Jumat, 30 Maret 2012

Ya Dioperasi Saja Kutilnya



Operasi kutil bukan hal yang luar biasa, karena sifatnya minor. Dalam kehidupan nyata, saya kenal dengan seseorang yang sungguh luar biasa dalam melihat ‘kutil kehidupan’. ‘Kutil kehidupan’ itu membuatnya terganggu, dan ia mengoperasinya dengan canggih. Namanya Bachruddin. Saya memanggilnya Kang Din. Tampangnya kucel dan enggak banget (tapi sekarang mendingan, setelah memutuskan berhenti merokok. Jadi bayangkan betapa saya bakal LUAR BIASA cakep kalau berhenti merokok:)), dan bakal mengingatkan siapapun pada penjual petis (memang ia dulu jualan petis kelilingan naik sepeda untuk membiayai kuliahnya). Tapi jangan salah, di balik tampang nggak ada potongan itu tersembunyi gunung prestasi dan kemuliaan yang luar biasa. Sebagai seorang aktivis organisasi tani ia adalah seorang dedengkot. Sebagai orang yang dipanggil Gus (anak kyai), beliau sangat dalam mengenai agama (ya mesthiii…). Dalam urusan perikehidupan beragama ini, ia melihat sebuah ‘kutil’ dalam hubungan lintas agama, paling tidak di kampungnya di Kalibening, Salatiga. Penduduk kampung itu begitu konvensional sekaligus militan, dan menutup diri serta sinis terhadap ‘orang-orang kafir (saya selalu tersenyum kalau mendengar, membaca, terlebih menyebut istilah ini. Sekedar intermezzo, saya punya sahabat sangaaaat….dekat, seorang mantan Ketua HMI, sekarang ngakunya pengusaha, dan masih erat sampai sekarang, begini, “Ah, kamu enak Mad, kafir. Aku Kristen.” Lain waktu, ketika kami membahas sesuatu, giliran dia bilang, “Ah, kamu enak, May, kafir. Aku Islam.” Hehehe… Fundamentalis Islam dan Kristen kalau mendengar guyonan ini pasti menggorok leher kami masing-masing:)).

Merasa terganggu dengan ‘kutil’ agama ini, dengan sangat berani, pada tahun 90’an, Kang Din mengorganisir teman-teman bulenya untuk live in di Kalibening, berbaur dengan penduduk dan menjalani kehidupan sehari-hari mereka seperti menimba air, memasak dengan kayu, nonton jathilan, ikut kendurian, membersihkan got, dsb. Bule-bule tersebut datang dengan segala sesuatu yang 180 derajat berbeda, termasuk agama dan nilai-nilai kehidupan, berbaur dengan penduduk kampung yang syukurlah pada akhirnya berhasil ‘dipaksa’ Kang Din untuk membuka diri lebar-lebar, dan cerita berakhir dengan sangat bahagia. Para bule pulang membawa cerita mengesankan tentang kehidupan desa dan suasana religinya yang hangat dan khusyuk, dan mata hati penduduk yang sempit akan ‘para kafir’ tersebut menjadi terbuka luas. Luar biasa cara Kang Din mengoperasi ‘kutil’ dalam hal sentimen agama. Terpujilah dan terberkatilah Kang Din!

Sudah cukup? Belum. Suatu hari, sekitar sepuluh tahun lalu, ia merenungkan tentang ‘kutil dalam bidang pendidikan di Indonesia’, yakni biaya pendidikan yang kian menggila. Ada harga ada rupa, begitu istilahnya. Kalau mau dapat pendidikan excellent harus bayar SPP selangit, belum uang gedung, duit ini-itu, dan lain-lain. Lalu dia melihat kondisi anak-anak petani di desanya, yang setelah berhasil diterima di sekolah yang baikpun, orang tuanya masih harus menyediakan uang transport yang terbilang tidak sedikit bila dibandingkan dengan penghasilan mereka. Akhirnya, bersama dua orang dedengkot lain dalam organisasi tani ‘Qaryah Tayibbah’ (yang seorang pengusaha berhasil di Salatiga, pria, etnis Cina, Katholik, bernama Pak Roy, dan seorang lagi bernama Ibu Ruth, perempuan, pendeta Kristen), Kang Din menggodok konsep sebuah komunitas belajar bernama Qaryah Tayibbah.

Awalnya dibuka untuk lulusan SD, ditujukan untuk anak-anak yang hidup dalam lingkungan dekat sekolah tersebut, mengusung konsep utama ‘semua orang adalah guru’, dengan murid-murid pertama anak-anak tetangganya yang orang tuanya berhasil ‘dikelabuinya’J. Berhubung konsep utamanya semua orang bisa menjadi guru, maka guru memiliki posisi nyaris setara dengan murid-muridnya. Jadwal pelajaran, kegiatan sekolah, perlu atau tidaknya seragam sekolah, dan sebagainya diputuskan bersama. Termasuk apakah pelajaran kali ini akan diselenggarakan di luar atau di dalam kelas. Diskusi egaliter terjalin hampir setiap saat, dan di sini murid-murid benar-benar belajar tentang arti demokrasi, termasuk menyatakan dan MENGHARGAI SERTA MENERIMA perbedaan pendapat. Dibuka pula ‘Morning English’ tiap jam enam pagi, sebelum jam pertama dimulai, sehingga anak-anak petani, tukang jamu, pedagang, dan lain-lain profesi informal tersebut dalam waktu singkat fasih berbahasa Inggris (tentu saja dengan logat Jawa Salatiga yang medokJ). Bayaran sekolah sekitar tahun 2003-an (yang sekarang ini saya belum up date) adalah 3 ribu perak sehari. Satu ribu untuk biaya operasional (termasuk beli gitar, kamus, dll, apapun yang disepakati murid-murid), satu ribu untuk sarapan (menu tiap hari ganti, plus segelas susu sapi hangat. Waktu mendengarnya saya serasa ingin kembali SMP dan sekolah di sanaJ). Satu ribu sisanya untuk mencicil komputer yang… dibawa pulang ke rumah murid masing-masing. Heboh, ya?

Keberhasilan yang saya ketahui sejauh ini adalah, dengan kurikulum belajar yang mereka ‘karang sendiri’ tersebut, murid-murid di sana selalu meraih nilai terbaik dalam ujian nasional di Salatiga. Dan karena murid-murid didorong untuk memunculkan yang terbaik dari diri mereka, menjadi mandiri dan percaya diri, disertai fasilitas yang lengkap, maka beberapa dari mereka telah menerbitkan buku yang prosesnya mulai dari penulisan, editing, dll, mereka lakukan sendiri. Mereka juga bikin film Indie, album lagu anak-anak tradisional, dan sebagainya. Dan saya bakal mati kalau saya teruskan semua pencapaian sekolah Qaryah Tayibbah ini, soalnya banyak sekali. Kalau penasaran saya sarankan anda live ini di sana. Menimba ilmu dari manusia macam Kang Din adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga, yang akan mengubah banyak sekali cara pandang anda. Dan saya sama sekali tidak melebih-lebihkan. Kalau Syahrini live in di sana, pasti dia bilang, ”Kang Din itu….sesuatu banget.”:).

Sekarang, mari saya ingatkan anda pada kalimat saya dalam posting sebelumnya: Tentu saja saya tidak hendak menyebarkan pesan semacam, “Ah, sutralah dengan segala kekurangan dan keburukan itu. Toh masih lebih banyak yang baik. Jadi, sudah bagus.” Bukan, sama sekali bukan seperti itu. Tidak pula ‘sutralah dengan segala macam masalah itu’. Inilah maksud saya yang sebenarnya: marilah kita bertanya pada diri sendiri, ‘kutil’ apa sih yang selama ini mengganggu pikiran dan perasaan kita sebagai orang Indonesia? Kemudian, marilah kita dengan bijaksana membuat peta masalah, lalu putuskan, ‘kutil’ mana yang hendak kita operasi. Contoh sederhana: saya (tentu saja. Siapa yang punya blog ini, coba? Yang punya akses untuk narsis di sini ya cuma sayaJ). Lama saya memikirkan, mengapa kian lama ‘tampaknya’ bangsa ini kian semrawut. Setelah berpikir keras dengan kapasitas otak saya yang terbatas, terkuaklah jawaban bahwa semua nampak buruk karena bangsa ini kian lama kian senang melihat segala sesuatu dari sisi negatifnya. Dan melihat hanya hal-hal yang negatif pada akhirnya akan mematahkan semangat, seperti yang saya tulis dalam posting sebelum ini.

Oke, lanjut. Setelah berhasil membuat peta masalah (sesuai perspektif saya, tentu saja) kemudian saya memikirkan: apa ya yang kira-kira bisa kulakukan? Lalu saya mulai sibuk ‘berkonsultasi’ dengan Tuhan. Kemudian saya diberi hikmat untuk mengembangkan talenta. Jadilah saya teringat talenta menulis yang sudah saya tinggalkan selama bertahun-tahun, karena kesibukan mengurus keluarga dan sebagainya. Lalu saya kembali sibuk, mencari-cari hubungan antara talenta dengan peta masalah yang telah saya buat di atas. Kemudian mikir-mikir lagi, konsultasi dengan Tuhan lagi, begitu seterusnya. Akhirnya setelah sekitar setahun (lama, ya? Maklum, lemot:)), saya memutuskan untuk membuat blog dan bukannya mengirimkan tulisan ke berbagai media massa seperti yang dulu saya lakukan, supaya artikel saya terkumpul jadi satu. Selain itu, kalau blog sendiri kan pasti dimuat, kalau di media massa belum tentu, hihihi…. 

Dan berhubung pemetaan masalah saya (di sini meliputi diskusi dengan suami, beberapa teman, dan anak sulung saya. Sebagai catatan penting, dialah yang memberi cambuk semangat ketika saya ragu, dengan kalimatnya: “Aku simpulkan, kita butuh seseorang yang mau dan berani mengritik diri sendiri. Lalu teriak-teriak di depan memberi motivasi. Go, Mak!” –thanks ya, Ndhut, I love you fulllll….!!!!) menunjukkan pikiran negatif dan pesimisme yang happening banget (termasuk semangat menuding pihak lain terutama pemerintah untuk tiap masalah), maka tulisan-tulisan saya di blogpun saya khususkan bertema motivasi dan otokritik. Dengan pisau kecil yang saya miliki, saya operasi ‘kutil’ pesimisme, hilang syukur dan hormat pada Tuhan, nasionalisme yang semakin tipis, dan segala mental menyebalkan yang trend-nya belum juga surut malah makin heboh hari demi hari melalui tulisan-tulisan saya.

