“Secara
pribadi, saya tidak pernah menyukai kontes-kontes kecantikan semacam Miss World
itu. Saya tidak suka melihat perempuan-perempuan dipajang dan bersaing untuk
mendapatkan mahkota atas dasar kecantikan fisik. Bukankah kecantikan fisik itu
hanya semata seleksi alam yang acak? Bukan merupakan suatu prestasi. Walaupun
dikatakan bahwa para kontestan juga dinilai kecerdasannya, tapi ya namanya kontes kecantikan, percaya deh, yang bopeng, juling,
pengkor, sumbing walaupun sangat cerdas tak akan pernah diikutkan. Dulu saya
bahkan sempat secara akftif terlibat dalam organisasi pendidikan yang mencoba
meniadakan kontes kecantikan untuk anak-anak di bawah umur (pageant), karena
kami menilai kontes semacam ini memberi teladan citra diri yang salah kepada
anak-anak perempuan pra-remaja.”
Bagus
tidak pendapat di atas? Menurut saya sangat bagus, dan pastinya hanya bisa
keluar dari kepala seseorang yang punya otak pintar. Well, kalau anda menduga
saya hendak bernarsis ria di sini dan bilang bahwa itu adalah buah pikir saya
nan pintar, maka anda salah besar. Karena itu hanya saya kutip dari teman FB
saya, Sekar Suket, perempuan muda cerdas nan berwajah manis dan kulit gelapnya
bikin saya iri setengah mati. Saya tidak mau bicara macam-macam di sini. Saya juga
tidak mau mengomentari FPI dkk yang katanya siap mati demi menggagalkan Miss
Word di Indonesia, yang mana sangat saya dukung ASALKAN mereka MATI BENERAN :).
Saya hanya ingin bicara soal kecantikan saja. Kecantikan menurut saya, yang
bisa jadi berbeda dengan kecantikan menurut anda.
Baiklah,
saya akan memulainya dari kecantikan saya dan saudara-saudara kandung saya. Saya
adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara perempuan semua. Kakak saya yang
pertama, Mbak Na, sama sekali tidak cantik secara fisik (yah, namanya anak
pertama, jadi wajar kalau emak dan bapak belum begitu mahir ketika itu :)).
Herannya dulu yang naksir Mbak Na banyak sekali. Setelah saya pikir-pikir, bisa
jadi itu karena ia punya sex appeal yang tersembunyi namun sebaliknya terpancar
kuat secara senyap. Kakak kedua saya, Mbak Anta, adalah yang paling cantik
(setidaknya waktu masih muda). Dengan tinggi 170 cm lebih, pipi putih kemerahan
bagai apel, rambut bergelombang coklat dan bola mata kecokelatan, hidung
mancung, dan kaki putih panjang indah, dia pasti bisa jadi Miss World kalau
saja dia mau repot dandan. Kakak ketiga, Mbak Didit, yang juga bertinggi 170
cm, punya wajah yang nJawani dan sangaaaat…..manis. Di dekatnya saya sering
merasa bagai gembel belaka. Adik saya persis, Deasy, wajahnya adalah wajah Mbak
Didit dan si gembel dioplos jadi satu, sehingga jelas ia lebih cakep daripada
saya. Anak nomer 6, Dik Pita, tidak begitu cantik tapi sangat imut bagai
kelinci. Tubuhnya ramping dan baju apapun yang dipakainya selalu tampak keren,
dan saya –bahkan setelah 30 tahun lebih jadi kakaknya- masih sering mencuri
pandang karena wajah kelincinya tak pernah membosankan untuk dilihat. Adik
paling kecil, Dadek, walaupun bodinya mirip body guardwati dan paling sering
diledekin karena item, tapi matanya belok dan manis luar biasa. Menurut Abel
anak sulung saya, si bungsu inilah yang paling cantik diantara kami bertujuh. Saya? Yaaah, kalau anda cermat membaca
deskripsi di atas, maka anda akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa Yuanita
Maya adalah produk yang tercetak dari gen resesif, belum terhitung badan saya
yang kecil dengan dada dan pantat rata. Pokoknya dari segala arah nggak ada
seksi-seksinya. Hihihi. Posisi underdog itu dilengkapi oleh fakta bahwa
saudara-saudara sepupu saya juga cantik-cantik. Tapi Abel sebagai anak berbakti
suka menghibur,”Tenang saja, Ma. Kan masih ada Budhe Mbak Na.” :).
