Kamis, 12 September 2013

Kasihan Agamanya

Sekar Suket, salah seorang teman FB yang selalu manis tutur katanya, membagi link saya berjudul ‘Alas Sembahyang Itu…’ dengan dilengkapi kalimat begini kira-kira: Pagi-pagi membaca tulisan Mbak Yuanita Maya ini terasa sangat sejuk. Ternyata hidup beragama juga bisa indah.” Sungguh senang hati saya atas apresiasi ini, terutama karena tulisan tersebut berhasil membuat hatinya sejuk pula. Tapi akhir kalimatnya itu kayaknya enggak enak, deh. Kalau ‘hidup beragama JUGA BISA indah’, berarti hidup beragama BIASANYA enggak indah, dong? Duh, celaka! Nurani saya jadi tergelitik, dan setelah saya selidiki dengan seksama dan dalam waktu sesingkat-singkatnya, ternyata terkuak bahwa secara pribadi Sekar selama ini melihat hal-hal buruk semata dari agama. Wajar, sih, soalnya dalam kehidupan sehari-hari memang hal norak yang bisa didapat dalam kotak agama tak terhitung banyaknya. Misalnya, para politikus yang gemar memakai agama sebagai alat kampanye dan giliran sudah kepilih, eh, banyak bohongnya. Atau para pemimpin umat yang khotbahnya suka ngompor-ngomporin dan menjelek-jelekkan agama lain. Atau para umat sendiri yang tampangnya pada alim dengan tutur kata nan diliputi kasih dan sukacita surgawi yang penuh urapan Roh Kudus, tapi begitu menyangkut agama lain mendadak performanya jadi seperti Lucifer yang sedang kampanye. Dan untuk menyempurnakan segala kesan buruk itu, ada para pemimpin umat mata duitan bergaya hidup serba wah, padahal di sekelilingnya masih banyak yang kekurangan. Atau minta sumbangan sambil bawa-bawa nama Tuhan, padahal mobilnya harga milyaran. Segudang, deh, contoh yang bisa membuat siapapun percaya bahwa agama nggak ada baik-baiknya.

Ini bertentangan dengan pendapat saya pribadi, yakni tidak ada agama yang tidak baik di dunia ini. Semua agama, bagi saya, diciptakan dengan muatan-muatan baik, dengan tujuan-tujuan baik pula. Namun berhubung agama dibuat oleh manusia yang sama sekali tak sempurna, maka wajarlah kalau dalam perjalanannya diwarnai dengan hal-hal buruk juga. Memang, saya adalah sejenis orang yang sangat percaya dan hormat pada Tuhan, tapi punya pendapat bahwa agama adalah institusi yang dibuat oleh manusia, entah itu nabi, rasul, atau yang lainnya. Jika ada pihak yang berpendapat bahwa ada tiga agama (termasuk Kristen, agama saya sendiri) diturunkan dari surga dan sisanya tidak, ya silakan saja. Ini bagian dari demokrasi, dan saya punya kewajiban untuk menghormati pendapat orang lain. Jadi buat apa memerdebatkannya? Yang jelas Kitab Suci yang saya percaya tidak pernah menyebut-nyebut hal itu, jadi berdasarkan itu pula saya tetap pada pendapat semula, bahwa semua agama adalah ciptaan manusia yang baik adanya dan seterusnya.
Baiklah, untuk ini saya harus bercerita bahwa saya adalah orang yang tidak pernah mengalami hal-hal buruk dalam kehidupan beragama. Bapak saya Muslim, Emak saya Katholik, dan enam dari tujuh anak mereka yang perempuan semua itu beragama Kristen, sedangkan satu sisanya Muslim. Tidak ada satupun di antara kami yang Katholik, dan Emak saya akur-akur saja. Waktu kecil saya pernah les ngaji dengan guru bernama Pak Toha yang sangat baik hati dan suka mendongeng. Pak Toha juga amat penyabar, walau saya waktu itu kecil-kecil sudah mahir ngibul. Kalau disuruh menghapal ayat Qur’an biasanya saya mendadak terserang rasa ‘pusing yang hanya bisa disembuhkan oleh dongeng-dongeng Islami Pak Toha’. Kalau sholat saya lebih sering ngaku sudah wudhu, padahal hanya cuci tangan dan muka ala kadarnya. Dan seterusnya. Di samping belajar ngaji, saya juga dibawa ke sekolah minggu oleh salah seorang Tante saya dengan diantar-jemput oleh Bapak. Kedua orangtua saya sama sekali tidak pernah memaksakan agama mereka, sejak saya piyik sampai sekarang sudah bangkotan. Dialog lintas agama sesekali kami lakukan, namun kebanyakan mereka memberikan teladan dari sikap hidup sehari-hari. Teladan itu terutama saya dapatkan dari Bapak, mengingat Ibu sudah meninggal sejak hampir 20 tahun lalu.