Dan saya percaya tiap orang Indonesia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk melakukan operasi ‘kutil kehidupan’. Mungkin anda melihat kehidupan anak-anak jalanan sebagai kutil. Maka ambillah gunting anda, mungkin buku-buku dongeng, dan anda bisa membacakan dongeng pada pada mereka dengan membuat komunitas khusus. Mungkin anda melihat orang-orang yang hidup di tempat pembuangan sampah sebagai ‘kutil’ dan anda punya pisau operasinya yakni kemampuan memasak serta gerombolan teman. Anda bisa gunakan itu membuat dapur umum di pemukiman liar di tengah timbunan sampah atau kantong-kantong kemiskinan lain di kota anda. Mungkin anda manajer hebat, sehingga anda bisa manfaatkan itu dengan memberi pelatihan pada para pedagang kaki lima hingga bisa mencapai tahap akumulasi modal, sehingga usaha mereka kian maju dan tak lagi mengotori kota dan merampas hak pengguna trotoar yang lainnya. Mungkin anda musisi kampiun yang sukses dengan etos kerja luar biasa, sehingga anda bisa membina para pengamen jalanan menjadi sekampiun dan sedisiplin anda. Oh, banyak lagi kiranya ‘pisau operasi kutil kehidupan’ yang Tuhan telah berikan untuk kita bangsa Indonesia. Mari kita asah pisau itu, supaya tidak tumpul dan mengecewakan hati Tuhan, sehingga bisa jadi Ia berpikir tidak ada gunanya kita diberi kesempatan hidup lebih lama karena telah menyia-nyiakan ‘pisau’ yang sudah Ia berikan dengan segenap rasa cinta dan percaya.

Tuhan menajamkan ‘pisau operasi kutil’ anda dan saya! Bersama Tuhan kita operasi ‘kutil-kutil’ di Indonesia!



Senin, 26 Maret 2012

Mukanya Kutil Semua



Obrolan kami kemudian berakhir, dan singkatnya saya tahu bahwa ia dulu satu almamater dengan saya, hanya saja kami beda angkatan. Akhirnya setiap kali ketemu teman-teman sekolah dulu, saya selalu bertanya, “Tau kakak kelas kita yang namanya Putra, nggak?” “Yang mana? Yang namanya Putra kan banyak,” demikian setiap teman yang saya tanya. “Itu lho, yang mukanya kutil semua.” “Oh, yang cakep, pintar, dan baek itu?” “Iya,” jawab saya, sambil sekali lagi menegaskan, “yang mukanya kutil semua (padahal cuma tiga, yang dua kecil-kecil pula. Sisanya adalah hidung yang bangir, bibir yang selalu tersenyum ramah, mata yang bersahabat, dan ekspresi baik hati yang terpancar jelas dari wajahnya).” Demikianlah percakapan yang terjadi setiap saya bertemu dengan siapapun yang satu sekolah dengan saya. Lama-kelamaan, kakak kelas tersebut lebih dikenal sebagai ‘Putra yang Mukanya Kutil Semua’. Segala yang pintar, cakep, baik, dan lain-raib lain raib ditelan bumi.

Mengingatkan anda pada sesuatu? Hmmmm…. Tidak? Ah, masak? Coba saya ingatkan. Saat sebuah gereja mengalami kesulitan ijin mendirikan bangunan, sebagian umat kristiani dengan lebay berkeluh kesah (termasuk para pendeta yang punya tugas membimbing umatnya berpikir dengan obyektif dan penuh kasih). Lupa bahwa yang begituan boleh dibilang kasuistik, dan jumlahnya sama sekali tidak sebanding dengan jumlah gereja yang telah berdiri tegak bertahun-tahun, bahkan ada sejak abad lalu, dan terus bertambah dari waktu ke waktu. Saat ada orang Kristen berbagi, sebagian umat Islam yang narsis dengan sengit berteriak, “Ini kristenisasi!”. Lupa bahwa berbagi memang adalah kewajiban semua umat beragama, tak terkecuali orang Kristen. Saat ada seorang muslim pindah agama, mereka lebih sengit lagi, lupa bahwa bukan cuma orang Islam yang pindah agama, lupa bahwa SALING pindah agama adalah hal yang jamak. Lebih lagi, lupa bahwa Islam tetaplah agama dengan jumlah pengikut paling heboh di Indonesia, bahkan dunia. Saat harga cabe naik, semua orang ribut dan mencaci-maki pemerintah, lupa bahwa dalam setahun harga cabe naik hanya sekitar 3 bulan, dan masih ada 9 bulan sisanya di mana cabe begitu murah. Saat ada gedung sekolah reyot, orang-orang langsung up date status dengan kalimat kira-kira, “Benar-benar tragedi! Mau dibawa ke mana pendidikan dan generasi muda kita?”. Lalu media memberitakan dengan sangat lebay, seakan semua anak Indonesia menimba ilmu di gedung sekolah yang hampir rubuh. Lupa bahwa masih jauh lebih banyak gedung sekolah yang bagus dan representatif. Aktivis Facebook dan juga tak kalah, kemudian yang kalimatnya paling pedas dan sinis mendulang paling banyak followers. Saat melihat anak-anak putus sekolah, kembali bikin status, “Inilah gambaran generasi muda kita! Tak heran kita selalu jadi yang terbelakang!” Lupa bahwa masih ada jauh lebih banyak anak yang menikmati sekolah, dan menebar prestasi bahkan hingga ke kancah Internasional.  

Saat ada satu atau beberapa desa paceklik, kembali orang-orang pada heboh dengan sinis, tak mau tahu bahwa ada jauh lebih banyak desa yang sejahtera dengan penduduk sederhana yang bahagia dengan sistem kekerabatan yang masih terjaga. Ketika ada orang miskin tak mampu berobat, semua mencaci-maki pemerintah seakan-akan tidak pernah ada jauh lebih banyak orang miskin yang telah menikmati kartu Gakin. Ketika ada beberapa anak kena busung lapar, kecaman begitu keras sehingga muncul kesan bahwa semua anak di Indonesia menderita busung lapar. Saat ada satu atlet tidak diberi insentif yang besar, kena lagi deh, pemerintah, seakan-akan di luar sana tidak banyak atlet yang menikmati kesejahteraan. Aduuuuhhhh….. masih buanyaaaaakkkk…. lagi contoh lainnya, wahai pembaca. Semoga yang itu tadi sudah memberi anda benang merah antara pria berkutil di atas tadi dengan apa.

Ya, Si Muka Kutil itu mengingatkan kita –atau setidaknya saya- dengan kita bangsa Indonesia. Hanya gara-gara tiga buah kutil, hilang semua hal-hal baik yang dimiliki, dipelihara, dan dikembangkan oleh pria malang di atas dengan susah-payah. Hanya karena beberapa hal-hal buruk, hilang sudah hal-hal baik yang jauh lebih banyak yang masih dimiliki Indonesia. Kita ini memang begitu gemar melihat sesuatu dari sisi buruknya. Ibaratnya begini: sehelai kertas putih dipampangkan ke depan kita oleh seorang psikolog dan kita berkomentar: sehelai kertas putih. Sang psikolog kemudian membubuhi kertas putih tersebut dengan noktah hitam di tengahnya, lalu bertanya, “Nah, sekarang apa yang anda lihat?”. Dengan cepat kita menjawab, “Noda hitam di tengah kertas putih.” Dan itulah masalahnya. Kertas putih itu masih sama, hanya ada tambahan titik hitam kecil di tengahnya, dan pandangan serta perhatian kita semua terpusat pada si hitam yang kecil itu. Itulah masalah kita yang sebenarnya: tak peduli sebesar apapun bagian putih dari Indonesia kita yang raya, kita lebih suka memandang titik-titik hitamnya.

Tentu saja saya tidak hendak menyebarkan pesan semacam, “Ah, sutralah dengan segala kekurangan dan keburukan itu. Toh masih lebih banyak yang baik. Jadi, sudah bagus.” Bukan, sama sekali bukan seperti itu (untuk lebih jelasnya akan saya uraikan dalam posting mendatang. Pertama, karena alasan tempat. Kedua, ini kan bisa-bisanya saya aja supaya anda balik lagi ke sini, hihihi….). Tapi baiklah saya berikan satu gambaran lagi: seorang gadis cilik dibesarkan dengan ejekan oleh orang-orang di sekelilingnya: kamu jelek, hidungmu pesek. Demikian terus selama masa perkembangannya, hingga kemudian ia beranjak remaja dengan sama sekali yakin bahwa ia jelek dan pesek, tak mau tau bahwa ia sebenarnya punya tubuh tinggi dengan struktur tulang yang memungkinkan jadi atlet, kalau saja ia dibina sejak kecil. Namun berhubung sejak kecil orang-orang lebih suka melihat kekurangannya timbang kelebihannya, tentu saja tak ada satupun yang membinanya. Dan tentu saja si gadis tumbuh besar dengan percaya pada hal-hal buruk yang ditanamkan orang-orang pada alam sadar dan bawah sadarnya. Keburukan sekecil apapun jika dibesarkan dengan sungguh-sungguh memang akan membuat kebaikan sebesar apapun jadi menghilang. Dan yang paling menyedihkan, bagian paling teraniaya dalam skenario ini adalah semangat, rasa percaya diri, dan kegembiraan gadis kecil tersebut di atas.

Tidakkah itu pula yang terjadi saat tiap-tiap mulut di sekitar kita –atau jangan-jangan mulut kita juga- yakni dengan spartan membesar-besarkan hal-hal yang buruk SAJA? Itu jadi semacam pesan yang tertanam dalam alam sadar dan bawah sadar kita, yang karena kita dengarkan dan saksikan berulang-ulang, maka kita PERCAYAI SEBAGAI SEBUAH KEBENARAN. Dan karena kebenaran yang kita percayai tersebut adalah kebenaran yang buruk, maka hilanglah semangat, rasa percaya diri, dan kegembiraan kita hidup di Indonesia. Yang paling celaka, lambat laun hilanglah kemampuan kita untuk mengucap syukur atas segala nikmat yang kita peroleh secara cuma-cuma dari negeri kita nan kaya dan jelita.

