Kamis, 19 September 2013

Sarintan dan Engkong-Engkong Selanjutnya

Biarpun sering menang lomba nulis dan debat serta jagoan lagipula pintar dalam bikin analisa, tapi saya ini dungu luar biasa dalam urusan matematika. Entah berapa kali saya gonta-ganti guru les, dan tidak ada satupun yang tak mengundurkan diri karena frustrasi. Saya tidak menyalahkan mereka, karena siapa sih yang tahan menghadapi keledai berlama-lama? J. Sejak SMP, nilai saya di raport semester ganjil selalu lima, itupun KATROLAN, karena ulangan-ulangan harian saya tak pernah mendapat nilai lebih dari empat. Kalau di raport kenaikan kelas saya dapat nilai enam, itu berarti katrolannya lebih dahsyat lagi. Hingga pada suatu hari waktu kelas III SMP, guru matematika saya cuti melahirkan, dan digantikan oleh guru sepuh (lanjut usia) yang mengajar di kelas lain. Dan kehadiran Pak Sarno –yang lebih sering dipanggil Engkong- membuat sejarah hidup saya berubah total, yakni untuk pertama kalinya raport bayangan saya dapat nilai TUJUH HASIL USAHA SENDIRI DAN SAMA SEKALI BUKAN KATROLAN!!! Ini kemungkinan besar karena beliau sangat lucu, sabar, luar biasa baik hati, dan ekspresi serta gerak-geriknya mengingatkan saya pada Bocah Tua Nakal di Dragon Ball. Engkong punya kebiasaan bawa-bawa gembor penyiram bunga tiap jam istirahat. Hobi ini membuat Engkong dihindari murid-murid cewek, karena kalau ada yang berani mendekat pasti dipaksanya untuk membantu menyiram bunga-bunga di halaman dan teras sekolah. Engkong juga suka menraktir murid-murid cewek (biasanya yang manja, ribut, dan banyak mulut, termasuk saya) dan kami biasa bergantian menraktirnya juga. Kalau saya lemot, Engkong biasanya bilang gini,”Lhoooo….ayu-ayu kok koplong (cantik-cantik kok kosong). Sini Engkong ajari lagi. Kalau belum bisa juga, kamu harus bantu Engkong menyiram bunga satu minggu.” Saya kemudian biasanya merengek-rengek manja lalu mengatai Engkong jahat, suka menyiksa, dan sebagainya, sambil menghentak-hentakkan kaki.

Satu hal mengenai Engkong, waktu saya mengeluh,”Aku kalau matematika kok goblok sekali ya, Kong?”, Engkong berkata,”Ah, masa? Buktinya diajarin Engkong bisa. Lagipula kalau goblok matematika terus kenapa? Yang lain-lainnya kan kamu tidak goblok. Tahu tidak, kamu ini murid yang paling pintar menyiram bunga, lho.” Saya tahu pasti kalimat terakhir itu bisa-bisanya Engkong ngegombal saja, tapi nyatanya saya kejebak, ikhlas pula. Maka selama seminggu setelah itu tiap istirahat saya ngintilin Engkong ke mana-mana sambil bawa-bawa gembor penyiram bunga model kuno dari kaleng yang beratnya minta ampun. Ketika guru yang asli mengajar lagi dan Engkong kembali ke ‘alamnya’, nilai sayapun kembali ke ‘fitrah’ dan bertahan sampai lulus SMA. Engkong, walaupun hanya ‘menjamah’ saya kurang dari tiga bulan, telah membuat penilaian saya tentang diri sendiri berubah, yakni pada dasarnya saya tidak dungu total dalam hal angka. Selama ini saya hanya tidak pernah mendapatkan guru yang mengerti kelemahan saya, itu saja. Engkong memberikan hati pada saya selama beberapa bulan saja, dan saya mengenangnya dengan penuh cinta sepanjang masa.