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua dengan teladan begitu sempurna lepas dari segala kekurangannya. Dan teladan ini –termasuk dalam kehidupan beragama- saya teruskan pada anak menantu saya, Reni, yang seorang Muslimah. Pada Reni sebagai manajer keuangan rumah tangga saya mewanti-wanti, bahwa sekecil atau sebesar apapun uang yang ia terima dari suaminya atau siapa saja, haruslah ia sisihkan 10% kemudian diserahkan pada gereja. Ini wajib dilakukan dalam rangka menghormati Tuhan, dengan cara menegakkan hukum perpuluhan yang diajarkan oleh agama suaminya. Lalu ia harus menyisihkan pula zakat 2,5% demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang Muslim. Harus adil, sebab sebagai Muslimah ia punya menjalankan syariah Islam, biarpun itu duit dicari oleh suaminya atau kiriman keluarga suaminya yang Kristen. Terakhir adalah kewajiban untuk beramal pada janda fakir dan anak yatim, karena baik Islam maupun Kristen sangat menganggap penting keberadaan kaum nan papa ini.
Puji Tuhan, Reni adalah mantu yang penurut, jadi ia melaksanakan semua perintah saya tanpa banyak cingcong (ya iyalah! Gimana nggak nurut, wong tiap kali memberi wejangan selalu saya takut-takuti dengan segala adzab kalau sampai berani tidak melaksanakannya. Hihihi. Begitu seringnya saya bawa-bawa adzab, sampai-sampai dia pernah berkata dengan nada gentar,”Astaghfirullah, Mama! Tidak, saya tidak mungkin seperti itu, Mama! Saya pasti turuti semua perintah Mama, karena saya tidak mau mendapat adzab, apalagi Mama yang mengatakannya.” Sayapun cekikikan dalam hati sambil membatin,”Kasian deh lo.”J Oh ya, kalimat Reni yang diucapkan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu bukan editan, melainkan sungguh seperti itu sebagaimana cara bicara orang Sulawesi TenggaraJ).

