Sesungguhnya saya tidak sampai
hati menulis artikel mengenai kisah tragis yang terjadi baru-baru ini. Bahkan
saya lebih suka tidak mendengar berita ini sama sekali sehingga nurani saya
tidak perlu terganggu karenanya. Terlebih ini terjadi di Manado, yang selama
ini saya bangga-banggakan di banyak tulisan saya sebagai daerah Utopia yang
pasti membuat Karl Marx malu atau setidaknya penasaran. Kisah memilukan ini
mengenai seorang ibu yang membunuh dua dari tiga bayi kembarnya. Kronologinya
secara singkat adalah setelah menidurkan bayi pertama, ia kesulitan menidurkan
dua bayi lainnya yang bersikap rewel. Stres dalam usahanya yang sia-sia,
perempuan ini membekap dua bayi tersebut. Yang pertama meninggal dalam waktu
singkat. Yang kedua masih menangis dan tersengal-sengal. Kemudian kedua bayi
(baik yang telah tewas maupun masih tersengal-sengal) tersebut ia letakkan
berjejeran dengan satu yang masih selamat dan tidur lelap. Lalu ia ke depan, menemui
kedua anaknya yang lebih besar (10 dan 12 tahun), berkata bahwa ia hendak pergi
membeli susu. Kemudian ia berbalik lagi, menemukan bahwa bayi yang
tersengal-sengal telah tewas pula. Entah dengan motivasi apa, ia kemudian
memasukkan dua bayi yang telah tewas tersebut ke dalam ember yang berisi air. Setelah
itu ia pergi.
Berita tersebut saya baca di
sebuah media online yang saya ikuti, lengkap dengan foto si ibu tengah
diinterogasi oleh polisi sambil menggendong satu-satunya bayi yang masih hidup.
Membaca tulisan ini, saudara-saudara, apa yang anda akan katakan? Apakah anda
akan berkata, “Jangan biarkan ibu itu menggendong bayinya! Nanti dibunuhnya
pula!”?. Atau yang semacam itu? Baiklah, saya lanjutkan lagi. Ibu tersebut
bukanlah perempuan yang tidak berpendidikan. Ia memiliki gelar S1 Ekonomi dan anak
seorang pendeta. Sampai di sini, apa komentar anda? Apakah, “Sekolah
tinggi-tinggi tetap saja tidak punya otak! Dan pendeta macam apa itu
membesarkan anaknya jadi seorang pembunuh??!!” atau yang serupa itu kira-kira? Baiklah, lagi-lagi saya lanjutkan.
Suami perempuan itu meninggalkannya karena perempuan lain. Singkatnya, ia
mengkhianati istrinya dan mengawini perempuan lain, lalu meninggalkan istrinya
bersama 5 anak mereka. Sebagai tambahan: tanpa nafkah.
Membaca lanjutan kisah tersebut
baru saja, apakah anda masih akan memberikan komentar serupa? Saudara, saya
tidak berkata bahwa saya menghalalkan pembunuhan jika alasannya masuk akal.
Tidak ada satu pembunuhanpun yang bisa masuk di akal siapapun (kecuali akal
orang tak waras. Hanya saja setahu saya orang tak waras tidak memiliki akal.
Kalaupun ada tentulah tak sehat). Apalagi pembunuhan yang dilakukan oleh
orangtua –terlebih ibu- si korban. Bayi baru beberapa bulan pula. Saya juga
tidak akan menggalang opini massa untuk mendesak pihak aparat agar membebaskan
tersangka dari tuntutan hukum, dengan dasar perikemanusiaan. Tidak, karena
apapun alasannya tidak ada satupun pembunuhan yang memiliki dasar kemanusiaan. Dan
bagaimanapun saya adalah orang yang percaya pada apa yang disebut sebagai
supremasi hukum, apapun kata orang tentang hukum di Indonesia.