Maka, baiklah kita berhenti berpikir dan merasakan yang buruk. Sebab yang baik masih jauh lebih banyak untuk kita nikmati. Kalau kita bisa memilih untuk melihat yang baik, kenapa kita harus memilih untuk melihat yang buruk? Marilah kita tidak mencontoh kejahatan saya dalam kisah imajiner di atas dengan membuat ‘Putra nan Tampan dan Berkualitas’ menjadi ‘Putra yang Mukanya Kutil Semua’. Indonesia layak untuk kita hargai keindahan, kekayaan, dan kebesarannya. Indonesia layak menerima rasa cinta dan bangga, dan bukannya cemoohan kita. Sebab Tuhan saja mencintai dan memandang indah Indonesia, apalah hak kita memandang dan memerlakukan Indonesia dengan cara sebaliknya? Tuhan melihat keindahan dan kelebihan saya dan anda! Tuhan melihat keindahan dan kelebihan Indonesia!



Kamis, 22 Maret 2012

Ayo, Ayo, Hormati DIA, Yo!

Lomar Dasika, pemilik blog cantik Indahnya Indonesia yang juga penggemar berat blog ini (cihuyyyyy….), membuyarkan rencana yang telah saya susun rapi. Saya sebelumnya sudah menyiapkan dua artikel sebagai terusan dari posting yang kemarin, ketika tiba-tiba ia memberi komentar yang memberi saya ide baru, yakni posting yang sedang and abaca ini. Akibatnya, selain 2 artikel yang sudah saya siapkan jadi mundur, saya juga terpaksa membuat beberapa perubahan, karena beberapa kalimat sepertinya lebih cocok dipakai di tulisan kali ini. Walhasil 2 artikel siap turun tersebut jadi ‘botak’ sebagian. Duh Lomar, kau pasti membenciku…..

Komentar Lomar yang bikin rencana saya berantakan itu kira-kira begini: Teman saya dari Wlingi, Blitar, berkomentar, “Di Indonesia sebetulnya tidak ada orang miskin. Yang ada orang yang malasnya minta ampun. Di desa semua ada dan berlimpah. Jadi kalau masih ada orang yang kelaparan apalagi sampai busung lapar, berarti malasnya nggak ketolongan.”
                                                    
Perkara busung lapar sendiri sudah pernah saya muat dalam posting yang berjudul ‘Distorsi Media Memblingerkan Massa’ dan ‘KITA INI BANGSA TEMPE!!!!’. Yang menarik perhatian saya di sini justru kalimat, “Tidak ada orang miskin, yang ada orang yang malasnya minta ampun.” Begini, di satu sisi saya sepakat bahwa kemalasan memang cenderung berujung pada kemiskinan. Tapi dari pengalaman pribadi –mungkin anda juga- saya banyak menjumpai orang-orang dari kalangan bawah yang terus terikat dalam kemiskinan konstan padahal mereka bekerja keras luar biasa dari pagi sampai petang. Beberapa orang yang saya temui bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari, bayangkan! Tapi nyatanya mereka masih terbelit dalam masalah kemiskinan. Berhadapan dengan orang-orang seperti ini kita –minimal saya- tentu tak bisa dengan mudah menggunakan kalimat, “Tidak ada orang miskin, yang ada orang yang malasnya nggak ketulungan.” Nyatanya orang-orang malang tersebut telah bekerja keras, bahkan jauh lebih keras ketimbang yang lain.

Beberapa waktu terakhir ini –setidaknya sejak setahun lalu- saya banyak mengamati formula para pekerja keras yang beroleh sukses, para pekerja keras yang tetap miskin, dan mereka yang beroleh sukses padahal tidak bekerja keras. Hmmmm… tampaknya hidup tidak adil, ya? Namun, setelah saya amati dan pelajari dengan sungguh-sungguh, justru di sinilah kita bisa melihat keadilan hidup. Saya boleh dan bahkan berani berdebat dengan siapapun dari pagi hingga pagi lagi (asal siapkan sesajen untuk saya dua bungkus, hehehe….) mengenai siapakah yang sesungguhnya bersalah dalam perkara kemiskinan dan siapa yang sesungguhnya berjasa dalam perkara kekayaan. Untuk itu sebelumnya saya akan berikan perbandingan dari contoh-contoh yang semuanya saya lihat secara pribadi. Silakan simak:
1.     Ingat ibu tukang ngomel yang saya ceritakan pada posting berjudul ‘Pribadi Bangsaku Tidak Majuuuu….Majuuuuu….’?. Dia sedih dan miskin permanen karena hati dan mulutnya tidak pernah berhenti mengeluh. Ketika saya dengan konsisten mulai berani ‘mencuci’ mentalnya, kami berdua melihat bahwa dalam banyak hal dia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Sikap ibu itu bisa dibandingkan dengan sikap saya seperti yang tertulis dalam posting berjudul ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah kesaksian’. Kemudian bandingkan dengan tokoh fenomenal bernama Pak Slamet yang saya angkat dalam posting berjudul ‘Diam-diam Jadi Kaya’.
2.     Satu orang lagi hendak saya angkat di sini, hanya sayang saya tak bisa mengungkap jati dirinya. Usianya sekitar 50 sekian tahun, dan bersama suaminya dikenal sebagai pekerja keras yang rajin beribadah dan sangat baik serta murah hati. Namun dari tahun ke tahun kehidupannya cuma gitu-gitu doang. Seakan kerja keras dan hal-hal baik yang mereka tabur tidak membawa pengaruh apapun jua secara materi (dalam hal-hal lain mereka sangat diberkati, namun dalam materi tidak). Suatu hari, sekitar 8 tahun lalu, dia bilang pada saya, “Kalau nanti ada persekutuan doa di rumah saya jangan kaget ya, Mbak May. Rumah saya keciiiiilllll….sekali. Jelek pula.” Sebelum saya sempat membalas penuh  basa-basi, dia sudah meneruskan, “Ini gara-gara saya punya sikap iman yang salah selama bertahun-tahun (sampai di sini saya menjungkitkan alis). Dulu saya minta pada Tuhan untuk diberi rumah. Belum-belum saya sudah bilang ‘Kecil juga nggak apa-apa, Tuhan. Yang penting rumah.” Akhirnya ya rumah kecillah yang saya dapat. Bertahun-tahun saya dan suami bersikap seperti itu. Kami tidak berani meminta banyak. Sekarang baru saya tahu bahwa sikap seperti itu membatasi Tuhan. Kami sudah merubah sikap mental kami, dan percaya bahwa sebentar lagi kami mendapat upahnya.” Saya hanya manggut-manggut dengan wajah penuh simpati, karena terus terang saya sama sekali tidak tahu harus berkomentar apa. Tapi diam-diam saya bandingkan sikapnya dengan Bu Tutuk, tante saya si pemuja Bunda Maria (silakan tengok posting ‘Ya Mesthiiii…..Agamamu!!!’).  Suatu malam, sekitar berapa bulan lalu ia curhat mengenai masa lalunya. Pada tahun 1996, ia terlilit hutang yang sangat besar (sekarang ini berbilang milyar). Habislah segala, hingga makan dan bayar sekolah anak-anakpun sulit. Lalu ia mulai berdoa, termasuk doa Novena (sampai di sini saya memotong dengan nada lugu sambil susah payah menyembunyikan cengiran, “Di depan patung Bunda Maria seperti para penyembah berhala?”. Emosi Bu Tutuk nyaris tersulut, tapi pengalaman membuatnya tegar:)).  Begini yang ia minta pada Tuhan, “Tuhan, berikan aku 10 ton minyak tanah” (saya kembali tergelitik, dan menukas, “Berdoa pada Tuhan atau Bunda Maria? Yang tegas, jangan musryik.”. Sampai di sini habis kesabaran Bu Tutuk. Ia mengumpat lalu meninggalkan saya begitu saja. Saya terpaksa membujuk-bujuknya supaya mau kembali duduk dan mendongeng, sambil tak lupa menyanjung-nyanjung Bunda Maria:)). Demikian doa yang ia panjatkan hari lepas hari, waktu lepas waktu. Menurut pengakuannya, tak terbersit sedikitpun keraguan bahwa Tuhan tidak akan mengabulkan permintaannya. Ia juga begitu yakin bahwa Tuhan akan memberinya 10 ton minyak tanah seperti yang ia minta, tak kurang setetespun. Setahun kemudian, doanya terjawab. Tuhan memberinya tepat 10 ton minyak tanah, dan bukan hanya hutangnya yang segajah itu terbayar, namun usaha-usahanya akhirnya pulih kembali. Di akhir cerita dia berkata,”Sebab itu, Maya, kalau meminta pada Tuhan mintalah yang banyak. Yang besar. Sebab Tuhan kita punya banyak. Tuhan kita sangat besar.”

Dan sejauh saya mengenal tante saya di atas, kendati dia adalah perempuan pebisnis yang tangguh, saya tak pernah melihatnya membanting tulang. Kerja keras tak kenal waktu dan ini atau itu. Ia malah punya filosofi yang sedapat mungkin saya tiru: “Kalau bisa dikerjakan orang lain, kenapa harus dikerjakan sendiri? Kerjakan sesuatu yang tak bisa dikerjakan orang lain.” Jadilah beliau sosok yang sangat gemar main perintah, seperti kebanyakan anggota keluarga besar saya:). Ia punya banyak rumus menuju sukses, di antaranya bersyukur, berbagi, dan sebagainya. Dan menurutnya sendiri, berani meminta besar pada Tuhan adalah salah satu rumus yang paling penting.

Sekali lagi, ini bukan web khusus orang Kristen, dengan demikian saya persilakan anda kembali ada keyakinan dan apa yang sudah tersurat dalam kitab masing-masing. Dari sekian banyak agama dan aliran kepercayaan yang eksis di Indonesia, saya percaya satu hal: semua punya rumusan untuk menjadi kaya (perlu saya camkan bahwa posting ini khusus membahas kekayaan materi, dan khusus yang didapat dari jalan Tuhan yang sah dan halal. Kekayaan yang lain-lain akan saya bahas nanti, kalau dapat ide:)). Ada satu ayat dari saudara saya umat Muslim yang saya gemari (tolong koreksi bila saya salah): Allah tidak akan merubah nasih hambanya jika hamba itu sendiri tidak mau merubah nasibnya). Dalam Kristen juga ada yang kira-kira sama: Tidur di siang hari, kemalasan menyergap di malam hari (intinya seperti itu, tepatnya saya tidak tau, sebab saya bukan penghapal ayat yang baik:)). Kemudian sebagai imbangan ada ayat lagi yang berbunyi ‘Bukan kerja kerasmu, melainkan kemurahan Tuhanlah yang membuatmu kaya.” Jelas dalam hal ini butuh kerja sama antara manusia dan Tuhan, sebab saya percaya Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pion-pion dungu yang digeser-geser ke manapun iya iya saja. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna, dengan segala macam kemampuan dan talenta. Jika Ia telah begitu murah hati memberikan segala yang diperlukan manusia untuk menjadi pemenang, wajar bila Ia ‘bete’ dan menutup pintu berkat pada manusia-manusia yang malas. Sekali lagi, di sini jelas siapa yang patut dijadikan kambing hitam dalam kasus kemiskinan  yang membelit seseorang. Bukan Tuhan, bukan pemerintah, bukan tetangga, a’ak, teteh, umi, dan sebagainya, melainkan si manusia itu sendiri.