Namun di luar ancaman-ancaman itu, saya bersyukur Reni menyerap dengan cepat semangat yang saya contohkan. Kalau Abel, anak laki-laki saya, mulai pasang gelagat malas ke gereja, justru Reni yang mengingatkan. Reni juga mulai membaca Alkitab, karena saya pernah cerita bahwa waktu di Semarang saya juga baca Qur’an (sekarang sih enggak, soalnya waktu balik lagi ke Manado Qur’an-nya enggak saya bawa J). Saat membaca Qur’an, tak pernah sedikitpun terbersit dalam benak saya untuk mencari-cari kesalahan agama Islam. Itu pula yang saya nasihatkan pada Reni, bahwa janganlah membaca Al Kitab untuk mencari-cari kesalahan agama Kristen. Sebab sesungguhnya mencari-cari kesalahan agama lain adalah hal yang sangat bodoh, karena apa yang dianggap benar oleh satu pihak belum tentu benar bagi pihak lain. Jadi buat apa saya baca Qur’an dan Reni baca Al Kitab, dong, kalau begitu? Sederhana saja, yakni untuk memahami apa yang menjadi kepercayaan dan pegangan hidup orang lain. Kalau sudah paham, pasti banyak maklumnya. Kalau sudah banyak maklum, pasti semakin sedikit pula keinginan untuk menuntut apalagi menuding yang lain. Kalau keinginan menuding itu sudah pupus, maka yang ada hanyalah hati yang bersih. Kalau hati bersih, jangankan berselisih dan saling hujat, sedangkan mau berpikir buruk saja malu. Apalagi sampai bilang,”Muhammad Nabi palsu! Islam agama para teroris! Islam tidak kenal toleransi! Yesus Tuhan gadungan! Kristen agama para penjajah! Kristen agama yang melegalkan minuman keras dan baju buka-bukaan!” Blablabla, capek deh.

Selain baca Qur’an, saya juga sangat gemar berdiskusi soal agama dengan teman-teman Muslim. Ada cerita lucu. Belasan tahun lalu, saya berdiskusi soal surga dengan seorang sahabat lama yang kalau tak salah pernah jadi Ketua HMI atau apa gitu, lupa. Sebagai penutup, Si Mamad, panggilan akrab sahabat saya ini, menghimbau saya agar masuk Islam dengan iming-iming ‘surga yang asyik banget karena banyak bidadarinya’. Saya berkelit dan ganti menghimbaunya untuk masuk Kristen dengan iming-iming ‘surga yang pas banget buat wadukmu, karena banyak makanan enak yang boleh dimakan sepuasnya di sana, gratisan pula. Plus nggak perlu repot-repot cari pahala, karena kan tinggal percaya saja’. Setelah berbuih-buih, sayapun mengajukan dua pertanyaan. Pertama: “Yakin, nih, Mad, kamu kalau mati bakal masuk surga?” Yang kedua: “Yakin, nih, kalau masuk surga bakal dilayani dan dipuaskan para bidadari yang cakep luar biasa?” Jawaban Mamad sangat pede: “Yakin, dong, May. Apa yang dikatakan oleh Al Qur’an pasti benar adanya. Dan itu semua akan kudapatkan karena aku yakin masuk surga, sebab aku orang yang selalu berbuat kebaikan demi mendapat pahala.” Sayapun menjawab ketus,”Nggak sudi masuk surga Islam! Di dunia aja yang ada eneg liat tampangmu. Setelah dibelain pindah Islam dan capek-capek berjuang supaya dapat banyak pahala, eh, giliran masuk surga malah disuruh melayani kamu! Batal, deh, pindah Islam! Bataaal!!!” Mamad ngakak sampai keluar air mata. Tapi berhubung sudah biasa eyel-eyelan dengan saya, dia masih sanggup menangkis dengan sigap begitu tawanya berakhir,”Yakin kamu segitu cakepnya, sampai percaya bakal jadi bidadari kalau masuk surga?” Giliran saya yang ngakak sampai kebelet pipis J.

Intinya, di surga sini mau dilayani para bidadari, kek, di surga situ mau dapat servis buffet all you can eat, kek, faktanya adalah saya dan Mamad bertukar pikiran, bahkan berdebat, dengan hati yang jernih. Belasan tahun setelah itu, Mamad adalah satu di antara sahabat-sahabat Muslim yang dengan hati jernih setia membantu, mendampingi, dan menguatkan, ketika saya berada dalam satu titik paling hitam dan berat dalam hidup saya. Dan berhubung ngelotoknya hanya Al Qur’an, maka ketika memberi dukungan mentalpun mereka mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci yang mereka percaya. Saya menerimanya dengan hati terbuka, karena apa yang mereka sampaikan itu kebetulan semuanya bersifat universal dan membesarkan jiwa. Sebaliknya, saat sahabat-sahabat saya sedang didera masalah, sayapun memberi siraman rohani berbasis Al Kitab sesuai dengan pengalaman pribadi. Merekapun menerimanya dengan lapang dada serta menyaring inti kebaikannya, dan bukannya ribut nggak jelas hanya karena itu semua sumbernya dari Kitabnya orang Kristen.