Sayangnya kita tak akan pernah mengerti terang bila tak pernah melihat gelap. Paradoks ini dengan sempurna dipersembahkan oleh guru Bahasa Inggris saya waktu kelas III SMA. Ini kasus luar biasa, mengingat walaupun sama sekali tak pernah sedikitpun mengeluarkan usaha, saya selalu mendapat nilai sembilan untuk semua pelajaran bahasa termasuk Inggris. Mustinya guru yang satu ini dengan mudah membuat saya jatuh sayang, bukan? Nyatanya tidak. Bahkan menurut saya Ibu ini kabotan jeneng alias keberatan nama. Ia punya nama Jawa yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia kira-kira ‘memberikan perlindungan dan rasa tenang’. Tapi bukannya mengayomi, selama menjadi muridnya saya melihat ia hanya melakukan dua hal: mengajari kosa kata dan tata bahasa serta menebar teror psikologis. Granat teror tersebut secara rutin dan adil ia ledakkan di tiap kelas di mana ia mengajar, dan kata-katanya sungguh menusuk lubuk hati yang paling dalam. Saya sendiri pernah disuruh pindah ke London. Gara-garanya waktu pelajaran saya ketahuan melamun dengan wajah bosan atau usrek sendiri, entahlah, lupa (saya tidak tahu terjemahan usrek dalam Bahasa Indonesia. Maksudnya kira-kira gerak-gerak terus, bikin ini-itu yang nggak penting tanpa suara). Lalu intinya Madam Teror bilang bahwa kalau saya sudah merasa paling Inggris sendiri lebih baik pindah ke London sekalian saja  dan sebagainya. Saya pribadi sih sama sekali tidak tersakiti oleh kata-katanya ini, apalagi waktu istirahat teman-teman saya bersorak-sorai soalnya Si May mau bikin selametan bakal pindah ke London J. Namun di kelas sebelah, Si Maror, Madam Teror, mengatai seorang murid,”Sudah hitam, pesek, bodoh pula.” Di kelas lain, seorang murid perempuan yang bodinya model Pretty Asmara ditusuk dengan kata-kata,”Makanya jangan makan terus. Sekali-kali belajar. Sudah gembrot, tidak ada cantik-cantiknya, bodoh pula.”  

Korban lain di kelas saya adalah satu-satunya murid dari etnis Cina yang kami panggil Sinyo (saya lupa nama aslinya). Waktu SMA saya sekolah di SMA I, salah satu SMA Negeri favorit di Semarang. Tapi entah kenapa, sekolah negeri biar bagusnya seperti apa jarang sekali dimasukin anak-anak Cina, dan si Sinyo ini nyasar ke SMA I dengan alasan yang hinggi kini masih jadi misteri. Nah, salah satu SMA swasta favorit yang muridnya seratus persen Cina (dan pastinya sangat mahal) waktu itu adalah SMA Karangturi. Sebelumnya perlu saya terangkan bahwa ada stereotipi disini, yakni anak-anak Cina lebih cerdas daripada anak-anak Jawa. Entah benar atau tidak, yang jelas Sinyo ini biarpun Cina nyatanya sama sekali tidak cerdas (sori, Nyo, wek!J). Tapi itu sama sekali bukan masalah buat kami teman-temannya. Peduli apa Sinyo Cina, Jawa, Buton, Madura, Siau, atau apapun, ataukah IQ-nya jongkok bahkan tiarap sekalipun, sepanjang dia teman yang baik dan enak diajak becanda? Tapi Maror punya pendapat berbeda. Suatu hari saat Sinyo sekali lagi mendemonstrasikan ketidakcerdasannya (sambil cengar-cengir khas anak remaja), Maror naik pitam. Dengan suara tajam berikut bahasa Indonesia sangat rapih namun wajah berkilat-kilat jahat bak Medusa hanya saja tanpa ular-ular di kepala, Maror berkata,”Saya heran kenapa orang tuamu menyekolahkanmu di sini. Kenapa kamu tidak pindah saja ke Karangturi? Apa karena orang tuamu tidak mampu begitu pula otakmu?” Namanya anak SMA, apalagi cowok, disayat hatinya begitu tetap saja dia cengengesan. Tapi siapa yang bisa mengukur luka hati Sinyo? Kalaupun Sinyo tak sakit hati, apalah hak Maror –terutama sebagai guru- mengata-ngatai muridnya seperti itu, bawa-bawa etnis, dan menghina kondisi finansial orang tuanya pula? Itu baru beberapa kasus dan di angkatan kami saja. Bagaimana dengan angkatan-angkatan sebelumnya? Bagaimana dengan angkatan-angkatan berikutnya? Berapa anak yang dia hina fisiknya, otaknya, ininya, itunya, dan sebagainya? Kalau sulit memahami bahwa ia berhadapan dengan anak remaja yang setia cengengesan setiap saat, kenapa tidak jadi pengacara atau  tentara saja? Kalau tak tahan menghadapi anak yang otaknya agak kendor, lalu kenapa pula ia jadi guru? Lebih baik jadi tukang pukul saja. Ketemu anak blo’on langsung dijotosi, dapat bayaran, selesai urusan.