Dengan
latar belakang seperti itu, akan sangat wajar bila saya tumbuh menjadi cewek
minderan yang bersembunyi penuh rasa tertekan di balik bayang-bayang kecantikan
perempuan-perempuan di keluarga besar Soeparnen Kartokoesoemo-Poppy Trouerbach,
Jawa bangsawan yang tampan tinggi besar dan istrinya, cikal bakal segala
keindahan fisik emak saya dan saudara-saudaranya serta segala anak keturunan
mereka. Nyatanya tidak. Saya tetap berseri-seri penuh percaya diri, dan tumbuh
besar menghabiskan waktu menggebet cowok di sana-sini. Jangan salahkan saya,
dan jangan tuduh pula saya tak bermoral. Kalau anda hidup dikerubuti dan
diperebutkan lawan jenis sepanjang waktu sejak remaja, maka anda akan mudah memahami
prinsip saya yang sederhana: “Bego aja kalau dianggurin.”:)
Pertanyaannya:
kenapa cowok-cowok itu sudi amat buang-buang waktu baku rampas demi Yuanita
Maya si gen resesif? Apakah cowok-cowok itu pada buta? Jawabannya bisa begini:
karena walaupun gen resesif, tapi untuk ukuran umum si gembel ini masih bisa
dibilang di atas rata-rata. Baiklah kalau demikian, ini bantahannya: logikanya cowok-cowok
itu langsung berubah pikiran begitu datang ke rumah dan melihat
saudara-saudaranya yang jauh lebih cantik. Ternyata tidak. Ternyata cowok-cowok
yang tidak buta itu tetap baku rampas memerebutkan si gen resesif dengan penuh
semangat. Kalau demikian, berarti ada rahasia yang tersembunyi di balik segala
kegembelan Yuanita Maya. Ya, memang demikian adanya. Dan rahasia itu ternyata
tidak canggih-canggih amat. Ini dia:
1.
Divi, adik
sepupu saya yang tinggi, cantik, putih, lucu banget dan kalau melawak sangat
kartun, seksi, berkaki panjang dan berjari-jemari lentik pernah berkata,”Kalau
aku jadi cowok, aku lebih pilih Mbak May ketimbang Mbak Anta. Soalnya mata Mbak
May sangat cerdas.” Bukan berarti Mbak Anta bodoh, tapi di sini saya dapat
kesimpulan: kecantikan tidak selalu berkaitan dengan segala kaki, wajah, dada,
bokong, dan sebagainya. Mata saya sipit dan bentuknya aneh, en toch dari mata
yang enggak banget itu diam-diam terpancar sejenis kecantikan lain, yakni binar
kecerdasan.
2. Saya
adalah pribadi apa adanya. Pernah suatu hari saya nongkrong dengan teman-teman
cowok di pub habis main bowling. Di situ datanglah cowok lain, teman seorang
teman, dan ikut nimbrung. Terus dia bikin-bikin lelucon, yang sayangnya tidak ada
satupun yang lucu. Sementara yang lain tertawa garing atas nama sopan santun,
saya tetap hambar dengan tatapan bosan yang nanar. Si pelawak gagal bukannya
nyadar, malah bilang begini,”May dari tadi nggak ketawa pasti nggak paham, deh.”
Idih! Saya balas,”Iya, aku nggak paham kenapa yang lain pada ketawa padahal
leluconmu nggak ada yang lucu sama sekali.” Teman-teman dekat saya
terpingkal-pingkal saat itu juga seakan ingin melepaskan tekanan mental J. Dan tebaklah,
ternyata pelawak nan malang itu kena panah si Cupid, dan mepetin saya dengan
giat selama tiga bulan berikutnya. Dia bilang, intinya, baru sekali itu dia ketemu
perempuan yang outspoken, yang membuat saya jadi sangat cantik di matanya. Namun
usahanya gagal total, dan ketika ia mendesak kenapa saya menolaknya, saya
bilang,”Gila aja pacaran sama cowok nggak lucu!” :).
3. Saya
anti menjadi mahluk generik.