Kedua, lalu kenapa ada orang yang tetap miskin meskipun telah banting tulang? Begini, kita tentu tidak bisa mengasumsikan Tuhan sebagai Sosok minimalis yang memberi satu tantangan pada kita kemudian sudah. Ingat, kita adalah mahluk sempurna. Dalam kitab manapun diajarkan kewajiban untuk berbagi, entah itu zakat, perpuluhan, derma bagi orang-orang miskin atau sakit, anak yatim, dan sebagainya. Dalam agama saya lebih tegas lagi, “Kalau kamu memberi dari kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya, menunggu kaya baru peduli pada sesama dalam agama saya adalah basi. Belum lagi urusan keikhlasan yang merupakan satu paket dalam perkara berbagi. Lebih dalam silakan anda lihat posting berjudul ‘Berpesta dan Berbagi, Jo, Kasiaaaannn….’.

Ketiga, lalu kenapa masih miskin meski telah kerja keras dan berderma, bahkan saat masih kekurangan sekalipun. Nah, ini ilmunya lebih tinggi. Saya tidak perlu capek-capek menulis ulang, sebab itu semua sudah saya jabarkan tuntas dalam posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan ‘Diam-diam Jadi Kaya’. Serta –tentu saja- ‘Posting di Luar Jadwal: Sebuah Kesaksian’ *narcol –narsis colongan*.

Terakhir, berani meminta. Begini, saya berikan saja ilustrasi. Bayangkan sepasang orang tua yang kaya raya luar biasa, baik hati, penyayang, adil, bijaksana, berkuasa, dan sebagainya. Lalu anak mereka berkata begini: ‘Pap, Mam, kalau lulus SMA nanti aku kuliah ke Inggris kira-kira ada nggak biayanya?” Papa Mama menjawab,”Please deh, Nak, belasan tahun jadi anak kami apa masih kurang bukti kalau kamu ini anak milyarder? Lagipula kamu anak rajin dan pintar, tentu kami sanggupi keinginanmu sekolah di mana saja. Terlebih lagi kamu adalah anak kesayangan kami.”. Balas si anak, “Tapi Pap, Mam, ini Inggris gitu, loh. Bayarnya pake pondsterling. Kuat nggak Papa Mama bayarin sampai aku selesai?” Sampai di sini si Papa agak jengkel, menjawab, “Nak, kamu mau kuliah di 5 benua sekaligus kalau kamu mampu saja pasti kami biayai. Ingat, sekali lagi ingat, kami ini kaya raya. Duit kami nggak habis sampai tujuh turunan. Dan kamu baru keturunan ke 2, bukan ke 8.” Si anak masih ngeyel, ”Iya, sih, tapi nasib orang kan siapa tahu? Gini aja deh, Pap, Mam, kalau kira-kira nggak sanggup, kuliah yang dekat-dekat sini juga nggak apa-apa, deh. Kualitas rendahan juga nggak masalah, yang penting sekolah.” Papa-Mama berpandang-pandangan, lalu malamnya saat berduaan di kamar mereka saling curhat, ”Padahal kurang kaya dan baik hati apa kita ya, Mam, kok anak kita masih nggak percaya?” Jawab Mama, “Iya, Pap, kayak kita belum pernah membuktikan kemampuan dan kasih sayang kita padanya aja.” Timpal Papa, “Menurut Papa dia sedang memandang rendah kita, deh. Menurut Mama?”. Balas Mama, “Iya, Pap, Mama juga jadi jengkel sama dia. Kita sudah berikan apa saja, eh, dia masih meragukan kemampuan dan kasih sayang kita.” Papa mendengus dan berkata kesal, “Dia pandang rendah kita banget tuh, sampai minta disekolahin yang dekat-dekat aja, bahkan yang rendahan mutunya juga nggak apa-apa. Gimana kalau kita kasih pelajaran, Ma, kita berikan saja apa yang ia percaya? Ia tidak percaya kita mampu menyekolahkannya ke Inggris. Dia percaya kita hanya mampu menyekolahkannya ke universitas murahan. So, what he believes is what he will get. Gimana, Mam?”. Jawab Mama sambil menggelayut manja, “Mama sih apa kata Papa aja. Apa sih yang nggak buat Papa?”

Demikianlah Mama-Papa kaya raya dan penuh kasih sayang itu dibikin sebel oleh anaknya yang memandang rendah mereka. Padahal mereka hanya manusia, yang bahkan yakin hartanya akan habis pada keturunan ke tujuh. Apalagi Tuhan Sang Penguasa langit dan bumi, yang memiliki segala emas, minyak, batubara, dan sebagainya, dan Menguasai lautan dengan segala mutiara, hasil laut dan segalanya. Bukan hanya itu, Ia bisa menciptakan serta memberikan apa saja yang kita minta semudah kita menjemur handuk. Belum terhitung sifatnya yang maha pengasih dan penyayang, panjang sabar, setia, murah hati, tak pernah ingkar janji, dan segala yang baik yang bisa kita bayangkan. Apa yang kira-kira Ia akan rasakan bila kita tidak yakin bahwa Ia cukup kaya dan murah hati untuk menyejahterakan umat-Nya? Pedih. Yang jelas tercabik harga diri-Nya. Sebab percaya bukan hanya sesederhana mengimani bahwa Ia ada. Namun lebih dari itu, percaya adalah benar-benar tak ada keraguan sebersitpun bahwa kita bisa menggantungkan hidup kita pada-Nya dalam segala aspek. What we believe is what we get. Pada saat kita percaya Ia hanya mampu memberikan receh, maka kehormatan-Nya telah kita pandang remeh. Pada saat kita percaya bahwa Ia hanya mau memberikan remah, kita telah membuang kehormatan-Nya ke tempat sampah. Tak peduli kita sudah membanting tulang sekeras apapun dan melakukan semua petunjuk yang Ia berikan untuk berjihad melawan kemiskinan, sia-sialah semuanya bila pada saat yang sama kita pandang kehormatan-Nya sebagai sesuatu yang kacangan.

Bila empat rumus di atas –cukup 4 itu saja- kita laksanakan secara tawakal dan dengan segenap kerendah hatian, apa sulitnya bagi tiap-tiap rakyat Indonesia jadi kaya raya tak terukurkan? Sebab kemiskinan bukan salah siapa-siapa melainkan diri sendiri. Dan kemiskinan absolut akan jadi makanan di Indonesia sehari-hari, bila menghormati Dia saja kita tidak sudi.

Tuhan memperkaya anda dan saya! Tuhan memperkaya Indonesia!


Senin, 19 Maret 2012

Hakuna Matata, Means No Worries.


Ada dua hal yang membuat saya sangat menggemari film Lion King. Selain karena lucu (baik adegan maupun dialognya, apalagi yang versi bahasa asli) saya juga banyak memetik pelajaran hidup dari film ini. Pada posting sebelum ini saya menulis tentang pembelajaran yang saya  dapat dari Rafiki, si monyet tua yang dalam film ini didapuk jadi guru spiritual. Kali ini saya hendak membagi pelajaran yang saya dapat dari Timon dan Pumbaa. Benar, Timon yang sok tau dan errornya minta ampun. Serta Pumbaa, si tukang kent*t yang lugu dan idiotnya luar biasa.

Pelajaran pertama adalah ketika mereka pertama kali menemukan Simba kecil yang tengah galau oleh rasa bersalah karena menganggap bahwa ialah penyebab kematian ayahnya. Simba begitu gundah, sehingga oleh Timon disebut “Looks blue,” namun dibantah oleh Pumbaa ‘cokelat keemasan’:). Untuk mengatasi kegalauan Simba, mulailah Timon dan Pumbaa mencecarnya dengan filosofi mereka ‘Hakuna Matata’. Means no worries, kata duo blo’on di atas. Secara lengkap adalah: Hakuna Matata, what a wonderfull phrase. Hakuna Matata, ain’t no passing craze. It means no worries, for the rest of the days. It’s problem free philosophy: Hakuna Matata. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tak ada satu masalahpun yang bisa membuat kita jadi gila. Filosofi ini membuat Si Tolol dan Si Bodoh tersebut cerah ceria sepanjang masa. Kalau mereka bertingkah gila itu memang semata-mata mereka memang harus bersikap gila, sebab kalau nggak begitu maka film itu jadi nggak lucu. Maka jadilah Simba cilik yang tengah galau berbalik sikap menjadi riang-ria seperti yang telah dicontohkan oleh dua partnernya.

Lepas dari kebodohan Timon dan Pumbaa, sepertinya kita memang harus banyak belajar dari mereka. Sebab kita punya banyak, luar biasa banyak alasan untuk menjadi khawatir. Dampak pemanasan global, segala makanan yang mengandung bahan berbahaya, terorisme yang semakin sulit ditebak arah dan sasaran korbannya serta kapan mereka bertindak, jalan raya yang semakin tidak aman, dan sebagainya, dan sebagainya. Belum lagi hal-hal yang bisa membuat pikiran tidak tenang, seperti korupsi yang menggila, solah-tingkah anggota DPR/DPRD yang hampir seratus persen tidak bisa dikategorikan ‘waras’, gelandangan dan pengemis yang membuat orang yang berbudi halus jadi sulit makan enak, narkoba, pornografi, dan seterusnya, dan seterusnya. Seakan itu semua belum cukup, mendadak kita dibuat syok dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. BBM naik berarti semuanya naik. Lengkap sudah. Kita punya semua alasan untuk menjalani hidup dengan rasa khawatir, kenapa pula tidak?