Si Maror juga punya tatapan mata yang begitu tajam seakan menelanjangi kebodohan tiap murid, dan saya bahkan sama sekali tidak berdusta. Mungkin tiap pagi sebelum berangkat kerja Maror menatap cermin, membulatkan tekad sambil mengepalkan tinju ke angkasa, dan berkata,”Aku ditakdirkan untuk membuat setiap murid yang bodoh merasa menyesal dilahirkan ke dunia.” Dan secara umum bola mata hitam Maror bergerak sistematis mencari-cari celah kesalahan pada tiap anak, tak peduli anak itu bodoh atau pintar tapi bengal macam saya. Status guru benar-benar menutupi rentetan kejahatan Maror dengan sempurna. Ya, ya, silakan anda menyebut saya lebay. Tapi sampai dua puluh tahun sesudahnya (terakhir sekitar 8 bulan lalu), saya kadang-kadang mimpi kembali lagi ke SMA, dan SIALNYA, dalam mimpi-mimpi itu Maror SENANTIASA hadir dengan kekejaman yang tak jauh beda dari kehidupan nyata. Mimpi-mimpi tentang Maror selalu berhasil membuat saya terbangun dalam keadaan dada berdegup kencang, dan sayapun tercekam sampai beberapa hari berikutnya (itu saya yang selalu dapat nilai minimal sembilan. Bagaimana dengan mereka yang kualitas otaknya sama dengan saya dalam hal matematika? Mungkin mereka memimpikan Maror seminggu sekali, lalu depresi berat hingga akhirnya kecanduan obat-obatan telarang). Kenapa saya tak pernah memimpikan Engkong atau hura-hura masa SMA misalnya waktu kelas III bolos dengan separuh teman cewek sekelas lalu nonton film semi blue (cuma keliatan dada doang, itupun sudah pada kebelet pipis. Hihihi), sampai sekarang masih jadi teka-teki. Apakah karena derajat kejahatan psikologis Maror jauh melebihi dampak kebaikan Engkong dan sukacita masa remaja, hingga kini saya tak pernah tahu jawabnya. Yang jelas saya tahu pasti, bahwa kalau jadi anak Maror maka hanya ada dua kemungkinan yang bakal menimpa saya: berakhir di Rumah Sakit Jiwa atau minimal cari ibu baru lalu pindah kota dan ganti nama. Silakan anda mengatai saya murid durhaka, namun jujur, dalam lubuk hati saya sama sekali tak ada rasa hormat pada Maror, bahkan seujung titik hitam mata jahatnya sekalipun. Kadang pula saya berkhayal, kalau saja pencipta lagu Hymne Guru pernah jadi murid Maror (dan bodoh pula), mungkin ia akan memilih karir sebagai tukang jagal. Lalu tiap tahun ia mendapat penghargaan ‘the best employee’, karena senantiasa bekerja penuh kobar semangat lantaran membayangkan daging-daging yang sedang ia garap itu sebagai Maror. Lalu kita selamanya tak akan pernah mendengar lagu yang begitu indah dan menyentuh itu. Syukur kepada Tuhan yang melindungi seni dengan cara menjauhkan si pencipta hymne di atas dari guru macam Maror.