Pernah anda amati
tidak, bahwa secara umum perempuan Indonesia itu tampak sama? Kalau sedang model alis
dicukur melengkung tinggi yang bakal membuat si empunya alis senantiasa tampak
terkejut, maka dalam sekejap anda akan menemukan perempuan-perempuan berwajah
terkejut di mana-mana. Ketika lagi trend sepatu berhak tebal bagai Tembok Cina,
mendadak di tiap sudut kota bermunculanlah perempuan yang berjalan sambil
menyeret salah satu keajaiban dunia. Saya pernah melihat teman FB saya meng-up
load fotonya saat sedang nongkrong bersama teman-teman ceweknya di kafe atau
manalah. Dan percayalah, Saudara, semua tampak sama! Baik model rambutnya,
alisnya, bentuk sapuan eyeshadownya, warna wajahnya (kemungkinan besar
ditemplokin krim dengan merek yang sama), termasuk model baju, tas, dan sepatu
yang pada mirip. Sulit untuk percaya bahwa mereka bukan anak kembar. Saya? Alis
saya tetap gondrong dan bentuknya turun seperti 35 tahun lalu, bebas dari alat
cukur, alat tato, sulam, obras, dan sebagainya. Baju saya tetap yang itu-itu
saja (ada baju jaman kuliah yang masih saya pakai sampai saat ini). Butik favorit
saya tetap RB (los yang jual baju-baju bekas), sebab barang bekas selain nyaman
dipakai juga tidak ada yang menyamai. Menurut perhitungan saya, itulah yang
membuat cowok-cowok itu pada suka karena mereka melihat sesuatu yang lain pada
diri saya. Well, sebenarnya saya masih punya banyak hal untuk dipaparkan di
sini sebagai bukti bahwa saya ini cantik walaupun tampang saya sangat standart.
Tapi berhubung saya tak mau dibilang narsis, maka yang tiga di atas cukuplah
sudah.
Bukannya saya ini Hakim Nan Agung
dengan hak istimewa menghakimi, namun bukankah Tuhan menciptakan tiap mahluk
berbeda? Bukankah tidak ada satu manusiapun yang punya sidik jari sama? Bukankah
Tuhan sudah penuh semangat menganugerahi tiap ciptaan-Nya dengan keunikan
masing-masing yang tiada dua? Lalu
mengapa mahluk-mahluk ciptaan ini justru membongkar hukum alam dan menihilkan
kreatifitas Tuhan, dengan cara menyama-nyamakan diri satu dengan lainnya? Itulah
yang membuat saya tidak habis pikir. Sampai berkerut saya bertanya-tanya
mengapa ada tak terhitung keturunan Hawa yang rela menghamburkan jutaan rupiah
hanya untuk menjadi seragam, saya tak pernah menemukan jawabannya. Perempuan-perempuan
seperti itu bagi saya tidak ubahnya rumah BTN, yang dari satu blok ke blok
lainnya sama model dan kualitas, dengan nomor rumah sebagai satu-satunya
pembeda. Tidak pernah saya berhenti heran, mengapa ada perempuan yang mau-maunya
jadi ‘rumah BTN’, padahal dari awal Tuhan sudah menjadikannya ‘rumah mewah’
yang istimewa. Dan dari awal Tuhan sudah menciptakan Indonesia dengan tak terhitung ragam, demikian pula kaum perempuan Indonesia. Lalu mengapa keragaman ini justru dihapus secara sadar justru oleh perempuan-perempuan Indonesia sendiri?