Tapi coba tengok filosofi duet ajaib di atas: Hakuna Matata, no worries. Jika ada kekhawatiran, lekas-lekas singkirkan, lalu kau pun akan kembali gembira. Itulah yang dituruti dan lakukan oleh Simba, dan dia dibikin hepi karenanya. Oke, mungkin kita tidak senaif itu untuk menjadikan dua binatang bodoh, kartun lagi, jadi guru spiritual kita. Tapi sebagai orang Indonesia yang sebagian besar mengaku punya agama dan percaya Tuhan dan firman-firman-Nya yang telah ditulis dari kitab suci, saya rasa kita sudah punya pegangan yang sangat kuat. Saya tidak tahu dengan anda –saya tidak membuat web ini untuk orang-orang yang seagama dengan saya, jadi saya tidak berani membuat asumsi ngawur bahwa kitab anda sama dengan saya dan anda percaya dengan kitab yang saya percaya- namun sebagai orang Kristen saya punya beberapa ayat favorit yang selalu saya jadikan pegangan ketika kekhawatiran mulai mendera saya. Salah satunya adalah yang bunyinya kira-kira begini: “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada Allah, sebab Ia-lah yang memelihara kamu. Burung pipit saja Ia pelihara, terlebih kamu. Apakah kekhawatiran bisa menambah sehasta saja pada jalanmu?”. Membaca berulang-ulang dan merenungkan dalam-dalam firman ini membuat degup jantung saya melambat. Apalagi jika kemudian saya memejamkan mata, menengok ke belakang, dan menghitung bukti betapa Tuhan tidak pernah membiarkan saya terpuruk, sebab dari satu lagi firman-Nya saya dibuat percaya bahwa sekalipun saya jatuh namun tak sampai tergeletak, sebab Tuhan menopang tangan saya.

Saya bukan tipe orang yang suka melupakan masa lalu. Saya justru gemar menengok ke belakang dan mempelajarinya. Dari masa lalu saya banyak belajar tentang kesalahan-kesalahan saya, dan terutama pemeliharaan Tuhan terhadap saya. Saya ingat pada beberapa titik yang pernah saya anggap terkelam dalam sejarah hidup saya, ketika saya begitu putus asa sampai berseru pada-Nya, “Cabu jo kita pe nyawa Tuhan! Beking apa le idop kalo cuma for rasa akang pait deng pidis bagini.” Ya, waktu di Manado saya sering berdoa pakai dialeg sana:). Artinya kira-kira begini: ‘Cabut saja nyawaku Tuhan! Untuk apa hidup kalau hanya untuk merasakan pahit dan pedih seperti ini!’. Beberapa kali saya berangkat tidur, berharap mati, dan kecewa luar biasa ketika esoknya saya bangun untuk kembali menghadapi kepahitan dan kepungan masalah yang sama dengan kemarin, bahkan seringkali lebih parah. Kadang-kadang, keputus asaan berkolaborasi dengan kekurangan ajaran, sehingga menghasilkan doa macam ini: “Where are You when I need You most, God? You must have left this town, haven’t You?”, lupa bahwa tidak semua orang yang tinggal di Manado putus asa dan kurang ajar seperti saya.

Bila sesekali saya menengok ke belakang dan melihat besarnya masalah serta keputus asaan tersebut, saya selalu dibikin terheran-heran. Karena ternyata waktu berlalu hanya untuk membuktikan bahwa saya dan anak-anak saya baik-baik saja. Ada banyak masa di mana saya mengira bahwa kegembiraan tidak diciptakan untuk saya, dan ternyata perkiraan saya tersebut salah total. Karena sekali lagi, ternyata waktu berlalu hanya untuk membuktikan bahwa Tuhan punya seribu satu cara untuk membuat saya gembira dan bersenang-senang di tengah segala timbunan masalah. Semua perkara terjadi dalam hidup saya hanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah lalai memelihara saya dan keluarga saya. Bahwa Ia adalah penjaga saya yang tidak pernah memicingkan mata barang sedikitpun, tepat seperti yang dikatakan oleh Raja Daud.

Belajar dari masa lalu membuat saya semakin yakin dan percaya diri, karena saya tahu Tuhan tidak pernah sedetikpun meninggalkan saya. Jika rasa khawatir mulai mengintip, saya kembali merenungkan firman dan janji-janji-Nya yang manis dan selalu ditepati. Jika itu masih juga gagal meredakan kegelisahan, saya mengingat seseorang yang telah khatam Alkitab dan cukup iseng untuk menghitung bahwa dalam Alkitab Tuhan berfirman ‘Jangan khawatir’ sebanyak 365 kali. Ada 365 hari dalam setahun, dan Tuhan menyediakan satu ‘Jangan khawatir’ untuk tiap-tiap harinya! Kalau seorang Yuanita Maya berkata ‘Jangan khawatir’ pada seseorang yang sedang galau, bisa jadi dia cuma omong doang dan gelagapan ketika si galau tersebut menuntutnya, “Oke, aku nggak khawatir lagi, asal kamu mau melakukan sesuatu untuk menghilangkan masalahku.” Tapi berhubung ini Tuhan yang berfirman, sudah barang tentu Ia telah menyediakan berbagai cara untuk membuat kita kuat dan berhasil melepas setiap persoalan yang membelit kehidupan kita.

Demikian pula bangsa Indonesia. Jika kita menengok ke belakang, dari waktu ke waktu kita melihat bahwa Indonesia tidak pernah kekurangan masalah. Tapi dari waktu ke waktu pula kita melihat bahwa kita selalu berhasil melewati setiap permasalahan yang mendera. Entah dengan terluka entah tidak, yang jelas kita berhasil melewatinya. Masalah yang lain datang, kita sekali lagi berhasil melewatinya. Saya percaya, sedikit banyak itu dipengaruhi oleh pengakuan kita akan kekuasaan Tuhan, lewat agama yang kita anut dan kitab yang kita percaya memuat firman-firman-Nya. Pada akhirnya, seberat apapun sebuah masalah, kita selalu bisa mengatasinya dengan kekuatan yang Ia bagikan secara cuma-cuma pada mereka yang mempercayai-Nya.

Indonesia adalah bangsa yang percaya Tuhan. Dan Ia tidak pernah begitu saja meninggalkan umat yang telah lebih memilih memercayai-Nya ketimbang yang lain. Ia ada sejak dulu, kini, hingga selamanya. Dan Ia lebih besar daripada masalah apapun yang membelit bangsa ini. Semakin kita berserah pada kekuasaan dan kemurahan hati-Nya, maka tidak ada perkara apapun yang bisa meruntuhkan Indonesia. Apalagi cuma kenaikan harga BBM dan segala implikasinya. Dalam Tuhan tidak ada kekhawatiran. Jika kita sampai stress gara-gara belitan masalah, maka kita harus bertanya pada diri sendiri, sejauh mana hubungan kita dengan Tuhan. Paling tidak, ingat kata Timon dan Pumbaa seperti saya bilang di atas: Hakuna Matata. No worries for the rest of our days.

Tuhan menguatkan saya dan anda! Tuhan menguatkan Indonesia!

Senin, 12 Maret 2012

Mereka –Atau Kita- Mungkin Berkhayal Jadi Highlanders.

Maaf para pembaca, saya lalai mengeposkan tulisan hari Kamis lalu. Saya sedang sibuk bergumul dengan diri sendiri, jadi saya memutuskan untuk berdiam, karena berbuat sesuatupun juga nggak mampu. Maklum, galau:). Sebenarnya sekarang juga masih galau tapi kalau kelamaan mengucilkan diri kan jadi nggak imut lagi kesannya, jadi saya sudahi saja retreatnya. So, here we go:

Rafiki says to Simba: “The past may hurt. But what I can see from it, you can either run or learn from it.”
But Yuanita Maya says to anybody wants to listen to her (I wonder who, heheeeh…): “There is third option, you can live in it and got blind then.”

Tahu Rafiki? Itu lho, penyanyi bersuara lembut yang pernah jadi pasangan duet Harvey Malaiholo, Rafiki Dura. Hehehe….lucu, ya:). Rafiki adalah monyet aneh yang jadi semacam penasihat spiritual dalam film Lion King. Iya, saya memang senang sekali film ini. Sejak jaman anak pertama saya (sekarang sudah remaja 17 tahunan) masih piyik dan belum sekolah, dan diturunkan ke adiknya yang juga masih belum sekolah. Jadi, itulah yang dia bilang pada Simba yang berusaha lari dari masa lalunya yang menyakitkan: “Masa lalu bisa menyakitkan. Tapi dari apa yang kulihat, kau bisa lari atau belajar darinya.” Kalau saya jadi tim penulis skenarionya, saya akan tambahkan: “Kau juga bisa hidup di dalamnya. Lalu jadi buta.”

Karena memang itulah yang banyak terjadi; orang-orang hidup di masa lalu. Paling tidak, menjadikan masa lalu sebagai patokan dalam melihat berbagai masalah. Kenapa tiba-tiba saya bicara seperti ini? Karena memang tiba-tiba saja saya tercerahkan, bahwa banyak ‘kebutaan’ mental, sosial, dan struktural yang eksis sampai sekarang karena banyak orang hidup dalam masa lalu. Celakanya mereka tidak sadar kalau buta. Walhasil saat berjalan mereka terantuk-antuk dan nabrak-nabrak, lalu membuat benjol baik diri sendiri dan terlebih orang lain. Mau tahu contohnya? Banyak, saya sebut beberapa ya. Ini dia di antaranya:

·        Beberapa orang yang suka ribut perkara agama suka sekali mengungkit-ungkit kerusuhan Ambon sampai sekarang. Ya, sampai sekarang. Kalau ketemu orang macam ini, biasanya saya dengan gigih dan sabar menjelaskan jebakan politik yang dengan lihai menggunakan sentimen agama sebagai drive-nya. Tapi mereka tak kalah gigihnya dengan saya, hehe… Segala dalil, data, argumen, dan tetek-bengek saya sigap mereka patahkan. Himbauan saya yang standart namun bijaksana yakni: “Karena ini pada akhirnya jelas masalah politik dan kekuasaan, maka mari sebagai umat kita mencerdaskan diri dan berkonsolidasi. Lalu belajar dari pengalaman di masa lalu supaya kita bukan hanya tidak lagi menjadi bulan-bulanan, melainkan juga semakin kuat,” biasanya dibalas dengan debat kusir yang berputar-putar dan membuat saya ingin sekali berseru, “Capek deeeehhh,” sambil menempelkan tangan ke jidat a la anak alay. Beberapa dari mereka malah suka mengungkit-ungkit perang salib. Umat yang lain gemar sekali mengungkit kesalahan gereja Katholik jaman jebot banget seperti penjualan kartu penebusan dosa, inkuisisi, dll. Saya sampai mengelus dada, karena itu kan ratusan tahun lalu gitu, loh, please deh!!! Penjelasan sesederhana atau secanggih apapun biasanya mental di jidat orang-orang macam ini, lalu dengan ‘kebutaannya’, mereka kemudian berjalan ke sana-ke mari sambil menabrak orang-orang lain, sehingga para korban tersebut dalam derajat yang paling sial jadi sama butanya dengan mereka.

