Sekar Suket,
salah seorang teman FB yang selalu manis tutur katanya, membagi link saya
berjudul ‘Alas Sembahyang Itu…’ dengan dilengkapi kalimat begini kira-kira:
Pagi-pagi membaca tulisan Mbak Yuanita Maya ini terasa sangat sejuk. Ternyata
hidup beragama juga bisa indah.” Sungguh senang hati saya atas apresiasi ini,
terutama karena tulisan tersebut berhasil membuat hatinya sejuk pula. Tapi
akhir kalimatnya itu kayaknya enggak enak, deh. Kalau ‘hidup beragama JUGA BISA
indah’, berarti hidup beragama BIASANYA enggak indah, dong? Duh, celaka! Nurani
saya jadi tergelitik, dan setelah saya selidiki dengan seksama dan dalam waktu
sesingkat-singkatnya, ternyata terkuak bahwa secara pribadi Sekar selama ini
melihat hal-hal buruk semata dari agama. Wajar, sih, soalnya dalam kehidupan
sehari-hari memang hal norak yang bisa didapat dalam kotak agama tak terhitung
banyaknya. Misalnya, para politikus yang gemar memakai agama sebagai alat
kampanye dan giliran sudah kepilih, eh, banyak bohongnya. Atau para pemimpin
umat yang khotbahnya suka ngompor-ngomporin dan menjelek-jelekkan agama lain.
Atau para umat sendiri yang tampangnya pada alim dengan tutur kata nan diliputi
kasih dan sukacita surgawi yang penuh urapan Roh Kudus, tapi begitu menyangkut
agama lain mendadak performanya jadi seperti Lucifer yang sedang kampanye. Dan
untuk menyempurnakan segala kesan buruk itu, ada para pemimpin umat mata duitan
bergaya hidup serba wah, padahal di sekelilingnya masih banyak yang kekurangan.
Atau minta sumbangan sambil bawa-bawa nama Tuhan, padahal mobilnya harga
milyaran. Segudang, deh, contoh yang bisa membuat siapapun percaya bahwa agama
nggak ada baik-baiknya.
Ini bertentangan
dengan pendapat saya pribadi, yakni tidak ada agama yang tidak baik di dunia
ini. Semua agama, bagi saya, diciptakan dengan muatan-muatan baik, dengan
tujuan-tujuan baik pula. Namun berhubung agama dibuat oleh manusia yang sama
sekali tak sempurna, maka wajarlah kalau dalam perjalanannya diwarnai dengan
hal-hal buruk juga. Memang, saya adalah sejenis orang yang sangat percaya dan
hormat pada Tuhan, tapi punya pendapat bahwa agama adalah institusi yang dibuat
oleh manusia, entah itu nabi, rasul, atau yang lainnya. Jika ada pihak yang berpendapat
bahwa ada tiga agama (termasuk Kristen, agama saya sendiri) diturunkan dari
surga dan sisanya tidak, ya silakan saja. Ini bagian dari demokrasi, dan saya
punya kewajiban untuk menghormati pendapat orang lain. Jadi buat apa
memerdebatkannya? Yang jelas Kitab Suci yang saya percaya tidak pernah
menyebut-nyebut hal itu, jadi berdasarkan itu pula saya tetap pada pendapat
semula, bahwa semua agama adalah ciptaan manusia yang baik adanya dan seterusnya.