Saya berdoa sepenuh jiwa, kiranya cukuplah seorang Maror di bumi Indonesia. Janganlah kiranya ada lagi Maror-Maror berikutnya. Kalau perlu perbanyak Engkong, supaya setiap anak tahu bahwa kedunguan macam apapun bisa dilawan asal ada tekad dan terutama pembimbing yang tepat. Dan tahukah anda, bahwa saya baru-baru ini bergirang hati karena gelagatnya bakal ada The Next Engkong tapi versi female? Namanya Sarintan Pasaribu Salomo, teman FB sekaligus admin di Grup diskusi Islam-Kristen dimana saya jadi admin pemalas tak tahu ayat tapi sabar, humoris, dan bijaksana (adakah kecap nomer dua? J). Di Grup ini Mak Intan –begitu saya biasa memanggilnya- terkenal ketus dan lekas naik darah (maaf ya, Mak J). Pada anggota grup yang ngeyelan terus kena damprat Mak Intan, saya biasanya bilang gini,”Maklumlah, hai bocah, Mak Intan ini orang Batak (maaf ya, saudara-saudaraku orang Batak J)”. Tapi JANGAN SALAH! Biar galak ternyata Mak Intan ini seorang pemilik sekaligus Kepala Taman Kanak-kanak plus punya day care a.k.a tempat penitipan anak. Jangan buru-buru membayangkan anak-anak malang itu setiap hari pulang dengan kepala benjol karena dijitakin Mak Intan yang tak sabaran. Jangaaan…. Karena jangankan benjol- benjol, mereka malah mendapat perlakuan istimewa. Pernah dalam satu hari saya mendapati Mak Intan meng-up load foto-foto anak-anak day carenya sebanyak dua kali (belum hari-hari lainnya yang saya tidak tahu). Yang pertama adalah dua anak cowok dengan badan penuh dan kelihatan terawat, dengan judul photo: sama-sama suka makan tapi sama-sama sulit tidur (atau begitulah kira-kira). Yang kedua adalah up load dua foto anak cewek imut-imut, dengan keterangan “Dua-duanya sama-sama cerdas dan kritis”. Saya memberi komentar: “Cantik-cantik pula. Emak bapaknya pasti pada bangga.” Lalu Mak Intan membalas,”Jangankan Emak Bapaknya, aku yang hanya gurunya saja bangga bukan kepalang.”

Ada dua perkara besar yang saya catat di sini:
1.    Mak Intan mengenal benar karakter tiap muridnya.  
Berbeda sekali dengan Maror yang datang ke sekolah membawa antena pendeteksi kebodohan murid dan kamus kata-kata keji, Mak Intan menyambut murid-muridnya dengan kepala terbuka dan hati peka, hingga tahu pasti keunikan dari masing-masing mereka. Saya yakin kalau jadi guru SMP atau SMA dan menghadapi murid yang bebal dalam satu mata pelajaran tertentu seperti saya, Mak Intan akan dengan tekun menyisir titik-titik lemah si murid bagaikan anggota satuan gegana dengan alat deteksi metalnya, lalu berusaha keras untuk mencari jalan keluar bagi kebuntuan otak itu. Tepat seperti yang dilakukan oleh Engkong, hanya mungkin bedanya Engkong mem-bully saya dengan gembor penyiram bunga dan Mak Intan bisa jadi mengerjai muridnya dengan sekop untuk menggemburkan tanah. Hihihi.