·        Beberapa orang masih menyimpan luka akibat perang Bubat. What??!! Perang Bubat jaman Majapahit itu??!! Iya, benar saudara-saudara yang mulia, Perang Bubat jaman Majapahit. Kurang jadul apa, coba? Gara-gara kepahitan yang berbilang abad tersebut, beberapa orang Jawa melarang anaknya kawin dengan suku Sunda, demikian sebaliknya. Ajaib? Memang, namun itulah faktanya. Lebih ajaib lagi mereka tidak sadar akan hal itu, lalu menurunkannya pada anak cucu, persis seperti orang buta yang tak sadar akan kebutaannya dan membuat benjol banyak orang, lalu anak cucu tersebut tumbuh sama buta dan tidak sadarnya seperti mereka.

·        Beberapa orang menyalahkan penjajah Belanda sebagai pewaris kebiasaan korupsi. Teman saya, pemilik blog cakep ‘Indahnya Indonesia’, Lomar Dasika, punya pendapat menarik: “Emang para koruptor jaman sekarang pernah dijajah Belanda, apa?” Ya, benar. Belanda kan hengkang puluhan tahun lalu. Asumsikan benar bahwa korupsi adalah warisan mereka, lalu kenapa kita mau begitu saja diwarisi yang begituan? Selemah itukah mental kita sampai-sampai tidak bisa menghilangkan penyakit ‘turunan’ ini? Atau jangan-jangan karena hidup dalam ‘warisan korupsi’ memang sedap, apalagi kalau ada orang Belanda sebagai kambing hitam? Belanda memang banyak dijadikan kambing hitam, misalnya mewariskan kebiasaan tak mau antri, kirim upeti, sampai urusan Gang Dolly. Iya, Gang Dolly yang pasti merupakan taman bunga raksasa karena banyak kupu-kupu malamnya itu:). Padahal pendirinya (yang memang orang Belanda) sudah puluhan tahun jadi kerangka. Karena gemar hidup di masa lampau itulah maka kita (atau mereka) yang buta berhenti pada kalimat ‘gara-gara Belanda’ dan sarang maksiat tersebut menggurita tak terkira, hingga ujung-ujungnya malah dimanfaatkan bagi pemasukan kas Pemda.

·        Beberapa orang sibuk menyalahkan Pak Harto atas keruntuhan sendi-sendi bangsa ini, kadang-kadang saking ekstrimnya pakai kata-kata kasar, lupa kalau bagaimanapun beliau adalah orang tua, sudah tiada pula. Dan meskipun saya sepakat dengan peran Pak Harto atas keruntuhan sendi-sendi bangsa ini, so what gitu loh? Sebab bukankah Rafiki bilang bahwa sekalipun masa lalu bisa jadi menyakitkan, bahkan sangat menyakitkan, kita bisa belajar darinya? Dan guru apakah yang lebih baik ketimbang pengalaman, terutama yang buruk? Pengalaman yang buruk biasanya berkaitan dengan kejatuhan, entah kejatuhan moral, mental, ekonomi, sosial, apapun. Dan perhatikanlah saudara-saudara, saya yang kian hari kian bijak ini (sekali narsis tetap narsis:)) beberapa waktu lalu menciptakan ungkapan yang (menurut saya) indah: ‘Mengapa jatuh sedalam dan sesakit apapun tak mampu membuatku mengumpat? Karena darinya aku belajar bangkit dan menjadi lebih kuat’. Betapa indah dan bijaksananya. Kalau anda menganggapnya tidak berarti anda punya sentimen pribadi dengan saya:). Para ahli, pengamat sosial, akademisi, dan orang-orang pintar itu terlalu sibuk menyalahkan Pak Pak Harto dan orang-orang kepercayaannya yang punya posisi strategis dalam pemerintahan dan perencanaan. Begitu sibuknya mereka –dan mungkin juga kita- berkutat di waktu lampau dan bukannya membuat peta atas kesalahan di masa lalu dan formula untuk mengatasinya, hingga pilar-pilar bangsa ini kian runtuh tanpa kita sadari karena kebutaan membuat kita jalan di tempat, kalau bukan tersandung.  

·        Sebagian dari kita begitu bangga dengan batik, tarian, kekayaan kuliner, dan segala warisan adiluhung itu, seakan-akan waktu tidak pernah berjalan. Kita jadi lupa, lalu lama-lama buta, dan baru kaget lalu kelimpungan ketika ada orang luar yang mengaku-ngaku itu semua milik mereka.

·        Kita begitu bangga dengan Candi Borobudur, keris, perahu Phinisi, dan sebagainya. Begitu bersemangatnya kita hidup di masa lampau, sampai segala kejeniusan itu benar-benar berhenti di waktu ratusan tahun lampau, dan lupa mencipta karya-karya jenius yang serupa. Jika ada orang luar yang bertanya apa saja hal-hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia, kita kembali ke masa ratusan tahun lalu, lalu melongo ketika ditanya, “Karya yang dari jaman sekarang apa saja?”

Para pembaca, kalau saya sebutkan semua kebutaan akibat kegemaran hidup di masa lampau  itu, saya berani jamin jari saya pasti kapalan. Yang jelas, dari yang sedikit itu saja kita bisa melihat betapa mengerikannya akibat dari hidup di masa lampau. Kita mestinya mengingat bahwa kita ini bukan Highlander, yang bisa hidup di era kapan saja dan tetap jadi jagoan tak peduli siapapun musuh kita. Highlander cuma ada di film, tentu saja dia jagoan. Freddy Mercury dalam theme song-nya bilang ‘I HAVE NO RIVAL, NO ONE COULD BE MY EQUAL!!!’. Ya mesthiii, mana ada jagoan kalah? Apalagi kalau bawa-bawa pedang yang berkilat dan berdesing.

Tapi kita bukan Highlander, yang bisa tetap hidup, melompat ke jaman apa saja, dan selalu jadi pemenang di akhir episode. Kita cuma manusia biasa, manusia Indonesia. Tidak seperti Highlander yang tidak punya rival, kita punya. Bahkan banyak. Kemalasan kita. Ketidak pedulian kita. Pikiran sempit kita. Keenggganan kita untuk mengakui bahwa kita hidup di negeri yang beragam. Kegemaran kita hidup di bawah kemegahan masa lalu. Atau bersembunyi di balik topeng masa lalu untuk menutupi ketidak mampuan kita mengatasi segala permasalahan yang ada hari ini. Dan sederet yang lain.

Kita punya banyak rival, yang harus kita kalahkan. Dan kita tidak bisa berpura-pura kita adalah Highlander. Kita adalah prajurit-prajurit biasa, yang harus mati-matian memberikan yang terbaik yang kita punya untuk kebesaran Indonesia. Dan bisakah kita memberikan sesuatu, lalu berjuang demi bangsa kita, kalau kita buta di dalam jiwa?

Senin, 05 Maret 2012

Pribadi Bangsaku Pasti Bisa Maju.

Dalam sebuah acara semi formal yang saya ikuti waktu pertama-tama tinggal di Manado, ada seorang tante bercerita, bahwa dia adalah orang yang sangat tidak bisa tampil ke depan dalam urusan apapun. Baca UUD waktu upacara bendera, kata sambutan waktu ada acara di kantor atau kampung, berdoa di muka umum, dll. Pasti keringatnya keluar sebiji-biji jagung dan yang ada ia gemetaran luar biasa. Kebiasaan buruknya ini sudah sangat populer, termasuk di kalangan gereja. Suatu hari si tante mengikuti sebuah ibadah yang digelar di rumah seorang anggota jemaah, di mana si pengkhotbah kebetulan adalah pendeta undangan dari gereja lain. Waktu acara hendak dimulai, si pendeta main tunjuk seseorang untuk berdoa dan tante demam panggung ini kena ‘sabetan selendang’. Si tante berkelit  sedaya upaya, sementara jemaah memandangnya penuh iba tapi tak kuasa menolongnya. Pendeta tamu terus membujuk (sebab dia kan tidak tau penderitaan si  tante itu). Si tante akhirnya tak kuasa menolak setelah pendeta bilang begini,”Ibu, jangan takut. Minta jo hikmat pada Tuhan, supaya dengan demikian segala ketidak percayaan diri ibu bisa hilang. Mari ibu, minta hikmat pada Tuhan.”

Dengan peluh mengucur dan tubuh gemetar, si tantepun berdoa dengan suara bergetar: “Ya Tuhan, kiranya Engkau berkenan memberikan hambamu ini hikmat, dan kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilaaannnn….”

Sumpe, waktu dengar cerita ini saya langsung terbahak-bahak di depan khalayak ramai tanpa malu, lupa bahwa selama itu saya masih jaim dan sok halus a la Jawa di depan semua orang kecuali suami saya. Soalnya si tante bercerita dengan wajah polos, suara menggelegar khas orang Manado, dan logat yang waktu itu di kuping saya masih terdengar lucu. Tante ini benar-benar berkepribadian Pancasila sejati, batin saya dalam hati. Berdoa dengan gugup saja masih ingat sila ke-4 Pancasila:).

Itu tadi cuma intermezzo saja, daripada puyeng mikir negara (lagian salah sendiri cuma mikir, kalau langsung berbuat sesuatu kan belum tentu puyeng. Bisa jadi pecah kepala, hehe…). Bicara soal kepribadian bangsa Indonesia sekarang ini memang agak-agak membuat kita mengelus dada. Paling tidak pasca lengsernya Suharto, yang mana rakyat kian brutal, kekerasan di mana-mana, sedikit-sedikit baku hantam, kerusuhan, dll. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini dampak reformasi kebablasan? Atau jangan-jangan sesungguhnya memang bangsa ini dari dulu begitu, cuma karena takut dikenai pasal subversif (yang sangat ‘luwes’ itu) saja jadi waktu era Suharto semua tampak alim dan santun?

Contoh sederhana adalah dinamika dalam dunia maya. Saya aktif dalam beberapa grup di FB. Ada grup alumni, kedaerahan, politik, dan agama (di mana saya jadi adminnya dalam grup terakhir). Grup yang paling saya hargai adalah grup politik, karena para anggotanya menunjukkan kualitas dalam berdiskusi, selebar dan sedalam apapun jurang perbedaan mereka. Yang kadang bikin gerah adalah sebuah grup kedaerahan. Saya pernah mengeluarkan pendapat yang tidak sama dengan paham mereka. Di luar dugaan, seorang anggota tiba-tiba mengata-ngatai saya tanpa alasan jelas, bahkan nama sayapun jadi korban. Padahal apa hubungannya? Oknum ini sama sekali tidak saya tanggapi, sampai akhrinya dia bosan sendiri. Namun dalam beberapa posting saya lihat beberapa orang bersilang pendapat menggunakan kata-kata kasar, makian, dan diksi-diksi mengerikan lainnya, padahal nyata-nyata mereka adalah lulusan perguruan tinggi. Bahkan ada yang S2 dan punya kedudukan tinggi di kantor mereka masing-masing. Saya bertanya-tanya, lalu apa gunanya ya, latar belakang pendidikan dan posisi mereka?

Namun tidak ada yang lebih membuat prihatin ketimbang grup terakhir, yakni grup diskusi antar agama (Kristen dan Islam). Semangat para anggota dalam mencemooh, mengolok-olok, bahkan seringkali masuk dalam level hujat begitu luar biasa dan layak diacungi jempol. Sebagai admin yang berperan sebagai ‘penjaga kesehatan’ grup sekaligus peace maker, saya benar-benar kerepotan mengurus grup yang satu ini. Kadang-kadang darah saya nyaris mendidih menghadapi ketegaran mereka yang tak kenal lelah dalam upaya untuk melecehkan umat yang lain, meskipun berbagai macam cara saya coba untuk menuntun mereka ke jalan yang baik dan benar (halah). Untunglah -sekali lagi- dulu saya pernah jadi ketua Pramuka, jadi saya benar-benar pantang menyerah dan tak kenal putus asa.  Walhasil, sekarang mereka sudah agak ‘jinak’, hehe… (paling tidak kalau saya eksis dalam sebuah posting). Dalam hal ini saya salut pada kerendahan hati mereka dalam menerima teguran dan juga kesabaran saya dalam membimbing mereka (tetap saja, kan, ujung-ujungnya narsis? Hihihi…).

Kepribadian kita memang seringkali bisa terlihat dari cara kita bertutur kata, meskipun tidak selalu. Saya jadi ingat pada perkara yang sedang membelit Angelina Sondakh. Meskipun kening saya berkerut dengan dusta yang diumbarnya, namun ada hal yang makin membuat saya terkejut, yakni ketika pengacara lawannya mengangkat perkara gugatan cerai Angie pada almarhum suaminya sebelum meninggal. Berdusta adalah satu hal tapi mengangkat isu pribadi untuk menjatuhkan lawan adalah hal yang sangat norak menurut hemat saya. Sebab biasanya itu adalah langkah yang dilakukan oleh anak-anak alay yang galau karena rebutan pacar atau ibu-ibu kalangan menengah bawah, saat adu mulut gara-gara jemuran atau ayam tetangga yang buang kotoran sembarangan. Tapi kalau ini dilakukan oleh pengacara dengan bayaran wah dan ngakunya pintar, saya jadi sama sekali tidak bisa mengerti. Ternyata pendidikan, nama besar, kesuksesan, dan apapun, seringkali tidak punya kekuatan sama sekali dalam kemampuan seseorang mengontrol kata-kata dan atau perbuatannya. Masih ingat pengacara dengan rambut dikucir dan dulu sempat tenar juga sebagai pemain sinetron? Kurang kaya dan berpendidikan apa, coba? Tapi solah-tingkah dan kata-katanya terutama dalam panggung politik benar-benar membuat ngilu yang melihat dan mendengarnya. Kalau yang sukses, kaya, berpendidikan, dan public figure saja tingkahnya pada seperti ini, lalu yang di bawah apa kabar, ya?

Saya jadi ingat pada pendeta saya. Beberapa tahun lalu, dalam salah satu khotbahnya beliau berkata begini: “Sebetulnya nggak usah jauh-jauh agama, deh, kalau semua orang Indonesia benar-benar menjiwai dan melaksanakan Pancasila dan semua butrinya, pasti Indonesia akan benar-benar jadi negara yang damai dan sejahtera, secara materiil maupun moril.” Saya pikir-pikir benar juga. Dalam posting berjudul ‘Rakyat Adil Makmurnya Kapaaaannn…?’ bagian ketiga saya bicara soal hasil jika butir-butir dalam tiap sila Pancasila dilaksanakan dengan sempurna. Tapi nggak usah seribet itu, deh, karena baru-baru ini –sekali lagi- saya dibuat terpesona oleh Pancasila. Kali ini adalah butir ke dua sila pertama yang membuat dada saya kemudian berderap: Manusia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Yang membuat saya terpesona adalah, setelah saya renungkan dan resapi tiap patah katanya, butir kedua sila pertama ini ternyata sudah mencakup semua butir yang ada pada semua sila. Percaya pada Tuhan adalah pernyataan sikap kerendahan hati seorang mahluk ciptaan terhadap Sang Pencipta. Takwa kepada Tuhan jelas merupakan wujud kepatuhan manusia (dalam hal ini manusia Indonesia) kepada Tuhan baik secara iman maupun dalam pelaksanaan isi kitab dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi jika kemudian dikombinasikan dengan kalimat terakhir yakni menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya tidak tahu dengan kitab anda, karena tidak mungkin saya membuat pengandaian bahwa semua pembaca beragama Kristen, namun hubungan manusia-manusia dan manusia-Tuhan sudah diatur secara detil dan sempurna dalam kitab yang saya percayai. Bahkan termasuk urusan bayar pajak dan mengambil sikap pribadi terhadap pemerintah sekalipun.

Jadi seandainya kita malas membaca apalagi merenungkan butir-butir yang lain dalam Pancasila secara utuh, renungkan saja butir yang ini, karena di sini secara tersurat kita dituntut untuk kembali ke kitab masing-masing. Sekali lagi saya tidak tahu dengan kitab anda, tapi saya contohkan hal-hal apa saja mengenai kehidupan sehari-hari yang termaktub dalam kitab saya. Hormat pada orang tua, mengasihi anak kecil, kehidupan rumah tangga, sikap orang tua terhadap anak, tuntunan bagaimana mengisi waktu dengan baik dan benar serta produktif, peran dan bakti kita terhadap lingkungan, sikap terhadap mereka yang tidak sepaham, etos kerja, tips-tips alkitabiah untuk menjadi kaya secara materiil dan non materiil, bagaimana merasakan kebahagiaan hakiki dan sukacita internal, kuat dan teguh dalam menghadapi segala masalah, melepaskan diri dari kungkungan stress dan depresi, mengembangkan bakat, mengatur dan mengelola aset yang kita miliki baik yang fisik maupun non fisik, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan jika ditelaah lebih lanjut, maka itu semua adalah materi pembentukan karakter yang luar biasa. Dan apakah cuma kitab saya saja yang mengandung materi semacam itu? Ya enggaklah, gila aja. Semua kitab, saya percaya, punya kualitas baik yang sama. Benar atau tidaknya sajalah yang tergantung persepsi masing-masing umat.

Singkatnya, butir kedua sila Pertama Pancasila mengajak kita kembali ke kitab masing-masing kemudian mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana sekali, ya? Iya. Coba kalau separuh saja rakyat Indonesia kembali ke kitab dan benar-benar konsisten melaksanakannya, maka tidak akan ada lagi pembeberan aib rumah tangga seorang Angelina Sondakh (itupun belum tentu benar karena suaminya kan sudah meninggal jadi tidak bisa di cross check), tidak ada artis saling cakar, kasus bunuh diri gara-gara tekanan ekonomi, orang lompat dari gedung entah gara-gara apa, baku hujat antar umat beragama, saling maki kalau ada perbedaan pendapat, anak minggat gara-gara dimarahi orang tua, suami selingkuh gara-gara isteri cerewet, dan sebagainya. Yang ada kita semua benar-benar saling mengasihi, menghormati, dan menyayangi. Saling tolong. Saling menebar simpati, memberikan waktu untuk mendengarkan curahan hati seorang tetangga yang tertekan karena punya anak segudang tapi nggak punya pembokat, mengajak ngobrol penjaga lintasan kereta api atau penyapu jalananan, dan hal-hal kecil seperti itu. Sedikit saja kita memberi perhatian dan menebar rasa simpati, secara konsisten, maka kita akan terkejut melihat hasilnya.

Itu kalau kita mau kembali ke kitab dan setia melaksakan isinya. Pribadi bangsa ini memang hanya akan kuat bila kita semua kembali menghormati Tuhan. Indonesia yang teguh dan teduh hanya akan bisa dicapai oleh pondasi pribadi rakyatnya yang mendasari segala tutur kata dan perbuatannya berdasarkan tuntutan agama.

TUHAN memberkati kepribadian rakyat Indonesia! TUHAN memberkati Indonesia!



Kamis, 01 Maret 2012

“Pribadi bangsaku tidak majuuuu….. majuuuu…..”. Saya Percaya Tidak Selamanya Begitu.

Bagian terakhir dari empat tulisan

Saya –dan sebagian besar keluarga besar saya- punya dua kepribadian khas yang sangat bertolak belakang: temperamental di satu sisi dan gampang jatuh iba di sisi lain. Waktu masih muda dan berangasan (padahal sekarang beranjak tuapun masih iya), kalau ada orang cari gara-gara pasti saya akan melawannya. Seringkali dengan lidah saya yang sangat tajam plus suara menggelegar, dan kalau perlu pakai fisik . Saya pernah mencekik leher teman sekelas saya waktu SD gara-gara dia meledek bapak teman yang lain hanya karena beliau tukang sapu. Itulah kali pertama saya kena sidang dan terancam di skors , hingga kemudian emak saya –si biang preman- tidak terima dan ‘mengobrak-abrik’ sekolah karena menurutnya saya melakukan tindak kekerasan atas dasar perikemanusiaan. Hihihi. Saya juga pernah menjotos ulu hati seorang kakak kelas karena menjebret tali beha saya di depan umum, kemudian menjadi cheerleaders ketika teman-teman cowok saya yang tidak terima mengeroyok kakak kelas busuk tersebut. Terakhir saya (yang waktu itu sudah punya satu anak balita) menendang –maaf- kemaluan seorang cowok di jalan yang berusaha meremas pantat saya (padahal apanya yang mau diremas wong bodi saya rata? Menurut hemat saya, cowok itu tak hanya bodoh tapi pasti juga buta), lalu ketika dia rubuh saya injak-injak terus alat vitalnya tanpa ampun. Itu yang terakhir, yang lain-lainnya nggak parah-parah amat dan detilnya sebagian besar saya lupa –mungkin saking banyaknya. Paling-paling hanya melibatkan pintu yang ditendang hingga terhempas keras, kursi yang terjungkir, meja tertunggang-balik dengan segala yang di atasnya bertemperasan ke mana-mana, barang-barang beterbangan, dan hal-hal macam itu. Demikianlah kebrutalan saya, yang mana akan membuat siapapun sama sekali tidak akan percaya bahwa saya orang Jawa. Dan semua korban jahiliyah saya adalah cowok. Giliran ada cewek memusuhi saya, sedzalim apapun, biarpun mendidih pada akhirnya saya mengalah. Setiap dimusuhi sesama kaum saya memang selalu berubah jadi Jawa total, hehehe…

Seiring dengan berjalannya waktu, dengan semakin banyak tempaan dan ujian dalam hidup, sedikit demi sedikit saya berubah. Kalau dulu ada masalah saya sontak gumbrang-gumbreng, sekarang –biarpun susah payah- saya selalu berusaha ‘whooosaaaa….’ a la Michael Lawrence dalam film Bad Boys II. Semakin luas pergaulan, semakin pula saya banyak belajar dari kekurangan dan kelebihan orang lain, termasuk kemampuan dan ketidakmampuan mereka mengelola emosi dan menghadapi masalah. Belajar dari mereka, kemampuan sayapun meningkat dalam mengontrol emosi dan memilih kosa kata untuk mengungkapkan kemarahan, sekalipun sebenarnya saya masih sama mudah tersulut emosinya seperti dulu. Derajat ‘darah panas’ Yuanita Maya masih sama seperti dulu, bedanya dia sekarang lebih fasih dalam mengelolanya.

Lalu sisi kebalikannya, yakni mudah jatuh iba. Saya ini orang yang paling tidak bisa melihat orang lain susah. Sendholim apapun seseorang pada saya, jika saya tahu sisi hidupnya yang agak-agak gimanaaa… gitu, saya pasti berkata pada diri sendiri, “Halah, sutralah.” Lalu saya biarkan dia berbuat semau-maunya, yang mana justru membuatnya kian ndholim. Sekarang tidak demikian. Saya hadapi kendholimannya dengan emosi terukur dan rasa iba yang tertata, sehingga dengan demikian oknum tersebut menghentikan kendholimannya (yang mana baik bagi kami berdua). Demikian juga menghadapi orang-orang yang hidup didesak kemiskinan. Apalagi saya hidup di tengah lingkungan keluarga besar yang serba kecukupan dengan tangan sangat terbuka. ‘Pelit’ mungkin adalah kata yang punya makna sekeras ‘zinah’ bagi keluarga besar saya. Tapi setelah digojlok dalam berbagai masalah – termasuk masalah finansial- yang banyak mengubah sikap mental, tangan saya kini tidak terulur secepat dulu. Tidak semudah masa lalu, ketika tiap orang datang mengeluh ini-itu saya langsung bergerak secara reflek. Merenungkan pengalaman pribadi dan melihat pengalaman orang lain –baik mereka yang miskin permanen maupun yang berhasil dalam jihad melawan kemiskinan- plus rumusan-rumusan tentang hidup yang dilimpahi berkah hasil merenungkan ayat-ayat Alkitab, sayapun tidak lagi senaif Yuanita Maya yang dulu. Bahkan saya pernah lho, membuat quote yang bagus: ‘Seseorang tidak akan sadar bahwa kemiskinan bukanlah salah siapa-siapa melainkan kesalahannya sendiri, sampai dia berhasil dalam jihad melawan kemiskinan tersebut’. Begitu indahnya sampai-sampai saya terkagum-kagum pada diri sendiri :).

Tentu saja saya tidak lantas tutup mata melihat orang susah yang meminta tolong, sebab di atas segalanya itu juga kewajiban saya sebagai orang Kristen. Namun rasa iba tersebut saya kelola dengan bijaksana, hingga tidak menyebabkan si peminta tolong tersebut jadi semakin lemah mentalnya. Contohnya, ada seorang perempuan yang secara berkala saya bantu meskipun saat ini keadaan finansial saya masih mepet (bukannya sok ‘y’, saya hanya berusaha menjalankan firman Tuhan yang bunyinya begini: “Kalau kau memberi dari kelebihanmu, apa upahmu?”. Intinya kalau mau berbagi nggak perlu nunggu kaya. Iya kalau setelah kaya murah hati, kalau ternyata tambah sayang sama duit dan kian pelit? Dan nggak usah takut bakal makin kekurangan terus main itung-itungan, karena TUHAN sendiri yang akan memperhitungkan upahnya (ada di ayat terusannya tapi saya lupa, hehehe…). Namun setelah saya perhatikan, tiap kali kami bertemu si ibu ini selalu bersikap bak drama queen dengan membeberkan seribu satu penderitaannya. Seakan-akan hidupnya senantiasa dipayungi awan pekat. Padahal saya saja bisa melihat betapa si ibu ini dilimpahi banyak berkat, yang sayangnya tidak terlihat oleh mata dan hatinya yang tak mampu mengucap syukur. Ya jelas aja dia miskin dan sedih permanen. Gimana mau kaya dan bahagia secara materi dan rohani kalau mulut dan hati selalu berkeluh-kesah? (silakan tengok posting berjudul ‘Ngomel Berjamaah’ dan ‘Diam-diam Jadi Kaya’ sebagai referensi).

Nah, setelah meminta hikmat Tuhan supaya mampu menegur si ibu yang sensi itu dengan bijak, mulailah saya ‘cuci’ mentalnya habis-habisan. Dan yakinlah wahai para pembaca, berhadapan dengan orang semacam itu benar-benar bagaikan menghadapi Ksatria Pembela Pembenaran yang sulit untuk ditumbangkan. Ia pandai sekali ngeyel, di antaranya, “Ya mesthiii, Mbak Maya bisa ngomong seperti itu karena ndhak ngalami. Dari dulu hidup enak, segala kecukupan, keluarganya juga sugih-sugih, dan sebagainya, blablabla…..”. Waktu saya bilang hidup itu ‘wang sinawang’ (tak seperti apa yang kita lihat, karena sebenarnya keadaan finansial dan ini-itu saya juga masih parah. Cuma kan dia nggak ngerti karena saya nggak pernah ngember soal masalah-masalah yang membelit kehidupan saya), eh, dia malah bilang begini, “Kalau nggak mau bantu ya sudah, mbak, nggak usah ngapusi (bohong).” Lho, piye to iki?.Kok malah dibolak-balik pasalnya. Tapi karena waktu SD saya pernah jadi ketua kelompok  dalam ekskul Praja Muda Karana, maka menghadapi si ibu ngeyelan mrengutan (tukang cemberut) ini saya pun benar-benar pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Hasilnya lumayan, ibu itu kini bukan lagi pakar mengeluh (seenggaknya tidak di depan saya. Mungkin pikirnya timbang ngeluh malah dikhotbahi, nggak dapat duit lagi. Lho, kok malah saya jadi suudzon?). Di titik ini saya merasa bangga pada diri sendiri (ujung-ujungnya memang narsis, hehehe…).

Nah, itulah dua kepribadian saya yang paling menonjol, selain doyan ngomong nggak kenal berhenti (eh kalau itu mungkin lebih tepat dibilang kebiasaan, ya? *berdalih*). Bicara soal kepribadian, saya jadi ingat ada pepatah Jawa yang bilang begini, “Watuk isa ditambani, watak marine nek wis mati”. Batuk bisa diobati, watak sembuhnya jika sudah mati. Memang benar, kepribadian akan kita bawa ke mana saja, kapan saja, hingga maut memanggil kita. Tapi gila aja kalau itu kita jadikan alasan, kemudian bila berbuat salah sehubungan watak kita yang buruk dan kena tegur terus ngeyel, “Begitulah diriku. Aku tetaplah aku.” Celaka kalau begitu, terus kapan mau maju? Seperti halnya keberangasan dan hati rapuh yang tetap saya miliki dan tidak berkurang derajatnya sedikitpun hingga kini, tetaplah tidak bisa saya jadikan alasan untuk ngeyel dengan cara apapun. Kalau keberingasan itu tidak saya kontrol sejak kini –sesulit apapun usaha yang harus saya tempuh-, apa kabar anak-anak dan keponakan-keponakan saya, dan lain-lain yang melihat ‘premanisme’ saya? Bukankah mereka akan belajar darinya? Kemudian kelak di kemudian hari mereka juga akan menularkan pribadi berangasan tak terkontrol itu pada keturunan dan orang-orang di sekitar mereka? Maka sikap beringas tersebut akan lestari dan terus menular ke mana-mana, hingga generasi berikutnya, lalu buyarlah Indonesia. Demikian juga bila kelemahan hati saya tidak saya tata. Jika sampai kini tiap kali lihat orang susah saya buru-buru ingin membantu tidak peduli latar belakang mereka seperti apa, bukankah akan semakin memupuk sikap mental menye-menye orang-orang tersebut? Maka yang lain akan melihat dan berpikir, “Oh, jadi berkeluh-kesah itu nggak salah, malah enak dapat pertolongan tanpa susah-payah.” Celaka yang kedua. Sikap cengeng akan menular, kalau ditegur sekaligus dikuatkan malah berkelit dan menyalahkan orang lain dengan pintar. Kemiskinan dan kesusahan menyebar dan kian besar, lalu Indonesia bubar.

Jadi demikianlah konklusi saya soal kepribadian, yang memang kita dapatkan secara natural dari Tuhan. Kepribadian kita –sejelek apapun- akan terus abadi hingga kita mati. Namun itu bukan alasan bagi kita untuk berbangga apalagi bersikap tegar tengkuk, kemudian menjadikannya sebagai alasan untuk memertahankan dan mempertontonkan kepribadian kita yang buruk. Kepribadian yang buruk boleh abadi, namun semakin dewasa kita harus makin mampu untuk mengelolanya dengan hati-hati. Seiring dengan itu kita tonjolkan kepribadian kita yang baik, lalu kita tularkan kepada mereka yang ada di sekeliling kita hingga menjadi ‘virus’ yang mampu membuat Indonesia tetap tegar sekaligus teduh dalam menghadapi berbagai persoalan pelik. Dengan demikian suatu hari nanti kita bisa berseru, “Pribadi bangsaku sudah majuuuu!!!!”. (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).