Benar kata Sekar di atas, bahwa
kecantikan wajah dan tubuh adalah seleksi alam secara acak (kecuali kalau pola
acak itu kemudian diacak-acak di atas meja operasi plastik). Sama sekali tak
ada yang perlu dibanggakan di sini. Sebaliknya yang perlu dilakukan adalah
mensyukuri kecantikan di atas standart yang secara acak telah Ia berikan. Lalu
apanya yang perlu dikonteskan? Itulah yang kiranya luput diperhatikan para penggelar
kontes itu. Semestinya penerima gelar Miss World dari tahun ke tahun adalah
Tuhan, karena Ia begitu hebat bisa mengukir berbagai wajah yang membuat kita
terperangah saking indahnya. Tapi apa serunya bikin kontes dengan pemenang yang
sama dari waktu ke waktu? Lagipula Tuhan bukanlah Pribadi kurang kerjaan yang
mau turun ke dunia menerima piala dan sejumlah uang, lalu tersenyum manis
dibawah ratusan cahaya blitz, untuk kemudian menerima berjibun tawaran jadi
model iklan dan sebagainya. Tuhan masih punya banyak kerjaan yang jauh lebih
penting. Kalau demikian, lebih baik anugerah Miss World itu diberikan pada para
perancang dan penjahit busana para peserta kontes, serta para juru make up
mereka. Bukankah para peserta yang sudah cantik dari sononya itu jadi makin
cantik karena jasa mereka? Dan kalau kontes semacam ini dianggap kurang seksi, ya sudah tak usah bikin kontes kecantikan. Toh keragaman perempuan Indonesia adalah kontes sehari-hari yang jauh lebih unik dan orisinil. Tentu saja itu baru bisa terjadi kalau perempuan Indonesia sadar bahwa dirinya bukan rumah BTN (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah
tangga).
hihihi....
BalasHapuskalau saya sich.....
menilai apa yang dilakukan oleh orang orang yang menolak Miss World, dan orang-orang yang berusaha membelanya mati-matian adalah lebay. hahaha. Ya, lebay.
tiap tahun juga kejadian hal yang sama, dan tiap tahun pula perdebatan semacam ini terjadi. Belum lagi ada Miss Universe, Miss World, Miss Earth, Miss Globe, Miss Multi-Continent, Miss Planet, Miss Galaxy, dan Miss-Miss yang lainnya.
Entah apakah ini semacam konspirasi untuk menaikkan pamor Miss World, apa memang masyarakat kita yang kurang kerjaan membuat sensasi untuk segala sesuatunya yang sebenarnya nggak perlu dibikin sensasi juga.
Saya sendiri nggak nonton Miss World dan malas ngikutinnya karena menurut saya nggak penting penting amat juga buat diikutin. Mau mereka pakai bikini one piece, two pieces, three pieces, four pieces, five pieces atau banyak pieces hingga no pieces alias telanjang bulat juga nggak ngefek sama sekali kecuali otaknya emang sudah kotor kayak jamban jaman dulu.
Tapi saya setuju koq dengan kenarsisan Mbakyuku ini. Setujuh bener, kalau smart, kecantikan itu akan mengalir dengan sendirinya tanpa perlu diminta. Yes, you're beautiful Mbak May. hehehe.
Masyarakat kita semakin kesini sudah saatnya semakin dewasa dalam bersikap. Bukan juga lantas menjadi apatis sich, namun sebaiknya memang bisa memilah-milah. Contoh sederhana ya berkaitan dengan Miss World, dilaksanakan di Bali, ya silahkan kalau memang bisa mendongkrak pariwisata Bali. Namun rasanya juga, nggak perlu sebegitu ngototnya sama pihak-pihak yang kontra kalau sampai nggak jadi terlaksana. Di sisi lain, Miss World nggak akan merusak moral generasi bangsa ini koq. Takut banget sich moralnya rusak? Jadi makin rusak atau baru aja mau rusak? Kalau mau rusak sich medianya banyak. Nggak usah jauh-jauh, warung internet cuma Rp 4,000 sejam, vcd bajakan cuma Rp 5,000 sekeping atau lebih ekstrim lagi, internet kuota sehari cuma Rp 1,000 di smartphone untuk kuota 5-10 Mb. Mau rusak atau mau jadi bener, itu sih tinggal pilihan saja.
Tahu tidak, saya menulis posting ini, saya berusaha setengah mati untuk tetap terkesan rendah hati. Ternyata hasilnya tetap narsis. Hahaha. Setuju sekali bahwa segala kontes wajah maupun otot tidak akan meruntuhkan sendi-sendi moral, asalkan moral itu sudah kuat dari sananya. Kelihatannya Si Bibib pada akhirnya juga sepakat dengan hal ini, sih. Soalnya di awal-awal Bibib teriak-teriak mau nyebarin kecoa, mau bikin kericuhan, bahkan hendak mengajak berperang. Ternyata Bibib malah nonton Miss World sambil makan Kacang Garuda. Hahaha.
