka. Mungkin saja
Sang Maha Mengetahui mengerti, bahwa bila diberi umur lebih panjang, bisa jadi
Uje berubah pikiran dan dalam tiap khotbahnya mulai menyisipkan unsur-unsur dan
ajakan untuk membenci. Ya, bisa jadi, sebab hidup ini siapalah yang bisa
mengerti, kecuali Sang Pencipta Hidup sendiri? Bila diberi kesempatan berumur
panjang, bisa jadi Uje justru akan mengambil jalan menyimpang. Sebab
memertahankan kewarasan di tengah popularitas memang bukan perkara gampang. Dan
apa jadinya bila Ustadz yang dicintai dan dipercaya oleh jutaan manusia ini,
pada suatu waktu berbalik arah dan mengajak mereka untuk membenci umat lain?
Tidakkah para pembenci itu akan bertambah tak terkendali, dan menggoyahkan
sendi-sendi bangsa ini? Jadi, cukuplah rentang masa ini bagi Ustadz Jeffry.
Biarlah saya, seorang non muslim, mengenangnya dengan segenap rasa hormat dan
terima kasih, karena dalam hidupnya yang singkat ini beliau telah mengajarkan
pada jutaan umat segala hal yang baik saja. Seorang yang baik adalah ia yang
dianggap kekasih oleh Tuhan-nya. Jadi, sekalipun air mata saya bercucuran dan
dada saya terasa sakit saat menulis artikel ini, saya tak perlu menyesali
kepergiannya yang begitu cepat. Sebab hanya yang terkasih sajalah yang
diharapkan lekas pulang…..
Selamat jalan Ustadz
Jeffry, Indonesia berterima kasih dan Tuhan memberkati………