Baiklah, untuk
ini saya harus bercerita bahwa saya adalah orang yang tidak pernah mengalami
hal-hal buruk dalam kehidupan beragama. Bapak saya Muslim, Emak saya Katholik,
dan enam dari tujuh anak mereka yang perempuan semua itu beragama Kristen,
sedangkan satu sisanya Muslim. Tidak ada satupun di antara kami yang Katholik,
dan Emak saya akur-akur saja. Waktu kecil saya pernah les ngaji dengan guru
bernama Pak Toha yang sangat baik hati dan suka mendongeng. Pak Toha juga amat
penyabar, walau saya waktu itu kecil-kecil sudah mahir ngibul. Kalau disuruh
menghapal ayat Qur’an biasanya saya mendadak terserang rasa ‘pusing yang hanya
bisa disembuhkan oleh dongeng-dongeng Islami Pak Toha’. Kalau sholat saya lebih
sering ngaku sudah wudhu, padahal hanya cuci tangan dan muka ala kadarnya. Dan
seterusnya. Di samping belajar ngaji, saya juga dibawa ke sekolah minggu oleh salah
seorang Tante saya dengan diantar-jemput oleh Bapak. Kedua orangtua saya sama
sekali tidak pernah memaksakan agama mereka, sejak saya piyik sampai sekarang sudah
bangkotan. Dialog lintas agama sesekali kami lakukan, namun kebanyakan mereka
memberikan teladan dari sikap hidup sehari-hari. Teladan itu terutama saya
dapatkan dari Bapak, mengingat Ibu sudah meninggal sejak hampir 20 tahun lalu.
Saya sangat
bersyukur memiliki orang tua dengan teladan begitu sempurna lepas dari segala
kekurangannya. Dan teladan ini –termasuk dalam kehidupan beragama- saya
teruskan pada anak menantu saya, Reni, yang seorang Muslimah. Pada Reni sebagai
manajer keuangan rumah tangga saya mewanti-wanti, bahwa sekecil atau sebesar
apapun uang yang ia terima dari suaminya atau siapa saja, haruslah ia sisihkan
10% kemudian diserahkan pada gereja. Ini wajib dilakukan dalam rangka
menghormati Tuhan, dengan cara menegakkan hukum perpuluhan yang diajarkan oleh
agama suaminya. Lalu ia harus menyisihkan pula zakat 2,5% demi memenuhi
kewajibannya sebagai seorang Muslim. Harus adil, sebab sebagai Muslimah ia
punya menjalankan syariah Islam, biarpun itu duit dicari oleh suaminya atau
kiriman keluarga suaminya yang Kristen. Terakhir adalah kewajiban untuk beramal
pada janda fakir dan anak yatim, karena baik Islam maupun Kristen sangat
menganggap penting keberadaan kaum nan papa ini.
Puji Tuhan, Reni
adalah mantu yang penurut, jadi ia melaksanakan semua perintah saya tanpa banyak
cingcong (ya iyalah! Gimana nggak nurut, wong tiap kali memberi wejangan selalu
saya takut-takuti dengan segala adzab kalau sampai berani tidak
melaksanakannya. Hihihi. Begitu seringnya saya bawa-bawa adzab, sampai-sampai
dia pernah berkata dengan nada gentar,”Astaghfirullah, Mama! Tidak, saya tidak
mungkin seperti itu, Mama! Saya pasti turuti semua perintah Mama, karena saya
tidak mau mendapat adzab, apalagi Mama yang mengatakannya.” Sayapun cekikikan
dalam hati sambil membatin,”Kasian deh lo.”J
Oh ya, kalimat Reni yang diucapkan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar
itu bukan editan, melainkan sungguh seperti itu sebagaimana cara bicara orang
Sulawesi TenggaraJ).