BalasHapusEniwe, saya sempat lihat Miss World sepintas waktu tayangannya muncul di berita. Yang bikin terharu adalah cewek-cewek aduhai dengan kaki dan lengan yang bikin sirik itu pada pakai busana daerah dari seluruh Nusantara (mungkin enggak seluruh kali ya, soalnya bisa jadi jumlah pesertanya jauh lebih sedikit daripada khazanah baju daerah kita). Saya sedikit terpaku melihat tubuh-tubuh cantik itu dibalut kecantikan kain dan ragam busana daerah kita, yang masing-masingnya pasti merupakan simbol dari filosofi tiap etnis di Nusantara. Ya, nenek moyang kita yang cerdas itu bikin baju saja memikirkan makna filosofis. Mereka menyelipkan endapan pemikiran akan makna hidup dalam tiap helai kain yang membelit tubuh mereka. Berbeda sekali dengan anak keturunannya sekarang, yang memandang segala ketubuhan dari nilai materialnya saja.
Hanya saja menurut saja ketika kecantikan yang bersifat given itu dipertandingkan, maka unsur fairness sudah hilang sejak awal.
Oh ya, saya malah nggak pernah dengar soal Miss Galaxy. Semacam pertandingan hasil karya Tuhan macam Miss World begitu, ya? Kalau Miss World menandingkan kecantikan perempuan seluruh dunia, terus kalau Miss Galaxy memertandingkan kontes perempuan antar galaksi, gitu? Pasti repot banget penjuriannya, karena juri antar galaksi pasti memilih perwakilan dari galaksinya masing-masing. Untuk itu merekapun butuh juri netral yakni Tuhan. Hihihi.
BalasHapusEh iya, makasih ya sudah mengatakan saya cantik. Jadi pengen malu, hihihi.
satu hal wahai kakak.. situ toh pernah jadi kormod alias korban mode saat lagi booming kartun sincan.
BalasHapusinget nggak pas lagi mau keluar kota, bingung setengah mati soalnya gak ada yg bikinin alis urek2. walhasil aku -dadek- membuat alis seindah-indahnya dan mba may berjanji untuk tidak sekali-kali membasuh wajah during your vacancy.
dan ooplaaaaa.. pas pulang aku terbengong-bengong liat itu alis sudah berubah bentuk yg tadinya mlirit indah bak bulan sabit sekarang berbentuk ulat bulu persis alis sincan.
alasannya: "aku rak memperkirakan nek pas turu bakal kebusek, tur meneh aku mung ngandeli sesuai alur pensil sing wes mbok gambar kok"
aku sih cuman mahfum dan mbatin "adik-selalu salah-tempat dimana bisa menaruh kesalahan-kakak-selalu benar"
dan sekarang satu hal saja; Mba May Tjen Soe The Nan
X))
Bocah ireng ora duwe rasa trima kasih! Apa hakmu mencemarkan nama baik kakakmu nan indah permai ini sedangkan di atas kau sudah kupuji-puja manis banget dan sebagainya???!!!! Tapi rak pa-pa dhing, setidaknya aku terbahak-bahak membaca keluh-kesah gusarmu, Dhek, ra ketang aku yakin bahwa kisahmu di atas adalah fitnah semata. Sak kelinganku justru kau yang pernah menjadi korban tanganku yang berbakat, dimana suatu hari alismu tak kerok terus plenthas a.k.a botak di tengah-tengah persis. Kelingan, rak? Waktu itu kau masih SMA atau SMP, dan aku ingat betul ekspresi wajahmu yang susah-payah menahan tangis. Lalu kau mengata-ngataiku sambil menghentak-hentakkan kaki, sementara aku menghujanimu dengan rentetan permintaan maaf yang kiranya tak jujur karena kuucapkan sambil tertawa berdera-derai. Njuk sesuk-sesuke aku setengah mati menderita menahan tawa karena setiap berangkat ke sekolah, alismu yang botak tengah itu KAU UREK-UREK PAKAI SPIDOL HITAM. Kelingan to saiki? Jadi ya aku maklumlah nek koe saiki ngarang crita fitnah di atas untuk membalas dendammu yang mengristal itu. CUIH!
BalasHapusOh, satu hal juga, Dhek: Kho We Lu Wih Ah Chu *tertawa iblis*
BalasHapus