Dan inilah kata kuncinya, bahwa semua memang hanya perlu dilandasi dari dua perkara yang sangat sederhana: hati yang jernih dan jiwa yang bersih. Bila jiwa bersih, maka bahkan perdebatan soal perbedaan imanpun tidak akan berakhir dengan menjatuhkan dan menghina satu sama lain. Ketika hati jernih, maka persahabatan antar insan dengan kepercayaan yang amat berbeda bisa langgeng hingga belasan tahun. Jiwa dan hati yang bersih serta jernih ini tidak dimaksudkan untuk menghapus perbedaan, namun membangun jembatan pengertian di antaranya. Tuhan tidak pernah berniat menciptakan dunia dengan isi yang seragam. Bumi diciptakan dari banyak unsur, bukan satu saja. Maka sangat naïf bila kita berencana meniadakan keragaman. Namun sebaliknya sangat picik bila kita menjadikan keragaman sebagai tameng untuk menganggap diri yang paling baik. Satu-satunya jembatan untuk menciptakan harmoni di antara segala perbedaan itu adalah kebeningan hati dan jiwa. Itu saja.
Sekali lagi, semua agama adalah baik di mata saya. Agama menjadi buruk hanya ketika manusia menjadikannya buruk. Islam menjadi buruk di mata sebagian umat lain karena segelintir pemeluknya membuat namanya menjadi buruk. Demikian pula sebaliknya. Tapi di luar yang segelintir itu, masih ada banyak sekali yang baik. Itu pula yang membuat saya tetap dan akan selalu percaya bahwa semua agama baik adanya, meskipun di dalamnya ada pemimpin mata duitan, politisi norak, khotbah-khotbah yang penuh amarah, umat munafik, dan sebagainya. Agama tidak pernah salah apa-apa, manusianyalah yang katrok. Justru saya kasihan pada si agama, yang namanya jadi cemar gara-gara kelakuan busuk umatnya. Namun sekali lagi, saya tetap yakin bahwa yang busuk itu hanya sepenggal kecil. Di luar itu, ada bagian jauh lebih besar, yakni mereka yang baik, yang bisa saya lihat. Misalnya sahabat-sahabat Muslim saya serta suri tauladan kedua orang tua saya. Saya juga melihat Pak Camat waktu saya tinggal di Semarang, yang tiap Paskah dan Natal selalu memberikan sambutan berisi indahnya saling menghargai, dan itu semua ia sampaikan DI DALAM GEREJA DI ATAS MIMBAR. Saya melihat para tetangga Muslim yang selalu mengirimkan makanan tiap perayaan hari besar mereka. Mereka juga tenang-tenang saja padahal rumah saya disesaki oleh anjing-anjing biang ribut yang jelas-jelas haram bagi mereka. Saya memilih melihat ribuan gereja yang berdiri tegak dan tak terhitung umat yang beribadah dengan tenang, di tiap-tiap daerah yang sudah saya datangi di Indonesia. Dengan demikian kalau ada satu gereja dipersulit pendiriannya, saya tidak serta merta jadi goblok dan berteriak,”TIDAK ADA TOLERANSI DI INDONESIA!!! INDONESIA ADALAH NEGARA UNTUK SATU AGAMA MAYORITAS SAJA!!!” Yang dipersulit cuma beberapa sampai teriak-teriak kayak begitu, terus yang ratusan ribu lainnya dipandang apa? Belekan sampai nggak bisa lihat, kali, ya?