Namun di luar
ancaman-ancaman itu, saya bersyukur Reni menyerap dengan cepat semangat yang
saya contohkan. Kalau Abel, anak laki-laki saya, mulai pasang gelagat malas ke
gereja, justru Reni yang mengingatkan. Reni juga mulai membaca Alkitab, karena
saya pernah cerita bahwa waktu di Semarang saya juga baca Qur’an (sekarang sih
enggak, soalnya waktu balik lagi ke Manado Qur’an-nya enggak saya bawa J). Saat membaca Qur’an, tak
pernah sedikitpun terbersit dalam benak saya untuk mencari-cari kesalahan agama
Islam. Itu pula yang saya nasihatkan pada Reni, bahwa janganlah membaca Al
Kitab untuk mencari-cari kesalahan agama Kristen. Sebab sesungguhnya mencari-cari kesalahan agama lain adalah hal yang
sangat bodoh, karena apa yang dianggap benar oleh satu pihak belum tentu benar
bagi pihak lain. Jadi buat apa saya baca Qur’an dan Reni baca Al Kitab,
dong, kalau begitu? Sederhana saja, yakni untuk memahami apa yang menjadi
kepercayaan dan pegangan hidup orang lain. Kalau sudah paham, pasti banyak
maklumnya. Kalau sudah banyak maklum, pasti semakin sedikit pula keinginan
untuk menuntut apalagi menuding yang lain. Kalau keinginan menuding itu sudah
pupus, maka yang ada hanyalah hati yang bersih. Kalau hati bersih, jangankan
berselisih dan saling hujat, sedangkan mau berpikir buruk saja malu. Apalagi sampai
bilang,”Muhammad Nabi palsu! Islam agama para teroris! Islam tidak kenal
toleransi! Yesus Tuhan gadungan! Kristen agama para penjajah! Kristen agama
yang melegalkan minuman keras dan baju buka-bukaan!” Blablabla, capek deh.
Selain baca
Qur’an, saya juga sangat gemar berdiskusi soal agama dengan teman-teman Muslim.
Ada cerita lucu. Belasan tahun lalu, saya berdiskusi soal surga dengan seorang sahabat
lama yang kalau tak salah pernah jadi Ketua HMI atau apa gitu, lupa. Sebagai
penutup, Si Mamad, panggilan akrab sahabat saya ini, menghimbau saya agar masuk
Islam dengan iming-iming ‘surga yang asyik banget karena banyak bidadarinya’. Saya
berkelit dan ganti menghimbaunya untuk masuk Kristen dengan iming-iming ‘surga
yang pas banget buat wadukmu, karena banyak makanan enak yang boleh dimakan
sepuasnya di sana, gratisan pula. Plus nggak perlu repot-repot cari pahala,
karena kan tinggal percaya saja’. Setelah berbuih-buih, sayapun mengajukan dua
pertanyaan. Pertama: “Yakin, nih, Mad, kamu kalau mati bakal masuk surga?” Yang
kedua: “Yakin, nih, kalau masuk surga bakal dilayani dan dipuaskan para
bidadari yang cakep luar biasa?” Jawaban Mamad sangat pede: “Yakin, dong, May.
Apa yang dikatakan oleh Al Qur’an pasti benar adanya. Dan itu semua akan
kudapatkan karena aku yakin masuk surga, sebab aku orang yang selalu berbuat
kebaikan demi mendapat pahala.” Sayapun menjawab ketus,”Nggak sudi masuk surga
Islam! Di dunia aja yang ada eneg liat tampangmu. Setelah dibelain pindah Islam
dan capek-capek berjuang supaya dapat banyak pahala, eh, giliran masuk surga malah
disuruh melayani kamu! Batal, deh, pindah Islam! Bataaal!!!” Mamad ngakak
sampai keluar air mata. Tapi berhubung sudah biasa eyel-eyelan dengan saya, dia
masih sanggup menangkis dengan sigap begitu tawanya berakhir,”Yakin kamu segitu
cakepnya, sampai percaya bakal jadi bidadari kalau masuk surga?” Giliran saya
yang ngakak sampai kebelet pipis J.
Intinya, di
surga sini mau dilayani para bidadari, kek, di surga situ mau dapat servis
buffet all you can eat, kek, faktanya adalah saya dan Mamad bertukar pikiran,
bahkan berdebat, dengan hati yang jernih. Belasan tahun setelah itu, Mamad
adalah satu di antara sahabat-sahabat Muslim yang dengan hati jernih setia
membantu, mendampingi, dan menguatkan, ketika saya berada dalam satu titik
paling hitam dan berat dalam hidup saya. Dan berhubung ngelotoknya hanya Al Qur’an,
maka ketika memberi dukungan mentalpun mereka mengutip ayat-ayat dari Kitab
Suci yang mereka percaya. Saya menerimanya dengan hati terbuka, karena apa yang
mereka sampaikan itu kebetulan semuanya bersifat universal dan membesarkan
jiwa. Sebaliknya, saat sahabat-sahabat saya sedang didera masalah, sayapun
memberi siraman rohani berbasis Al Kitab sesuai dengan pengalaman pribadi. Merekapun
menerimanya dengan lapang dada serta menyaring inti kebaikannya, dan bukannya
ribut nggak jelas hanya karena itu semua sumbernya dari Kitabnya orang Kristen.
