http://www.ihs.provindo.org
Namanya Mounir, penghuni terbaru rumah kos sebelah. Mengingat
bahasa Inggris saya paling fasih seantero perumahan, maka saya banyak menemaninya
dan membantu sebisanya. Datang dari sebuah negara di Jazirah Arab, wajar bila ia
sepenuhnya Islam, baik sebagai tuntunan hidup maupun cara pandang secara
keseluruhan. Tapi saya perhatikan, setiap kali sembahyang ia selalu meminjam
sajadah penghuni kamar sebelah. Ia memang hanya tinggal selama sekitar 3 minggu
di Indonesia dalam rangka riset dan cuma membawa sebuah koper kecil yang sarat
buku dan berbagai berkas. Konsekuensinya, ia kerepotan sekaligus merepotkan si
empunya sajadah. Maka sayapun memberinya satu di antara sekian banyak sajadah koleksi
Bapak.
Mounir menerima dengan terperanjat. Fakta bahwa saya adalah orang
Kristen dengan Bapak Muslim sempat membuatnya terkejut. Kini ia kian terkejut
karena bukannya syiar soal keunggulan agama sendiri yang lebih rasional karena
tidak perlu alas apapun untuk berdoa, misalnya, saya justru membantunya
beribadah sesuai cara yang ia yakini. Saya terharu dan berkata, bahwa
menghormati kepercayaan dan hak beribadah orang lain juga merupakan bentuk syiar
agama. Saya katakan pula bahwa tiap-tiap agama punya kebaikan, keindahan, serta
perbedaannya masing-masing. Di sini kita hanya punya dua pilihan: menghargai
perbedaan yang mengajarkan kita banyak hal, di antaranya merendahkan diri dan
menekan ego. Atau memertentangkannya seakan kita yang paling hebat dan akan
memberi kita peluang tak terbatas untuk merendahkan yang lain. Kalau perlu
sampai taraf membenci dan membantai atas nama Tuhan.
Itulah awal mula segala dialog lintas
agama kami yang intens. Dengan jujur Mounir mengakui bahwa orang-orang Kristen
yang ia ketahui selama ini, hanyalah sebatas berita negatif tentang masyarakat Barat
yang identik dengan kekristenan dan phobia pada Islam dengan segala aspeknya. Saya
jadi teringat cerita teman saya yang beberapa waktu sebelumnya kedatangan kenalannya
dari Eropa. Teman bule tersebut mendapatkan pelayanan terbaik, baik dari
keluarga maupun teman-temannya yang sebagian besar Muslim. Lalu teman saya
tercengang ketika si bule berkata, bahwa ternyata orang-orang Islam baik-baik
dan sama sekali tidak seperti yang ia kira. Ia tumbuh besar di Norwegia dengan
orang tua dan lingkungan yang mengatakan hal yang tidak-tidak tentang umat
Islam. Begitu juga media massa yang cenderung distorsif dan berat sebelah dalam
pemberitaan mengenai Islam. Dan ia menelan mentah-mentah semua kebohongan kolektif
mengenai umat Islam, yang belum pernah dikenalnya hingga menginjakkan kaki di
Indonesia.
Sungguh ironis. Kemajuan jaman dan
kecanggihan tegnologi mustinya seiring pula dengan cara serta kemampuan kita
memahami orang lain. Namun sebaliknya, sebagian manusia justru lebih suka menggunakan
tekhnologi pemberitaan dan komunikasi demi membangun jurang pemisah, dengan
kebencian dan prasangka sebagai alasnya. Inilah paradoksnya: otak semakin tajam
dengan segala pencapaian teknologi dan hati kian tumpul sebagai hasilnya. Hal
ini bagaikan tumpukan jerami kering. Kita bisa menjadikannya bermanfaat dengan
bermacam cara: sebagai pakan ternak, atap rumah, kerajinan tangan, dan apapun.