2.    Mak Intan meresapi murid-muridnya bukan sebagai bakal duit semata.
Punya sekolah apalagi dengan murid anak-anak orang berkecukupan (yang mana terlihat jelas dari tampang mereka di photo) sudah pasti UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Tidak perlu malu, sedangkan pepatah Jawa saja mengatakan ‘Jer Basuki Mawa Bea’, atau ‘Hidup mulia hanya bisa dicapai dengan mengeluarkan biaya (bisa keringat, otak, waktu, dan sebagainya, termasuk materi)’. Jadi kalau day care dan sekolahannya punya fasilitas bagus sudah pasti juga butuh biaya ‘bagus’. Tapi kalau Mak Intan dasarnya mata duitan, manalah ia mau pusing dengan murid ini sulit tidur atau tidak? Tinggal biarkan saja mereka bermain sampai terhuyung-huyung dan pada benjut kejedot tembok, habis perkara. Frasa ‘sulit tidur’, di mata saya, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Mak Intan menganggap serius hal ini. Kalau sudah begitu pastilah Mak Intan juga menghabiskan banyak enerji dan pikiran untuk mencari cara, agar mereka mau menyerah dan menutup mata ketika waktu istirahat tiba. Persis seperti seorang ibu yang pusing menghadapi masalah anak-anak kandungnya sendiri. Persis seperti yang dilakukan Engkong. Ketika guru-guru lain menyerah dengan titik lemah saya dan mengambil jalan pintas dengan mengatrol nilai, Engkong sibuk mencari cara untuk mengalahkannya. Dalam tiap candanya, perintah-perintahnya yang lucu sekaligus menjengkelkan, serta gembor penyiram bunga yang sangat berat itu saya melihat seorang guru yang sesungguhnya. Saya melihat Engkong memandang saya seperti anak kandungnya. Dari balik tiap kerutan di wajah Engkong, saya melihat jiwa mulia yang benar-benar melihat tiap-tiap muridnya, selemah dan sekurang apapun mereka, sebagai anak manusia. Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibimbing entah bagaimana caranya, hingga pada akhirnya anak itu berkata pada diri sendiri,”Ternyata aku pintar juga, ya?”. Anak-anak manusia yang punya hak untuk dibesarkan jiwanya, dan bukannya justru diiris-iris hatinya seperti yang dilakukan oleh Maror, wanita keji tak punya nurani yang sampai hati menyebut dirinya guru itu. Dan tak seperti Maror yang memandang murid-muridnya sebagai katarsis masalah serta luapan amarahnya pada dunia, Mak Intan meluap hatinya oleh kebanggaan akan murid-muridnya. Tepat seperti Engkong yang tiap kali saya –akhirnya- berhasil memahami satu soal, selalu mengucak ujung rambut saya dan berkata,”Anak Engkong memang hebat!”. Hanya guru yang bermodal kasih tanpa syarat saja yang bisa merasa bangga pada murid-muridnya, seakan mereka adalah anak-anak sendiri.

Engkong dan Mak Intan adalah manusia-manusia yang layak disebut guru. Guru, oleh orang Jawa disebut berasal dari kata digugu (didengar untuk kemudian dilakukan) dan ditiru. Siapapun orangnya yang layak didengar, sudah pasti terlebih dahulu mendengar orang lain. Guru seperti itu adalah mereka yang mendengar muridnya bukan hanya dengan telinga, tapi juga dengan hati dan rasa. Itulah yang membuat mereka bersabar. Itulah yang membuat mereka tak keberatan dengan separah apapun kekurangan muridnya, dan lebih dari itu, mencari cara agar yang kurang itu menjadi lebih. Suatu hari nanti, entah kapan, saya yakin Mak Intan akan memiliki murid-murid yang mengingatnya dengan cinta setelah berpuluh tahun lewat, seperti yang saya lakukan pada Engkong. Sama halnya dengan cara saya mengenang Engkong, demikian pula Mak Intan dan guru-guru serupa mereka akan dikenang oleh murid-muridnya. Guru seperti mereka itulah yang membuat anak-anak Indonesia tumbuh menjadi baik. Ya, guru serupa itu adalah mereka yang namanya akan selalu hidup dalam sanubari anak-anak didiknya. Pencipta Hymne Guru sama sekali tidak mengada-ada ketika mengatakan, bahwa mereka adalah embun penyejuk dalam kehausan dan pelita dalam kegelapan. Sungguh mereka adalah patriot pahlawan bangsa. Tuhan memberkati Indonesia dengan memberikan guru-guru yang memandang muridnya dengan penuh cinta! Tuhan memberkati guru-guru mulia di Indonesia!

Untuk Engkong yang tengah berjuang melawan kanker dalam suntuk usia. Engkong, engkau mendapat doa dari mana-mana, dari murid-murid yang basah kuyup oleh Gembor Penyiram Cinta-mu (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar