Selasa, 30 April 2013

Alas Sembahyang Itu….

Tulisan ini mejadi Juara Favorit pilihan juri dalam lomba menulis bertema 'Tantangan Dalam Radikalisme Beragama' yang diselenggarakan oleh link di bawah ini. Terima kasih atas dukungannya. Tuhan memberkati....

http://www.provindo.org  
http://www.ihs.provindo.org
 

Namanya Mounir, penghuni terbaru rumah kos sebelah. Mengingat bahasa Inggris saya paling fasih seantero perumahan, maka saya banyak menemaninya dan membantu sebisanya. Datang dari sebuah negara di Jazirah Arab, wajar bila ia sepenuhnya Islam, baik sebagai tuntunan hidup maupun cara pandang secara keseluruhan. Tapi saya perhatikan, setiap kali sembahyang ia selalu meminjam sajadah penghuni kamar sebelah. Ia memang hanya tinggal selama sekitar 3 minggu di Indonesia dalam rangka riset dan cuma membawa sebuah koper kecil yang sarat buku dan berbagai berkas. Konsekuensinya, ia kerepotan sekaligus merepotkan si empunya sajadah. Maka sayapun memberinya satu di antara sekian banyak sajadah koleksi Bapak. 

Mounir menerima dengan terperanjat. Fakta bahwa saya adalah orang Kristen dengan Bapak Muslim sempat membuatnya terkejut. Kini ia kian terkejut karena bukannya syiar soal keunggulan agama sendiri yang lebih rasional karena tidak perlu alas apapun untuk berdoa, misalnya, saya justru membantunya beribadah sesuai cara yang ia yakini. Saya terharu dan berkata, bahwa menghormati kepercayaan dan hak beribadah orang lain juga merupakan bentuk syiar agama. Saya katakan pula bahwa tiap-tiap agama punya kebaikan, keindahan, serta perbedaannya masing-masing. Di sini kita hanya punya dua pilihan: menghargai perbedaan yang mengajarkan kita banyak hal, di antaranya merendahkan diri dan menekan ego. Atau memertentangkannya seakan kita yang paling hebat dan akan memberi kita peluang tak terbatas untuk merendahkan yang lain. Kalau perlu sampai taraf membenci dan membantai atas nama Tuhan.
Itulah awal mula segala dialog lintas agama kami yang intens. Dengan jujur Mounir mengakui bahwa orang-orang Kristen yang ia ketahui selama ini, hanyalah sebatas berita negatif tentang masyarakat Barat yang identik dengan kekristenan dan phobia pada Islam dengan segala aspeknya. Saya jadi teringat cerita teman saya yang beberapa waktu sebelumnya kedatangan kenalannya dari Eropa. Teman bule tersebut mendapatkan pelayanan terbaik, baik dari keluarga maupun teman-temannya yang sebagian besar Muslim. Lalu teman saya tercengang ketika si bule berkata, bahwa ternyata orang-orang Islam baik-baik dan sama sekali tidak seperti yang ia kira. Ia tumbuh besar di Norwegia dengan orang tua dan lingkungan yang mengatakan hal yang tidak-tidak tentang umat Islam. Begitu juga media massa yang cenderung distorsif dan berat sebelah dalam pemberitaan mengenai Islam. Dan ia menelan mentah-mentah semua kebohongan kolektif mengenai umat Islam, yang belum pernah dikenalnya hingga menginjakkan kaki di Indonesia.
Sungguh ironis. Kemajuan jaman dan kecanggihan tegnologi mustinya seiring pula dengan cara serta kemampuan kita memahami orang lain. Namun sebaliknya, sebagian manusia justru lebih suka menggunakan tekhnologi pemberitaan dan komunikasi demi membangun jurang pemisah, dengan kebencian dan prasangka sebagai alasnya. Inilah paradoksnya: otak semakin tajam dengan segala pencapaian teknologi dan hati kian tumpul sebagai hasilnya. Hal ini bagaikan tumpukan jerami kering. Kita bisa menjadikannya bermanfaat dengan bermacam cara: sebagai pakan ternak, atap rumah, kerajinan tangan, dan apapun. Atau kita bisa membakarnya lalu meniupkan angin sehingga ia dengan cepat membesar dan membakar apapun di sekelilingnya. Demikian pula dengan perbedaan keyakinan dan iman. Kita bisa menjadikannya sarana untuk belajar memahami orang lain, mencerdaskan hati dan spiritualitas, membangun kehidupan yang lebih baik, dan sebagainya sesuai keinginan hati yang bersih. Atau kita bisa menyalakannya dengan api radikalisme kemudian meniupkan kebencian secukupnya, sehingga menghabisi apapun yang ada di sekelilingnya. Sebab seperti jerami kering yang butuh waktu singkat untuk membesarkan api, demikian pula perbedaan iman yang diselimuti radikalisme. Atas dasar inilah pertikaian dan pembantaian antar manusia atas nama Kitab Suci, Nabi, madzab, dan Tuhan, tetap bertahan dan semakin runcing tiap waktunya. Dan manusia-manusia sempit hati serta pikiran yang menganggap radikalisme agama sebagai wujud cinta kepada Tuhan, yang menyulut perbedaan dengan prasangka serta kebencian ini, berhasil mengelabui tak terhitung manusia di Indonesia atau di luaran sana, termasuk teman saya dari Arab dan orang Eropa di atas.
Saya hanyalah ibu rumah tangga yang kebanyakan melewatkan hari terkurung oleh empat tembok. Tetapi saya tahu, di balik empat tembok tersebut ada dunia maha luas yang kepayahan melawan tantangan zaman dengan segala paradoksnya. Dan saya percaya, masing-masing dari kita punya kewajiban melakukan apapun yang kita bisa untuk mengurangi letih-lelah si tua bola dunia. Tidak tahu dengan anda, namun saya melakukannya dengan merilis berbagai tulisan  pemahaman lintas agama. Atau dengan relasi harmonis bersama saudara atau kenalan lain iman. Atau sehelai alas sembahyang bagi teman beda agama yang membutuhkan. Sebab seperti yang Mounir katakan, selamanya ia akan menyimpan sajadah itu. Ia akan menggunakannya sebagai bukti saat pulang ke tanah air dan bercerita pada semua orang yang ia kenal, bahwa orang Kristen ternyata sama sekali tidak seperti apa yang mereka dengar dari berita.
Alas sembahyang itu membantu Mounir menyebarkan kisah tentang perdamaian dan rasa menghargai yang indah. Alas sembahyang itu, semoga membuat dunia lebih baik….