Dan inilah kata
kuncinya, bahwa semua memang hanya perlu dilandasi dari dua perkara yang sangat
sederhana: hati yang jernih dan jiwa yang bersih. Bila jiwa bersih, maka bahkan
perdebatan soal perbedaan imanpun tidak akan berakhir dengan menjatuhkan dan
menghina satu sama lain. Ketika hati jernih, maka persahabatan antar insan dengan
kepercayaan yang amat berbeda bisa langgeng hingga belasan tahun. Jiwa dan hati
yang bersih serta jernih ini tidak dimaksudkan untuk menghapus perbedaan, namun
membangun jembatan pengertian di antaranya. Tuhan tidak pernah berniat
menciptakan dunia dengan isi yang seragam. Bumi diciptakan dari banyak unsur,
bukan satu saja. Maka sangat naïf bila kita berencana meniadakan keragaman.
Namun sebaliknya sangat picik bila kita menjadikan keragaman sebagai tameng
untuk menganggap diri yang paling baik. Satu-satunya jembatan untuk menciptakan
harmoni di antara segala perbedaan itu adalah kebeningan hati dan jiwa. Itu
saja.
Sekali lagi,
semua agama adalah baik di mata saya. Agama menjadi buruk hanya ketika manusia
menjadikannya buruk. Islam menjadi buruk di mata sebagian umat lain karena
segelintir pemeluknya membuat namanya menjadi buruk. Demikian pula sebaliknya.
Tapi di luar yang segelintir itu, masih ada banyak sekali yang baik. Itu pula
yang membuat saya tetap dan akan selalu percaya bahwa semua agama baik adanya,
meskipun di dalamnya ada pemimpin mata duitan, politisi norak, khotbah-khotbah
yang penuh amarah, umat munafik, dan sebagainya. Agama tidak pernah salah
apa-apa, manusianyalah yang katrok. Justru saya kasihan pada si agama, yang
namanya jadi cemar gara-gara kelakuan busuk umatnya. Namun sekali lagi, saya
tetap yakin bahwa yang busuk itu hanya sepenggal kecil. Di luar itu, ada bagian
jauh lebih besar, yakni mereka yang baik, yang bisa saya lihat. Misalnya
sahabat-sahabat Muslim saya serta suri tauladan kedua orang tua saya. Saya juga
melihat Pak Camat waktu saya tinggal di Semarang, yang tiap Paskah dan Natal
selalu memberikan sambutan berisi indahnya saling menghargai, dan itu semua ia
sampaikan DI DALAM GEREJA DI ATAS MIMBAR. Saya melihat para tetangga Muslim
yang selalu mengirimkan makanan tiap perayaan hari besar mereka. Mereka juga tenang-tenang
saja padahal rumah saya disesaki oleh anjing-anjing biang ribut yang
jelas-jelas haram bagi mereka. Saya memilih
melihat ribuan gereja yang berdiri tegak dan tak terhitung umat yang beribadah
dengan tenang, di tiap-tiap daerah yang sudah saya datangi di Indonesia.
Dengan demikian kalau ada satu gereja dipersulit pendiriannya, saya tidak serta merta jadi goblok dan
berteriak,”TIDAK ADA TOLERANSI DI INDONESIA!!! INDONESIA ADALAH NEGARA UNTUK
SATU AGAMA MAYORITAS SAJA!!!” Yang dipersulit cuma beberapa sampai teriak-teriak
kayak begitu, terus yang ratusan ribu lainnya dipandang apa? Belekan sampai
nggak bisa lihat, kali, ya?