Tetapi ijinkan saya mengisahkan
apa yang saya rasakan setelah melahirkan Kinasih, putri sekaligus anak bungsu
saya, sehingga anda bisa sedikit menyelami apa yang dirasakan perempuan
pembunuh anak-anaknya tersebut. Ketika itu saya masih mengalami gegar mental
dan budaya. Saya pindah ke kultur yang sama sekali baru, terlebih kehamilan
saya yang kedua ini berjarak 14 tahun dari yang pertama dan sama sekali bukan
kehamilan mudah. Jauh dari sanak keluarga, orang tua, tak punya teman, terlebih
berjauhan dari anak sulung yang ketika itu belum ikut pindah, adalah latar
belakang tekanan mental yang masih mengikuti saat bayi saya lahir. Ditambah
kondisi ekonomi yang sedang terguncang dan masalah dengan suami, keadaan
tersebut masih diperparah dengan tidak adanya pembantu, yang memang sulit
dicari di Manado sini. Saya benar-benar kesepian, tak ada hiburan, tidur hanya
sekitar 4 jam per hari, dan lelah dalam segala aspek. Terlebih Kinasih adalah
bayi yang aneh. Jika bayi kecil biasanya tidur belasan jam sehari, ia hanya tidur
maksimal 9 jam. Itupun harus digendong. Saya ingat jelas bahwa ada banyak masa
di mana saya benar-benar ingin lari atau mungkin bahkan mati. Saya tidak tahu
apakah segala faktor penyebab stres tersebut di atas berdiri sendiri atau
mungkin ditambah dengan sindroma baby blues. Sejauh yang saya ketahui, baby
blues syndrome seringkali muncul begitu saja dan membuat seorang ibu (yang
berkelimpahan secara materiil dan spiritual, bahkan bergelar doktor sekalipun)
menjadi tidak sehat secara mental dan sanggup melakukan hal-hal buruk apapun.
Terlebih ditambah faktor-faktor lain. Saya ingat kondisi mental saya saat itu
benar-benar parah dan tidak pernah saya bayangkan bisa saya alami. Saya tidak
tahu bagaimana saya bisa bertahan saat itu, yang jelas yang saya lihat saat ini
adalah saya masih hidup, segar bugar, menuliskan hal-hal yang menurut banyak
pembaca ‘menginsipirasi dan menjadi berkat’ (saya sangat bahagia dan bersyukur
untuk ini), dan masih sering terheran-heran kenapa secara mental saya bisa
sestabil ini sekarang.
Namun jika boleh jujur, seberat
apapun kondisi saya saat itu, hidup masih sedikit tersenyum pada saya. Sesakit
apapun saya secara fisik dan mental pada waktu itu, sesungguhnya tak ada
apa-apanya dibanding perempuan tersebut. Sama sekali tak ada seujung kuku
hitamnya. Masih ada ibu mertua sehingga saya tak perlu memasak dan tinggal
makan saja, dan sepulang kerja suami masih membatu menggendong Kinasih kecil
yang luar biasa menjengkelkan itu, walaupun hanya kurang dari dua jam. Dan
bagaimanapun, ia masih menafkahi kami. Pula ia tidak bersenang-senang dengan
perempuan lain di atas penderitaan istrinya. Namun ibu pembunuh tersebut –saya
berdoa untuk kedamaian hatinya- merawat TIGA BAYI SEKALIGUS SENDIRIAN dan dua
anak lain, mengurus semua pekerjaan rumah tangga sendiri, tak punya
penghasilan, dan suaminya bersenang-senang di ranjang perempuan lain. Ia
tentunya ratusan kali lebih menderita daripada saya. Saya berusaha keras
membayangkan apa yang dirasakannya dan berusaha lebih keras untuk
menjabarkannya pada saudara, namun saya sama sekali tidak bisa. Karena apa yang
ditanggungnya memang terlalu berat untuk dibayangkan apalagi dimengerti oleh
orang lain. Terlebih orang-orang yang menghakiminya, yang dengan enteng
mengatakan ia tak punya otak. Yang tanpa hati mengatakan janganlah ia
menggendong bayinya yang tersisa supaya tak pula dibunuhnya.
Saat menuliskan kata demi kata
dalam paragraph di atas, mata saya kabur oleh genangan air dan tenggorokan saya
tercekat demikian kuatnya sehingga terasa sangat sakit. Kemudian saya
memutuskan untuk mengendalikan emosi dan duduk termangu-mangu. Lama, membayangkan
jika seandainya suaminya adalah manusia normal, besar kemungkinan perempuan ini
akan sama dengan ibu-ibu lain, yang membesarkan dan merawat anak-anak mereka
lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa perlu ditambah
predikat pembunuh. Saya juga membayangkan jika para bapak yang tinggal satu
lorong dengannya mau menyisihkan uang rokok dua ribu saja perhari, mereka bukan
hanya akan membuat tubuh sedikit lebih sehat, namun juga membuat perempuan itu
sedikit bernapas lega. Atau jika para tetangga mau meluangkan waktu beberapa
jam sehari untuk diisi oleh beberapa perempuan demi membantunya merawat anak secara
bergiliran setiap hari, keadaan pasti akan sangat lain. Sayangnya, ibu tersebut
baru tinggal di lingkungan tersebut selama 6 bulan, yang membuat para tetangga
merasa cukup punya alasan untuk menganggapnya ‘misterius’ (sedangkan 6 bulan
sama dengan 180 hari, yang mana lebih dari cukup untuk membuat apapun menjadi
sama sekali tidak misterius -dengan catatan kalau ada yang sedikit peduli).