……………………..




3 komentar:

  1. Lagi lagi terharu, Mbak May memang juara! Sejuk deh kalau pemahaman ini bisa disebar dan dibagikan. Mudah-mudahan hati kita semakin luas dan lapang ya Mbak May, dan ini yang akan kita bagikan kepada sesama. Nggak cuma pikiran sempit dan picik dan telaah kitab suci secara mentah maupun harafiah yang menjadikan kita ahli penerjemah kitab suci paling wahid dan paling yahud. Ngeri kalau dibayangin! Apalagi orang-orang yang melakukan ini adalah orang-orang yang memiliki suara, orang yang mampu menyebarluaskan faham yang dimilikinya degan mudah, dan orang-orang pun jatuh percaya *duhhh tepok jidat*. Semoga kita yang suaranya kecil ini (kata Mbak May, "lo aja kaleeee, gue sich nggaaa") mampu menggaungkan pesan kedamaian ini secara lebih luas dan lebih sporadis yaaaa :D

    BalasHapus
  2. btw, kaitan logo dan artikelnya apa ya Mbak?

    BalasHapus
  3. Eh, baru tau kalau Lomie ada di sini:). Habis belakangan jaringan eror, jadi susye bukanya. Dibilang juara kita jadi jumawa nih, alias juara makan di warung. Hihihi.... basi.
    Setuju, deh, sama Lomie. Pemahaman macam itu musti disebar luaskan dalam segala kapasitas yang kita punya. Sebagai penulis ya sebarkan lewat tulisan-tulisan. Sebagai lain-lainnya ya sebarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya hari demi hari sudah memberikan kita kesempatan untuk membagikan hal ini, tergantung kita aja mau memanfaatkan atau enggak. Orang-orang berpikiran sempit harus ditangkal dengan cara apapun, kalau enggak makin besar kepala mereka.
    Soal logo, ini tulisan kan Mbak May ikutkan ke lomba menulis dengan tema agama dan kehidupan sehari-hari dan yang gitu-gitu, deh. Mumpung topiknya seksi dan sesuai dengan interesan, ya diikutkan aja sekalian. Mbak May ada beberapa info lomba nulis. Mau? Tinggal pilih aja yang topiknya disenangi.

    BalasHapus