Itulah yang saya
pilih untuk lihat, karena hidup ini semata-mata hanya pilihan. Saya punya
pilihan untuk melihat yang buruk-buruk, dan itu tegas saya tolak karena pikiran
buruk hanya akan membuat saya tidak bahagia. Saya pun punya pilihan untuk
melakukan yang buruk-buruk, dan itu tegas pula saya tolak. Karena perilaku
buruk adalah syiar buruk bagi kepercayaan saya. Syiar buruk adalah batu
sandungan bagi orang lain, dan celakalah jika saya membuat orang lain jatuh
dalam dosa! Anda sendiri, mau yang bagaimana? Tuhan memberkati pilihan baik
anda dan saya! Tuhan memberkati jiwa-jiwa yang bersih di Indonesia! (Yuanita
Maya, penulis lepas, ibu rumah tangga).
Very good. Faith that works by love. Iman atau keyakinan atau kepercayaan yang bekerja atau berbuat karena kasih sayang karena cinta kasih, bukan karena takut dihukum atau karena takut kena azab. Ibadah atau ketaatan kita kepada Tuhan, karena kasihNya kepada kita, yg menginspirasi kasih kita kepadaNya, hingga kita akan taat dan mengasihiNya dan mengasihi sesama manusia dengan sukarela dan dengan hati yang gembira dan penuh sukacita, bukan karena paksaan atau bukan karena ancaman hukuman atau azab. Sehingga kita patuh kepadaNya bukan karena ketakutan, tapi karena kasihNya yang sangat besar yang juga tertanam dan bersemi dalam hati dan pikiran kita, only God's great love to us, can awakan the love in our hearts and minds, bukankah demikian?
BalasHapusAnonim, anda bertanya: Bukankah demikian? Saya menjawab: Bukaaan... Hehehe.
BalasHapusYa, memang sekali sudah merasakan yang namanya 'kasih', sulit bagi kita untuk melihat hal yang buruk dari orang lain (sekalipun menantu saya terus-menerus saya takut-takuti adzab, hihihi).
Semoga tulisan saya menjadi berkat buat anda, dan bisa anda bagikan pada yang lain. Terima kasih sudah mampir, Tuhan memberkati!
Mantap...Bahkan ada hamba Tuhan yang berani menjaminkan bahwa hidup dengan " Yesus akan membawa kemudahan, kegembiraan, kesenangan dan berkat yang melimpah, dan kutuk akan jauh dari kita" Lalu kata saya," Bu, Pendeta, ibu tahu tidak Istrinya pak SBY, istrinya Soeharto, istrinya Boediono, dan pejabat-pejabat yang hebat awalnya mereka adalah Kristen? xixixixixix...!!
BalasHapusAduh, Maya...!!!
BalasHapusThanks ya, anonim :). Pak Pendeta itu mungkin juga belum tahu bahwa agama tidak menjamin keselamatan :). Plus banyak juga orang beragama Kristen (sudah baptis pula) yang hidupnya amburadul, suka mabuk, menelantarkan anak istri, jadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitarnya, dll, pokoknya sampah masyarakat. Sebaliknya, saya kenal banyak orang dari agama lain (bahkan yang tidak mengakui Tuhan) yang hidupnya tenang, damai, dan jadi berkat bagi banyak orang. Agama, baptis, dan segala seremoni institusi memang tidak menjamin apapun. Anda mantap juga, Anonim! :)
BalasHapusAduh juga, Stevan!!! :)
BalasHapusJempol buat mu.... Mantap....!! salam dr ujung Wonasa..
BalasHapusHadeuuucchh... Semoga yg nasihatin juga gak lalai ya sama perintah agamanya, biar kesannya nggak egois gitu... Masalahnya penasihat itu bisa juga disebut guru yg memberi pembelajaran bagi muridnya secara tindakan ataupu visualisasi yg baik
BalasHapusMbak maya cee illeee...
BalasHapusPotensi besar mbak... May
BalasHapus