Mereka bahkan mengaku kaget bahwa di rumah tersebut ADA TIGA BAYI. Sesuatu yang
sangat janggal, kecuali jika tiga bayi tersebut semuanya bisu. Di saat yang
bersamaan para tetangga mengaku cukup mengenal orangtua perempuan tersebut, dan
lebih jauh dengan sangat enteng mengatakan, “Kejadian yang sangat mengherankan,
karena orangtuanya adalah gembala (pendeta) di Gorontalo.” Dengan imajinatif
pula mereka berkata bahwa kemungkinan perkawinan perempuan tersebut tak
direstui karena orangtuanya tak pernah menengok. Semakin seseorang tak peduli,
memang biasanya makin mudah pula ia menghakimi.
Masih sambil termangu-mangu, saya
membayangkan kalau saja para pemimpin jemaah dan pelayan di gereja tempatnya
beribadah mau sedikit menengokkan kepala mereka dari padatnya acara ibadah dan
perayaan pra natal pada beratnya beban yang ditanggung perempuan itu, bisa jadi
tidak akan ada dua bayi yang tercabut nyawanya. Seperti yang pernah saya muat
dalam tulisan saya sebelumnya, ibadah Natal (yang selalu diikuti dengan
perayaan dan makan-makan) di Manado dimulai sejak jauh hari. Mungkin para pemimpin
dan pelayan di gereja demikian sibuk membuat acara pohon terang yang penuh
sukaria, sehingga mereka terlalu lelah untuk memperhatikan seorang umat yang tersaruk-saruk
sendiri, dalam jalan kehidupannya yang penuh onak dan duri. Atau mungkin mereka
–bersama para jemaah lain- sudah silau dengan benderang pohon natal yang
dipasang di gereja dan tiap rumah, sehingga mereka kesulitan melihat
penderitaan seorang perempuan dengan mata fisik, terlebih mata batin. Jika
mata-mata tersebut tidak terlalu disilaukan oleh gemerlap pesta dan acara
belanja, bisa jadi tidak akan ada satu bayi yang masih hidup dan dua kakaknya
yang kehilangan sang ibu sementara ia meringkuk di bui.
Dan setelah semuanya itu, masih
berbaris kumpulan orang yang menganggap diri suci sehingga berani merebut peran
Sang Hakim Agung. Orang-orang yang membaca atau mendengar berita ini, yang
kemudian dengan demikian mudah melontarkan komentar segala rupa pada perempuan
pembunuh yang sesungguhnya malang tiada terperi itu. Perempuan ini pasti
jelmaan iblis, ia sama sekali tidak pantas jadi ibu, salah apa anak-anaknya
sampai punya ibu seperti itu, adalah beberapa di antara penghakiman tersebut. Terakhir,
hampir semua berkomentar, “Semoga ia dihukum seberat-beratnya!!!”. Namun
sesungguhnya, tanpa hukuman fisik apapun, ia telah terhukum oleh penyesalan
yang pasti mengikutinya sejak kini hingga nanti. Dan tanpa dikurung oleh terali
besi apapun, sesungguhnya ia telah terpenjara oleh beban dosa yang bisa jadi
akan mengungkungnya hingga mati. Dan hidup semacam itu bukanlah kehidupan lagi.
Maka sesungguhnya, ia pula telah mati pada saat ia membunuh kedua darah
dagingnya sendiri. Dan di balik kedua tangan yang ia gunakan untuk mencabut
nyawa anak-anaknya, ada suami yang tak punya hati nurani. Di balik bantal yang
ia bekapkan pada bayi-bayinya, yang telah membuatnya ikut mati, ada aparat
pemerintah tingkat kampung, orang-orang di sekitarnya, dan kaum agama yang
tidak peduli. Sesungguhnya, ia sama sekali tidak membunuh kedua bayinya seorang
diri.