Atau kita bisa membakarnya lalu meniupkan angin sehingga ia dengan cepat
membesar dan membakar apapun di sekelilingnya. Demikian pula dengan perbedaan
keyakinan dan iman. Kita bisa menjadikannya sarana untuk belajar memahami orang
lain, mencerdaskan hati dan spiritualitas, membangun kehidupan yang lebih baik,
dan sebagainya sesuai keinginan hati yang bersih. Atau kita bisa menyalakannya
dengan api radikalisme kemudian meniupkan kebencian secukupnya, sehingga
menghabisi apapun yang ada di sekelilingnya. Sebab seperti jerami kering yang
butuh waktu singkat untuk membesarkan api, demikian pula perbedaan iman yang diselimuti
radikalisme. Atas dasar inilah pertikaian dan pembantaian antar manusia atas
nama Kitab Suci, Nabi, madzab, dan Tuhan, tetap bertahan dan semakin runcing tiap
waktunya. Dan manusia-manusia sempit hati serta pikiran yang menganggap
radikalisme agama sebagai wujud cinta kepada Tuhan, yang menyulut perbedaan
dengan prasangka serta kebencian ini, berhasil mengelabui tak terhitung manusia
di Indonesia atau di luaran sana, termasuk teman saya dari Arab dan orang Eropa
di atas.
Saya hanyalah ibu rumah tangga yang
kebanyakan melewatkan hari terkurung oleh empat tembok. Tetapi saya tahu, di
balik empat tembok tersebut ada dunia maha luas yang kepayahan melawan
tantangan zaman dengan segala paradoksnya. Dan saya percaya, masing-masing dari
kita punya kewajiban melakukan apapun yang kita bisa untuk mengurangi letih-lelah
si tua bola dunia. Tidak tahu dengan anda, namun saya melakukannya dengan merilis
berbagai tulisan pemahaman lintas agama.
Atau dengan relasi harmonis bersama saudara atau kenalan lain iman. Atau
sehelai alas sembahyang bagi teman beda agama yang membutuhkan. Sebab seperti
yang Mounir katakan, selamanya ia akan menyimpan sajadah itu. Ia akan
menggunakannya sebagai bukti saat pulang ke tanah air dan bercerita pada semua
orang yang ia kenal, bahwa orang Kristen ternyata sama sekali tidak seperti apa
yang mereka dengar dari berita.
Alas sembahyang itu membantu Mounir menyebarkan kisah tentang
perdamaian dan rasa menghargai yang indah. Alas sembahyang itu, semoga membuat
dunia lebih baik….
……………………..
Lagi lagi terharu, Mbak May memang juara! Sejuk deh kalau pemahaman ini bisa disebar dan dibagikan. Mudah-mudahan hati kita semakin luas dan lapang ya Mbak May, dan ini yang akan kita bagikan kepada sesama. Nggak cuma pikiran sempit dan picik dan telaah kitab suci secara mentah maupun harafiah yang menjadikan kita ahli penerjemah kitab suci paling wahid dan paling yahud. Ngeri kalau dibayangin! Apalagi orang-orang yang melakukan ini adalah orang-orang yang memiliki suara, orang yang mampu menyebarluaskan faham yang dimilikinya degan mudah, dan orang-orang pun jatuh percaya *duhhh tepok jidat*. Semoga kita yang suaranya kecil ini (kata Mbak May, "lo aja kaleeee, gue sich nggaaa") mampu menggaungkan pesan kedamaian ini secara lebih luas dan lebih sporadis yaaaa :D
BalasHapusbtw, kaitan logo dan artikelnya apa ya Mbak?
BalasHapusEh, baru tau kalau Lomie ada di sini:). Habis belakangan jaringan eror, jadi susye bukanya. Dibilang juara kita jadi jumawa nih, alias juara makan di warung. Hihihi.... basi.
BalasHapusSetuju, deh, sama Lomie. Pemahaman macam itu musti disebar luaskan dalam segala kapasitas yang kita punya. Sebagai penulis ya sebarkan lewat tulisan-tulisan. Sebagai lain-lainnya ya sebarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya hari demi hari sudah memberikan kita kesempatan untuk membagikan hal ini, tergantung kita aja mau memanfaatkan atau enggak. Orang-orang berpikiran sempit harus ditangkal dengan cara apapun, kalau enggak makin besar kepala mereka.
Soal logo, ini tulisan kan Mbak May ikutkan ke lomba menulis dengan tema agama dan kehidupan sehari-hari dan yang gitu-gitu, deh. Mumpung topiknya seksi dan sesuai dengan interesan, ya diikutkan aja sekalian. Mbak May ada beberapa info lomba nulis. Mau? Tinggal pilih aja yang topiknya disenangi.