Itulah yang saya pilih untuk lihat, karena hidup ini semata-mata hanya pilihan. Saya punya pilihan untuk melihat yang buruk-buruk, dan itu tegas saya tolak karena pikiran buruk hanya akan membuat saya tidak bahagia. Saya pun punya pilihan untuk melakukan yang buruk-buruk, dan itu tegas pula saya tolak. Karena perilaku buruk adalah syiar buruk bagi kepercayaan saya. Syiar buruk adalah batu sandungan bagi orang lain, dan celakalah jika saya membuat orang lain jatuh dalam dosa! Anda sendiri, mau yang bagaimana? Tuhan memberkati pilihan baik anda dan saya! Tuhan memberkati jiwa-jiwa yang bersih di Indonesia! (Yuanita Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).





10 komentar:

  1. Very good. Faith that works by love. Iman atau keyakinan atau kepercayaan yang bekerja atau berbuat karena kasih sayang karena cinta kasih, bukan karena takut dihukum atau karena takut kena azab. Ibadah atau ketaatan kita kepada Tuhan, karena kasihNya kepada kita, yg menginspirasi kasih kita kepadaNya, hingga kita akan taat dan mengasihiNya dan mengasihi sesama manusia dengan sukarela dan dengan hati yang gembira dan penuh sukacita, bukan karena paksaan atau bukan karena ancaman hukuman atau azab. Sehingga kita patuh kepadaNya bukan karena ketakutan, tapi karena kasihNya yang sangat besar yang juga tertanam dan bersemi dalam hati dan pikiran kita, only God's great love to us, can awakan the love in our hearts and minds, bukankah demikian?

    BalasHapus
  2. Anonim, anda bertanya: Bukankah demikian? Saya menjawab: Bukaaan... Hehehe.
    Ya, memang sekali sudah merasakan yang namanya 'kasih', sulit bagi kita untuk melihat hal yang buruk dari orang lain (sekalipun menantu saya terus-menerus saya takut-takuti adzab, hihihi).
    Semoga tulisan saya menjadi berkat buat anda, dan bisa anda bagikan pada yang lain. Terima kasih sudah mampir, Tuhan memberkati!

    BalasHapus
  3. Mantap...Bahkan ada hamba Tuhan yang berani menjaminkan bahwa hidup dengan " Yesus akan membawa kemudahan, kegembiraan, kesenangan dan berkat yang melimpah, dan kutuk akan jauh dari kita" Lalu kata saya," Bu, Pendeta, ibu tahu tidak Istrinya pak SBY, istrinya Soeharto, istrinya Boediono, dan pejabat-pejabat yang hebat awalnya mereka adalah Kristen? xixixixixix...!!

    BalasHapus
  4. Aduh, Maya...!!!

    BalasHapus
  5. Thanks ya, anonim :). Pak Pendeta itu mungkin juga belum tahu bahwa agama tidak menjamin keselamatan :). Plus banyak juga orang beragama Kristen (sudah baptis pula) yang hidupnya amburadul, suka mabuk, menelantarkan anak istri, jadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitarnya, dll, pokoknya sampah masyarakat. Sebaliknya, saya kenal banyak orang dari agama lain (bahkan yang tidak mengakui Tuhan) yang hidupnya tenang, damai, dan jadi berkat bagi banyak orang. Agama, baptis, dan segala seremoni institusi memang tidak menjamin apapun. Anda mantap juga, Anonim! :)

    BalasHapus
  6. Jempol buat mu.... Mantap....!! salam dr ujung Wonasa..

    BalasHapus
  7. Hadeuuucchh... Semoga yg nasihatin juga gak lalai ya sama perintah agamanya, biar kesannya nggak egois gitu... Masalahnya penasihat itu bisa juga disebut guru yg memberi pembelajaran bagi muridnya secara tindakan ataupu visualisasi yg baik

    BalasHapus