Kabotan jeneng.
Pernah dengar? Kalau anda orang Jawa maka kemungkinan besar sudah. Kalau bukan dan atau belum, mari saya jelaskan: kabotan jeneng dalam terjemahan bebasnya adalah nama yang terlalu berat untuk disandang. Misalnya nama anda adalah Nabiel Handaru Wibisana, yang secara harafiah artinya: laki-laki cerdas mulia yang merupakan anugerah besar dan merupakan sosok pembela kebenaran dan keadilan. WOW. Jadi kalau anda punya nama ‘seberat’ ini dan ternyata perilaku anda jauh panggang dari api, maka wajarlah jika anda kemudian akan menerima banyak ejekan. “Kabotan jeneng. Nggak kuat mikul nama. Kalau jalan pasti sering jatuh.” Anda bisa menangkal ini dengan ruwatan a la Jawa. Atau minimal tangkisan, “Ah, nggak juga. Cuma kesandung-sandung. Paling banter jempol kakiku pada jepat.”
Nama bagi sebagian besar orang Indonesia adalah urusan sensi. Logika Shakespeare jelas tak masuk hitungan. Sebab bagi sebagian besar orang tua di Indonesia, nama bagi anak-anak mereka bukan hanya sekedar representasi kelas, namun juga mengandung harapan keluarga akan jadi apa si anak kelak. Contoh kasus menyedihkan sekaligus menggelikan mengenai nama adalah anak seorang tetangga kerabat saya di desa.
Alkisah, si pria tetangga tersebut adalah penggemar berat mantan anggota timnas sepakbola RI Ricky Yakobi, yang waktu kejadian ini sedang kondang-kondangnya. Maka kita bisa dengan mudah menebak apa yang dilakukan si pria tersebut ketika istrinya pada suatu hari melahirkan jabang bayi berjenis kelamin laki-laki. Malangnya, pria tersebut berasal dari keluarga yang dari generasi ke generasi hidup di bawah apa yang oleh pemerintah disebut garis kemiskinan. Maka menurut keawajaran orang Jawa ia mendapat terguran baik secara halus maupun terang-terangan dari kerabat dan handai taulan. Orang melarat kok aneh-aneh, aeng-aeng. Beri saja nama yang membumi, sebab burung yang tak punya sayap pastilah sering jatuh.
Namun tokoh kita ini, ayah si orok Ricky Yakob, tegar tengkuk. Dan boleh percaya boleh tidak, Ricky Yakob anak orang melarat tersebut tumbuh dengan duka nestapa silih berganti. Terguling dari kasur dengan kuantitas melebihi ambang batas, beberapa kali nyaris tercebur sumur, kesandung, benjol melebihi takaran, bisulan dengan kuantitas melebihi butir-butir pasir di laut, sakit-sakitan baik demam, diare, dll, tersiram kuah panas –sebutkan apa saja, niscaya si kecil Ricky nan malang telah mengalaminya. Tak urung ayah Ricky-pun mulai berpikir dan merenung, lalu sampai pada keputusan: menggelar selamatan untuk mengganti nama si anak. Ricky Yakob berganti menjadi Bejo Selamet (Beruntung dan Selamat) dan….voila!!!! Segala pilu lara yang senantiasa merundung pada tahun-tahun awal kehidupannya menguap begitu saja tanpa alasan logis.
Nama memang bukan hanya berurusan dengan keberuntungan dan keselamatan, namun juga perilaku serta amal sholeh seseorang. Jika anda orang Jawa punya nama indah dan mulia tapi berahlak rendah, itu bisa jadi karena anda sebagai pribadi tak kuat menyandang nama anda. Dengan demikian anda perlu melakukan perubahan besar-besaran dengan cara merombak total kelakukan anda. Atau kalau tak mau repot, ganti saja nama yang lebih sesuatu dengan derajat kelakuan anda sebagai mahluk fana.
Demikian sebaliknya, dalam kehidupan nyata banyak insan –tak peduli dari suku apa- setelah menyadari betapa luhur nama mereka, kemudian hidup sesuai dengan patron yang telah ditetapkan oleh namanya. Sebab nama adalah doa, demikian kata Lomar Dasika, seorang pecinta Indonesia pemilik blog Indahnesia yang mempesona. Dan Indonesia adalah negerinya nama indah. Di atas segalanya, dalam nama-nama indah tersebut ada doa orang tua atau siapapun yang menyematkan nama-nama tersebut bagi kita. Maka alangkah indahnya jika seseorang bernama Widya, misalnya, mengejewantahkan namanya dalam sosok yang berpengetahuan dan senantiasa ikhlas membagi pengetahuan tersebut pada sesama. Atau seseorang yang bernama Prasoja, benar-benar menjalani hidup sesuai namanya, yakni dengan menjadi sesseorang yang apa adanya. Seorang yang apa adanya tentu akan mensyukuri segala nikmat yang ia dapatkan dari Allah, dan dari itu ia tidak akan silau dengan godaan duniawi apapun, yang untuk meraihnya bisa saja menjerumuskan ia dalam perilaku korupsi, misalnya. Itu baru nama sederhana, padahal di Indonesia banyak sekali manusia penyandang nama para tokoh agama yang mereka anut. Muhammad, Wisnu, Henokh, Maria, Siti, dan lain-lain, bukankah nama yang umum kita dengar atau jangan-jangan malah kita sandang?
Tidakkah masing-masing dari kita yang beragama dan ber-Tuhan, bahkan menyandang nama-nama besar tersebut punya kewajiban moral untuk menjunjung kehormatan tokoh-tokoh yang telah meminjamkan kemuliaan nama mereka pada kita? Dan tidakkah siapapun yang mengemban keindahan nama-nama tersebut musti menegakkan kebenaran dan kemuliaan dalam nama-nama tersebut?
Marilah kita –jika anda sepakat dengan saya- merenungkan arti nama masing-masing, untuk selanjutnya kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa menjadi suluh bagi satu sama lain (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).